Teori belajar Kontruktivisme Menurut Para Ahli



Teori belajar Kontruktivisme
Teori belajar Kontruktivisme


Teori ini merupakan peningkatan teori Piaget, Vigotsky, dan Bruner.  Konstruktivisme menyatakan bahwa para siswa membentuk pemahaman-pemahaman mereka sendiri mengenai suatu pengetahuan dan keterampilan. Perspektif-perspektif terhadap konstruktivisme berbeda-beda dalam kaitannya dengan sebesar apa pengaruh faktor faktor lingkungan dan sosial terhadap interpretasi-interpretasi pembelajar. Teori Piaget memberikan penekanan pada ekuilibrasi, atau proses membuat struktur-struktur kognitif internal dan realitas eksternal konsisten. Teori Vygotsky banyak memberi penekanan pada peran faktor-faktor sosial dalam pembelajaran.

       Teori konstruktivisme menurut Moshman Fowler (1997) memandang belajar sebagai proses konstruksi pengetahuan oleh pembelajar berdasarkan pengalaman yang telah dimiliki Teori ini berfokus pada konstruksi internal individu terhadap pengetahuan. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Catherine bahwa teori belajar konstruktif mementingkan proses dari hasil belajar. Oleh karena itu teori ini ada hubungannya dengan teori "meaningful learning" (kebermaknaan) dan Ausubel. 
      
          Pembelajaran berbasis konstruktivis mengutamakan keaktifan pembelajar dalam mengkonstruksikan pengetahuan berdasarkan interaksinya dalam pengalaman belajar yang diperoleh (difasilitasi pembelajar). Pembelajaran berbasis konstruktivis memandang pembelajaran dan proses belajar pembelajar menjadi fokus utama, sedangkan pembelajar berperan sebagai fasilitator, dan atau bersama-sama pembelajar juga terlibat dalam proses belajar, proses konstruksi pengetahuan. 

        Sejalan dengan pernyataan di atas, David Jonassen (1999) yang dikutip oleh Reigueluth mengemukakan bahwa pembelajaran konstruktif berawal dari aliran filsafat konstruktivisme, yang menekankan pada konstruk pengetahuan individu dan kontrak sosial melalui pembelajaran interpretasi dan pengalaman dalam kehidupan. Dalam proses pembelajaran sebagai konstruksi pengetahuan, pemelajar secara aktif membangun pengetahuan di dalam ingatan dan ia menjadi seorang sensemaker. Sementara pembelajar adalah sang pemandu yang memberikan tugas-tugas akademis. 

     Menurut Mayer yang dikutip oleh Reigeluth bahwa belajar konstruktif tergantung pada aktivitas dari beberapa proses kognitif dalam pemelajar selama belajar, mencakup menyeleksi informasi yang relevan, mengorganisasikan informasi yang masuk, dan menginterasikan informasi yang masuk dengan pengetahuan yang ada. 

          Asumsi utama dari konstruktivisme adalah manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri (Geary, 1995). Untuk memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar. Para konstruktivis berbeda pendapat dalam mengenai pandangan bahwa fungsi ini seluruhnya berasal dari para pembelajar. bagian dari mereka meyakini bahwa struktur-struktur mental hadir untuk mencerminkan realita. sementara sebagian yang lain (konstruktivis-konstruktivis radikal) meyakini bahwa dunia mental individu adalah satu-satunya realita. Para konstruktivis juga berselisih pendapat tentang berapa banyak mereka melihat konstruksi pengetahuan berasal dari interaksi-interaksi sosial dengan guru-guru, teman-teman sebaya, para orang tua, dan pihak-pihak lainnya (Bredo, 1997).

      Asumsi konstruktivis lainnya adalah, guru sebaiknya tidak mengajar dalam arti menyampaikan pelajaran dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. Guru seharusnya membangun situasi-situasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlihat secara aktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi sosial.  Aktivitas aktivitas pembelajaran konstruktivis meliputi mengamati fenomena fenomena, mengumpulkan data-data, merumuskan dan menguji hipotesis-hipotesis, dan bekerja sama dengan orang lain, Kegiatan lainnya adalah mengajak siswa mengunjungi lokasi-lokasi di luar ruang kelas Guru-guru dari berbagai disiplin ilmu diperlukan untuk merencanakan kurikulum bersama-sama. Siswa perlu diarahkan untuk dapat mengatur diri sendiri dan berperan aktif dalam pembelajaran mereka dengan menentukan tujuan-tujuan, memantau dan mengevaluasi kemajuan mereka, dan bertindak melampaui standar-standar yang disyaratkan bagi mereka dengan menelusuri hal-hal yang menjadi minat mereka (Bruning et al, 2004;Geary, 1995)

       Konstruktivisme adalah sebuah epistemologi atau penjelasan filosofis tentang sifat pembelajaran. Para teoretisi konstruktivis menolak gagasan bahwa kebenaran-kebenaran ilmiah itu ada dan menunggu untuk ditemukan dan diabsahkan. Pengetahuan tidak diatur dari luar diri seseorang tetapi terbentuk di dalam dirinya. Teori-teori konstruktivis bermacam-macam dari teori-teori yang mengemukakan interpretasi diri yang utuh, teori teori yang merumuskan hipotesis hipotesis mengenai interpretasi-interpretasi dengan mediasi sosial, sampai teori-teori yang menyatakan bahwa interpretasi-interpretasi bersesuaian dengan realita. Konstruktivisme mengarahkan kita untuk menyusun pengalaman pengalaman pengajaran dan pembelajaran untuk menantang pemikiran siswa sehingga mereka akan mampu membangun pengetahuan yang baru. Dasar pikiran inti dari konstruktivisme adalah bahwa proses-proses kognitif disituasikan (berlokasi/ditempatkan) dalam konteks-konteks fisik dan sosial. Konsep kognisi berkonteks menyoroti hubungan hubungan antara orang-orang dan situasi-situasi. 

     Teori Piaget termasuk teori konstruktivis yang mengetengahkan bahwa anak-anak berproses melewati serangkaian tahapan yang berbeda-beda secara kualitatif: sensorik motor, pra-operasional, operasional konkret, dan operasional formal. Mekanisme perkembangan utama adalah ekuilibrasi; hal yang dapat membantu menyelesaikan konflik konflik kognitif dengan mengubah sifat dari realitas untuk menyesuaikan struktur-struktur yang ada (asimilasi) atau mengubah struktur untuk memasukkan realita (akomodasi). 

       Teori sosiokultural Vygotsky menonjolkan lingkungan sosial sebagai sebuah fasilitator bagi perkembangan dan pembelajaran. Lingkungan sosial memengaruhi kognisi melalui alat-alatnya,objek-objek kultural, bahasa, simbol-simbol, dan institusi-institusi sosial. Perubahan kognitif disebabkan oleh penggunaan alat-alat ini dalam interaksi interaksi sosial dan oleh internalisasi dan transformasi dari interaksi-interaksi tersebut Konsep utamanya adalah zona perkembangan proksimal (ZPD). ZPD mewakili jumlah pembelajaran yang mungkin dijalani siswa dalam kondisi-kondisi pengajaran yang tepat. Sulit untuk mengevaluasi kontribusi-kontribusi teori Vygotsky dalam pembelajaran karena kebanyakan penelitian masih terbilang baru dan banyak aplikasi pendidikan yang sesuai dengan teori Vygotsky bukan merupakan bagian darinya. Aplikasi-aplikasi yang mencerminkan ide-ide Vygotsky adalah pemberian bantuan pengajaran, pengajaran timbal balik, kerja sama dengan teman sebaya, dan praktik magang. 

     Tuturan pribadi memiliki fungsi pengaturan-diri tetapi secara sosial tidak komunikatif. Vygotsky meyakini bahwa tuturan pribadi mengembangkan pikiran dengan mengorganisasikan perilaku. Anak-anak menggunakan tuturan pribadi untuk memahami situasi- situasi dan mengatasi masalah-masalah. Tuturan pribadi menjadi tersembunyi seiring dengan pertumbuhan meskipun verbalisasi terbuka dapat terjadi pada usia berapa pun. Verbalisasi dapat membantu prestasi siswa jika relevan dengan tugas dan tidak menghalangi kinerja belajar. Pelatihan pengajaran-diri berguna untuk membantu seseorang mengatur pengerjaan tugasnya sendiri secara verbal. 

       Teori Vygotsky mengemukakan bahwa pembelajaran merupakan proses dengan mediasi sosial. Anak-anak belajar banyak konsep saat berinteraksi sosial dengan orang lain. Mengatur lingkungan lingkungan belajar untuk meningkatkan interaksi-interaksi ini akan dapat menunjang pembelajaran. Pengaturan diri merupakan koordinasi dari proses proses mental seperti memori, perencanaan, penggabungan dan evaluasi. Vygotsky percaya bahwa bahasa dan zona perkembangan proksimal sangat penting bagi perkembangan pengaturan-diri. Kuncinya adalah internalisasi dari proses-proses pengaturan-diri. 

         Aspek-aspek motivasi yang relevan dengan konstruktivisme mencakup faktor-faktor kontekstual, teori-teori implisit, dan harapan-harapan guru. Kelas yang multidimensional yang memiliki banyak aktivitas dan memberi kesempatan pada keragaman dalam kinerja belajar siswa, lebih sejalan dengan konstruktivisme daripada kelas-kelas yang tidak dimensional. Karakteristik-karakteristik yang mengindikasikan dimensionalitas adalah pembedaan struktur tugas, otonomi siswa, pola-pola pengelompokan, dan menonjolnya evaluasi-evaluasi kinerja belajar formal. Variabel-variabel TARGET (task/tugas, authority /Otoritas, recognition/pengakuan, grouping/pengelompokan, evaluation evaluasi, dan time waktu) memengaruhi motivasi dan pembelajaran siswa



     Siswa memiliki teori-teori implisit tentang persoalan-persoalan seperti bagaimana mereka belajar dan hal apa saja yang berperan dalam pencapaian keberhasilan. Teori-teori implisit dibentuk saat praktik-praktik sosialisasi dan refleksi diri. Teori-teori ini memengaruhi motivasi dan pembelajaran siswa. Teori-teori inkremental merupakan keyakinan bahwa keterampilan-keterampilan dapat ditingkatkan melalui usaha, Orang orang yang memiliki teori-teori entitas memandang kemampuan mereka sebagai karakter yang menetap atau tidak dapat diubah sehingga mereka tidak bisa berbuat banyak untuk mengendalikannya. Penelitian menunjukkan bahwa siswa yang meyakini bahwa pembelajaran ada di bawah kendali mereka akan mencurahkan lebih banyak upaya, lebih banyak mengulang, dan menggunakan strategi-strategi belajar yang lebih haik. Guru menyampai kan harapan-harapan mereka kepada siswa dengan banyak cara. Harapan-harapan guru memengaruhi interaksi antara guru dan siswa. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi-kondisi tertentu, harapan harapan dapat memengaruhi prestasi siswa. Guru harus menganggap semua siswanya mampu untuk berhasil dan memberikan bantuan pengajaran bagi mereka untuk mencapai keberhasilan. 

     Tujuan dari lingkungan-lingkungan pembelajaran konstruktivis adalah memberikan pengalaman-pengalaman yang kaya yang dapat mendorong siswa untuk belajar. Kelas kelas dengan model konstruktivis mengajarkan konsep-konsep besar dengan banyak menggunakan aktivitas siswa, interaksi sosial, dan penilaian-penilaian autentik. Ide-ide siswa harus digali dengan antusias Dibandingkan dengan kelas-kelas tradisional, kelas kelas konstruktivis tidak banyak menekankan pada pembelajaran tingkat permukaan kelas-kelas ini lebih banyak menekanan pada pemahaman yang lebih mendalam. 

      Beberapa metode pengajaran yang selaras dengan konstruktivisme adalah belajar- menemukan, pembelajaran berbasis-penelitian, pembelajaran dengan bantuan teman sebaya, diskusi dan debat dan pengajaran reflektif. Belajar-menemukan membantu siswa mendapatkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri melalui pemecahan masalah. Untuk penemuan, guru harus mengatur aktivitas-aktivitas sedemikian rupa sehingga siswa dapat membentuk dan menguji hipotesis. Dalam hal ini guru tidak sekadar membiarkan siswa melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Pembelajaran berbasis-penelitian merupakan bentuk belajar-menemukan yang mungkin mengikuti prinsip-prinsip Socrates dengan banpak pengajuan pertanyaan oleh guru kepada siswa. Pembelajaran dengan bantuan teman sebaya mengacu pada pendekatan pengajaran di mana teman-teman sebaya siswa berperan sebagai pelaku aktif dalam proses belajar. Tutoring oleh teman sebaya dan pembelajaran kooperatif adalah bentuk-bentuk pembelajaran dengan bantuan teman sebaya. Diskusi dan debat dapat menjadi metode belajar yang bermanfaat jika tujuannya adalah mendapatkan pemahaman konsep yang lebih tinggi atau beberapa sudut pandang dari sebuah topik. Pengajaran reflektif adalah pengambilan keputusan yang cermat yang memperhitungkan faktor-faktor seperti siswa, konteks frasa psikologis, pembelajaran, motivasi, dan pengetahuan diri. Menjadi guru yag reflektif harus mengembangkan pengetahuan personal dan profesional, strategi-strategi perencanaan, dan keterampilan-keterampilan penilaian.



------------------------
Sumber:
Dale H. Schunk, learning theories an educational perspective, edisi ke enam (yogyakarta : pustaka pelajar, 2012)
Zainal Abidin Arif, landasan teknologi pendidikan, Bogor: uika press 2015
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar