Konsep Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia sebagai Landasan Konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara
Secara substansial dalam salah satu komponen civics yaitu civic knowledge, indikator-indikator pada komponen tersebut juga terdapat satu hal penting yang membahas tentang apa dan bagaimana pengetahuan hukum seorang warga negara yang akan menjadi tolak ukur untuk mewujudkan kesadaran hukum seseorang. Satu hal penting dalam komponen tersebut adalah bagaimana pemerintah yang dibentuk oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menjembatani nilai-nilai, tujuan-tujuan dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia (Winarno, 2013).
Elemen civics knowledge berintikan bahwa seorang warga negara harus mengetahui dan memahami kedudukan pemerintah dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Adapun fungsi warga negara dalam civil society memiliki peran advokasi dan social control terhadap pemerintahan. Konstitusi Indonesia atau Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dibentuk agar hak-hak asasi manusia dan didalamnya hak-hak warga negara turut terjamin dan dilindungi oleh negara terutama penyelenggaraan negara. Kemudian yang paling penting adalah adanya kesadaran konstitusi yang tinggi warga negara akan memiliki kontribusi bagi kontrol jalannya kekuasaan negara yang sehat dan kuat. Konsep seperti ini merupakan cita-cita keberadaan masyarakat madani dan good government yang berupaya menyelaraskan peran dan partisipasi antara warga negara dengan negara dalam konteks hukum. Hal ini menjadi wujud aktualisasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan hukum.
Aktualisasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai wahana pendidikan hukum merupakan bentuk dasar dan rekonstruksi keilmuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang secara substantif-pedagogis dijiwai oleh norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Jika dikaji dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Kurikulum 2013 secara adaptif menerapkan tradisi filosofi yang menekankan transfer imperatif norma-norma Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai suatu tradisi perenialisme materi pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di sekolah (Winataputra, 2015).
Tradisi perenialisme materi Pendidikan Pancasila dan kewarganegaraan bersumber dari norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara implisit harus tercermin ke dalam Kompetensi Dasar pada Kurikulum Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai wujud spirit kewarganegaraan yang tercermin dari norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Maka secara praktis
aktualisasi norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan termasuk ke dalam tradisi esensialisme. Konsep ini dicirikan dengan pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang dipayungi oleh materi norma-norma Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai semangat untuk mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Hal tersebut disebabkan norma-norma fundamental pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai suatu hal yang imperatif (keharusan) untuk menjadi landasan konstitusional warga negara.
Secara praktis, pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengaktualisasikan norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ke dalam proses pembelajaran yang terhimpun ke dalam filosofi tradisi progresivisme yang dicirikan dengan pengorganisasian pengalaman belajar. Guru harus mampu menciptakan pengalaman belajar yang terstruktur dan terukur dalam upaya membentuk karakter peserta didik yang sadar akan norma-norma konstitusi sebagai landasan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Aktualisasi norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan juga merupakan bagian dari tradisi rekonstruksionisme yang dicirikan dengan muatan dan dorongan bagi individu untuk memberikan kontribusi dalam konteks perwujudan norma-norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Perenialisme, esensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme merupakan filsafat pendidikan yang mendasari bentuk kurikulum. Keempat aliran filsafat tersebut memiliki perbedaan pada aspek basis filsafat, tujuan pendidikan, pengetahuan, peran pendidikan, fokus kurikulum, dan tren kurikulum yang terkait.
Filsafat pendidikan perenialisme berdasarkan filsafat realisme. Tujuan pendidikan aliran ini adalah untuk mendidik orang yang rasional dan untuk menanamkan intelektualitas. Pengetahuan difokuskan pada warisan pengetahuan lampau, studi permanen, dan pengetahuan abadi. Perkembangan konsep-konsep perenialisme banyak dipengaruhi tokoh-tokoh seperti Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquinas. Menurut Plato, manusia secara kodrat memiliki nafsu, kemauan dan akal. Oleh karenanya program pendidikan yang ideal adalah berorientasi kepada ketiga potensi itu. Ide Plato kemudian dikembangkan lagi oleh Aristoteles yang lebih menekankan pada dunia realitas bahwa tujuan pendidikan adalah kebahagiaan. Untuk mencapainya diperlukan keseimbangan antara aspek fisik, intelek dan emosi secara keseluruhan. Thomas Aquinas menegaskan lebih lanjut bahwa tujuan pendidikan sebagai usaha untuk mewujudkan kapasitas (potensi) yang ada dalam diri individu agar menjadi aktif dan aktual. Untuk itu, guru harus berperan terutama mengajar dalam arti memberi bantuan pada peserta didik untuk berfikir jelas dan mampu mengembangkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.
Filsafat pendidikan esensialisme didasarkan pada filsafat idealisme dan realisme, yang bertujuan untuk mendorong perkembangan intelektual individu, dan untuk mendidik orang yang cakap. Pada aliran idealisme pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan kepribadian peserta didik sesuai dengan kebenaran yang berasal dari Tuhan. Sedangkan aliran filsafat realisme berpendapat bahwa upaya pendidikan harus diarahkan pada penguasaan pengetahuan sebagai hasil penelitian ilmiah yang dituangkan secara sistematis dalam berbagai mata pelajaran. Isi pendidikan mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah bagi essensialisme merupakan miniatur dunia yang bisa dijadikan ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam kurikulum menerapkan berbagai pola seperti idealisme, realisme, dan sebagainya.
Filsafat pendidikan progresivisme didasarkan pada filsafat pragmatisme. Aliran filsafat pragmatisme menegaskan bahwa pendidikan diarahkan pada upaya bukan semata-mata memberikan pengetahuan teoritis melainkan juga memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk melakukan berbagai kegiatan dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Tokoh progresivisme yaitu John Dewey yang memberikan pandangan education by process (pendidikan melalui proses), dan mendirikan “sekolah kerja” untuk mempraktekkan pandangan-pandangannya dalam dunia pendidikan. Pandangan tersebut mengenai kebebasan dan kemerdekaan peserta didik agar dapat mencapai tujuan pendidikan dalam pembentukan warga negara yang demokratis. Progresivisme juga tidak menghendaki adanya mata pelajaran yang terpisah, melainkan harus diusahakan menjadi satu unit dan terintegrasi misalnya dalam mata pelajaran IPA. Praktek kerja di laboratorium, bengkel dan kebun merupakan kegiatan yang dianjurkan dalam rangka terlaksananya learning by doing (belajar sambil bekerja).
Filsafat pendidikan rekonstruksionisme berdasarkan filsafat pragmatisme. Tujuan pendidikan adalah untuk meningkatkan dan merekonstruksi masyarakat. Pendidikan adalah untuk perubahan dan reformasi sosial. Pada aspek pengetahuan, keterampilan dan mata pelajaran dibutuhkan untuk mengidentifikasi dan untuk memecahkan masalah masyarakat. Belajar dilaksanakan secara aktif dan peduli terhadap masyarakat pada masa kini dan masa depan. Peran pendidikan, guru berfungsi sebagai agen perubahan dan reformasi sosial. Guru berperan sebagai direktur proyek, pemimpin penelitian, dan membantu peserta didik memahami dan menyadari masalah- masalah yang dihadapi umat manusia. Fokus kurikulum pada ilmu sosial dan metode riset sosial, ujian terhadap problem sosial, ekonomi, dan politik. Fokus pada tren dan isu sekarang dan yang akan datang, pada skala nasional dan internasional. Tren kurikulum yang terkait adalah pendidikan internasional, rekonseptualisasi, dan kesetaraan kesempatan pendidikan (Ornstein dan Hunkins, 2004:55).
Secara konseptual-filosofik tradisi pembelajaran pendidikan kewarganegaraan menerapkan pandangan perenialisme, essensialisme, progresivisme, dan rekonstruksionisme secara utuh (Soemantri & Winataputra, 2017) dengan uraian sebagai berikut :
Pertama, tradisi perenialisme dicirikan dengan imperatif nilai- nilai luhur kebangsaan (Pancasila) dan kebernegaraan (Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan konstitusi lainnya). Sebagai contoh, tradisi ini dalam desain kurikulum 2013
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Sekolah Dasar (SD) diwadahi dalam KI 1. Menerima dan menjalankan ajaran agama yang dianutnya, dan KD jabarannya 1.1 Menerima keberagaman karakteristik individu dalam kehidupan beragama, suku bangsa, ciri-ciri fisik, psikis dan hobby sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa. KD 1.2. Menerima kebersamaan dalam keberagaman sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa di lingkungan rumah dan sekolah.
Kedua, tradisi esensialisme dicirikan dengan mata pelajaran disiplin ilmu politik/kenegaraan dalam desain kurikulum 2013 pada KI 3 dan KI 4 beserta seluruh KD jabarannya masing-masing. Sebagai contoh KI 3 SD kelas I dan kelas II yaitu Memahami pengetahuan faktual dengan cara mengamati (mendengar, melihat, membaca) dan menanya berdasarkan rasa ingin tahu tentang dirinya, makhluk ciptaan Tuhan dan kegiatannya dan benda-benda yang dijumpainya di rumah dan di sekolah. Jika dianalisis dari kerangka tradisi esensialisme, KD 3.1 Mengenal simbol-simbol Pancasila dalam lambang negara “Garuda Pancasila” secara substantif merupakan resonansi dari nilai moral Pancasila. KD 3.2 Mengenal tata tertib dan aturan yang berlaku dalam kehidupan sehari-hari di rumah dan sekolah, merupakan resonansi dari nilai dan norma konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara akademik dipayungi disiplin keilmuan politik dan kenegaraan. KD 3.3 Mengenal keberagaman karakteristik individu di rumah dan di sekolah, secara substantif merupakan resonansi dari semangat dan komitmen kebersamaan dalam keberagaman sesuai dengan nilai yang terkandung dalam seloka Bhinneka Tunggal Ika. Secara konseptual keilmuan KD ini dipayungi oleh disiplin keilmuan Sosiologi Indonesia dan Antropologi Budaya Indonesia. Pada akhirnya KD 3.4 Mengenal arti bersatu dalam keberagaman di rumah dan sekolah secara substantif merupakan resonansi dari komitmen nasional untuk hidup dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan secara keilmuan dipayungi oleh disiplin politik khususnya kewarganegaraan.
Ketiga, tradisi progresivisme dicirikan dengan pengorganisasian pengalaman belajar yang bermuatan substansi dan proses psikologis- pedagogis secara spiral meluas (extending community approaches). Tradisi ini dalam desain kurikulum 2013 diwadahi terutama dalam urutan logis (logical sequence) KD 3 dan KD 4 dalam setiap kelas yang secara optimal dikaitkan dengan karakteristik umum peserta didik secara psikologis.
Keempat, tradisi rekonstruksionisme dicirikan dengan muatan dan dorongan dan/atau fasilitas bagi individu untuk memberikan kontribusi sesuai dengan kemampuannya kepada orang lain, masyarakat, bangsa dan negara. Pengorganisasian pengalaman belajar yang bermuatan substansi dan proses psikologis-pedagogis dilakukan secara spiral meluas sebagaimana hal itu tercermin dalam rumusan setiap KD dan antar KD dalam satu tingkat kelas. Tradisi ini dalam desain kurikulum 2013 diwadahi terutama dalam KI 2 dan KD jabarannya dan KI 4 beserta KD jabarannya yang pada intinya berisikan pengembangan kemampuan utuh peserta didik sebagai bekal untuk kontribusi pada usaha kolektif membangun dirinya dan masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, pada dasarnya setiap jenis pendidikan SD/MI, SMP/MTs dan SMA/MA/SMK/SMAK dengan kurikulum 2013 diarahkan kepada proses belajar dan pembelajaran untuk membangun kompetensi peserta didik secara keseluruhan. Harapannya akan tercapai penguasaan kompetensi peserta didik secara elektis yang harmonis antara internalisasi muatan nilai/moral (tradisi perenialisme), penguasaan substansi (tradisi essensialisme), dan kemaslahatannya bagi lingkungan (tradisi rekonstruksionisme). Oleh karenanya Guru Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan perlu memahami konseptualisasi Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam tradisi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut dengan baik untuk diterapkan secara terstruktur dan terukur.
sumber : modul belajar mandiri pppk ppkn , Pembelajaran 3. Konsep Kajian Keilmuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , kemdikbud
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar