Watak Nilai


 

Watak Nilai

Memahami dan mempelajari nilai akan lebih jelas  bila  kita juga mempelajari tentang watak nilai karena dengan memahami watak nilai ini seseorang akan mengetahui sesuatu yang berharga dalam kehidupan ini. Selain itu dengan mempelajari nilai ini seseorang akan mengetahui apa yang harus diperbuatnya untuk menjadi manusia dalam arti sebenar-benarnya. Dengan demikian nilai itu sendiri mempunyai dasar pembenaran atau sumber pandangan dari berbagai hal seperti meta-fisika, teologi, etika, estetika dan logika.

Mempertimbangkan nilai adalah kebiasaan sehari-hari yang dilakukan oleh kebanyakan orang dan dilakukan secara terus-menerus. Mempertimbangkan untuk melakukan pilihan tentang nilai adalah suatu keharusan. Dalam kehidupannya manusia selalu melakukan pilihan. Manusia juga mempertimbangkan untuk mengukur benda dari ukuran lebih baik atau lebih jelek dan memberikan formulasi tentang ukuran nilai. Setiap orang memiliki perasaan tentang nilai dan tak pernah ada suatu masyarakat tanpa sistem nilai. Bila seseorang di dalam masyarakat tidak melakukan pilihannya tentang nilai maka orang lain atau kekuatan luar yang akan menetapkan pilihan nilai untuk dirinya. Oleh karena itu penting bagi seseorang untuk memiliki ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealisme untuk mengukur kualitas kehidupannya. Tetapi apakah ukuran-ukuran, keyakinan, kesetiaan atau idealisme tersebut dilakukan secara konsisten atau tidak? Karena kalau tidak, seseorang itu justru bukan mengembangkan kualitas kehidupannya tetapi merusak kehidupan dirinya. Menganggap sepi peran nilai berarti mempunyai gambaran yang keliru tentang manusia dan alam. 

Menurut Subino (1986) terdapat dua jenis nilai yang hidup dan berkembang di masyarakat. Jenis nilai yang pertama adalah nilai rekaan manusia sedangkan jenis nilai yang kedua adalah pemberian dari yang Maha Kuasa. Dua jenis nilai tadi sebenarnya tidak perlu dipertentangkan atau saling menghalangi satu sama lain akan tetapi mestinya jenis nilai yang pertama merupakan upaya manusia dalam menterjemahkan nilai yang kedua sejauh dari kemampuan manusia yang memang terbatas. Oleh karena itu, kalau pun terjadi ketidakselarasan dari kedua jenis nilai tadi maka hal itu sebenarnya karena ketamakan manusia itu sendiri. Selanjutnya, Subino (1986) menjelaskan bahwa ketamakan yang paling utama dari manusia itu adalah bahwa nilai hasil rekayasanya dianggap nilai yang tertinggi yang dipandang sumber dari segala sumber. Dengan berbagai cara diupayakan bahwa jenis nilai yang kedua ini dipandang tidak cocok lagi dijadikan pegangan hidup dan boleh saja dibuang jauh-jauh serta kalau perlu dilupakan saja. Manusia melakukan semua itu karena menganggap jenis nilai yang kedua tidak praktis, tidak sesuai dengan jaman sehingga banyak orang yang lupa atau tergiur dengan hal-hal yang menyimpang dengan nilainilai jenis kedua yang mesti dijunjung tinggi oleh kita semua karena nilai-nilai ini adalah pemberian dari yang Maha Kuasa.

Menurut Soelaeman (2005) bahwa masalah konflik nilai yang terjadi di masyarakat kita dewasa ini sudah cukup atau mungkin sangat serius. Hal ini disebabkan adanya krisis otoritas yaitu pusat otoritas dan dasar otoritasnya yang tidak tetap sehingga putusan-putusannya tidak dapat dipercaya lagi.

Persoalannya bukan hanya sekadar tidak percaya kepada yang berkuasa, melainkan yang lebih berbahaya adalah orang tidak lagi dapat mempercayai sesuatu apa pun.

Pilihan nilai merupakan hal yang perlu bahkan bisa dikatakan mutlak sebab nilai- nilai yang ada dalam masyarakat berasal dari agama, moral, estetika, intelek, ilmu, ekonomi dan sebagainya. Keputusan untuk memilih nilai-nilai ini dipengaruhi oleh bermacam-macam warisan nilai-nilai tradisional. Dari masa ke masa selalu muncul nilai-nilai baru yang mempunyai pengaruh besar sehingga kita terpaksa mengadakan pilihan tentang nilai ini. 

Prinsip-prinsip untuk melakukan pemilihan nilai adalah: 

(1) Nilai intrinsik harus mendapatkan perhatian yang pertama dibandingkan dengan nilai ekstrinsik. Hal ini berarti nilai intrisik merupakan sesuatu yang berharga secara intrinsik berasal dari dalam dirinya sendiri dan dinilai baik untuk dirinya. Sesuatu berharga secara ekstrinsik adalah baik karena sesuatu hal datangnya dari luar. Semua benda yang dipakai untuk melakukan aktivitas mempunyai nilai ekstrinsik. Nilai intrinsik dan ekstrinsik ini tidak harus terpisah satu sama lain. Suatu benda dapat dinilai secara intrinsik dari satu segi dan dapat dinilai ekstrinsik dari segi lainnya. Misalnya pengetahuan dapat dinilai sebagai baik dalam dirinya sendiri tetapi juga sebagai sarana lain yang berharga seperti keberhasilan ekonomi, kekuasaan, keuntungan atau prestise. Untuk tujuan hidup yang harus dicari adalah nilai intrinsik sedangkan benda-benda lain adalah sarana untuk mencapai tujuan tersebut.

(2) Nilai-nilai yang produktif dan secara relatif bersifat permanen mesti didahulukan daripada nilai yang kurang produktif dan kurang permanen. Beberapa nilai, seperti nilai ekonomi akan habis dalam aktivitas kehidupan. Sedangkan nilai seperti persahabatan akan bertambah jika dipergunakan untuk membagi nilai akal dan jiwa bersama orang lain. Bahkan nilai persahabatan ini tidak akan mengurangi nilai-nilai tersebut bagi diri kita sendiri. Walaupun memang perlu, nilai ekonomi dan fisik tidak memuaskan secara permanen. Pengalaman manusia menunjukkan bahwa nilai-nilai sosial, intelektual, estetika dan agama lebih memberikan kepuasan pada kita daripada nilai-nilai material. (Soelaeman, 2005).

Konflik nilai yang cenderung dirasakan dewasa ini berkenaan dengan perkembangan ilmu dan teknologi yang telah dicapai. Kemudahan hidup yang diperoleh melalui kemajuan teknologi menyertai lemahnya jiwa atau rusaknya jiwa manusia. Apabila perkembangan teknologi tidak disertai dengan kesiapan mental maka teknologi tersebut dapat merupakan permasalahan bagi manusia itu sendiri. Akibatnya adalah bahwa segala sesuatu yang tidak cepat, yang tidak canggih, yang tidak mengagumkan akan dicampakan. Sementara itu manusia kebablasan dengan pandangan bahwa segala sesuatu yang melekat pada dirinya adalah sesuatu yang sudah sewajarnya. Manusia malas dan memandang sebagai yang tidak perlu untuk memperhatikan kejadian-kejadian yang ada pada dirinya dan alam sekitarnya. Di sinilah dimulainya keingkaran terhadap semua nikmat Maha Pencipta. Malahan manusia sudah berani menyatakan apa yang mereka sebut dengan “value free”. Manusia memandang bahwa velue free memberi kebebasan untuk menguak semua rahasia kehidupan ini apapun caranya yang tentunya mau tidak mau akan sampai juga pada pencapaian tujuan dengan menghalalkan segala cara (Subino, 1986). 




Sumber. Modul Pendidikan Profesi Guru (PPG). Modul 4. Ilmu Pengetahuan Sosial  Penulis. Drs. Ruswandi Hermawan, M.Ed.

Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan (PKB). Modul F. Kajian IPS SD Kelas Tinggi Penulis. Dr. Ari Pudjiastuti, Falidan Ahmad, M.Pd., Istiqomah, M.Pd


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar