Perlawanan Rakyat terhadap Kolonialisme Belanda


Perlawanan Rakyat terhadap Kolonialisme Belanda


 Tindakan sewenang-wenang dan penindasan yang dilakukan oleh penguasa kolonial Eropa telah menimbulkan kesengsaraan dan kepedihan, bangsa Indonesia. Menghadapi tindakan sewenang-wenang dan penindasan itu menjadikan rakyat Indonesia memberikan perlawanan yang sangat gigih. Perlawanan mula-mula ditujukan kepada kekuasaan Portugis dan VOC. 

Sebelum VOC berkuasa, Portugis telah menanamkan kekuasaan di kawasan Malaka dan Maluku. Pada tahun 1511 Portugis di bawah pimpinan Alfonso d’Albuquerqee berhasil menguasai Malaka. Dari Malaka Portugis kemudian meluaskan pengaruh dan perdagangannya ke berbagai wilayah di Indonesia. Mula-mula Alfonso d’Albuquerqee mengirim pasukannya ke Aceh kemudian ke Maluku.

Pada tahun 1522 Portugis mendirikan benteng pertahanan Saint John di Ternate. Dengan kedudukan yang semakin kuat ini, Portugis kemudian menguasai (memonopoli) kegiatan perdagangan rempah-rempah di Maluku. Dominasi perdagangan Portugis di kawasan  Malaka dan Maluku  ini  sangat merugikan rakyat Indonesia. Akibat perlakuan bangsa  Portugis yang merugikan ini, bangsa Indonesia kemudian mengadakan perlawanan. Perlawanan ini juga dilatarbelakangi  oleh  semangat  bangsa  Indonesia  untuk  mengusir  penjajah Eropa. Perlawanan terhadap bangsa Portugis, misalnya, perlawanan Ternate, yang dipimpin oleh Sultan Hairun (meninggal 1570) dan Sultan Baabullah yang berhasil mengusir Portugis ke Timor Loro Sae. 

Di Demak perlawanan dilakukan oleh Sultan pertama Raden Patah dengan mengirimkan pasukannya dipimpin oleh Adipati Unus (putranya) pada tahun 1512 dan 1513 kemudian dilanjutkan dengan mengirim Fatahilah ke Sunda Kelapa pada tahun 1527. Serangan ini berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa dan wilayah ini kemudian diberinama Jayakarta. Perlawanan rakyat Aceh terhadap portugis dilakukan oleh Sultan  Iskandar  Muda  pada  tahun  1607-1609.  Saat  itu  Aceh  telah  memiliki armada  laut  yang  mampu  mengangkut  800  prajurit.  Pada  saat  itu  wilayah Kerajaan Aceh telah sampai di Sumatera Timur dan Sumatera Barat. 

Pada tahun 1629 Aceh mencoba menaklukkan Portugis. Penyerangan yang dilakukan Aceh ini belum berhasil mendapat kemenangan. Namun demikian Aceh masih tetap berdiri sebagai kerajaan yang merdeka.

Pada masa kekuasaan Belanda, rakyat melawan dengan gigih untuk dapat menolak semua kebijakan Belanda yang merugikan rakyat. Sejak berdirinya VOC perlawanan dipimpin oleh Sultan Agung Hanyokrokusumo dari Mataram. Raja Mataram  Sultan  Agung  menyerang  VOC  yang  berkedudukan  di  Batavia. Serangan pertama dilakukan pada tahun 1628. Pasukan Mataram yang dipimpin Tumenggung Baurekso tiba di Batavia tanggal 22 Agustus 1628. 

pasukan ini kemudian disusul pasukan Tumenggung Sura Agul-Agul, yang dibantu dua bersaudara  yakni  Kiai  Dipati  Mandurojo  dan  Upa  Santa.  Serangan  pertama gagal. Tidak kurang 1000 prajurit Mataram gugur dalam perlawanan tersebut.

Mataram segera mempersiapkan serangan kedua Kali ini pasukan Mataram dipimpin Kyai Adipati Juminah, K.A. Puger, dan K.A. Purbaya. Serangan dimulai tanggal 1 Agustus dan berakhir 1 Oktober 1629. Serangan kedua inipun gagal. Selain karena faktor kelemahan pada serangan pertama, lumbung padi persediaan makanan banyak dihancurkan Belanda. Di samping Sultan Agung, perlawanan   terhadap   kekuasaan   VOC   juga   dilakukan   oleh   Pangeran Mangkubumi dan Mas Said. Serangan ini gagal dikarenakan serangan ini kurang teliti memperhitungkan medan pertempuran; Kekurangan perbekalan dan Kalah persenjataan.

Perlawanan terhadap kekuasaan Belanda di Indonesia semakin meluas di berbagai daerah dalam kurun waktu yang panjang, sporadis dan memberikan kesan bahwa bangsa Indonesia tidak menurut begitu saja terhadap kesewenang- wenangan bangsa asing. Jiwa pantang menyerah dan kepahlawanan selalu ditunjukkan oleh pemimpin-peminpin daerah yang menyaksikan langsung penderitaan dan kesengsaraan rakyat Indonesia.

Perlawanan  rakyat  Maluku  tahun  1817,  dipimpin  oleh  Thomas  Matulesi.  Ia dijuluki  Pattimura.  Tokoh-tokoh  dalam  pelawanan  ini  antara  lain;:  Christina Martha Tiahahu, Anthon Rhebok, Thomas Pattiwwail, dan Lucas Latumahina.

Kapitan Patimura segera memimpin rakyat untuk menyerbu benteng Duurstede. Tanggal 15 Mei 1817 perlawanan rakyat Maluku dikobarkan. Pada awalnya pasukan Belanda dapat dihancurkan oleh para pejuang Maluku. Kemenangan rakyat Maluku semakin menggelorakan masyarakat di berbagai daerah untuk terus berjuang mengusir Belanda, seperti di Seram, Arnbon, Hitu, Haruku, dan Larike.

Perlawanan terhadap kekuasaan Hindia Belanda juga terjadi di daerah lain. Perang melawan kekuasaan kolonialisme  Belanda  di  Sumatra  Barat, dikenal dengan Perang Paderi, yakni perlawanan kaum Paderi melawan Belanda. 

Pada tahap I, kaum Paderi menyerang pos-pos dan pencegatan terhadap patroli- patroli  Belanda.  Pasukan  Paderi  menggunakan  senjata-senjata  tradisional, seperti tombak dan parang. Sedangkan Belanda menggunakan senjata-senjata lebih lengkap dan modern seperti meriam dan senjata api lainnya. Tokoh pemimpin perang paderi antara lain Tuanku Pasaman memusatkan gerakannya di Lintau, Tuanku Nan Renceh di sekitar Baso, Peto Syarif yang terkenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol memusatkan perlawanan di Bonjol.

Dari sekian banyak perlawanan kaum Paderi, yang paling terkenal adalah perlawanan kaum Paderi di Agam. Perlawanan yang muncul tahun 1823 dipimpin Tuanku Imam Bonjol (M Syahab), Tuanku nan Cerdik, Tuanku Tambusai, dan Tuanku nan Alahan. Perlawanan kaum Padri berhasil mendesak benteng- benteng Belanda. Karena di Jawa Belanda menghadapi perlawanan Pangeran Diponegoro (1825 - 1830), Belanda akhirnya melakukan perdamaian di Bonjol tanggal 15 Nopember 1825.

Pada tahap kedua, dimulai setelah Belanda dapat menundukkan perlawanan Diponegoro.  Belanda  kembali  melakukan  penyerangan  terhadap  kedudukan Padri. Dalam perlawanan ini Aceh datang untuk mendukung pejuang Paderi.

Untuk menghadapi perlawanan kaum Paderi, Belanda menerapkan sistem pertahanan  Benteng Stelsel. Benteng Fort de Kock di Bukit tinggi dan Benteng Fort van der Cappelen merupakan dua benteng pertahanan. Dengan siasat ini akhirnya Belanda menang. Hal ini ditandai jatuhnya benteng pertahanan terakhir Padri di Bonjol tahun 1837. Tuanku Imam Bonjol ditangkap, kemudian diasingkan ke Priangan, kemudian ke Ambon, dan terakhir di Menado hingga wafat tahun 1864.

Perlawanan besar terhadap Belanda juga muncul di Pulau Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dari Keluarga Keraton Yogjakarta. Perlawanan Diponegoro secara garis besar dapat dikelompokkan dalam sebab umum dan sebab khusus. Adapun sebab-sebab umum terjadinya perlawanan Diponegoro antara lain sebagai berikut:

a)  Wilayah  Kesultanan  Mataram  semakin  sempit  dan  para  raja  sebagai penguasa pribumi mulai kehilangan kedaulatan. 

b)  Belanda ikut campur tangan dalam urusan intern kesultanan, misalnya soal pergantian raja dan pengangkatan patih.

c)  Timbulnya  kekecewaan  di  kalangan  para  ulama,  karena  masuknya budaya barat yang tidak sesuai dengan Islam.

d)  Sebagian   bangsawan   merasa   kecewa   karena   Belanda   tidak   mau mengikuti adat istiadat kraton.

e)  Sebagian bangsawan kecewa terhadap Belanda karena telah menghapus sistem  penyewaan  tanah  oleh para  bangsawan  kepada  petani  (mulai tahun 1824).

f) Kehidupan rakyat yang semakin menderita di samping harus kerja paksa masih harus ditambah beban membayar berbagai macam pajak.

Adapun Peristiwa yang menjadi sebab khusus berkobamya perang Diponegoro adalah  pemasangan  patok  oleh  Belanda  untuk  pembangunan  jalan  yang melintasi tanah dan makam leluhur Pangeran Diponegoro di Tegalrejo. Pemasangan patok itu  tanpa izin, sehingga sangat ditentang  oleh  Pangeran Diponegoro.

Menghadapi tindakan semena-mena Belanda tersebut, pangeran Diponegoro kemudian mengobarkan perlawanan terhadap kekuasaan Belanda. Mula-mula perlawanan terjadi di Tegalrejo. Dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Pangeran   Diponegoro   dan   pasukannya   menyingkir   ke   Bukit   Selarong. Diponegoro membangun benteng pertahanan Gua Selarong.

Pangeran Diponegoro didampingi oleh Pangeran Mangkubumi (paman Pangeran Diponegoro), Ali Basyah Sentot Prawirodirjo sebagai panglima muda dan Kyai Mojo bersama murid-muridnya. Nyi Ageng Serang yang Sudah berusia 73 tahun bersama cucunya R.M. Papak bergabung dengan pasukan Diponegoro. Nyi Ageng Serang sejak muda sudah sangat anti pada Belanda dan pernah membantu ayahnya (Panembahan Serang) untuk melawan Belanda.

Pada tahun-tahun pertama, dengan semangat perang Sabil (perang membela kebenaran   dan   keadilan,   yang   apabila   gugur   di   medan   perang   akan mendapatkan hadih surga), perlawanan telah meluas ke berbagai daerah, yaitu Yogyakarta dan Surakarta serta Banyumas, Kedu, Pekalongan, Semarang dan Rembang,  sampai  ke  Jawa  Timur.  Perang  yang  dikobarkan  oleh  Pangeran Diponegoro telah mampu menggerakkan kekuatan di seluruh Jawa. Oleh karena itu perang Diponegoro sering dikenal sebagai Perang Jawa. Kekuatan rakyat, bangsawan dan para ulama bergerak untuk melawan kekezaman Belanda.

Gerak pasukan pos pertahanan Diponegoro berpindah dari tem pat yang satu ke tempat   yang   lain.   Menghadapi   perlawanan   Diponegoro   yang   kuat   dan menyulitkan  ini,  kemudian  Belanda  segera mendatangkan  bala  bantuan  dan terutama pasukan dari Sumatra Barat. Untuk menghadapi perlawanan Diponegoro,  itu  Belanda  menerapkan  sistem  Benteng  Stelsel  (setiap  daerah yang sudah berhasil diduduki Belanda, dibangun benteng pertahanan, dan antar benteng pertahanan ada jalan/jalur penghubungnya). Dari benteng yang satu ke benteng yang lain ditempatkan atau dihubungkan dengan pasukan gerak cepat. Hal dimaksud untuk memutus jaringan kerja sama pasukan Diponegoro. Tujuan dari strategi benteng stelsel untuk mempersempit ruang gerak pasukan Diponegoro dan memberikan tekanan agar pasukan Diponegoro segera menyerah.

Dengan  strategi  benteng  stelsel  sedikit  demi  sedikit  perlawanan  Diponegoro dapat diatasi. Dalam tahun 1827 perlawanan Diponegoro di beberapa tempat berhasil dipukul mundur oleh pasukan Belanda. Para pernimpin pasukan Diponegoro banyak yang ditangkap. Tetapi perlawanan rakyat masih terjadi di beberapa tempat.

Semangat perlawanan Pangeran Diponegoro menjadi semangat perang sabil yang didukung oleh banyak unsur di Jawa. Perlawanan ini dikenal dalam catatan Belanda sebagai Perang Jawa. Merupakan perang terbesar bagi Belanda sehingga menguras keuangan yang luar biasa jumlahnya. Korban dari pihak rakyatpun sangat besar, menurut catatan MC Ricklefs dalam buku Sejarah Indonesia Modern (Sejarawan Australia) hampir setengah penduduk Yogyakarta habis karena perlawanan ini. 

Untuk mempercepat selesainya perlawanan Diponegoro, maka Belanda mengumumkan pemberian hadiah 20.000 ringgit kepada siapa yang dapat menyerahkan Pangeran Diponegoro, hidup atau mati. Namun tidak ada tanggapan dari rakyat. Belanda kemudian menempuh ca ra lain. Akhirnya Belanda mengeluarkan jurus liciknya. 

Pangeran Diponegoro diundang ke Magelang untuk diajak berunding. Semula Pangeran Diponegoro menolak, namun karena ada jaminan kalau perundingan gagal, beliau boleh pergi dengan aman, maka beliau menyanggupi perundingan tersebut. Ternyata Pangeran Diponegoro  dikhianati.  Sewaktu  berunding,  maka  atas  perintah  Jenderal  De Kock, Pangeran Diponegoro ditangkap, dibuang di Manado dan selanjutnya dipindahkan ke Ujungpandang sampai meninggalnya pada  tanggal 8  Januari 1855.

Di samping perlawanan Diponegoro, di beberapa tempat lain juga terjadi perlawanan   yang   sangat  gigih   terhadap   kekuasan   Belanda.   Perlawanan - perlawanan itu antara lain perlawanan rakyat Bali, Perlawanan di Kalimantan Selatan, perlawanan rakyat Aceh, Perlawanan rakyat di Tanah Batak, dan masih banyak perlawanan yang lain.



source : modul belajar mandiri pppk Pembelajaran 3. Kehidupan Bangsa Indonesia pada masa Kolonial, Pergerakan Nasional, Penjajahan Jepang hingga Kemerdekaan, kemdikbud
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar