Tujuan dan Proses Konseling berorientasi Behavior



a)  Tujuan Konseling berorientasi Behavior

Secara umum tujuan konseling perilaku adalah menciptakan kondisi- kondisi baru bagi konseli untuk belajar perilaku adaptif (Corey, 2013). Hal ini mendasarkan pada asumsi bahwa semua tingkah laku dapat dipelajari, termasuk perilaku yang tidak sesuai atau maladaptif.

Mendasarkan dari hal yang dikemukakan oleh Corey (2013) maka konseling perilaku memiliki tujuan adalah meningkatkan pilihan pribadi dan menciptakan kondisi pembelajaran baru bagi konseli, dengan bantuan  dari  konselor,  mendefinisikan tujuan  khusus  di  luar proses konseling. Walaupun penilaian dan penanganan terjadi bersama-sama, penilaian formal terjadi sebelum penanganan untuk menentukan perilaku yang menjadi target perubahan. Penilaian kontinyu melalui terapi menentukan seberapa besar tujuan yang diidentifikasi dapat dicapai. Penting untuk mengukur kemajuan terhadap tujuan didasarkan pada validasi empiris.

Konseling perilaku kontemporer menekankan kepada peranan aktif konseli dalam memutuskan tentang penanganan mereka. Terapis membantu konseli memformulasikan tujuan spesifik yang dapat diukur. Tujuan harus jelas, kongkrit, dapat dipahami dan disetujui oleh konseli dan konselor. 

Proses menentukan tujuan konselingi ini berhubungan dengan negosiasi antara konseli dan konselor yang menghasilkan kontrak yang memandu pelaksanaan konseling. Konselor dan konseli mengubah tujuan melalui proses terapi ketika dibutuhkan. Krumboltz dalam Rosjidan (1994) menyatakan bahwa konseling behavioral hakikatnya merupakan suatu proses membantu individu untuk “belajar” memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu. Penekanan kata belajar dalam proposisi di atas adalah atas pertimbangan bahwa konselor membantu konseli belajar atau  mengubah tingkah lakunya. Konselor berperan dalam membantu proses belajar dengan menciptakan  kondisi yang sedemikian rupa sehingga konseli dapat memecahkan masalahnya dan mengubah tingkah lakunya. Selain itu Krumboltz mengajukan beberapa kriteria tujuan konseling behavioral, yaitu sebagai berikut: 
(1) tujuan konseling harus diinginkan oleh konseli dan dibuat berbeda untuk setiap konseli, 
(2) tujuan konseling untuk setiap konseli dapat dipadukan dengan nilai-nilai konselor konselor, meskipun tidak perlu identik, dan 
(3) tujuan konseling disusun secara bertingkat, dirumuskan dengan tingkah laku yang dapat diamati dan dicapai oleh konseli.

Dari spektrum karakteristik ini terindikasikan bahwa konseling perilaku secara konsisten memfokuskan kepedulian pada tingkah laku yang tampak. Tingkah laku yang tidak tampak dan bersifat umum harus dirumuskan kedalam jabaran tingkah laku yang lebih spesifik.

Dari uraian singkat di atas dapat dipahami bahwa tujuan konseling behavioral adalah mencapai kehidupan tanpa mengalami tingkah laku simtomatik, yaitu kehidupan tanpa mengalami kesulitan atau hambatan yang dapat menimbulkan ketidakpuasan dalam jangka panjang dan/atau mengalami konflik dengan kehidupan sosial. Corey (2013) menyatakan bahwa ada tiga fungsi tujuan konseling behavioral, yaitu: 
(1) sebagai refleksi masalah konseli dan dengan demikian sebagai arah bagi proses konseling, 
(2) sebagai dasar pemilihan dan penggunaan strategi konseling, dan 
(3) sebagai kerangka untuk menilai konseling. 

Secara operasional tujuan konseling behavioral dirumuskan dalam bentuk dan istilah-istilah yang khusus, melalui: 
(1) definisi masalah, 
(2) sejarah perkembangan konseli, untuk mengungkapkan kesuksesan dan kegagalannya, kekuatan dan kelemahannya, pola hubungan interpersonal, tingkah laku penyesuaian, dan area masalahnya, 
(3) merumuskan tujuan-tujuan khusus, dan 
(4) menentukan metode untuk mencapai perubahan tingkah laku.

Dari dimensi substansi, tujuan konseling behavior adalah membantu konseli untuk mendapatkan tingkah laku baru. Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku maladaptif. Tetapi tingkah laku pada hakikatnya terdiri atas proses penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang didalamnya respon-respon yang layak yang belum dipelajari. Dari tujuan diatas dapat dibagi menjadi beberapa sub tujuan yang lebih konkrit yaitu: (1) Membantu konseli untuk menjadi asertif dan mengekspresikan pemikiran- pemikiaran dan hasrat- hasrat ke dalam situasi yang membangkitkan tingkah laku asertif (mempunyai ketegasan dalam bertingkah laku). (2) Membantu konseli menghapus ketakutan-ketakutan yang tidak realistis yang menghambat dirinya dari keterlibatan persitiwa-peristiwa sosial. Membantu untuk mengelesaikan konflik batin yang menghambat konseli dari pembuatan pemutusan yang penting bagi hidupnya.

b) Peran dan Fungsi Konselor 


(1) Peran dan Fungsi Konselor dalam Seting Konseling Individu

Peran konselor dalam konseling behavior yaitu aktif, direktif dan menggunakan pengetahuan ilmiah guna menemukan solusi dan permasalahan individu. Konselor behavior biasanya berfungsi sebagai guru, pengarah dan ahli yang mendiagnosa tingkah laku maladaptive dan  menentukan prosedur yang  mengatasi persoalan tingkah  laku individu. Dalam proses konseling, konseli yang menentukan tingkah laku apa (what) yang akan diubah, sedangkan konselor menentukan cara yang digunakan untuk mengubahnya (how) (Corey, 1986).

Konselor juga sebagai model bagi konselinya. Hal ini didasarkan pada suatu   keyakinan   bahwa   salah   satu   proses   fundamental   yang memungkinkan konseli dapat mempelajari tingkah laku baru adalah factor imitasi, atau percontohan social (social modeling) yang ditampilkan oleh konselor. Aspek yang dicontoh konseli dari konselor antara lain sikap, nilai, kepercayaan dan tingkah laku. 

(2) Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling Kelompok

Menurut Natawijaya (2009), sampai begitu jauh konselor kelompok dengan pendekatan perilaku ini mempunyai fungsi mengajar, karena pendekatan perilaku itu dipandang sebagai model kependidikan. Para konselor kelompok diharapkan berperan aktif dan direktif dalam kelompoknya dan menerapkan pengetahuannya mengenai prinsip- prinsip perilaku dan ketrampilan untuk memecahkan masalah. Jadi, mereka selalu melihat dan mengamati perilaku setiap anggota kelompok secara teliti untuk menentukan kondisi yang berhubungan dengan masalah tertentu dan kondisi lingkungan yang dapat memperlancar perubahan perilaku.

Dalam mendiskusikan belajar sosial yang terjadi dalam konseling melalui pemberian contoh dan peniruan, Bandura (Natawijaya, 2009) mengemukakan bahwa kebanyakan dari kegiatan belajar yang berlangsung melalui pengalaman langsung dapat  pula diperoleh melalui pengamatan perilaku orang lain. Menurut Bandura, salah satu dari proses-proses yang fundamental yang memungkinkan konseli mempelajari perilaku baru adalah peniruan terhadap contoh perilaku sosial yang diberikan dalam konseling. Oleh karena itu, konselor kelompok harus selalu sadar akan dampak dari nilai-nilai, sikap-sikap, dan perilakunya terhadap kelompok yang dipimpinnya. Apabila mereka tidak sadar akan kekuatan mereka sendiri dalam mempengaruhi dan membentuk cara berperilaku konseli-konselinya, maka sebenarnya mereka menyangkal pentingnya pengaruh mereka sebagai manusia didalam proses terapeutik. 

Fungsi-fungsi  yang  seyogyanya  diterapkan  oleh  konselor  kelompok  dengan pendekatan perilaku ini adalah:

(a) Melakukan  wawancara  dengan  calon  anggota  kelompok  pada pertemuan pertama sebagai bahan penilaian awal  dan  orientasi kepada calon anggota
(b) Mengajar  para  peserta  tentang  proses-proses  kelompok  dan mengenai cara bagaimana memperoleh manfaat sebanyak- banyaknya dari kelompok
(c) Melaksanakan  penilaian  dan  assessment  yang  terus  menerus terhadap masalah setiap anggota kelompok. Assesment itu dilakukan dengan menggunakan wawancara, tes dan inventori, diskusi kelompok. Sambil melakukan assessment itu, konselor membantu para nggota menemukan sasaran perilaku yang akan diubah, dan dengan cara itu, maka kegiatan kelompok menemui arahnya. Assessment itu mencakup rangkuman mengenai kekuatan, minat dan prestasi setiap anggota kelompok, demikian pula rangkuman tentang perilaku anggota yang ingin diubahnya.
(d) Membantu para anggota kelompok untuk mengembangkan tujuan pribadi dan tujuan kelompok secara khusus.
(e) Memilih  secara  tepat  teknik-teknik  yang  sangat  banyak  untuk dirancang dalam mencapai tujuan-tujuan para anggota kelompok yang dinyatakan dalam kelompok.
(f) Bertindak sebagai model perilaku dan nilai-nilai yang tepat. Melalui permainan peranan, konselor kelompok juga mempersiapkan dan melatih para anggota kelompok untuk menjadi model bagi rekan- rekan sekelompoknya mengenai bagaimana sesorang sebaiknya merespon dalam situasi tertentu.
(g) Mengajar para anggota kelompok, bahwa mereka bertanggungjawab untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan kelompok dan untuk menerapkan perilaku baru diluar kelompok konseling
(h) Membantu  para  anggota  kelompok  mempersiapkan  berakhirnya kegiatan kelompok.

Di  samping itu,  konselor kelompok mempunyai tugas  untuk mengajar para    anggota    kelompok    melakukan   penilaian    diri, membentuk keeretan hubungan dalam kelompok, dan mengubah ciri- ciri kelompok.

Konselor kelompok, harus selalu peka terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam kelompok, terutama apabila masalah yang dihadapi para anggota kelompok tampak meningkat. Untuk ini konselor harus selalu mengumpulkan data tentang hal-hal yang terjadi dalam kelompoknya, termasuk penyelesaian tugas oleh para nggota, partisipasi anggota, dan kehadirannya dalam kegiatan kelompok. Itu semua dapat dijadikan bahan untuk menentukan masalah yang muncul selama kegiatan kelompok. Secepat permasalahan itu ditemukan dan diterima sebagai masalah oleh anggota-anggota kelompok, maka permasalahan itu segera dapat ditangani dengan menggunakan prosedur pemecahan masalah yang sistematik.

Ada juga pendapat bahwa seyogyanya konselor kelompok secara berangsur-angsur mengarahkan kegiatan kelompoknya menjadi lebih tidak terstruktur, yaitu apabila dia telah melihat kemajuan dalam kegiatan kelompok itu. dalam hal ini para anggota kelompok diberi kesempatan untuk bertindak sebagai pemimpin diskusi, mitra terapeutik, dan menjadi model bagi rekan lainnya untuk meningkatkan ketrampilan pengelolaan dirinya. Juga, apabila konselor telah melihat kemajuan, pada situasi dan waktu yang tepat, dia dapat mendelegasikan  beberapa  peranannya  kepada  anggota  kelompok tertentu.

Peranan  hubungan  terapeutik  dalam  proses  kelompok. Ada sementara pendapat bahwa pendekatan perilaku itu tidak menyentuh pribadi individu dan secara bersifat mekanis-manipulatif. Sesungguhnya, apabila diperhatikan berbagai tulisan ternama mengenai pendekatan ini akan tampak bahwa pendapat itu tidak tepat benar. Wolpe (1969) misalnya, menandaskan bahwa hubungan pribadi yang  baik  antara  konselor  dengan  konseli  merupakan unsur  yang sangat  penting  yang  mempengaruhi  proses  terapeutik.  

Walaupun demikian perlu diakui bahwa masalah hubungan terapeutik ini bukanlah unsur yang menentukan bagi keberhasilan konseling dalam pendekatan perilaku. Sebagian besar para konselor kelompok perilaku mengakui bahwa unsur-unsur seperti kahangatan, keaslian dan empati adalah diperlukan dalam proses konseling, tetapi tidak merupakan kondisi yang cukup lengkap bagi terjadinya proses perubahan perilaku yang diinginkan.

Konselor memerlukan ketrampilan, dia harus tahu teknik-teknik mana yang tepat untuk digunakan, dan dia harus mampu menentukan pengaruh dari prosedur tereutik yang digunakannya. Dia harus menjadi teknisi yang terampil yang juga memiliki kualitas manusiawi yang mengarah kepada iklim yang penuh kepercayaan dan perhatian untuk penggunaan yang efektif dari teknik-teknik yang dikuasainya. Proses terapeutik akan meningkat apabila dalam kelompok terdapat suasana manusiawi dari pihak konselor, seperti kemampuan untuk membujuk, kemampuan untuk menciptakan harapan yang positif terhadap konseling dan terhadap perubahan perilaku dan perasaan, kepekaan dan kehangatan dan kesediaan untuk terlibat dalam pengungkapan diri yang  relevan. Kemampuan- kemampuan manusiawi itu  merupakan fungsi konselor dalam mempersiapkan konseli untuk melakukan perubahan perilaku dalam rangka konseling kelompok.

Memang ada konselor tertentu yang memilih pendekatan perilaku ini  hanya karena pendekatan ini  memberikan kesempatan kepadanya untuk bertindak aktif, direktif dan mengandalkan kemampuan dan penguasaan terhadap teknik konseling. Mereka itu pada umumnya tidak  terlalu mempedulikan kondisi manusiawi dari pihak konselor. Ini semua tidaklah berarti bahwa pendekatan perilaku itulah yang  tidak  memperhatikan kondisi manusiawi itu.  Itu  adalah pandangan konselor yang bersangkutan bukan pandangan inti dari pendekatan perilaku. Yang benar yaitu bahwa pendekatan ini lebih menekankan soal teknik terpeutik dan menggunakan kondisi manusiawi itu sebagai pendukung keberhasilan penggunaan teknik itu. Semua teknik terapeutik akan efektif jika dilandasi kondisi yang manusiawi 

c)  Pengalaman Konseli


Konseli secara aktif terlibat dalam pemilihan dan penentuan tujuan serta memiliki motivasi untuk berubah dan bersedia bekerjasama dalam melaksanakan kegiatan konseling. Peran penting konseli dalam konseling adalah konseli didorong untuk bereksperimen dengan tingkah laku baru yang bertujuan untuk memperluas perbendaharaan tingkah laku adaptifnya serta dapat menerapkan perilaku tersebut dalah kehidupan sehari-hari.

Dalam pendekatan behavior, konseli belajar suatu keterampilan konkret melalui nstruksi, pemodelan, dan umpan balik kinerja. Konseli secara bersama- sama konselor terlibat aktif dalam proses terapi. Selain itu, konseli juga belajar untuk menggeneralisasi dan mentransfer pembelajaran yang diperoleh dalam situasi terapi ke dalam situasi luar terapi (self directed dan self control).

d) Tahapan Konseling


Konseling behavioral hakikatnya merupakan suatu proses membantu individu untuk belajar memecahkan masalah interpersonal, emosional, dan keputusan tertentu. Hubungan antara konselor dengan konseli sangat tergantung kepada masalah yang dihadapi oleh konseli. Masalah yang pengentasannya  banyak  membutuhkan  latihan  akan  mengarahkan
konselor untuk lebih banyak berperan sebagai pelatih atau instruktur.
Prosedur Konseling Behavior :
(1) Pembinaan hubungan baik
(2) Identifikasi masalah (Asesmen)
(3) Merumuskan Tujuan (Goal Setting)
(4) Implementasi Teknik (Technique Implementation)
(5) Evaluasi    dan     Pengakhiran    (Evaluation    and
Termination)
Langkah-langkah dalam konseling behavioral bervariasi, tidak ada satu pola tertentu yang baku. Namun demikian proses konseling tersebut dibingkai oleh kerangka kerja untuk mengajar konseli dalam mengubah tingkah lakunya. Kerangka kerja konseling yang dimaksud sebagai berikut.

(1)   Pembinaan Hubungan Konseling

Konselor membina hubungan baik dengan konseli melalui penerimaan kondisi   konseli   apa   adanya   sebagai   individu berharga,   penampilan diri konselor secara tulus di hadapan konseli, dan memahami kondisi konseli secara empatik.

(2)   Identifikasi masalah ( Asesmen)

Dalam tahap konselor membantu konseli untuk mengemukakan keadaan yang benar-benar dialaminya terkait dengan masalah yang ia alami. Secara khusus pada tahapan ini konselor menggali informasi tentang masalah konseli dan menentukan hakikat masalah konseli, yang kemudian menentukan data dasar masalah konseling: frekuensi, lamanya, intensitasnya. Asesmen diperlukan untuk memperoleh informasi model mana yang akan dipilih sesuai dengan tingkah laku yang ingin diubah. Kanfer dan Saslow dalam Rosjidan (1994), mengemukakan bahwa ada enam hal yang perlu diidentifikasi dalam tahap asesmen, yaitu:

(a) Menganalisis perilaku yang bermasalah yang dialami konseli saat ini.
(b)  Menganalisis   situasi   atau   peristiwa   yang   mengawali perilaku  dan  yang  mengikuti  perilaku  tersebut  ( antesedent dan consequence ).
(c)   Menganalisis motivasi konseli dalam melakukan perilaku- perilaku yang khas ( anecdot) sehari- hari terkait dengan masalah yang dialami  konseli.
(d)  Menganalisis pengendalian diri pada konseli ( self-control) terkait dengan bagaimana t ingkatan pengendalian diri konseli terhadap perilaku bermasalahnya. Selain itu, menganalisis bagaimana konseli melatih  k endali diri  dan bagaimana dampaknya selama  ini.
(e) Menganalisis   hubungan    sosial    konseli    dengan mengidentifikasi    sejumlah    orang -orang    dekat    atau berpengaruh ( significant other ) yang memiliki hubungan dan berkontribusi terhadap permasalahan konseli.
(f)   ) Menganalisis  lingkungan  fisik  sosial-  budaya  konseli.

Hal ini terkait dengan mendasarkan atas kaidah atau norma- norma yang ada dalam lingkungan  konseli.
Pada tahap asesmen ini, konselor melakukan analisis ABC
Data tingkah laku ini menjadi data awal ( baseline data) yang akan dibandingkan dengan data tingkah laku setelah intervensi
C = Consequence (konsekuensi atau akibat perilaku tersebut) Contoh:
A = Terlambat bangun pagi
B = Terlambat masuk sekolah 40 menit setelah jam belajar pertama dimulai, sebanyak 8 kali dalam sebulan
C = Tidak mengikuti pelajaran jam pertama, kurang memahami materi pelajaran pada jam pertama

(3) Merumuskan Tujuan ( Goal setting)

Pada tahap ini  konselor melakukan langkah untuk merumuskan tujuan konseling. Berdasarkan data dasar dari tahap identifikasi masalah, maka konselor bersama konseli menetapkan tujuan konseling secara spesifik. Tujuan spesifik merujuk pada tujuan operasional atau realistik dan positif (dapat dilakukan oleh konseli dan kemungkinan manfaat maupun kerugiannya serta mengarah pada perubahan yang dikehendaki  sesuai  hasil  konseling),  terukur  (measurable)  dan tingkah lakunya dapat diamati (observable) Berdasarkan informasi yang diperoleh dari langkah asesmen dilakukan analisis. Dalam hal ini konselor dan konseli menyusun poin-poin penting untuk merumuskan tujuan yang ingin dicapai dalam konseling. Umumnya tahap merumuskan tujuan juga memberikan motivasi dalam mengubah tingkah laku konseli dan menjadi pedoman teknik mana yang akan digunakan. Fase goal setting terdiri dari tiga langkah:

(a) Membantu konseli memandang masalahnya atas  dasar tujuan yang diinginkan
(b) Memperhatikan        tujuan        konseli        berdasarkan kemungkinan hambatan- hambatan situasional tujuan belajar yang dapat diterima dan dapat  diukur
(c) Memecahkan tujuan ke dalam sub tujuan dan menyusun tujuan menjadi susunan yang berurutan

(4)   Implementasi Teknik ( Technique Implementation )

Pada tahapan ini konselor melakukan curah pendapat (brainstroming) bersama konseli untuk menentukan dan melaksanakan strategi atau teknik pengubahan perilaku yang akan digunakan untuk mencapai tingkah laku yang diinginkan (tingkah laku yang berlebihan dan perlu dikurangi/ excessive maupun perilaku minimal yang perlu ditingkatkan/ deficit) dan menjadi tujuan konseling. Konselor menentukan teknik sesuai tujuan dan masalah yang dialami konseli. Konselor memfokuskan bantuan kepada konseli untuk mempelajari sekaligus mengaplikasikan strategi pengubahan perilaku yang didasarkan pada prinsip-prinsip belajar agar didapatkan perilaku yang diinginkan dan efektif. Dalam implementasi teknik, konselor membandingkan perubahan tingkah laku antara baseline data dengan data intervensi.

(5) Evaluasi dan Pengakhiran ( Evaluation and Termination ) 

Konselor melakukan kegiatan penilaian apakah kegiatan konseling
yang telah dilaksanakan mengarah dan mencapai hasil sesuai dengan tujuan konseling. Evaluasi dilakukan atas dasar perilaku yang telah diperbuat konseli. Tingkah laku konseli digunakan sebagai dasar untuk mengevaluasi efektivitas konselor dan efektivitas tertentu dari teknik yang digunakan. Secara khusus konselor melakukan evaluasi perbandingan antara perilaku setelah konseling dengan data dasar sebelum konseling. Setelah dilakukan evaluasi maka dilanjutkan dengan pengakhiran (termination). Terminasi lebih dari sekedar mengakhiri konseling. Dalam hal ini pengakhiran meliputi:

(a)   Menguji apa yang konseli lakukan terakhir,
(b) Mengeksplorasi  kemungkinan kebutuhan
(c) konseling tambahan, Membantu   konseli   mewujudkan apa   yang   dipelajari dalam  proses  konseling  ke  tingkah  laku  sehari-  hari konseli,
(d) Membantu    konseli    untuk    memantau    secara kontinyu perilakunya.
Selain itu, dalam tahap ini konselor juga memberikan dan menganalisis umpan balik untuk memperbaiki dan meningkatkan proses konseling. Konselor dan konseli mengevaluasi implementasi dari teknik yang sudah dilakukan, serta menentukan kesepakatan lamanya intervensi dilakukan hingga tingkah laku yang diharapkan menetap.

e) Teknik Konseling


Teknik konseling behavior terdiri dari dua macam yaitu: (1) teknik untuk meningkatkan tingkah laku seperti penguatan positif, token economy, pembentukan tingkah laku (shaping), pembuatan kontrak (contingency contracting) serta  (2)  teknik  untuk  menurunkan tingkah  laku  seperti penghapusan (extinction), time-out, pembanjiran (flooding), penjenuhan (satiation), hukuman (punishment), terapi aversi (aversive therapy), dan desensitisasi sistematis. 

(1)    Teknik untuk Meningkatkan Tingkah  Laku

(a)    Penguatan Positif ( Positive Reinforcement )
Adalah pemberian penguatan yang menyenangkan setelah tingkah laku yang diinginkan ditampilkan agar tingkah laku yang diinginkan cenderung akan diulang, meningkat dan menetap di masa akan datang. Reinforcement positif yaitu kejadian atau segala sesuatu yang dapat  membuat  tingkah  laku  yang  diinginkan  berpeluang diulang karena bersifat disenangi. Penguatan positif berbeda dengan penguatan negative (negative reinforcement) karena cara menghilangkan kebiasaan aversive stimulus (negative reinforcement) dilakukan agar tingkah laku yang tidak diinginkan berkurang dan tingkah laku yang diinginkan dapat meningkat.

Reinforcement negatif, yaitu kejadian atau sesuatu yang membuat tingkah laku yang dikehendaki berpeluang kecil untuk diulang. Reinforcement dapat bersifat tidak menyenangkan atau tidak memberi dampak pada perubahan tingkah laku tujuan.

Tabel Contoh reinforcement positif dan negatif

Aplikasi

Tingkah laku

Konsekuensi

Kemungkinan efek

Reinforcement

 

positif

Membersihkan

 

kamar tidur

Orang tua memuji

Akan terus

 

membersihkan kamar tidur

Reinforcement

 

negatif

Mengeluh karendi sekolah adteman yanmemukul        dan tidak mau masusekolah

Orang tumengijinkatidak masusekolah

Akan teru tidamasuk sekolah

 

 




















1. Primary   reinforcer   atau   uncondition   reinforcer   : reinforcement yang langsung dapat dinikmati, contohnya makanan dan minuman 

2.  Secondary     reinforcer     atau     condition     reinforcer , contohnya uang, senyuman, pujian, medali, pin, hadiah, kehormatan

3. Contingency   reinforcement   :   tingkah   laku   tidak menyenangkan dipakai sebagai syarat untuk melakukan tingkah laku menyenangkan contohnya mengerj akan PR dulu sebelum nonton TV. Reinforcement ini efektif untuk modifikasi perilaku.

Langkah pemberian penguatan (reinforcement) adalah:

1.  Identifikasi masalah dengan analisis  ABC

2.  Memilih perilaku target yang ingin diubah

3.  Menetapkan data awal ( baseline) perilak u awal

4.  Memilih reinforcement yang bermakna

5.  Menentukan jadwal pemberian  reinforcemen

6.  Implementasi reinforcement positif 

Contoh Ilustrasi Masalah:

Boy sering terlambat masuk sekolah. Ibunya tidak berhasil membuat Boy untuk bersiap ke sekolah lebih cepat. Ibunya menyiapkan hadiah dengan mengatakan “kalau Boy siap berangkat sekolah tepat jam 6.20, maka akan mendapat hadiah mobil remote control”. Saat Boy bisa bersiap pukul

6.20, ibunya memberinya hadiah mobil remote control. Hal ini dilakukan beberapa  kali  sampai  terbentuk  perilaku  yang  diharapkan.  Jika dalam jangka waktu lama hadiah mobil remote control dihilangkan, Boy mungkin akan terlambat lagi.

Dari  ilustrasi  tersebut, perilaku baru  yang  muncul  semata-mata karena hadiah merupakan prinsip belajar “classical conditioning Pavlov”. Berbeda kondisinya jika menggunakan prinsip operant conditioning Skinner yang memberikan reinforcement saat anak secara mandiri dapat berperilaku  seperti yang  diharapkan.  Perilaku  baru  yang  muncul  akan cenderung menetap karena kesadaran muncul dari diri sendiri.

(b)    Kartu Berharga ( Token Economy )

Merupakan strategi pemberian reinforcement secara tidak langsung melalui penghargaan yang dapat ditukar di kemudian hari dengan sesuatu yang diinginkan konseli (token). Token economy mendasarkan pada prinsip penguatan operant conditioning Skinner. Token economy bertujuan mengembangkan perilaku adaptif melalui pemberian reinforcement dengan token. Ketika tingkah laku yang diinginkan telah cenderung menetap, pemberian token dikurangi secara bertahap. Pemilihan reinforcement disesuaikan dengan kebutuhan dan ketertarikan konseli. Langkah pengaplikasian token economy adalah: 

1.  Mengidentifikasi masalah dengan analisis ABC

2.  Menentukan perilaku target yang akan dicapai konseli

3.  Menetapkan besaran harga/ poin token yang sesuai perilaku target

4.  Menentukan waktu pemberian token kepada konseli

5.  Menetapkan perilaku awal dari program

6.  Memilih reinforcement yang sesuai bersama konseli

7.  Memilih tipe token yang digunakan misalnya bintang, stempel, kartu

8.  Mengidentifikasi pihak-pihak yang terlibat dalam program token economy seperti guru, staf sekolah, siswa, relawan, dan anggota token economy

9.  Menentukan jumlah dan frekuensi penukaran token misalnya  25-75 token per orang, dan menrun sampai 15-30 token perhari.

10. Membuat pedoman pelaksanaan token economy (perilaku mana yang   akan   diberikan   penguatan,   cara   memberi penguatan dengan token, waktu pemberian, banyaknya jumlah token yang bisa diperoleh, data apa saja yang harus dicatat, cara dan waktu pencatatan data, pihak yang berperan, dan prosedur evaluasi).

11.  Pedoman diberikan kepada konseli dan pihak yang terlibat

12.  Melakukan monitoring

(c)    Pembentukan Tingkah Laku ( Shaping)

Shaping merupakan pembentukan tingkah laku baru yang sebelumnya belum ditampilkan dengan memberikan reinforcement secara sistematik dan langsung setiap kali tingkah laku ditampilkan. Teknik ini dapat diterapkan pada anak autis yang tingkah laku motorik, verbal, emosional,  dan  sosialnya  kurang  adaptif  diberikan  reinforcement primer maupun sekunder. Langkah penerapan shaping yaitu:

1.     Mengidentifikasi masalah dengan analisis ABC

2. Menetapkan  target   perilaku   spesifik   yang  akan   dicapai bersama konseli

3.     Menentukan jenis reinforcement positif yang akan digunakan (pemberian penguatan segera dilakukan saat awal perilaku)

4. Membuat     perencanaan     dengan     menyusun     tahapan pencapaian perilaku mulai dari awal sampai akhir (misalnya membolos menjadi tidak membolos)

5. Perencanaan   dapat   dimodifikasi   selama   berlangsungnya program shaping

6. Penetapan waktu pemberian reinforcement pada setiap tahap program shaping (penguasaan perilaku target dapat dilakukan hingga beberapa kali percobaan).

(d)    Kontrak Perilaku ( Behavior Contract)

Kontrak perilaku merupakan strategi pengubahan perilaku dengan cara mengatur kondisi konseli berdasarkan kontrak antara konseli dan konselor. Syarat kontrak yang baik adalah: (1) kejelasan tentang hal- hal yang diharapkan dari kedua belah pihak (konselor dan konseli), (2) kejelasan dalam tingkat kemunculan tingkah laku dan ganjarannya, (3) kejelasan sistem monitoringnya, (4) kejelasan sistem sanksinya, (5) ada ketentuan tertulis, dan (6) kejelasan sistem bonus, terutama untuk kontrak jangka panjang. Langkah implementasi kontrak perilaku yaitu:

1.    Memilih tingkah laku yang akan diubah dengan analisis ABC

2. Menentukan data awal (baseline data) dari tingkah laku yang akan diubah

3.     Menentukan jenis reinforcement yang akan diberikan

4.     Memberikan reinforcement saat tingkah laku yang diinginkan ditampilkan sesuai jadwal kontrak dan apabila sudah menetap.

(e)    Modeling

Modeling didasarkan pada prinsip belajar sosial Bandura. Istilah yang digunakan untuk teknik ini adalah penokohan (modeling), peniruan (imitation), dan belajar melalui pengamatan (observational learning). Modeling menujukkan terjadinya proses belajar melalui pengamatan (observational learning) terhadap orang lain yang memberikan perubahan perilaku melalui peniruan (imitation). Modeling merupakan proses belajar melalui observasi dengan menambahkan atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan yang juga melibatkan proses kognitif.

Teknik ini dapat digunakan untuk membentuk tingkah laku baru pada konseli, dan memperkuat tingkah laku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada konseli tentang tingkah laku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau  lainnya  yang  teramati dan dipahami jenis tingkah laku yang hendak dicontoh (Sharf, 2012). Tingkah laku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat berupa pujian sebagai ganjaran sosial. Corey menjabarkan jenis meodeling menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Live models, pemokohan langsung kepada orang yang dikagumi sebagai model untuk diamati.

2.  Symbolic models, menggunakan penokohan dengan simbol dai film atau audio visual lain.

3. Multiple model, penokohan ganda  yang terjadi  dalam kelompok dimana seseorang anggota dari suatu kelompok mengubah sikap dan  dipelajari  suatu  sikap  baru  setelah mengamati bagaimana anggota- anggota lain dalam kelompok bersikap.

bandura   (dalam   Yusuf,   2009)   meyakini   bahwa   modeling melibatkan empat proses, yaitu:

1.  Attentional, yaitu proses dimana observer/individu menaruh perhatian terhadap perilaku atau penampilan model. Dalam hal ini sesorang cenderung memperhatikan model yang menarik, berhasil, atraktif, dan populer. Lebih jauh lagi Jones (2011) menyebutkan variabel dari attention adlah, karakteristik stimuli modeling (mencakup, ketersediaan, kekhasan, atraktivitas personal, nilai fungsional) dan karakteristik pengamat (mencakup, kapasitas sensorik, tingkat rangsang, kebiasaan perceptual, dan reinforcement sebelumnya)

2.  Retention, yaitu proses yang merujuk pada upaya individu untuk memasukkan infomasi tentang model, baik verbal maupun gambar dn imajinasi.

3.  Production, yaitu proses mengontrol tentang bagaimana anak dapat mereproduksi respons atau tingkah laku model. Kemampuan mereproduksi dapat berbentuk ketrampilan fisik atau kemampuan mengidentifikasi perilaku model.

4.  Motivational,  yaitu  proses  pemilihan  tingkah  laku  model. Dalam    proses    ini     terdapat    faktor    penting    yang mempengaruhinya, yaitu reinforcement dan punishment.

5. Vicarious Learning, yaitu proses belajar dengan cara mengobservasi consequence tingkah laku orang lain. Seseorang akan mengamati hal-hal yang menjadi akibat/konsekuensi yang didapat orang lain untuk diggunakannya sebagai patokan dalam berperilaku.

(2)    Teknik untuk Menurunkan Tingkah  Laku

(a)   Penghapusan (Extinction)

Penghapusan (extinction) adalah strategi pengubahan perilaku dengan cara menghentikan reinforcement pada tingkah laku yang sebelumnya diberi reinforcement. Langkah implementasi penghapusan (extinction) yaitu:

1. Menentukan tingkah laku yang akan dihentikan/ dihapus dengan analisis ABC

2.  Mengabaikan tingkah laku atau menghentikan pemberian reinforcement  ketika  tingkah  laku  yang  akan  dihentikan muncul

3.  Memberikan reinforcement positif saat tingkah laku yang akan dihentikan tidak muncul.

Contoh:

a. Saat anak menangis menjerit-jerit diabaikan, kemudian setelah anak diam menangisnya selama 10 detik-20 detik-1 menit lalu diberi penguatan positif

b. Setiap  kali  pulang  kantor  suami  mengeluh  tentang kemacetan lalu lintas. Istrinya kemudian mengatakan “kemacetan sudah umum terjadi di mana-mana dan masalah itu tidak akan selesai jika kita mengeluh. Lebih menyenangkan jika kita membahas hal lain. Tapi, jika suatu saat kamu komplain dan mengeluh lagi tentang kemacetan, akan saya abaikan.”

(b)   Time Out

Time out adalah strategi pengubahan perilaku dengan cara menyisihkan peluang individu untuk mendapatkan reinforcement positif. Teknik ini dapat digunakan di kelas, untuk siswa yang berperilaku tidak diharapkan perlu diasingkan atau dipindahkan dari siswa lain pada waktu tertentu dan terbatas. Langkah penerapan time out yaitu:

1.  Menyeleksi perilaku spesifik yang akan diubah

2. Memaksimalkan   situasi   untuk   munculnya  perilaku alternatif sehingga dapat diberi penguatan saat individu melakukan perilaku pengganti dari perilaku yang t idak diharapkan

3.  Mengidentifikasi di awal program penyebab munculnya perilaku yang mendapat hukuman sehingga dapat diminimalisir dan menghilangkan peluang munculnya penguatan perilaku yang t idak diharapkan

4.  Memilih hukuman yang efektif, dengan memastikan jika hukuman diberikan segera saat perilaku muncul dan setiap kali perilaku tersebut muncul t idak diberikan bersamaan dengan penguatan

5. Penerapan program dan hukuman dilakukan dengan aturan yang jelas, diadministrasikan secara jelas, dan dilakukan pemantauan.

Untuk lebih jelasnya, tipe time out dapat dicontohkan seperti:

a. Exclusionary  atau  ekslusi,  caranya  memindahkan individu dari    situasi    yang    memberi    peluang mendapat penguatan untuk waktu singkat ke dalam ruang time out. Contohnya: ketika ada siswa yang suka     mengganggu     temannya     saat    pelajaran berlangsung, siswa tersebut dipindahkan dari  ruang kelas misalnya di ruang perpustakaan atau ruangan lain.

b. Nonexclusionary ,   caranya   adalah   memindahkan individu untuk  beberapa waktu  pada situasi tertentu dengan dukungan penguatan. Contohnya: saat ada siswa yang mengganggu di kelas, guru memintanya untuk  berdiri  di  pojok  kelas  atau  tetap  duduk  di tempat  duduknya  tapi  tidak   boleh   berpartisipasi dalam kegiatan  kelas   dan  diabaikan guru selama beberapa saat, tetapi setelah itu boleh berpartisipasi lagi.

(c)   Pembanjiran (Flooding)

Flooding adalah teknik modifikasi perilaku dengan cara membanjiri konseli dengan kondisi atau penyebab kecemasan atau tingkah laku yang  tidak dikehendaki hingga konseli sadar bahwa sesuatu yang dicemaskan tidak terjadi. Teknik ini didasarkan prinsip Skinner dan sesuai untuk menangani kasus fobia. Teknik flooding berasumsi bahwa konseli  yang secara berulang- ulang dihadapkan pada suatu situasi penghasil kecemasan dan konsekuensi yang menakutkan ternyata tidak muncul, maka kecemasan akan menghilang. Penerapan teknik flooding harus hati-hati karena mungkin saja terjadi reaksi emosi sangat tinggi dari konseli. Langkah penerapan flooding yaitu:

1.  Menentukan stimulus yang memicu gejala

2.  Mengidentifikasi bagaimana gejala -gejala berkaitan dan bagaimana gejala tersebut membentuk perilaku

3.  Meminta konseli membayangkan sejelas - jelasnya apa yang dijabarkannya tanpa disertai celaan terhadap kepantasan situasi yang dihadapi

4. Konseli  membayangkan  sesuatu  yang  paling  ingin dihindarinya 

5.  Mengulang prosedur tersebut sampai  kecemasan t idak muncul lagi dalam diri  konseli.

Bagi konselor, untuk melakukan flooding cara yang dilakukan:

a. Invivo, caranya membawa konseli hadir pada situasi atau stimulus yang menimbulkan rasa takut dengan segera selama konseling berlangsung (disepakati durasi teknik flooding setiap   sesi  konseling). Contohnya: fobia    ketinggian diawali dengan mengajak konseli melihat ke jendela lantai 1, 2 dan seterusnya.

b. Imajeri,  caranya  meminta  konseli  membayangkan stimulus yang membuatnya cemas dan takut. Pengalaman konseli membayangkan tanpa  disertai akibat   dahsyat dapat menurunkan t ingkat rasa takutnyadan konseli siap menghadapi situasi riil.

(d)   Penjenuhan (Satiation)

Penjenuhan (satiation) adalah cara untuk mengubah perilaku individu dengan membuat konseli jenuh terhadap suatu tingkah laku, sehingga tidak bersedia melakukannya lagi. Penjenuhan merupakan varian dari flooding untuk self control. Untuk menurunkan atau menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan, dapat dilakukan dengan memebrikan reinforcement yang semakin banyak dan terus menerus sehingga individu tersebut merasa puas dan tidak akan melakukan tingkah laku yang tidak diinginkan lagi. Contohnya: seorang anak yang suka sekali makan coklat, untuk menurunkan kebiasaan tersebut, anak tersebut diberi makan coklat sebanyak-banyaknya hingga dia tidak ingin lagi makan coklat, karena nilai coklat baginya telah berkurang.

(e)   Hukuman (Punishment)

Hukuman (punishment) adalah intervensi operant conditioning untuk mengurangi tingkah laku yang tidak diinginkan. Hukuman erdiri dari stimulus yang tidak menyenangkan sebagai konsekuensi dari tingkah laku. Hukuman kerap kali digunakan untuk mengurangi kecenderungan tingkah laku bukan menghilangkan tingkah laku, sehingga saat hukuman dihilangkan maka tingkah laku akan muncul kembali. Hukuman terkadang lebih memiliki efek  emosional yang negatif misal kemarahan dan depresi. Oleh karenanya saat hukuman digunakan maka harus diiringi dengan penguatan posititf. Tingkah laku yang tidak diinginkan hanya ditekan saat ada hukuman. Pengaruh hukuman bisa jadi  digeneralisasi terhadap tingkah  laku lain  yang berkaitan dengan tingkah laku yang dihukum misalnya anak dihukum karena terlambat akibatnya anak jadi tidak suka sekolah.

(f)   Terapi Aversi

Terapi aversi digunakan untuk meredakan/menghilangkan gangguan perilaku spesifik yang melibatkan pengasosiasian tingkah laku simtomatik dengan stimulus yang menyakitkan sehingga tingkah laku yang tidak diinginkan terhambat kemunculannya. Contohnya: siswa yang gemar berkelahi ditunjukkan foto temannya yang kesakitan, di saat yang sama diberi kejutan listrik yang menimbulkan rasa sakit karena listrik.

Stimuli yang tidak disukai (aversive stimuli) akan menciptakan stimulus yang tidak menyenangkan bersamaan dengan stimulus yang ingin dikontrol. Dalam teknik aversi ini diharapkan terjadi proses pembalikan reinforcement dari perasaan senang/ bangga menyakiti orang lain menjadi reinforcement seperti iba, takut, rasa berdosa melihat orang lain terluka dan merasa sakit karena listrik. Stimuli yang tidak disukai (aversive stimuli) akan menciptakan stimulus yang tidak menyenangkan bersamaan dengan stimulus yang ingin dikontrol.

Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan. Contoh penggunaan aversi adalah untuk tingkah laku maladaptif seperti ketergantungan alkohol, obat-obatan, merokok, obsesi, kompulsi, berjudi, homoseksualitas, penyimpangan seksual, dan lain sebagainya.

Beragam media untuk teknik aversi yaitu aversi kimia (menggunakan bahan kimia yang menimbulkan mual untuk pecandu alkohol), kejutan listrik (menggunakan elektroda yang dipasang di lengan, betis, jari), covert sensitization (meminta konseli membayangkan perilaku maladaptif yang biasa dilakukan dan akibat negatif untuk menimbulkan rasa menyesal/ merasa bersalah). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa prosedur teknik aversi menyajikan cara menahan respon maladaptif pada satu periode, sehingga ada kesempatan untuk memperoleh tingkah laku alternatif yang adaptif.

(g)   Desensitisasi Sistematis

Desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavior yang memfokuskan bantuan untuk menenangkan konseli dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan konseli untuk rileks (Sharf, 2012). Esensi teknik ini adalah menghilangkan tingkah laku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku  yang  akan  dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik, respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakikatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus tingkah laku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan tingkah laku yang akan dihilangkan.

Cara yang digunakan dalam keadaan santai stimulus menimbulkan kecemasan dipasangkan secara bertahap dari yang kurang mencemaskan hingga paling mencemaskan. Konseli dilatih untuk tetap rileks saat menghadapi stimulus yang mencemaskan itu. Keadaan ini akan berulang- ulang sehingga stimulus yang menimbulkan kecemasan hilang secara berangsur-angsur dari kecemasan yang dialaminya. 


Isrofin, Binti. 2019. Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunawan, Ph.D. 2019. Modul 2 Materi Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugiyo ; Amin Nurul Z. 2019. Modul 3 Perencanaan dan Evaluasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni Prafitra E. Modul 5 Strategi Layanan Responsif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni  Prafitra  E.  Modul  5  Strategi  Layanan  Responsif.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar