Aspek Keterampilan Bertanya Guru


 

Keterampilan Bertanya Guru dan Aspek-Aspeknya

Keterampilan Bertanya Guru Sebagai Keterampilan Mengajar Esensial

Pada saat mengajar, dalam model pembelajaran, pendekatan, teknik atau strategi apapun, salah satu keterampilan esensial (penting) yang harus dikuasai oleh guru dengan baik adalah keterampilan bertanya (questioning skills).

Kontroversi tentang Pertanyaan Guru

Banyak sekali penelitian tentang keterampilan bertanya guru atau pertanyaan-pertanyaan yang diajukan guru di dalam kelas telah dilakukan. Ranah penelitian pendidikan di bidang ini menjadi menarik karena alasan di atas: yaitu begitu tak terpisahkannya proses bertanya dalam setiap pembelajaran yang berlangsung di dalam kelas seorang guru. Hampir tak pernah ditemukan sebuah pembelajaran tanpa pengajuan pertanyaan oleh guru. Di dalam buku Learning to Teach edisi kelima karya Richard L. Arends yang diterbitkan oleh McGraw Hill tahun  2001 disebutkan bahwa:

Karena pertanyaan-pertanyaan begitu sering diajukan di dalam kelas, salah satu hal menarik tentang pertanyaan guru adalah: Apa efek pertanyaan bagi pembelajaran siswa? Dalam bentuk lain: Apa efek dari pertanyaan-pertanyaan guru yang bersifat faktual dan apa efek pertanyaan-pertanyaan guru yang meminta siswa untuk berpikir pada taraf yang lebih tinggi (higher level thinking)? Selama bertahun-tahun, terdapat konsensus bahwa pertanyaan dengan : higher level thinking akan mengarahkan siswa pada perkembangan kognitif yang lebih besar dibanding jika siswa diberikan pertanyaan yang sifatnya konkret dan faktual. Tetapi kemudian pada tahun 1970-an, justru banyak penelitian menunjukkan bahwa tidak ada bukti nyata adanya perbedaan ini (Rosenshine: 1971; Dunkin & Biddle: 1974). Pada tahun 1976 Barak Rosenshine justru mengklaim bahwa pertanyaan faktual-lah yang justru dapat meningkatkan perkembangan kognitif siswa, terlebih apabila guru dengan segera memberikan umpan balik (feedback) terkait jawaban yang benar dan jawaban yang salah (tidak tepat). Dalam hal ini perlu dicatat bahwa Rosenshine melakukan penelitiannya pada siswa kelas rendah dari latar belakang sosial dan ekonomi tingkat bawah. Beberapa tahun kemudian Redfield mengumumkan hasil penelitian yang berlawanan, yaitu bahwa pertanyaan-pertanyaan guru yang mengacu pada pemikiran tingkat tinggi (higher level thinking) akan memberikan efek positif dan meningkatkan prestasi dan kemampuan berpikir siswa.

Pertanyaan Guru yang Baik

Selama satu dekade lebih setelah itu, para peneliti tentang pertanyaan guru selalu menunjukkan hasil-hasil yang saling berkontroversi. Akhirnya muncullah suatu konsensus bahwa tipe-tipe pertanyaan yang dilontarkan oleh guru harus disesuaikan dengan siswa, dengan siapa mereka bekerja (belajar), dan untuk jenis tujuan pembelajaran bagaimana mereka belajar. Gall (1984; Gall & Gall: 1990), sebagai contoh menginterpretasikan hasil-hasil penelitian ini sebagai berikut:
1. Pertanyaan-pertanyaan faktual lebih efektif untuk mempromosikan prestasi anak-anak yang lebih muda, yang manakhususnya bila  melibatkan penguasaan keterampilan-keterampilan dasar.
2. Pertanyaan-pertanyaan kognitif tingkat tinggi lebih efektif untuk siswa bila dibutuhkan berpikir siswa lebih diarahkan ke berpikir bebas (independen).

Tingkat Kesulitan Pertanyaan

Berkaitan dengan pertanyaan-pertanyaan yang digunakan guru, para peneliti juga tertarik dalam kaitan tingkat kesulitan dan pola keseluruhan pertanyaan guru. Tingkat kesulitan suatu pertanyaan adalah mengacu pada kemampuan siswa-siswa menjawab pertanyaan alih-alih tingkat berpikir (kognitif) yang dibutuhkan. Lagi-lagi, hasil penelitian pada ranah ini juga menunjukkan hasil yang beragam. Walaupun demikian, setelah melewati bermacam review, penelitian-penelitian akhirnya menunjukkan bahwa, sebagaimana yang diungkapkan oleh Jere Brophy & Tom Good (1986), ada 3 acuan yang harus dipertimbangkan guru ketika ingin memutuskan seberapa sulit pertanyaan akan diberikan kepada siswa, yaitu:
- Proporsi terbesar (paling tidak 3/4 bagian) pertanyaan harus pada level di mana semua siswa akan dapat menjawab pertanyaan tersebut.
-Proporsi sisanya (1/4 bagian) pertanyaan harus berada pada level sulit, tetapi tetap harus dapat direspon oleh siswa meskipun respon (jawaban) yang diberikan nantinya tidak dapat lengkap.
- tidak ada pertanyaan yang tidak akan dapat dijawab oleh siswa (mustahil bisa dijawab siswa).

Pola Pertanyaan Guru/Pola Tanya-Jawab

Pola keseluruhan pertanyaan guru juga sangat penting. Kenyataan di kelas yang sering ditemui adalah guru menanyakan semua pertanyaan dan semua siswalah yang harus menjawab pertanyaan dengan tepat. Kemudian guru akan mengulang-ulang pertanyaan yang sama apabila siswa tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut. Sebenarnya, pola pertanyaan guru yang seperti ini sangat berdampak buruk pada diskusi kelas dan sama sekali tidak akan membawa siswa untuk mengembangkan proses berpikirnya pada taraf yang lebih tinggi, bahkan justru mengarahkan siswa kepada kebosanan. Pada kelas yang baik, pola pertanyaan haruslah seperti ini: siapa saja boleh mengajukan pertanyaan, dan siapa saja boleh menjawab pertanyaan. Guru yang baik justru akan membuat pertanyaan yang jawaban-jawaban pertanyaan tersebut akan memancing siswa untuk bertanya, lalu menjawab.

Waktu Tunggu (Wait Time)

Hal terpenting lainnya dalam kaitan keterampilan bertanya guru yang telah diselidiki oleh para peneliti di bidang ini adalah waktu tunggu (wait time).  Waktu tunggu adalah jeda waktu antara saat pertanyaan dilontarkan oleh guru dengan waktu saat siswa harus menjawab pertanyaan. Waktu tunggu pertama kali diteliti pada tahun 1960an. Waktu tunggu sangat penting untuk diterapkan oleh guru pada saat memberikan pertanyaan-pertanyaan di dalam kelasnya.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar