Keterampilan Berbicara (Hakikat, Faktor Penunjang, Ragam, Persiapan dan Strategi)


Keterampilan Berbicara (Hakikat, Faktor Penunjang, Ragam, Persiapan dan Strategi
Keterampilan Berbicara

a.  Hakikat Keterampilan Berbicara

Berbicara merupakan keterampilan berbahasa yang bertujuan untuk mengungkapkan ide,  gagasan,  serta  perasaan  secara  lisan  sebagai  proses komunikasi kepada orang lain. Dalam proses berbicara, seseorang akan mengalami proses berpikir untuk mengungkapkan ide dan gagasannya secara luas (divergen thingking). 

Proses berbicara sangat terkait hubungannya dengan faktor  pengembangan berpikir  berdasarkan pengalaman yang  mendasarinya. Pengalaman tersebut dapat diperoleh melalui membaca, menyimak, pengamatan dan diskusi.

Berbicara merupakan kegiatan komunikasi lisan yang mengikutsertakan sebagian besar dari anggota tubuh kita. Menurut Dipodjojo (1982), komunikasi lisan merupakan kegiatan individu dalam usaha menyampaikan pesan secara lisan kepada individu lain, sekelompok orang, yang disebut audience atau majelis. Kegiatan berbicara akan terjadi jika terpenuhinya tiga unsur yaitu: pembicara, pembicaraan atau pesan, dan lawan bicara.

Selain ketiga unsur di atas, ada satu hal yang lebih penting yaitu kesempatan berbicara, artinya: (a) kepada siapa ia berbicara, atau bagaimana keadaan audience itu, (b) kapan waktu bicara yang tepat, (c) tempat dimana ia berbicara. Jika seorang pembicara   memperhatikan   hal-hal   tersebut   tentunya   proses komunikasi akan terlaksana dengan baik.

Menurut James (dalam Dipodjojo, 1982:64), menyatakan bahwa seseorang ketika berbicara ingin menyampaikan gagasan pada pikiran dan perasaannya, maka orang tersebut adalah pemberi informasi. Informasi tersebut kemudian dirumuskan dalam bentuk sandi. Pada kita bentuk sandi tersebut adalah bahasa Indonesia (ia merupakan penyandi). Hasil perumusan itu merupakan pernyataan (pesan). Pesan itu disampaikan secara lisan melalui saluran udara atau gelombang (saluran). Bunyi tersebut diterima oleh pendengarnya yang mengetahui bahasa Indonesia, orang tersebut disebut penerima. 

Seseorang mempunyai kemampuan berbicara dengan baik, tidak begitu saja diperoleh dengan sendirinya. Akan tetapi, orang tersebut akan mengalami proses pengkayaan (berlatih, diskusi, membaca, dan pengalaman) untuk bahan referensi. Jika seseorang semakin banyak pengalaman dan referensi membaca, maka akan semakin menarik pula informasi yang disajikannya saat berbicara. 

Selain itu, latihan, praktik dan kebiasaan dalam keseharian akan berpengaruh ketika tampil sebagai seorang public speaking. Hal ini dapat dimengerti sebab tindak berbahasa tidak lain daripada mengoperasian kompetensi kebahasaan yang dimiliki. Jadi, baik tidaknya kompetensi siswa, pada umumnya mencerminkan keterampilan berbahasanya.

Untuk meningkatkan kemampuan berbicara perlu adanya latihan secara berkelanjutan. Ada beberapa bentuk tugas kegiatan berbicara yang dapat dilatih untuk meningkatkan dan mengembangkan keterampilan berbicara pada peserta didik seperti bercerita, wawancara, bercakap-cakap, berpidato, dan berdiskusi.

b. Faktor Penunjang Keterampilan Berbicara

Kemampuan berbicara seseorang sangat dipengaruhi oleh dua faktor yaitu penguasaan kebahasaan dan non ebahasaan. Kedua faktor tersebut akan dijelaskan berikut ini.

1) Faktor Kebahasaan

Keefektifan berbicara seseorang sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor kebahasaan yang dikuasainya. Faktor-faktor tersebut antara lain adalah: ketepatan ucapan (tata bunyi), penempatan tekanan, nada, sendi, dan durasi yang sesuai, pilihan kata (diksi), dan kalimat efektif.

a) Ketepatan Ucapan (Tata Bunyi). Seorang pembicara harus membiasakan diri mengucapkan bunyi-bunyi bahasa secara tepat. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat, dapat mengalihkan perhatian pendengar. Pengucapan bunyi bahasa yang kurang tepat atau cacat tersebut juga dapat menimbulkan kebosanan, kurang menyenangkan, atau kurang menarik. 

Pengucapan bunyi-bunyi bahasa dianggap cacat kalau menyimpang terlalu jauh dari ragam lisan biasa, sehingga terlalu menarik perhatian, mengganggu komunikasi, atau pemakainya (pembicara) dianggap aneh. Pengucapan kata-kata harus jelas terdengar. Untuk itu, gerakan alat-alat ucap terutama lidah, bibir, dan gigi harus leluasa. Gerakan yang tertahan akan mengakibatkan suara yang keluar tidak normal, sehingga kurang jelas terdengar. Demikian juga, volume suara harus sesuai, jangan terlalu lemah dan jangan terlalu keras. Kalau menggunakan pengeras suara, volumenya harus diatur sesuai  dengan  luasnya  ruang  dan  banyaknya peserta.  

Dalam  hubungannya dengan olah suara atau tata bunyi ini, Pringgawidagda (2003:9) menyampaikan hal-hal yang harus diperhatikan berikut ini.   (1)   Logat baku tidak bercampur dengan dialek tak baku. (2) Lafal harus jelas dan tegas. (3) Nafas yang kuat agar dapat menguraikan kalimat yang cukup panjang atau tidak terputus dalam wicara. (4) Tempo (cepat lambat suara) dan dinamik (intonasi, tekanan, aksen) suara. (5) Penghayatan, berbicara  memerlukan penjiwaan  agar  sesuai  dengan tuntutan situasi dan kondisi.

b) Penempatan Tekanan, Nada, Sendi, dan Durasi. Kesesuaian penempatan atau penggunaan tekanan, nada, sendi, atau tempo dan durasi akan menjadi daya tarik tersendiri bagi pendengar. Bahkan kadang-kadang merupakan faktor penentu. Kesalahan dalam penempatan hal-hal tersebut berakibat pada kurang jelasnya isi dan  pesan  pembicaraan yang  ingin  disampaikan kepada  lawan  bicara.  Jika penyampaian materi  pembicaraan  datar  saja,  hampir  dapat  dipastikan  akan menimbulkan kejenuhan dan keefektifan berbicara tentu berkurang.

c)  Pilihan  Kata  (Diksi).  Variasi    pemakaian bahasa  dipengaruhi oleh  situasi pembicaraan. Bentuk variasi itu dapat dilihat lewat perwujudan lafal, ejaan, pilihan kata, dan tata kalimat.  Faktor penting yang berpengaruh terhadap pilihan kata adalah sikap pembicara, yakni sikap yang berkenaan dengan umur dan kedudukan lawan bicara yang dituju, permasalahan yang disampaikan, dan tujuan informasinya. Pemilihan kata-kata yang tepat berarti bahwa kata-kata yang digunakan harus sesuai dengan kepribadian komunikator, jenis pesan, keadaan khalayak, dan situasi komunikasi. Penggunaan kata-kata dalam pidato pertemuan resmi akan berbeda dengan kata-kata yang digunakan dalam pidato pertemuan tidak resmi atau informal. Untuk memperoleh ketepatan dalam penggunaan kata- kata, pembicara perlu memperhatikan prinsip-prinsip berikut: (1) Hindari kata-kata klise. (2) Gunakan bahasa pasaran secara hati-hati. (3) Hati-hati dalam penggunaan kata-kata pungut. (4) Hindari vulgarisme dan kata-kata yang tidak sopan. (5) Jangan menggunakan penjulukan. (6) Jangan menggunakan eufemisme yang berlebih-lebihan. 

Selain harus tepat dan jelas, kata-kata yang digunakan oleh seorang pembicara juga harus menarik, harus menimbulkan kesan yang kuat, hidup, menarik perhatian para pendengarnya. Untuk dapat menggunakan kata-kata yang menarik, pembicara harus memperhatikan hal-hal berikut ini. (1) Pilihlah kata-kata yang menyentuh langsung diri khalayak. (2) Gunakan kata berona, yaitu kata-kata yang dapat melukiskan sikap dan perasaan, atau keadaan. (4) Gunakan bahasa yang figuratif, yaitu bahasa yang dibentuk sedemikian rupa sehingga menimbulkan kesan yang indah (gaya bahasa). (5) Gunakan kata-kata tindak (action words), dengan cara menggunakan kata-kata aktif.

d)   Kalimat Efektif, Berpidato pada hakikatnya adalah menyampaikan kalimat- kalimat. Kalimat terdiri ataas kata-kata yang mengandung pengertian. Setiap gagasan, pikiran, konsep, ataupun perasaan seseorang pada dasarnya akan disampaikan kepada orang lain dalam bentuk kalimat-kalimat. Segala pesan yang ingin disampaikan oleh seorang pembicara akan dapat diterima dengan baik oleh pendengarnya apabila disampaikan dengan kalimat-kalimat yang benar, baik, dan tepat.

2) Faktor Non Kebahasaan

Faktor-faktor yang termasuk faktor nonkebahasaan adalah (1) sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku, (2) kontak mata atau pandangan harus diarahkan kepada audien atau khalayak pendengar, (3)  gerak-gerik dan mimik yang  tepat, (4) kenyaringan suara, (5) kelancaran, dan (6) relevansi atau penalaran.

a) Sikap yang wajar dan tenang.   Kesan pertama dalam berbicara itu sangat menentukan keberhasilan dalam proses pembicaraan berikutnya. Untuk itu, dalam berbicara seorang pembicara harus dapat bersikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku. Sikap dalam berpidato sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang ada pada saat seseorang melakukan pembicaraan atau menyampaikan pesan dalam pidato. 

Dengan sikap yang wajar, tenang, dan tidak kaku dapat menambah kepercayaan pendengar kepada pembicara. Sikap wajar, tenang, dan tidak kaku akan timbul dalam praktik berbicara salah satunya disebabkan oleh penguasaan materi berbicara oleh pembicara. Kalau seorang pembicara tidak atau kurang siap dengan materi pembicaraan yang akan disampaikan maka akan timbul sikap-sikap yang kurang wajar dalam dirinya pada saat berbicara Selain penguasaan terhadap materi pembicaraan, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah kesiapan dan latihan yang cukup.

b) Melakukan kontak mata dengan audiens. Melihat audiens secara sekilas sangat penting saat pidato. Pandangan kita terhadap audiens harus merata ke seluruh ruangan. Berikan pandangan positif dan penuh semangat agar audiens konsentrasi terhadap apa yang kita sampaikan.

c) Gerak dan mimic. Gerak gerik dan mimik yang tepat dalam sebuah pidato dapat mendukung dan memperjelas isi pesan yang akan disampaikan. Akan tetapi gerak-gerik dan mimik ini akan menjadi gangguan dalam berpidato apabila dilakukan secara berlebihan. Gerak-gerik berkaitan dengan penggunaan anggota badan untuk memperjelas pesan yang akan disampaikan. Gerak-gerik dalam berpidato atau berkomunikasi antara lain adalah: anggukan dan gelengan kepala, mengangkat tangan, mengangkat bahu, menuding, mengangkat ibu jari, menuding, sikap  berdiri,  daan  sebagainya. Mimik  harus  disesuaikan dengan perasaan hati yang terkandung dalam isi pesan pembicaraan yang dilakukan. Mimik adalah ekspresi wajah yang berhubungan dengan perasaan yang terkandung dalam hati. Agar pembicaraan dapat menyenangkan usahakan mimik yang menarik dan memikat, salah satunya dengan banyak tersenyum.

d) Kenyaringan suara. Tingkat kenyaringan suara ini tentunya juga disesuaikan dengan situasi, jumlah pendengar, tempat, dan akustik. Yang penting, ketika berpidato, pendengar dapat menerima suara pembicara dengan jelas dan enak didengar di telinga. Suara yang digunakan tidak terlalu keras atau terlalu pelan. Ketika berbicara dengan mikrofon, maka jangan sampai mikrofon tersebut terlalu dekat dengan mulut, karena suara yang dihasilkannya akan kurang baik dan tidak nyaman didengarkan.

e) Kelancaran. Kelancaran dalam berpidato akan memudahkan pendengar dalam menerima atau menangkap isi pembicaraan. Apabila pembicara menguasai materi pembicaraan, maka dia akan dapat berpidato dengan lancar tanpa adanya gangguan dalam proses pembicaraannya. Gangguan atau ketidaklancaran dalam pidato biasanya diakibatkan oleh ketidakmampuan pembicara dalam menguasai materi pembicaraan yang akhirnya berakibat pada ketidakmampuan dalam menguasai pendengar.  Kalau orang tidak lancar dalam berpidato, maka yang akan dikeluarkan adalah suara- suara ee, oo, aa, dan sebagainya. Suara-suara seperti ini akan sangat mengganggu proses berbicara dan mempersulit pendengar untuk menangkap pokok pembicaraan, apalagi kalau frekuensi kemunculannya cukup banyak.

f)  Relevansi/Penalaran. Gagasan demi gagasan haruslah berhubungan dengan logis. Proses berpikir untuk sampai pada suatu kesimpulan haruslah logis. Hal ini berarti hubungan bagian-bagian dalam kalimat, hubungan kalimat dengan kalimat harus logis dan berhubungan dengan pokok pembicaraan. Kalau dalam pidato seorang pembicara dapat memperhatikan relevansi atau penalaran dalam proses bicaranya maka akan diperoleh pembicaraan yang efektif.

c. Persiapan dan Strategi Keterampilan Berbicara

Persiapan-persiapan yang perlu dilakukan oleh seseorang sebelum berbicara adalah menganalisis tujuan, menemukan kata kunci, memahami suasana teks, penggunaan bahasa tubuh, dan pemilihan metode. Kelima hal tersebut akan dijelaskan berikut ini.

Pertama, menganalisis tujuan dalam berbicara dapat dirumuskan sebagai proses transfer pengetahuan secara akurat, menumbuhkan minat, mendorong perubahan berperilaku dan merangsang imajinasi/kreativitas. Sebelum berbicara, kita harus dapat menentukan tujuan apa yang akan ditekankan, sehingga audiens dapat menerimanya dengan baik. Jika tujuan tersebut merupakan ajakan perubahan berperilaku, maka  pembicara harus  memberikan gagasan  dan  ide-ide  untuk memperkuat perubahan tersebut.

Kedua, menentukan kata kunci artinya pembicara menentukan kata kunci secara detail dengan cara menggarisbawahi setiap kata penting. Kata-kata penting yang dipilih harus disesuaikan dengan tujuan  yang ingin disampaikan. Teknik untuk dapat mengambil inti/penggalan teks adalah dengan mengidentifikasi tiga kata yang mewakili ringkasan isinya. Cara ini dapat meningkatkan keakuratan penafsiran, tetapi memerlukan kerja keras untuk berpikir tentang makna dasar dibalik kata-kata kunci.

Ketiga, pemahaman suasana teks dapat membantu penafsiran dengan tepat. Pemahaman suasana teks seperti riang, sopan, serius, kagum, dan humor harus dimiliki oleh seorang pembicara. Masalah umum bagi seseorang yang belum berpengalaman berbicara adalah belum mampu menentukan tempat pergantian suasana hati. Apabila pergantian suasana tidak tepat, akan mengakibatkan penafsiran yang berbeda.

Keempat, penggunaan bahasa tubuh (gesture) ketika berbicara akan membantu penyampaian pesan secara jelas kepada audiens. Gesture berkaitan erat dengan nilai rasa, perasaan pikiran, dan pemaknaan sesuatu. Oleh karena itu, saat berbicara gesture harus diperhatikan sesuai dengan proporsi dan kebermanfaatannya. Hindarkan gerakan tubuh yang kurang mendukung terciptanya suasana dalam berbicara.

Kelima, pemilihan strategi berbicara dapat dibedakan berdasarkan ada dan tidaknya teks. Strategi-strategi tersebut adalah sebagai berikut.

(1) Impromptu (spontan). Artinya pembicara tidak ada persiapan untuk bicara,jadi sifatnya spontan.

(2) Hafalan. Artinya sebelum bicara pembicara telah mempersiapkan naskah pidatonya, kemudian menghafalkannya kata demi kata.

(3) Naskah. Artinya  ketika  bicara  pembicara membacakan naskah/teks yang telah disusunnya.

(4) Ekstemporan (tanpa teks). Artinya  pembicara  hanya  membawa  catatan- catatan penting yang akan disampaikan ketika dipanggung.

Untuk menjadi pembicara yang handal bukan hal yang mudah. Selain mengetahui strategi-strategi berbicara di atas perlu juga penguasaan materi yang mendalam. Selain itu, Larry King (2007: 63) menyebutkan bahwa terdapat delapan ciri untuk menjadi pembicara yang baik sebagai berikut.

(1) Mereka memandang suatu hal dari sudut pandang yang baru, mengambil titik pandang yang tak terduga pada hal-hal yang umum.

(2) Mereka mempunyai cakrawala yang  luas,  yaitu  mampu  memikirkan dan membicarakan isu-isu beragam pengalaman dari luar kehidupan mereka sehari-hari. 

(3) Mereka antusias, menunjukkan minat besar pada apa yang mereka perbuat dalam kehidupan mereka, maupun pada apa yang dikatakan pada kesempatan itu.

(4) Mereka tidak pernah menceritakan diri mereka sendiri

(5) Mereka selalu ingin tahu dan terbuka terhadap kritik dan saran.

(6) Mereka menunjukan empati (memposisikan diri pada apa yang dikatakan). 

(7) Mereka mempunyai selera humor.

(8) Mereka punya gaya bicara sendiri.

Selain ciri-ciri di atas, ada satu hal penting sebelum kita berbicara, yaitu “kepandaian memilih topik”. Pemilihan topik ketika akan berbicara menjadi hal penting untuk tercapainya kesuksesan dalam berbicara. Agar pembicaraan menarik, sebaiknya topik dipilih berdasarkan penguasaan kita terhadap kajian tersebut. Selain itu, keaktualan, keakraban, dan kesesuaian terhadap audiens menjadi hal penting untuk menentukan sebuah topik. Dengan pemilihan topik yang baik, menarik, dan tepat akan menjadikan audiens menjadi jelas dan gamblang terhadap apa yang kita sampaikan.

d. Ragam Keterampilan Berbicara

Berbicara adalah mengemukan pikiran, perasaan, informasi, dan pengalaman menggunakan alat ucap. Berbicara berarti mengucapkan kata atau kalimat kepada seseorang atau sekelompok orang, untuk mencapai suatu tujuan tertentu (memberikan informasi atau memberikan motivasi).

1) Retorika berarti kesenian untuk berbicara dengan baik. 

Berbicara retorika adalah  pengetahuan seni  berbicara  untuk  mempengaruhi orang  lain  melalui pembicaraan atau bahasa lisan (Dipodjojo, 1982:66). Kajian berbicara retorika menekankan pada kemampuan seseorang untuk menyampaikan gagasan tanpa adanya jawaban dari komunikan. Komunikan dapat menerima atau menolak apa yang disampaikan komunikator tanpa adanya dialog atau diskusi lanjutan. Artinya, subtansi yang disampaikan komuniktor hanya berjalan satu arah saja tanpa adanya timbal balik dari komunikan. Jadi berbicara retorika merupakan ilmu tentang seni berbicara secara monolog, dimana hanya seorang yang berbicara dan lainnya sebagai audien saja. Bentuk-bentuk yang tergolong dalam retorika monologika adalah pidato, seminar, ceramah, bercerita, dan deklamasi. 

Keempat jenis keterampilan berbicara retorika tersebut akan dijelaskan seperti berikut ini.

a) Pidato. Berpidato adalah jenis berbicara yang bersifat satu arah. Audien atau orang lain berperan sebagai penyimak. Seseorang yang berpidato akan terus berbicara tanpa disela oleh audien atau penyimak. Masalah yang disampaikaan biasanya berupa materi pokok pikiran atau pendapat yang dimilikinya. Pidato dilakukan dalam acara-acara resmi dan ada pula yang tidak resmi. Penyampaian materi pidato dapat dilkukan dengan cara bebas (secara langsung) dan ada yang menggunakan teks. Pidato yang menggunakan teks  biasanya dilangsungkan dalam acara resmi kenegaraan atau organisasi formal.

b) Ceramah. Ceramah adalah keterampilan berbicara satu arah. Ceramah dilakukan untuk keperluan belajar mengajar di sekolah seperti guru ketika mengajar. Guru ceramah di depan peserta didik untuk menyampaikan materi dan pokok-pokok pikiran. Sementara itu, peserta didik menyimak materi yang disampaikan pendidik.

c) Bercerita. Bercerita adalah rangkaian peristiwa yang disampaikan secara lisan, baik dari kejadian nyata (nonfiksi) ataupun tidak nyata (fiksi). Bercerita merupakan sebuah penuturan yang dimaksudkan untuk menyampaikan pesan atau informasi. Tujuan utama dari bercerita pada dasarnya untuk berkomunikasi dan menyampaikan informasi kepada orang lain. Bercerita memiliki fungsi yang amat penting bagi peserta didik seperti membangun kedekatan emosional antara pendidik dengan anak, media penyampain pesan, pendidikan imajinasi, menyalurkan dan mengembangkan emosi, memperkaya pengalaman batin, dan sarana hiburan. Oleh karena itu, pendidik ketika bercerita perlu memperhatikan isi cerita, bahasa cerita, dan karakteristik peserta didiknya.

d) Deklamasi. Deklamasi berasal dari bahasa Inggris “declamation” yang terbentuk dari kata kerja “to declaim” yang berarti berbicara dengan penjiwaan dan perasaan yang mendalam. Berdeklamasi adalah berbicara yang memiliki sifat dan gaya yang khas. Seorang pendeklamasi seolah-olah mengerti atau bahkan memiliki perasaan yang sama dengan pengarangnya. Deklamasi tergolong berbicara satu arah yang bertujuan agar penonton dapat menikmati keindahan, serta menimbulkan rasa keharuan atau emosional artistik mengenai isinya. 

2) Berbicara Dialektika. 

Berbicara dialektika adalah keterampilan menuangkan hasil pikiran secara teratur, logis, dan teliti yang diawali dengan tesis, antitesis, dan sintesis melalui Bahasa lisan. Berbicara dialektika adalah ilmu tentang seni berbicara secara dialog, dimana dua orang atau lebih berbicara atau mengambil bagian dalam satu proses pembicaraan. Bentuk berbicara dialektika adalah diskusi, rapat, wawancara, talkshow/percakapan dan debat.

a) Diskusi. Kata diskusi berasal dari kata discussus (Latin) yang berarti bertukar pendapat. Diskusi pada umumnya bertujuan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang suatu masalah atau untuk memecahkan suatu masalah secara bersama-sama. Diskusi adalah bertukar pikiran mengenai suatu masalah yang  sifatnya actual dan  menyankut kepentingan umumdan keputusan yang diambil secarah musyawarah. Komponen dalam diskusi terdiri atas ketua/moderator, notulis, dan peserta diskusi.

b) Seminar. Seminar adalah jenis berbicara yang berlangsung antara seorang pembicara dengan beberapa orang penyimak. Seminar dilakukan dalam ruangan yang dihadiri oleh beberapa audien sebagai penyimak. Audien atau peserta seminar dapat mengajukan pertanyaan dan pendapat atau pokok pikiran yang disampaikan pada pembicara. Dalam acara seminar, pembicara disebut pemateri/Narasumber yang dipandu oleh ketua seminar dan dibantu notulen.

c) Wawancara. Wawancara adalah  suatu  percakapan  antara  dua  atau  lebih yang dilakukan  oleh  pewawancara  dan  narasumber.  Wawancara  merupakan komunikasi lisan yang dilakukan secara terstruktur secara dua arah baik secara langsung maupun tidak langsung kepada orang lain. Tujuan wawancara adalah untuk mendapatkan informasi yang jelas dan akurat dari narasumber dengan pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan kepada narasumber. Selain itu, wawancara juga berfungsi untuk membahas dan menggali informasi tertentu guna mencapai tujuan tertentu. Selain itu, tujuan wawancara secara spesifik dapat digunakan untuk menggali dan mendapatkan data dan informasi dari sumber pertama; melengkapi informasi atau data; mendapatkan konfirmasi serta pengumpulan data lain yang dibutuhkan.

d) Percakapan (talkshow). Percakapan (talkshow) dilakukan dua orang atau lebih oleh moderator kepada narasumber. Percakapan bertujuan untuk mendapatkan informasi yang akurat dari narasumber terkait bidang atau keahlian yang dimiliki narasumber. Selain itu, percakapan juga dapat digunakan sebagai kontrol kerja pemerintah dan hiburan bagi khalayak umum.

e) Debat. Debat adalah kegiatan berbicara dalam bentuk dua arah. Masing-masing pembicara beradu argumen (pendapat) masing-masing dengan memberikan alasan-alasan yang logis dan dapat diterima. Debat berisi logika argumentasi yang disampaikan oleh pembicara, terlepas dari gaya bicaranya. Isi debat dinilai dari kekuatan logika, relevansi argumen, dan  penggunaan data-data yang terkait dengan topik debat. Sanggahan terhadap argumentasi lawan juga memiliki bobot yang sama dengan argumen, yang harus dibuktikan logika serta relevansinya.




Sumber: Pujiono, Setyawan. 2019. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia Modul 5 Keterampilan Berbahasa Produktif. Kemdikbud.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar