Isu-Isu Kewarganegaraan dalam Konteks Lokal


Isu-Isu Kewarganegaraan dalam Konteks Lokal
Isu-Isu Kewarganegaraan dalam Konteks Lokal


isu berarti masalah yang dikedepankan (https://kbbi.web.id/isu) dan kewarganegaraan berarti sesuatu yang tidak sebatas keanggotaan seseorang dari organisasi negara, tetapi meluas kepada hal-hal yang terkait dengan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Cholisin, 2016). Jadi, isu kewarganegaraan dapat disimpulkan sebagai suatu masalah yang urgen atau penting terkait kehidupan warga negara dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

a.  Isu Kewarganegaraan pada teritorial lokal

Pada region lokal isu kewarganegaraan akan dilihat pada batasan teritori wilayah administratif bagian dari suatu negara yaitu provinsi atau wilayah bagian terkecil dibawahnya.

Isu kewarganegaraan dalam konteks lokal berorientasi pada isu-isu kewarganegaraan pada teritorial lokal atau wilayah bagian suatu negara seperti provinsi atau kabupaten kota. Indonesia sendiri adalah negara yang multikultural dan majemuk. Keduanya menjadi identitas khas bangsa Indonesia yang dapat memperkaya sekaligus menjadi faktor trigger (pemicu) lahirnya perpecahan. Dilematik paradigma ini yang dapat menjadi alasan munculnya berbagai isu kebangsaan dalam teritorial lokal yang dapat melunturkan nilai kebhinekaan serta rasa kebangsaan seperti cinta tanah air, patriotik, dan bela negara.

Realita tersebut dapat menjadi paradigma negatif pendidikan kewarganegaraan di Indonesia, dan kontra dengan hakikat PKn sebagai pendidikan multikultural untuk membangun kehidupan yang rukun dan harmonis. Sebagaimana dalam (Setiawan dan Yunita, 2017) bahwa Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan dapat menjadikan warga negara yang selalu ikut berpartisipasi dalam pembangunan negara, yaitu menjaga keutuhan bangsa dan mampu hidup rukun dan harmonis dalam masyarakat Indonesia yang berBhineka Tunggal Ika.

Stereotip penduduk asli dengan pendatang misalkan, dimana penduduk asli lebih diutamakan dan mempunyai kedudukan yang spesial dengan pendatang. Contoh, tragedi Sampit antara penduduk asli suku Dayak dengan pendatang suku Madura. Seluruh penduduk asli di kota Sampit Kalimantan Tengah dan bahkan meluas sampai ke seluruh provinsi yang merasa tidak nyaman dengan keberadaan para pendatang dari suku Madura yang secara agresif berkembang untuk menguasai sektor industri komersial daerah kota Sampit Kalteng. Hal ini mengakibatkan kecemburuan sosial dan ekonomi oleh kalangan suku Dayak sehingga memicu perang antar suku.

Isu etnosentrisme di Indonesia seakan menjadi cambuk spirit perlunya peran pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan peran edukasi untuk mencegah dampak negatif dari etnosentrisme. Untuk itu perlu upaya khusus untuk mengimplementasikan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi wahana pendidikan multikultural di daerah-daerah sejak dini melalui institusi sekolah. Karena permasalahan etnosentrisme tidak hanya terjadi pada suku Dayak dengan Madura saja, ada banyak isu etnosentrisme yang pernah dan bahkan senantiasa menjadi rutin terjadi di Indonesia, Seperti kebiasaan suku pedalaman di Papua yang tetap menggunakan koteka dalam keadaan apapun dan dilihat oleh siapapun bahkan yang bukan orang Papua sekalipun. 

Pemakaian koteka tentu tidaklah salah karena itu adalah kekayaan budaya salah satu bangsa Indonesia. Yang menjadi kekeliruannya sehingga mengakibatkan timbulnya nilai etnosentris adalah pemakaian koteka di situasi dan kondisi yang orang-orangnya berlatarkan multi etnis. Jadi, etnosentrisme merupakan suatu sikap seseorang yang berlebihan kecintaannya terhadap nilai adat istiadat sukunya sendiri dan menganggap sukunya yang terbaik.

Etnosentrisme adalah penilaian terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Orang-orang etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama. Perbedaan dan pembagian etnis ini mendefinisikan kekhasan identitas budaya setiap suku bangsa. Etnosentrisme mungkin tampak atau tidak tampak, dan meski dianggap sebagai kecenderungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat (https://id.wikipedia.org/wiki/Etnosentrisme).

b.  Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan seyogyanya harus secara terencana, terstruktur, dan terukur dengan baik untuk menerapkan pendidikan multikultural di institusi sekolah-sekolah. Melalui kerjasama seluruh stakeholder akan lebih memudahkan target tercapainya dengan baik pendidikan multikultural disekolah-sekolah.

Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menitikberatkan pada 2 hal yaitu kebebasan dan toleransi. Dalam pengertian yang paling sederhana, kebebasan berarti ketiadaan dari paksaan-paksaan atau pembatasan-pembatasan (Kalidjernih, 2009: 17). Toleran sering dipahami sebagai suatu kerelaan untuk 'membiarkan sendiri' (leave alone) dengan sedikit refleksi pada motif-motif yang ada di balik posisi tersebut. Pendidikan multikultural menurut pemikiran Freddy K. Kalidjernih, kuncinya adalah masalah kebebasan dan toleransi yang mana kebebasan yang dimaksud adalah kehidupan tanpa ada batasan-batasan selama itu adalah hak warganegara, dan toleransi menjadi kunci kedua dalam multikulturalisme karena melalui toleransi warga negara akan terhindar dari sifat fanatik dan prasangka. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus dapat menginternalisasi pentingnya nilai kebebasan dan toleransi pada tiap diri peserta didik atau warga negara. 

Pada jurnal civics dengan judul “Pendidikan Multikultural Untuk Membangun Bangsa Yang Nasionalis Religius” (Ambarudin, 2016) Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara- cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada.

Polemik atau isu kewarganegaraan dalam konteks lokal sebenarnya ada banyak dan tidak hanya sebatas isu etnosentrisme, yang paling umum adalah isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena pada tatanan lokal biasanya isu SARA lebih rentan terjadi. Namun etnosentrisme sebenarnya adalah bagian dari kekerasan SARA, hanya saja memang etnosentrisme dianggap menjadi polemik kewarganegaraan yang tidak ada habis-habisnya. Untuk itu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki tanggung jawab besar untuk memfasilitasi edukasi positif kepada warga negara dalam hal pendidikan multikulturalisme.



sumber : modul belajar mandiri pppk pkn , Pembelajaran 4. Isu-Isu Kewarganegaraan dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia , kemdikbud
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar