Unsur Fisik Puisi : Pengertian dan Pembagiannya


 

Unsur Fisik Puisi : Pengertian dan Pembagiannya

Pengertian Unsur Fisik Puisi

Unsur fisik adalah unsur yang secara fisik tampak dapat dilihat, seperti rima, gaya bahasa, imaji, diksi, struktur, dan perwajahan. Rima, gaya bahasa, imaji, dan diksi tampak melalui kata atau frase yang digunakan dalam puisi. Perwajahan puisi tampak melalui bentuk penyajian puisi. 

Unsur Fisik Puisi

1)  Rima (Persajakan)

Menurut Sayuti (2008:104), rima atau persajakan merupakan perulangan bunyi yang sama dalam puisi. Pengertian ini dapat diperluas sehingga persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu dalam dua kata atau lebih, baik yang berada di akhir kata, maupun yang berupa perulangan bunyi- bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu secara teratur.

Berdasarkan pengertian tersebut, persajakan dalam puisi pun dapat diklasifikasikan. Dilihat dari segi bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak mutlak, aliterasi dan asonansi; dari posisi kata yang mengandung dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir; dan dari segi hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk (Sayuti,2008: 105).

Sajak sempurna muncul apabila seluruh suku akhirnya berirama sama, contoh: peti – hati. Sajak paruh muncul apabila sebagian atau separuh suku akhirnya berirama sama, contoh: gunung – pelindung. Sajak mutlak muncul apabila beberapa kata persis sebunyi, contoh jua-jua. Untuk memahami jenis persajakan berdasar bunyi ini, perhatikan contoh puisi berikut!

BULAN RUWAH (karya Subagyo Sastrowardoyo)

...

Di yaumulakhir

roh kita dari kubur

akan keluar berupa kelelawar

dan berebut menyebut nama Allah dengan cicit suara kehausan darah

Dalam puisi di atas ditemukan sajak sempurna, yaitu kata ‘berebut’ dan menyebut’.

Dalam puisi tersebut juga ditemukan sajak paruh, yaitu pada kata ‘keluar’ dan

‘kelelawar’ dan kata ‘Allah’ dan ‘darah’.

Sajak mutlak tampak dalam perulangan kata ‘jua’ dalam puisi berikut. 


MENDATANG-DATANG JUA (karya A.M. Daeng Myala)

Mendatang-datang jua Kenangan lama lampau Menghilang muncul jua Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua Adi kanda lama lalu Membuat hati jua Layu lipu rindu-sendu

Sajak awal atau anafora adalah ulangan pola bunyi di awal baris. Sajak tengah adalah persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris di antara dua baris atau lebih (berupa kata atau suku kata). Sajak dalam adalah persamaan bunyi kata yang  terdapat  dalam  satu  baris.  Sajak  akhir  adalah  persamaan bunyi  yang terdapat di akhir baris. Untuk lebih memahami jenis persajakan berdasarkan posisi kata, perhatikan contoh puisi berikut!

PERJALANAN KUBUR (karya Sutardji Calzoum Bachri)

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur laut pergi ke laut membawa kubur-kubur awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur

hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga membawa kuburmu alina

Dalam puisi “Perjalanan Kubur” karya Sutardji Calzoum Bachri di atas ditemukan sajak tengah dengan perulangan kata “pergi ke”. Posisi kata yang diulang berada di  tengah baris  sehingga disebut sajak  tengah. Selain itu,  dalam puisi  juga ditemukan sajak akhir dengan perulangan kata “membawa kubur-kubur”. Perulangan kata yang diulang berada di akhir baris sehingga disebut sajak akhir. Sajak merata (terus) adalah persajakan dengan pola a-a-a-a. Sajak berselang adalah  persajakan dengan pola  a-b-a-b. Sajak  berangkai adalah  persajakan dengan pola a-a-b-b. Sajak berpeluk adalah persajakan dengan pola a-b-b-a. Untuk memahami jenis persajakan berdasar hubungan antarbaris ini, perhatikan puisi berikut! 

IBUKOTA SENDJA (karya Toto Sudarto Bachtiar)

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran

Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari

Antara kuli-kuli jang kembali

Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa

Di bawah bajangan samar istana kedjang Lajung-lajung sendja melambung hilang Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Puisi di atas ditulis tahun 1951 sehingga masih menggunakan ejaan lama. Bait pertama dan kedua puisi tersebut memiliki sajak berpeluk dengan pola a-b-b- a. Pada bait pertama pola a-b-b-a tampak pada persajakan kata ‘bergiliran’, ‘hari’, ‘kembali’,   dan   ‘kesajangan’.   Dilihat   dari   bunyinya,   kata   ‘bergiliran’   dan ‘kesajangan’ merupakan sajak paruh, begitu pula dengan kata ‘hari’ dan ‘kembali.

Pada bait kedua, pola a-b-b-a tampak pada persajakan ‘berdosa’, ‘kedjang’,

‘hilang’, dan ‘tergesa’. Dilihat dari bunyinya, kata ‘berdosa’ dan ‘tergesa’ merupakan sajak sempurna, sedangkan kata ‘kedjang’ dan ‘hilang’ merupakan sajak paruh.

2.  Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan  perasaan-perasaan. Fungsi diksi dalam puisi merupakan sarana yang menghubungkan pembaca dengan gagasan penyair dan dunia intuisi penyair, menciptakan kesan hidup dalam puisi. Diksi dalam puisi menjadi ciri khas penyair. Bahasa puisi bersifat konotatif dan estetis. Untuk memahami puisi, pembaca harus memahami makna diksi ini. Perhatikan puisi berikut ini!

HATIKU SELEMBAR DAUN (karya Sapardi Djoko Damono)

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi. 

3.  Gaya Bahasa

Salah satu keindahan puisi terletak pada gaya bahasanya. Gaya bahasa yang sering  muncul  dalam  puisi  antara  lain  simile,  metafora, metonimi, sinekdok, personifikasi, repetisi, pertanyaan retoris, dan ironi (Sayuti, 2002).

a. Simile, yaitu membandingkan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding, yaitu seperti, bagai, laksana, semisal, seumpama, sepantun, sebagai, serupa, bak, dan sebagainya. Bentuk pembandingannya eksplisit.

b. Metafora, yaitu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Bentuk pembandingannya implisit.

c. Metonimi, yaitu pemanfaatan ciri atau sifat suatu hal yang erat hubungannya. 

d.   Sinekdok, yaitu bahasa viguratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari

suatu benda atau hal itu sendiri. pars prototo (penyebutan sebagian dari suatu hal untuk menyebutkan keseluruhan) dan totum pro parte (penyebutan keseluruhan dari suatu benda atau hal untuk sebagiannya).

e. Personifikasi, yaitu mempersamakan sesuatu benda dengan manusia.

f.  Repetisi berfungsi sebagai penekan dan melukiskan keadaan atau peristiwa yang terjadi secara terus menerus.

g. Pertanyaan retoris, merupakan sarana retorik berbentuk pertanyaan yang tanpa perlu dijawab karena jawabannya sudah tersirat dalam jalinan konteks yang tersedia atau jawabannya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau pendengar.

h. Ironi, merupakan bentuk pengucapan kata-kata yang bertentangan dengan maksud sebenarnya, dan biasanya dimaksudkan untuk menyindiri atau mengejek.

Perhatikan puisi-puisi berikut untuk memahami gaya bahasa tersebut!

IBU (Karya D. Zawawi Imron)

ibu adalah gua pertapaanku

dan ibulah yang meletakkan aku di sini

saat bunga kembang menyemerbak bau sayang ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi

aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra sempit lautan teduh

tempatku mandi, mencuci lumut pada diri 

tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh lokan-lokan, 

mutiara dan kembang laut semua bagiku kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu

engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala sesekali datang padaku menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku

(1966)

Dalam puisi tersebut banyak ditemukan metafora. Ibu digambarkan dengan metafora ‘gua pertapaanku’ yang berarti tempat bersemayam saat belum terlahir dan ‘bidadari yang berselendang bianglala’ yang merupakan penggambaran ibu yang sangat sempurna seperti bidadari berselendang pelangi. Metafora juga tampak pada baris sebelumnya /bila aku berlayar lalu datang angin sakal/. Dalam baris ini ‘berlayar’ berarti mengarungi kehidupan di dunia, sedangkan

‘angin sakal’ berarti ujian atau musibah kehidupan. Dalam puisi tersebut juga terdapat gaya bahasa simile pada baris ‘bila kasihmu ibarat samudra’ dengan kata pembanding ‘ibarat’. Ibu diumpamakan seperti samudra yang luas.

DARI BENTANGAN LANGIT (karya Emha Ainun Nadjib) Dari bentangan langit yang semu

Ia, kemarau itu, datang kepadamu

Tumbuh perlahan. Berhembus amat

Panjang Menyapu lautan.

Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan! Mengekal tanah berbongkahan!

datang kepadamu, Ia, kemarau itu dari Tuhan, yang senantia diam dari tangan-Nya.

Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.

Puisi di atas memiliki banyak sekali personifikasi yang dikembangkan dari kata ‘kemarau’ dan  disandingkan dengan dengan kata  kerja  ‘datang’, ‘tumbuh’,‘menyapu’ dan ‘mengekal’. Dalam hal ini kemarau digambarkan seperti benda hidup. 

4.  Imaji /Citraan

Citraan merupakan rangkaian kata yang mampu menggugah pengalaman keindraan (membentuk gambaran angan-angan). Gambar yang muncul dalam angan-angan disebut citra (imaji). Sesuatu itu tergambar dengan sarana indra. Karena itu, jenis citraan sellau dikaitkan dengan indra ini. Berikut ini enam jenis citraan dalam puisi.

a) Citraan visual (visual imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera penglihatan, contoh kata ‘daun’, ‘pohon’, ‘langit’, ‘pelangi’, dan sebagainya.

b)  Citraan auditif (auditory imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera  pendengaran, misalnya  kata  ‘ritmis’,  ‘gemericik’,  ‘denting’,  dan sebagainya.

c)  Citraan  kinestetik/gerak  (kinaesthetic/movement  imagery),  yaitu  citraan yang  berhubungan  dengan  indera  gerak,  misalnya  kata  ‘melompat’, ‘berlari’, ‘beranjak’, dan sebagainya.

d)  Citraan peraba (thermal imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera peraba, misalnya kata ‘prasasti’, ‘stupa’, dan sebagainya.

e)  Citraan   penciuman, yaitu   citraan   yang   berhubungan   dengan   indera penciuman, misalnya kata ‘aroma’, ‘bangkai’, ‘melati’, dan sebagainya.

f)      Citraan  pencecapan,  yaitu  citraan  yang  berhubungan  dengan  indera pencecapan, misalnya kata ‘getir’, ‘pahit’, ‘manis’, dan sebagainya.

5.  Perwajahan/ Tipografi

Perwajahan merupakan bagian dari wujud visual puisi. Hal ini terkait dengan pengaturan bait dan baris dalam puisi. Ada puisi yang terdiri dari beberapa bait dengan jumlah baris yang sama. Ada puisi yang hanya terdiri dari satu bait yang sangat panjang. Ada juga puisi yang hanya terdiri dari satu bait yang sangat pendek. Selain itu, perwajahan juga dapat dikaitkan dengan tipografi atau bentuk puisi. Ada banyak puisi yang memiliki tipografi yang biasa dengan pengaturan bait dan baris yang teratur, tetapi ada juga puisi dengan bentuk yang menyerupai sebuah benda. Bandingkan perwajahan dalam puisi berikut!

HATIKU SELEMBAR DAUN (karya Sapardi Djoko Damono)

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; 

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.


MAUT (karya Ibrahim Sattah)

dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam maut

Puisi “Maut” karya Ibrahim Sattah tersebut berbentuk segitiga terbalik. Diksi yang   digunakan   hanya   terdiri   dari   tiga   kata,   yaitu   ‘maut’,   ‘dia’,   dan

‘diamdiam’. Dari diksi yang digunakan, isi puisi ini mudah ditangkap pembaca, yaitu maut itu datangnya diam-diam. Penulisan ‘diamdiam’ tanpa tanda penghubung seakan memberi penegasan bahwa kehidupan dunia dan setelahnya itu sangat dekat. Tipografi segitiga terbalik yang berujung pada kata ‘maut’ juga menegaskan pesan bahwa kehidupan manusia akan sampai pada titik kematian.



Sumber:  Kusmarwanti. 2019. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia Modul 3 Kesastraan. Kemdikbud


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar