Pendekatan Konseling Realita


Pendekatan Konseling Realita

1) Latar Belakang

Pendekatan konseling realita dipelopori oleh William Glasser. Pendekatan ini  tumbuh,  sebagai  reaksi  ketidakpuasan Glesser  atas pendekatan utama dalam konseling dan psikoterapi (psikoanalisa) yang dianggapnya kurang praktis dalam membantu konseli. Pendakatan utama yang ada ketika itu terlalu menekankan masa lalu dan ketidaksadaran sehingga memerlukan waktu yang lama ketika diterapkan untuk membantu konseli. Melihat kondisi tersebut, Glesser mengembangkan pendekatan konseling yang lebih tepat sasaran.

Pada awalnya, ide Glesser banyak menerima tentangan dari teman sejawatnya. Saat itu, pada tahun 1956, Glesser menjadi psikiater konsultan di lembaga rehabilitasi kenakalan remaja. Namun, lama- kelamaan teman sejawatnya memberikan apresiasi terhadap ide Glesser tersebut karena diketahui efektivitas dari ide Glesser tersebut. Pada tahun

1965, Glesser mengeluarkan bukunya yang berjudul Reality Therapy yang ditulis berdasarkan pengalamannya selama mempraktikkan pendekatan konseling realita selama menjadi konsultan psikiater di lembaga rehabilitasi kenakalan remaja. Perkembangan saat ini, pendekatan konseling realita sudah diterapkan dalam berbagai setting: lembagai pendidikan di berbagai tingkat, rehabilitasi anak nakal, maupun lembaga bisnis.

Kontributor besar, dalam perkembangan pendekatan konseling realita, adalah Wubbolding. Beliau memberikan kontribusi yang besar, terutama dengan menyajikan sistem WDEP dalam melaksanakan konseling realita.

2) Konsep Dasar Konseling Realita

a) Hakikat Manusia 

Pendekatan konseling realitas tidak meyakini bahwa perilaku manusia dikendalikan oleh sesuatu dari luar dirinya atau lingkungan. Manusia terlahir dengan membawa kebutuhan dasar tertentu. Kemudian, melalui  kemampuan mengendalikan dirinya,  mereka  bertindak  untuk memenuhi kebutuhannya tersebut.

Wubbolding (1995) merangkum pandangan konseling realitas tentang hakekat manusia sebagai berikut:

(1) Manusia  terlahir  dengan  lima  kebutuhan  dasar,  yaitu  kebutuhan bertahan (survival), kebutuhan mencintai dan memiliki (love and belonging), kebutuhan  kekuasaan (power), kebutuhan  kebebasan (freedom/independence), dan kebutuhan kesenangan (fun). Kebutuhan- kebutuhan tersebut bersifat universal. Pola pemenuhan kebutuhan tersebut unik pada setiap individu, tetapi kebutuhan tersebut merupakan sumber motivator bagi setiap individu.

(2) Perbedaan antara apa yang diinginkan dengan persepsi tentang apa yang diperoleh merupakan sumber utama dalam bertindak pada suatu peristiwa. Pandangan ini memberikan makna bahwa perilaku ditentukan oleh motivasi internal keinginan dan persepsi tentang yang diperoleh dan bukan motivasi eksternal sebagaimana yang diyakini oleh pandangan behavioral. Keinginan dan persepsi tentang yang diperoleh bukan berasal dari ketidaksadaran maupun pengalaman konflik di masa kanak-kanak melainkan sesuatu yang disadari. Keinginan dan persepsi tentang yang diperoleh merupakan pendorong terjadinya perilaku. 

(3) Semua  perilaku  manusia  dibentuk  oleh  tindakan  (acting),  pikiran (thinking), perasaan (feeling) dan kondisi fisiologis (physiology). Keempat hal pembentuk perilaku tersebut merupakan perilaku keseluruhan (total behavior). Ketika individu marah, misalnya, maka kemarahan tersebut terejawantahkan dalam tindakan memukul meja dan membentak; pikiran yang menganggap bahwa individu yang menjadi objek marah itu salah dan patut untuk dimarahi atau dihukum; perasaan marah, kesal dan kecewa yang meledak-ledak; dan kondisi fisiologis  yang berupa  wajah  memerah,  mata  melotot,  dan  detak jantung yang meningkat.

Perilaku manusia berasal dari dalam diri; karenanya manusia harus bertanggungjawab atas segala perilakunya. Manusia memiliki kemampuan untuk membuat pilihan. Melalui kemampuan memilih 

(4) manusia     dapat     menciptakan     perubahan     perilaku—perilaku keseluruhan (tindakan, pikiran, perasaan, dan fisiologis)—baik perubahan pada perilaku yang lebih efektif ataupun perilaku yang destruktit atau merusak. Hal yang melekat dengan kemampuan memilih adalah tanggung jawab. Pada setiap peristiwa, manusia dapat membuat pilihan dan pada saat yang sama juga dihadapkan pada tanggung jawab atas pilihan yang dibuatnya.

(1) Manusia  melihat  dunia  melalui  sistem  perseptual.  Manusia  tidak memiliki kapasitas ini untuk melihat kehidupan ini secara objektif atau apa adanya. Manusia hanya mampu mempersepsi kehidupan atau dunia. Pola persepsi tingkat rendah berupa pengenalan objek atau peristiwa, tetapi tidak membuat penilaian atas pengenalan tersebut. Pola persepsi tingkat tinggi berupa pemberian penilaian positif atau negatif atas suatu hal.

b) Struktur Kepribadian

Keseluruhan tindakan manusia pada dasarnya merupakan suatu bentuk upaya pemenuhan kebutuhan dasar. Suatu tindakan terkadang diarahkan untuk memenuhi satu macam kebutuhan dasar, terkadang diarahkan untuk memenuhi beberapa macam kebutuhan dasar sekaligus. Pergi makan di rumah makan ber’merk’, misalnya, tindakan tersebut seringkali tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan survivenya saja melainkan sering didasari keinginan memenuhi kebutuhan dasar lainnya.

Oleh karena individu selalu bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, maka tindakan tersebut dapat dikategorikan pada dua identitas, yaitu identitas gagal dan identitas berhasil (Hansen, Stevic & Warner, 1982). Kecenderungan identitas berhasil maupun gagal dalam memenuhi kebutuhan dapat dilihat dari 3 kriteria, yaitu tanggung jawab (responsibility), realitas (reality), dan norma (right). 

Responsibility merupakan kemampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya tanpa mengganggu hak-hak orang lain. Reality merupakan kesediaan individu untuk menerima konsekuensi logis dan alamiah dari suatu perilaku. Right merupakan nilai atau norma patokan sebagai pembanding untuk menentukan apakah suatu perilaku benar atau salah. Individu memiliki pola identitas berhasil jika dalam upaya memenuhi kebutuhan dasarnya senantiasa selaras dengan kriteria 3 R, tetapi jika tindakan individu melanggar kriteria 3 R maka dia memiliki pola identitas gagal. Identitas berhasil inilah yang biasanya berkembang pada individu yang adaptif. 

c.) Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Pendekatan konseling realita  meyakini bahwa tindakan manusia merupakan hasil dari pilihan yang dibuatnya. Implikasi dari pilihan adalah adannya konsekuensi. Oleh karena itu, ketika individu membuat pilihan maka diharapkan dia mampu membuat pilihan yang bertanggungjawab— kemampuan untuk memilih tindakan yang akan dilakukan untuk memenuhi kebutuhannya tanpa menghalangi orang lain untuk memenuhi kebutuhannya (Fall, Holden & Marquis, 2004). Seseorang yang berkeinginan untuk memenuhi kebutuhan mencintainya, misalnya, diharapkan jangan sampai menghalangi kebutuhan orang yang dicintainya dalam memenuhi kebutuhan pribadinya. Jika mencintai membuat dia menghalangi orang lain memenuhi kebutuhan pribadinya maka  pilihan  yang  dibuat  untuk  memenuhi  kebutuhan mencintainya merupakan  pilihan  yang  tidak  dapat  dipertanggungjawabkan. Dalam kondisi inilah biasanya penyesuaian yang sehat sulit untuk dicapai.

Lebih tegasnya, jika dikaitkan identitas, maka individu memiliki kesehatan mental yang bagus kalau mereka mengembangkan identitas berhasil. Pribadi salah suai terjadi ketika individu tidak mampu mengarahkan perilakunya dalam memenuhi kebutuhannya berdasarkan prinsip tanggung jawab (responsibility), kenyataan (reality), dan norma (right) (Hansen, Stevic & Warner, 1982).

Tujuan dan Proses Konseling

a.  Tujuan Konseling

Tujuan utama pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan (connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain guna mendorong pencapaian quality world (Corey, 2005; Wubbolding, 2007). Individu yang bermasalah pada umumnya berusaha memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang Cara-cara tersebut kemudian seringkali membawa dia  pada kualitas hubungan dia dengan orang lain yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, seorang siswa yang suka membolos karena merasa sekolah tidak penting sebab orangtua tidak  pernah menghargai usaha belajarnya. Akhirnya, siswa tersebut merasa bahwa belajar bukan merupakan cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhannya (setidaknya kebutuhan untuk mendapat perhatian atau kasih sayang dari orangtuanya) dan kemudian mengembangkan perilaku membolos karena dianggapnya sebagai cara yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (membolos bisa mendapat banyak teman). Konseling realita, dalam kaitannya dengan contoh tadi, berkepentingan untuk mendorong individu mencapai identitas berhasil.

b. Peran dan Fungsi Konselor

(1) Peran  Peran  dan  Fungsi  Konselor  dalam  Seting  Konseling Individu

(a) Mengembangkan kondisi fasilitatif dalam konseling dan hubungan baik dengan klien. Kondisi fasilitatif dalam konseling merupakan bagian integral dari prosedur konseling dan memiliki makna yang sama pentingnya dengan prosedur konseling (lihat Wubboolding,

2007, 1995). Oleh karena itu, konselor dituntut untuk mampu menciptakan kondisi konseling yang kondusif guna melandasi implementasi prosedur  konseling.  Tanpa  terciptanya  hubungan fasiltatif dalam konseling, implementasi prosedur konseling tidak memiliki landasan yang tepat dan konseling menjadi tidak efektif.

(b) Mengajarkan  klien  untuk  mengevaluasi  perilakunya,  misalnya dengan bertanya, “Apakah perilaku Anda (atau  nama) saat ini membantu Anda untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan Anda?” Evaluasi perilaku merupakan bagian yang sangat penting untuk mendorong konseli membuat pilihan-pilihan baru yang lebih efektif guna memenuhi kebutuhan dasarnya.

(c) Menyampaikan  dan  meyakinkan  kepada  klien  bahwa  seburuk apapun suatu kondisi masih ada harapan. Makna dari teori pilihan (choice theory) adalah adanya suatu harapan dalam setiap tindakan dan kejadian.

Melihat setiap peristiwa dari perspektif teori pilihan menampakkan kenyataan bahwa segala sesuatu tidak terjadi secara mekanistis melainkan suatu produk dari pilihan.

2) Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling Kelompok

Tugas dasar konselor adalah melibatkan diri dengan konseli dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser (1965) merasa bahwa, ketika konselor menghadapi para konseli, dia memaksa mereka itu untuk memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh "jalan yang bertanggung jawab". Konselor sebagai pemimpin kelompok tidak membuat pertimbangan- pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para anggota kelompok, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas konselor adalah bertindak sebagai pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis. 

Konselor sebagai pemimpin kelompok diharapkan memberikan pujian apabila para anggota kelompok bertindak dengan cara yang bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila mereka tidak bertindak demikian. Para konseli membutuhkan tipe penilaian semacam itu. Menurut Glasser (1965, him. 28), konselor harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungannya dengan konseli. Konselor harus mengajari konseli bahwa tujuan terapi tidak diarahkan kepada kebahagiaan. Konselor realitas berasumsi bahwa konseli bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu, konselor tidak menerima pengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan konseli menyalahkan apapun atau siapa pun di luar dirinya atas ketidakbahagiaannya pada saat sekarang. Tindakan yang demikian akan melibatkan konseli dalam "kenikmatan psikiatrik" yang segera akan hilang dan mengakibatkan penyesalan. 

c. Pengalaman Konseli

Para konseli dalam konseling realitas bukanlah orang-orang yang telah belaiar menjalani kehidupan secara bertanggung jawab, melainkan orang-orang yang termasuk tidak bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak realistis, dan tidak bertanggung jawab, tingkah laku para klien itu masih merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasar mereka akan cinta dan rasa berguna. Tingkah laku mereka itu pun merupakan upaya untuk memperoleh identitas meskipun boleh jadi "identitas kegagalan". Perhatian terapeutik diberikan kepada orang yang belum belajar atau kehilangan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bertanggung jawab.

Para konseli diharapkan berfokus kepada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka. Konselor menantang para konseli untuk memandang secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku mereka dalam mencapai tujuan- tujuan. Karena para konseli bisa mengendalikan tingkah lakunya lebih mudah daripada mengendalikan perasaan-perasaan dan pikirannya, maka tingkah laku mereka itu menjadi fokus  terapi.  Jika  seorang konseli  mengeluh bahwa dirinya merasa cemas, konselor bisa bertanya kepada klien, "Apa yang Anda lakukan untuk membuat diri sendiri cemas?" Fokusnya bukanlah perasaan cemas, melainkan membantu konseli agar memperoleh kesadaran atas apa yang dilakukannya sekarang yang menjadikan dirinya cemas. Pemeriksaan dan evaluasi atas apa yang dilakukan oleh konseli secara berkesinambungan dilakukan selama terapi. 

Setelah para konseli membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil. Para konseli harus membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana ini; tindakan menjadi keharusan. Mereka tidak bisa menghindari komitmen dengan mempersalahkan, menerangkan, atau memberikan dalih. Mereka harus terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak-kontrak terapi mereka sendiri secara bertanggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan. 

d. Tahapan Konseling

Prosedur pendekatan konseling realitas dilaksanakan dalam sistem WDEP (lihat Corey, 2005, 2009; Seligman, 2006; Wubbolding, 2007,

1995). Setiap huruf dari WDEP mengacu pada kumpulan strategi: W = wants and needs (keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan), D = direction and doing (arah dan tindakan), E = self evaluation (evaluasi diri), dan  P  =  planning  (perencanaan). Bahasan  berikut  diarahkan  untuk menguraikan  sistem  WDEP  yang  dikembangkan Wubbolding  (2007, 1995).

Wubbolding (Nystul, 2006, Seligman, 2006) sebagai seorang jurubicara terkemuka konseling realitas mengemukakan prosedur konseling realitas dengan sistem WDEP. Sistem tersebut terdiri atas empat  tahap  yaitu  wants  (keinginan), doing  (melakukan), evaluation (penilaian), dan planning (merencanakan). W berarti keinginan, kebutuhan, dan persepsi konseli. Pada tahap W, konselor mengidentifikasi apa yang diinginkan konseli dalam kehidupan dengan mengajukan pertanyaan seperti ”Apa yang kamu inginkan?” (dari belajar, keluarga, teman-teman, dan lain-lain). D berarti apa yang dilakukan konseli dan  arah yang dipilih dalam hidupnya. Pada tahap tersebut, konselor  membantu  konseli  mengidentifikasi apa  yang  dilakukannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan dengan mengajukan pertanyaan antara lain ”Apa yang kamu lakukan?” dan mengidentifikasi arah hidupnya dengan   mengajukan   pertanyaan ”Jika kamu terus menerus melakukan apa yang kamu lakukan sekarang, akan ke mana kira-kira arah hidupmu?” E berarti melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan akhir-akhir ini. Pada tahap ini, konselor membantu konseli melakukan penilaian diri untuk menentukan keefektivan apa yang dilakukan bagi  pencapaian kebutuhannya. Untuk  itu,  konselor dapat menggunkan pertanyaan antara lain ”Apakah yang kamu lakukan akhir- akhir ini dapat membantumu memenuhi keinginanmu? P berarti membuat rencana perubahan perilaku. Pada tahap ini, konselor membantu konseli merencanakan pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab bagi pencapaian kebutuhannya. 

Perencanaan dibuat berdasarkan hasil evaluasi perilaku pada tahap sebelumnya. Dalam tahap tersebut, konselor dapat mengajukan pertanyaan misalnya, ”Apa yang akan kamu lakukan agar dapat memenuhi keinginanmu?” Agar rencana tersebut efektif maka perencanan tindakan yang dibuat berupa rencana yang sederhana, dapat dicapai, terukur, segera, dan terkendalikan oleh konseli.

e. Teknik Konseling

Teknik yang sering digunakan dalam pendekatan konseling realita menurut beberapa ahli (Burns, 2005; Ramli, 1994; Seligman, 2006; Sharf, 2004) adalah:

(1)  Metafora. Ungkapan konseli tidak selalu dapat diekspresikan dengan bahasa  langsung.  Terkadang  ungkapan-ungkapan semacam  itu akan lebih terwakili ketika konseli memanfaatkan metafora, perumpamaan, peribahasan dan analog. Teknik metafor digunakan ketika konseli memanfaatkan kiasan dalam mengekspresikan dirinya. Konselor, dalam implementasi teknik metafor, diharapkan mampu berkomunikasi dengan konseli pada tataran metafor. Ketika konseli mengungkapkan, “Jika dia mau meninggalkan saya, maka saya benar-benar sudah jatuh ketiban tangga…” misalnya, maka konselor dapat merespon dengan, “Apa yang Anda rasakan dengan jatuh yang Anda maksudkan?” Pembicaraan dalam teknik metafor ini sebenarnya diarahkan untuk menyamakan persepsi antara apa yang dirasakan konseli dengan apa yang dipahami konselor.

Konfrontasi. Ketika konseli tidak menjalankan rencana yang telah dibuatnya, konselor harus tidak diperkenankan untuk ‘memaafkan’ perilaku konseli tersebut. Pada satu sisi konselor dituntut untuk menolak alasan- alasan konseli karena tidak menjalankan program konseling, sementara di sisi lain konselor dituntut untuk mendorong konseli berpikir dan membuat rencana-rencana baru yang dapat dilaksanakannya. Hansen, Stevic dan Warner (1982) menyebut kondisi ini sebagai no excuses. Menanggapi kejadian semacam ini

(2)  konselor menggunakan teknik konfrontasi. Konselor menunjukkan kesenjangan: kesenjangan antara tindakan konseli dengan kebutuhannya, penerimaan konselor dengan tuntutan untuk melakukan perubahan dengan membuat rencana baru. Akhir dari konfrontasi selalu mengarah pada hal positif, bukan untuk menyalahkan konseli.

(3)  Teknik paradoksikal. Ada dua jenis teknik paradoksikal, yaitu:

(a) Reframe.  Teknik  reframe  dilakukan untuk  mendorong konseli untuk mengubah cara berpikirnya tentang suatu topik. Mengubah sudut pandang dari sisi negatif dari suatu peristiwa menjadi sudut pandang dari sisi positif. Melalui pengubahan cara berpikir ini bisa jadi sesuatu yang awalnya tidak disukai menjadi disukai, demikian pula sebaliknya.

(b) Paradoxical prescription. Teknik ini dilakukan dengan mendorong konseli untuk membayangkan hal yang paling buruk yang mungkin bisa terjadi serta mencari solusi untuk menghadapinya.

(4)  Pengembangan   keterampilan.   Pengajaran   merupakan   bagian penting dari konseling realita. Konselor dapat mengajarkan berbagai keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupan konseli, seperti keterampilan asertif, berpikir rasional, teknik pemecahan masalah, mengembangkan kecanduan positif (positive addiction).

(5) Renegosiasi. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya konseli terkadang berpikir untuk melakukan sesuatu yang selaras dengan identitas gagalnya. Menghadapi kondisi ini, konselor dapat menegosiasikan tindakan-tindakan berbeda yang selaras dengan prinsip-prinsip 3 R (responsibility, reality, and right).

(6)  Menggunakan kata kerja. Selaras dengan prinsip dari teori pilihan, maka konselor mendorong untuk selalu menggunakan kata kerja atas  setiap  apa  yang  dilakukan atau  dirasakan.  Ketika  konseli mengatakan, “Saya tertekan” misalnya, maka konselor mengajak konseli untuk mengatakan, “Saya memilih untuk menjadi tertekan.” 



Isrofin, Binti. 2019. Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunawan, Ph.D. 2019. Modul 2 Materi Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugiyo ; Amin Nurul Z. 2019. Modul 3 Perencanaan dan Evaluasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni Prafitra E. Modul 5 Strategi Layanan Responsif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni  Prafitra  E.  Modul  5  Strategi  Layanan  Responsif.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar