Tahapan Penelitian Sejarah
Prosedur kerja seorang peneliti sejarah dalam mengkaji masa lampau berkisar pada langkah-langkah;
(1) pemilihan topik,
(2) pengumpulan sumber,
(3) verifikasi (kritik sejarah, keabsahan sumber),
(4) interpretasi: analisis dan sintesis, dan
(5) penulisan.
Kelima langkah ini kemudian diringkas dalam empat kegiatan, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Kuntowijoyo (1995: 90-92) menyarankan, sebaiknya topik atau objek kajian dipilih berdasarkan:
(1) kedekatan emosional, dan
(2) kedekatan intelektual.
Kedekatan
emosional biasanya akan diikuti atau berjalan bersamaan dengan
kedekatan intelektual, bahkan tidak jarang kedekatan intelektual
mendahului kedekatan emosional. Kalau tertarik terhadap
permasalahan tertentu, seseorang akan memper-kaya khasanah
intelektualnya dengan hal-hal yang terkait dengan permasalahan tersebut.
1) Heuristik/ Pencarian dan Pengumpulan Sumber
Dianjurkan
sebelum masuk pada tahap heuristik (pencarian dan pengumpulan sumber),
peneliti melakukan studi kepustakaan dan atau perbandingan. Dengan studi
kepustakaan dan atau perbandingan akan diperoleh keuntungan, yakni (1)
mencapai kedalaman tentang objek atau topik serta permasalahannya; (2)
kalau mungkin mendapatkan penulisan-penulisan pendahulu atau yang
menyangkut topik. Peneliti harus membiasakan diri untuk mengumpulkan
sumber kapan saja dan di mana saja sumber ditemukan.
Sumber
sejarah dapat ditemukan di berbagai tempat antara lain, perpustakaan,
arsip, dan museum. Penemuan sumber baru sejarah secara terus menerus
bermunculan. Sumber-sumber itu berupa memori, otobiografi, kumpulan
surat-surat dari orang-orang sezaman yang telah memainkan peranan
penting dalam sejarah, peninggalan-peninggalan dan catatan- catatan
penting yang dimiliki perorangan. Sumber-sumber baru itu tidak selalu
mengubah substansi pengetahuan sejarah, tetapi yang pasti akan
memperluas pengetahuan, akan mengisi lubang-luang yang membingungkan
sejarawan, dan menghasilkan rekonstruksi yang lebih rinci dari masa
lalu. Dengan penemuan sumber baru, kesalahan-kesalahan akan diperbaiki
dan kebenaran masa lalu diperkuat (Sjamsuddin, 1996: 93).
2) Kritik Sumber/Verifikasi
Kritik
sumber merupakan proses menilai, menguji atau menyeleksi sumber- sumber
sebagai usaha untuk mendapatkan sumber yang benar dan mengandung
informasi yang relevan dengan cerita sejarah yang disusun. Semua sumber
mempunyai aspek ekstern dan aspek intern, oleh karena itu kritik sejarah
bisa dibedakan menjadi kritik intern dan kritik ekstern. Kritik ekstern
bertugas mempermasalahkan kesejatian bahan atau mempersoalkan apakah
sumber itu merupakan sumber sejati yang dibutuhkan. Kritik intern
bertugas mem-permasalahkan kesejatian isi atau bertalian dengan
persoalan: apakah sumber itu dapat memberikan informasi yang dibutuhkan.
Kritik ekstern terutama bertujuan menjawab tiga pertanyaan pokok yang menyangkut sumber.
a)
Apakah sumber itu memang sumber yang kita kehendaki, di mana sejarawan
ingin mengetahui /meyakinkan diri apakah sumber itu asli atau palsu.
b)
Apakah sumber itu sesuai dengan aslinya atau tiruan, yang mana terutama
menyangkut sumber-sumber kuno di mana satu-satunya cara untuk memper-
banyak atau mengabadikan naskah adalah dengan menyalin. Dalam menyalin
inilah ada kemungkinan terjadi perubahan dari dokumen aslinya.
c)
Apakah sumber itu utuh atau telah diubah-ubah. Ini menyangkut utuh atau
tidaknya sumber, artinya mempertanyakan kondisi fisik sumber (rusak,
retak, robek, dll.) (Notosusanto, 1971: 20; Widja, 1988: 21-22).
Dengan
kata lain, kritik ekstern harus menegakkan kesaksian, bahwa: (1)
kesaksian itu benar-benar diberikan oleh orang ini atau pada waktu ini;
(2) kesaksian yang telah diberikan itu telah bertahan tanpa ada
perubahan, tanpa ada penambahan-penambahan atau
penghilangan-penghilangan (Sjamsuddin, 1996: 105).
Kritik
intern mulai bekerja setelah kritik ekstern selesai menentukan, bahwa
dokumen yang kita hadapi memang dokumen yang kita cari. Kritik intern
harus membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan oleh suatu sumber
memang dapat dipercaya. Buktinya diperoleh dengan cara: (1) penilaian
intrinsik daripada sumber-sumber; (2) membanding-bandingkan kesaksian
daripada berbagai sumber (Notosusanto, 1971).
Penilaian
intrinsik sumber dilakukan dengan dua cara, yakni menentukan sifat
sumber dan menyoroti pengarang atau pembuat sumber. Harus dapat
diidentifikasi suatu sumber apakah bersifat rahasia atau tidak, bersifat
sakral atau profan. Pengarang atau pembuat adalah orang yang memberikan
informasi mengenai masa lampau melalui bukti yang sampai kepada kita.
Untuk itu, harus mempunyai kepastian bahwa kesaksiannya dapat dipercaya.
Untuk memastikan kesaksian dari pengarang atau pembuat dilakukan dengan
mengajukan dua pertanyaan. Pertama, apakah ia mampu untuk memberikan
kesaksian? Kemampuan ini antara lain berdasarkan kehadirannya pada waktu
dan tempat terjadinya peristiwa. Kemampuan itu bergantung pula pada
keahliannya, karena, misalnya, keterangan seorang prajurit mengenai
jalannya sebuah rapat staf divisi, tentu perlu disangsikan nilainya.
Kedua, apakah ia mau memberikan kesaksian yang benar? Ini menyangkut
kepentingan si pengarang atau pembuat terhadap peristiwa itu. Harus
diketahui, apakah ia mempunyai alasan untuk menutup-nutupi sesuatu
peristiwa atau untuk melebih-lebihkannya.
Proses kedua kritik
intern, yaitu membanding-bandingkan kesaksian berbagai sumber. Hal ini
dilakukan dengan “mensejajarkan” kesaksian dari sumber- sumber.
3) Interpretasi/ Penafsiran
Interpretasi atau penafsiran sejarah adalah kegiatan mensintesakan fakta- fakta yang diperoleh dari analisis sumber. Analisis sendiri berarti menguraikan, sedangkan sintesis berarti menyatukan. Dalam melakukan interpretasi keduanya tidak dapat dipisahkan. Sintesis adalah upaya menyusun/menyatukan sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama teori-teori disusunlah fakta-fakta itu ke dalam suatu interpretasi yang menyeluruh (Abdurrahman, 1999: 64).
Walsh (1970) mengungkapkan, bahwa ada empat faktor yang melatar-belakangi perbedaan interpretasi sejarawan.
a) Kecenderungan pribadi (personal bias), yaitu rasa suka atau tidak suka terhadap pelaku sejarah.
b)
Prasangka kelompok (group prejudice), yaitu anggapan-anggapan yang
berkaitan dengan masuknya seorang ahli sejarah menjadi anggota dari
suatu golongan atau kelompok tertentu.
c) Teori-teori yang saling
bertentangan atas dasar penafsiran sejarah atau penafsiran berlainan
tentang fakta sejarah (conflicting theories of historical
interpretation), yaitu tafsiran yang berlainan mengenai apa yang
sesungguhnya yang paling besar pengaruhnya terhadap terjadinya suatu
peristiwa.
d) Pandangan filsafat yang berbeda (underlying
philosophical conflicts), yaitu perbedaan dalam keyakinan moral dan
metafisis. Keyakinan moral berarti penilaian-penilaian yang diberikan
oleh sejarawan ke dalam pengertian mereka tentang masa lampau. Sedang
pengertian metafisis merupakan pengertian teoretis tentang hakikat
manusia dari tempatnya di dalam alam semesta dengan mana penilaian itu
dihubungkan.
Sejarawan mengkaji masa lampau dengan ide-ide filosofisnya dan dengan sendirinya ini menentukan cara mereka menafsirkan masa lampau tersebut, sehingga menghasilkan penafsiran sejarah yang berbeda-beda, sesuai dengan perbedaan-perbedaan pandangan filsafatnya.
Berkaitan dengan subjektivitas dan objektivitas
dalam sejarah, Poespoprodjo (1987) mengingatkan, bahwa subjektivitas
mempunyai pengertian lain dan tidak selalu negatif, berbeda dengan
subjektivistik dan subjektivisme. Subjektivitas adalah hal-hal yang
berhubungan dengan subjek. Subjektivistik lebih mengarah pada segala
sesuatu yang diserahkan pada kesewenangan subjek, sedang subjektivisme
berarti objek dipandang sebagai suatu kreasi (tidak dipandang
sebagaimana mestinya). Dalam hal ini objek seharusnya dipandang dengan
kacamata totalitas akal budi. Pada taraf yang ideal seorang sejarawan
seharusnya tidak dipengaruhi oleh subjektivistik ataupun subjektivisme.
Walaupun
sejarah tidak mungkin objektif (menurut kriteria objektif mutlak),
tetapi penulisan sejarah didasarkan atas aturan atau metodologi yang
menjamin keobjektifannya. Ilmu sejarah mengembangkan ceritera tersendiri
untuk mengukur sejauh mana pengkajiannya dinyatakan berhasil dan sejauh
mana pengkajian itu gagal mencapai tujuannya. Selanjutnya perlu
disadari bahwa objektivitas yang berlebihan, khususnya bila maksudnya
tidak pada kejujuran biasa atau keengganan menyatakan pendapat yang
tegas, tidak diinginkan dalam sejarah. Dengan kata lain, pengetahuan
tentang masa lampau tidak bertambah, apabila sejarahnya ditulis secara
ragu-ragu (Frederik dan Soeroto, 1982). Upaya sejarawan untuk
menampil-kan pelaku sejarah secara jujur dan terbuka makin jauh dari
objektif dan kemungkin-an akan menimbulkan kekacauan secara politis
maupun ilmiah.
Cara menghindari subjektivitas berlebihan dan
agar sejarawan tidak terjebak dalam subjektivististik dan subjektivisme
menurut Poespoprodjo (1987); (1) sejarawan terus menerus belajar agar
kapasitas intelektualnya bertambah kaya. Luasnya bidang yang digarap
sejarawan, jika sejarawan tidak peka terhadap bermacam ragam hal yang
berasal dari berbagai bidang sektor kehidupan, maka sejarah akan
menyedihkan; (2) sejarawan harus selalu memperhatikan kelengkapan
kejiwaannya, hal ini penting agar sejarawan tidak (a) dipermainkan oleh
prasangka, (b) dibutakan oleh konsepsi, (c) diperbudak oleh
kesewanangan. Meskipun kita tentu dapat mempertahankan pandangan atau
tafsiran agar jangan sampai menjadi dogma. Kita harus senantiasa siap
untuk mengubah atau menggantinya, jika bukti-bukti baru memaksa kita
mengubah atau menggantinya.
4) Historiografi
Historiografi berasal dari history (sejarah) dan graphy (graphein: melukiskan, mencitra, menggambarkan). Historiografi berarti melukiskan atau menggambarkan sejarah atau pengertian yang lebih umum adalah penulisan sejarah.
Penulisan sejarah adalah usaha rekonstruksi masa lampau
untuk menjawab pertanyaan pokok yang terlebih dahulu dirumuskan.
Penulisan tanpa adanya penelitian tidak lebih dari rekonstruksi tanpa
pembuktian. Abdullah (1985:xv) menyatakan, bahwa penulisan adalah puncak
segala-galanya. Sebab apa yang dituliskan itulah sejarah, yaitu
histoire-recite (sejarah sebagaimana
dikisahkan) yang mencoba
menangkap dan memahami histoire-realite (sejarah sebagaimana
terjadi-nya). Hasil penulisan sejarah yang akademis atau kritis berusaha
sejauh mungkin mencari kebenaran historis dari setiap fakta.
Dalam melakukan pemaparan, penulis sejarah sebaiknya memperhatikan hal- hal berikut.
a)
Memiliki kemampuan mengungkapkan dengan menggunakan bahasa secara
baik. Misalnya, memperhatikan aturan atau pedoman bahasa Indonesia yang
baik dan memilih kata serta gaya bahasa yang tepat untuk mengungkapkan
maksud.
b) Terpenuhinya kesatuan sejarah, yakni suatu penulisan sejarah disadari sebagai bagian dari sejarah yang lebih umum.
c)
Diperlukan pola penulisan atau sistematika penyusunan dan pembahasan
agar mudah diikuti secara jelas oleh pemikiran pembaca.
d)
Pemaparan harus argumentatif, artinya usaha peneliti dalam menyampaikan
ide-idenya dalam merekonstruksi masa lampau didasarkan bukti-bukti
terseleksi, bukti yang cukup lengkap, dan detail fakta yang akurat
(Hasan Usman dalam Abdurrahman, 1999: 67-68).
source : Modul pppk Sejarah
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar