Isu Kewarganegaraan dalam Konteks Lokal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan diarahkan untuk membangun sikap bela negara dengan penguatan pada aspek kognitif dan afektif (Amin, 2010). Pendidikan Kewarganegaraan dapat diartikan sebagai usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik agar pada masa yang akan datang dapat menjadi patriot pembela bangsa. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki sifat multidimensional yang artinya pendidikan kewarganegaraan mendapat peran lebih dalam menumbuhkan dan menjalankan sikap loyalitas pada bangsa dan negara. Agar terbentuk karakter warga negara yang memiliki dimensi global maka pada mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus menjunjung tinggi nilai-nilai ideologi Pancasila sebagai perwujudan jati diri bangsa Indonesia.
Pendidikan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai mata pelajaran yang diajarkan di semua jenjang pendidikan sekolah harus memfasilitasi pembentukan good and smart citizen pada setiap elemen kehidupan. Namun demikian konsep pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan masih banyak mengalami kendala dalam membentuk civic engagement peserta didik dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada di sekitar. Pendidikan kewarganegaraan memiliki peran strategis dalam membangun wawasan global warga negara.
Pendidikan kewarganegaraan tidak sebatas mempelajari hak dan kewajiban warga negara, melainkan lebih luas dan mendalam termasuk mempersiapkan warga negara menjadi warga global. Pendidikan kewarganegaraan membekali peserta didik di sekolah dengan pengetahuan tentang isu-isu global, budaya, lembaga dan sistem internasional dan merupakan indikasi dari pendekatan minimalis yang bisa mengambil tempat secara eksklusif di dalam kelas.
Isu kewarganegaraan dalam konteks lokal berorientasi pada isu-isu kewarganegaraan pada teritori lokal atau wilayah bagian suatu negara seperti provinsi atau kabupaten kota. Indonesia sendiri adalah negara yang multikultural dan majemuk. Keduanya menjadi identitas khas bangsa Indonesia yang dapat memperkaya sekaligus menjadi faktor trigger (pemicu) lahirnya perpecahan. Dilematik paradigma ini yang dapat menjadi alasan munculnya berbagai isu kebangsaan dalam teritori lokal yang dapat melunturkan nilai kebhinekaan serta rasa kebangsaan seperti cinta tanah air, patriotik, dan bela negara.
Realita tersebut dapat menjadi paradigma negatif pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, dan kontra dengan hakikat PKn sebagai pendidikan multikultural untuk membangun kehidupan yang rukun dan harmonis. Sebagaimana dalam (Setiawan dan Yunita, 2017) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan dapat menjadikan warga negara yang selalu ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara, yaitu menjaga keutuhan bangsa dan mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.
Stereotip penduduk asli dengan pendatang misalkan, dimana penduduk asli lebih diutamakan dan mempunyai kedudukan yang spesial dengan pendatang. Contoh, tragedi Sampit antara penduduk asli suku Dayak dengan pendatang suku Madura. Seluruh penduduk asli di kota Sampit Kalimantan Tengah dan bahkan meluas sampai ke seluruh provinsi yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan para pendatang dari suku Madura yang secara agresif berkembang untuk menguasai sektor industri komersial daerah Kota Sampit Kalteng. Hal ini mengakibatkan kecemburuan sosial dan ekonomi oleh kalangan suku Dayak sehingga memicu perang antar suku.
Isu etnosentrisme di Indonesia seakan menjadi cambuk spirit perlunya peran pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan peran edukasi untuk mencegah dampak negatif dari etnosentrisme. Untuk itu perlu upaya khusus untuk mengimplementasikan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi wahana pendidikan multikultural di daerah-daerah sejak dini melalui institusi sekolah.
Karena permasalahan etnosentrisme tidak hanya terjadi pada suku Dayak dengan Madura saja, ada banyak isu etnosentrisme yang pernah dan bahkan senantiasa menjadi rutin terjadi di Indonesia, Seperti kebiasaan suku pedalaman di Papua yang tetap menggunakan koteka dalam keadaan apapun dan dilihat oleh siapapun bahkan yang bukan orang Papua sekalipun. Pemakaian koteka tentu tidaklah salah karena itu adalah kekayaan budaya salah satu bangsa Indonesia. Yang menjadi kekeliruannya sehingga mengakibatkan timbulnya nilai etnosentris adalah pemakaian koteka di situasi dan kondisi yang orang-orangnya berlatarkan multi etnis. Jadi, etnosentrisme merupakan suatu sikap seseorang yang berlebihan kecintaannya terhadap nilai adat istiadat sukunya sendiri dan menganggap sukunya yang terbaik.
Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Perbedaan dan pembagian etnis ini mendefinisikan kekhasan identitas budaya setiap suku bangsa. Etnosentrisme mungkin tampak atau tidak tampak, dan meski dianggap sebagai kecenderungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat (https://id.wikipedia. org/wiki/Etnosentrisme.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar