Azas-azas Kewarganegaraan


Azas-azas Kewarganegaraan


1)   Azas ius-sanguinis dan azas ius-soli

Setiap negara yang berdaulat berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi warga negara. Terkait dengan syarat-syarat menjadi warga negara dalam ilmu tata negara dikenal adanya dua azas Kewarganegaraan, yaitu azas ius-sanguinis dan ius-soli. Azas ius-soli adalah azas daerah kelahiran, artinya bahwa status kewarganegaraan seseorang ditentukan tempat kelahirannya di negara A tersebut. Sedangkan ius-sanguinis adalah azas keturunan atau hubungan  darah,  artinya  kewarganegaraan  seseorang  ditentukan  oleh  orang tuanya. Seseorang adalah warga negara B karena orang tuanya adalah warga negara B.

2)   Bipatride dan Apatride

Dalam hubungan antar negara seseorang dapat pindah tempat dan berdomisili di negara lain. Apabila seseorang atau keluarga yang bertempat tinggal di negara lain melahirkan anak, maka status kewarganegaraan anak ini tergantung pada azas yang berlaku di negara tempat kelahirannya dan yang berlaku di negara orang tuanya. Perbedaan azas yang dianut oleh negara lain, misalnya negara A menganut azas ius-sanguinis sedangkan negara B menganut azas ius-soli, hal ini dapat menimbulkan status bipatride atau aptride pada anak dari orang tua yang berimigrasi di antara kedua negara tersebut.

Bipatride (dwi Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan dari dua negara terkait seseorang dianggap sebagai warga negara kedua negara itu.

Misalnya, Adi dan Ani adalah suami istri yang berstatus warga negara A, namun mereka berdomisili di negara B. Negara A menganut azas ius- sanguinis  dan  negara  B  menganut  azas  ius-soli.  Kemudian  lahir  anak mereka, Dani. Menurut negara A yang menganut azas ius-sanguinis, Dani adalah warganegaranya karena mengikuti kewarganegaraan orang tuanya. Menurut negara B yang menganut azas ius-soli, Dani juga warganegaranya , karena  tempat  kelahirannya  ada  di  negara  B.  Dengan  demikian  Dani mempunyai status dua kewarganegaraan atau bipatride.

Sedangkan Apatride (tanpa Kewarganegaraan) timbul apabila menurut peraturan Kewarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warga negara dari negara mana pun. 

Misalnya, Agus dan Ira adalah suami istri yang berstatus warganegara B yang berasas  ius-soli.  Mereka berdomisil di negara A  yang berazas  ius- sanguinis. Kemudian lahirlah anak mereka, Budi. Menurut negara A, Budi tidak diakui sebagai warga negara karena orang tuanya  bukan warganegara, begitu  pula  menurut  negara  B.  Budi tidak diakui sebagai sebagai warga negaranya. Begitu pula menurut negara B karena lahir di wilayah negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai kewarganegaraa atau azas atau apatride

Karakteristik warga negara yang digambarkan para ahli dan filosof menyiratkan bahwa karakteristik  warga negara tidak bisa dilepaskan dari pengaruh sosial politik, latar belakang, institusi di mana dia hidup. Karakteristik  warga negara yang baik menurut Aristotels adalah adanya “civic virtue” (keutamaan sipil) dalam dirinya. Menurutnya ada empat komponen civic virtue yaitu (1) temperance (keserdehanaan) termasuk self control dan avoidance of extremes; (2)   justice (keadilan); (3) courage (keberanian atau keteguhan) termasuk  patriotism dan (4) wisdom or prudence (kebijaksanaan atau kesopanan) termasuk the capacity for judgement (Heater, 2004). Warga negara yang memiliki kualifikasi demikian akan menjadi warga negara yang baik. Dia akan mampu memerintah secara baik dan juga ia dapat diperintah secara baik pula. Sampai di situ akhirnya ia menyatakan warga negara ada yang good citizen dan bad citizen.

Cogan & Derricott (1998) mengidentifikasikan perlunya warga negara memiliki delapan (8) karakteristik yang dipandang sebagai cerminan warga negara ideal abad 21. Kedelapan karakteristik warga negara tersebut adalah:

a. The ability to look at and approach problem as a member of global society (kemampuan untuk melihat dan mendekati masalah sebagai anggota masyarakat global)

b.  The ability to work others in a cooperative way and to take responsibility for one’s ruler/duties within society (kemampuan bekerja sama dengan yang lain dengan cara yang kooperatif dan menerima tanggung jawab atas peran/tugasnya di dalam masyarakat) 

c. The ability to understand, accept, appreciate anf tolerate cultural differences (kemampuan memahami, menerima, menghargai, dan dapat menerima perbedaan-perbedaan budaya).

d. The  capacity  to  think  in  a  critical  and systematic  way  (kapasitas  berpikir dengan cara yang kritis dan sistematis)

e. The willingness to resolve conflict in a non violent manner (keinginan untuk menyelesaikan konflik dengan cara tanpa kekerasan)

f.  The willingness to change one’s lifestyle and consumption habits to protect the environment   (keinginan   untuk   mengubah   gaya   hidup   dan   kebiasaan konsumtifnya untuk melindungi lingkungan?

g. The ability to be sensitive towards and to defend human rights (eg.rights of women, ethnic minorities and) (Kemampuan bersikap sensitif dan melindungi hak asasi manusia misalnya, hak wanita, hak etnis minoritas, dan lain-lain)

h. The  willingness  and  ability  to  participate  in  politics  at  local,  national  and international levels (keinginan dan kemampuan untuk ikut serta dalam politik pada tingkat lokal, nasional, dan internasional).

Rekomendasi  Cogan  &  Derricott  tersebut  dilatarbelakangi  pemikiran  bahwa dalam satu dunia modern yang semakin saling berhubungan di mana persoalan- persoalan yang mempengaruhi kehidupan orang bersifat global dan oleh karena itu, bersifat antarbudaya, konsep kewarganegaraan sendiri menjadi lebih kompleks. Kompleksitas ini mengharuskan bahwa semua warga negara memiliki serangkaian sifat tertentu yang memungkinkan berjalan dengan baik di tahun- tahun mendatang. Kewarganegaraan  yang dipahami sebagai keanggotaan  di dalam satu dunia global yang saling berhubungan menekankan pada kita untuk mendefinisikan diri sendiri pada satu konteks yang lebih luas,    untuk mengembangkan  konsep  identitas  warga  negara  kita  untuk  dimasukkan  ke dalam identitas global, seperti identitas lokal, negara, dan nasional.

Senada  dengan  karakter  di  atas,  Douglas  dalam  Global  Citizenship  (2002) memandang warga negara global sebagai orang yang:

a. Menyadari  dunia  secara  luas  dan  mempunyai  perasaan  sendiri  sebagai warga dunia,

b. Pengakuan terhadap nilai-nilai keberagaman, 

c. Memiliki  satu  pemahaman  bagaimana  dunia  bekerja  secara  ekonomis, politis, sosial, kultural, teknologi, dan lingkungan,

d. Menolak ketidakadilan social,

e. Berpartisipasi  dan  berperan  luas  dalam  masyarakat  mulai  tingkat  lokal sampai global,

f.  Memiliki kemauan untuk bertindak dan membuat dunia sebagai suatu tempat yang patut,

g. Bertanggung jawab terhadap tindakan-tindakan mereka.

Karakter warga ideal, warga global seperti dicontohkan di atas telah berkembang jauh dari pengkarakteran warga negara di masa sebelumnya. Konsep warga negara amat bervariasi dari suatu konstitusi ke konstitusi, dan perbedaan konstitusi menentukan perbedaan tipe-tipe warga negara.

Mengikuti jalan pemikiran tersebut, dapatlah diketahui bagaimana perihal dan kriteria dari warga negara Indonesia dengan cara melihat rumusannya dalam konstitusi negara Indonesia UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya. Melalui dokumen formal kenegaraan sekarang ini kita dapat mengetahui seperangkat   kriteria dan karakter manusia Indonesia atau warga negara Indonesia yang hendak dicapai. Dalam pembukaan UUD 1945 diciptakan terwujudnya  bangsa  (manusia  dan  masyarakat)  Indonesia  yang  merdeka, bersatu berdaulat, adil dan makmur.

Salah satu tugas nasional adalah mencerdaskan kehidupan bangsa atau dengan kata lain ingin mewujudkan bangsa yang cerdas. Sedangkan tentang kriteria manusia Indonesia yang baik adalah: “... manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (pasal 3 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Penjelasan pasal 37 Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional yaitu “... manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. 

Dalam Tap MPR NO VII/MPR/2001 yang dinyatakan masih berlaku terdapat visi Indonesia masa depan. Dalam visi Indonesia masa depan tersebut karakter bangsa telah diidealkan adalah terwujudnya bangsa yang religius, manusiawi, adil, bersatu, demokratis, adil dan sejahtera, maju, mandiri, baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Bangsa atau masyarakat yang demikian  merupakan  ciri  dari  masyarakat  madani  di  Indonesia  (Hamdan Mansoer: 2005)


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar