Indonesia masa Penjajahan Inggris dan Belanda
a. Sistem Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda
Abad ke-19 merupakan suatu periode baru bagi imperialisme Belanda yang ditandai oleh politik kolonial yang berbeda sekali dengan politik colonial yang telah dijalankan sebelumnya. Kepentingan-kepentingan Belanda semula terbatas pada perdagangan, maka dalam periode ini Belanda mulai mengutamakan kepentingan politik.
Pada akhir abad ke-18 VOC bangkrut dan pada tahun 1800 kekayaan diambil alih kerajaan. Pemerintahan Belanda melanjutkan politik tradisional Kumpeni dengan tujuan memperoleh penghasilan sebagai upeti dan laba perdagangan, semuanya demi keuntungan kerajaan. Berdasarkan Groundwet (konstitusi Kerajaan Belanda) 1815, kekuasaan tertinggi atas wilayah jajahan berada di tangan raja. Demikian pula dengan kekuasaan undang-undang. Staten Generaal (parlemen) sama sekali tidak diikutsertakan di dalamnya. Dengan kekuasaannya itu Raja menunjuk tiga orang Commissaris Generaal, yaitu C.Th. Elout, G.A.G. Ph. Baron van der Capellen, dan A.A. Buyskes, untuk mengambil alih jajahan Belanda di Asia dari tangan Inggris. Mereka diberikan kekuasaan besar mewakili Pemerintahan Agung (Raja). Sejak masa Commissaris Generaal inilah, sebutan Oost Indië, atau Hindia Timur, berganti menjadi Nederlandsch Oost Indië (Hindia Belanda Timur). Akan tetapi tidak lama kemudian nama tersebut berubah Kembali menjadi Nederlandsch Indië (Hindia Belanda), seperti terlihat dalam Staatsblad (Lembaran Negara) tahun 1816. Tugas pokok yang dibebankan kepada van der Capellen dan kawan-kawan adalah membangun kembali sistem pemerintahan yang baik di Hindia. Tujuannya agar daerah koloni ini segera dapat
memberikan keuntungan kepada negeri induknya, yang sudah banyak terlibat utang, termasuk utang-utang VOC. Akan tetapi kondisi politik di Hindia Belanda yang belum sepenuhnya aman sejak ditinggalkan Daendels.
Adapun yang menjadi landasan operasional di Hindia Belanda diatur berdasarkan Regeering Reglement (Peraturan Pemerintah, disingkat RR). Menurut peraturan ini, dalam menjalankan tugasnya gubernur jenderal (anggota Commisaris Generaal) didampingi oleh Raad van Indië yang beranggotakan empat orang. Gubernur jenderal bersama Raad van Indië inilah yang disebut sebagai Pemerintahan Agung di Hindia Belanda. Sejak tahun 1816, ada dua instansi yang membantu pekerjaan Pemerintahan Agung di Batavia ini, yaitu Generale Secretarie (sekretaris umum) untuk membantu Commisaris General dan Gouvernement Secretarie (sekretaris pemerintahan) untuk membantu Gubernur Jenderal. Namun kedua lembaga itu berumur pendek dan dihapuskan pada tahun 1819. Kedudukannya kemudian digantikan oleh Algemene Secretarie, yang bertugas membantu gubernur jenderal (terutama memberikan pertimbangan keputusan).
Dalam tata pemerintahan kolonial, Gubernur Jenderal didampingi oleh Direksi atau departemen-departemen, yang namanya kemudian menjadi Departementen van Algemeen Bestuur. Dalam perkembangannya, lembaga ini seringkali mengalami perubahan, baik dalam susunannya maupun hierarkinya, akibat keadaan di Hindia Belanda sendiri maupun di Eropa (termasuk Negeri Belanda). Salah satu peristiwa yang membawa dampak cukup besar pada tata pemerintahan Hindia Belanda adalah revolusi yang terjadi di Eropa pada tahun 1848.
Sejak revolusi itu, dapat dikatakan bahwa di Eropa Barat tidak ada lagi raja yang berkuasa mutlak. Sebaliknya, para penguasa itu kini dibatasi oleh konstitusi. Dalam kasus raja Belanda, kekuasaannya dibatasi oleh Groundswet (konstitusi) tahun 1848. Meskipun ada upaya untuk melakukan modernisasi struktur birokrasi pemerintahan Hindia Belanda, namun dalam batas-batas tertentu struktur politik sebelumnya masih tetap dipertahankan, demi mempertahankan loyalitas, khususnya loyalitas para elit pribumi. Hal ini terlihat jelas dari struktur dan jabatan dalam organisasi pemerintahannya.
Jabatan-jabatan teritorial di atas tingkat kabupaten tetap dipegang oleh orang- orang Eropa/Belanda. Jabatan tertinggi yang dipegang oleh orang pribumi adalah kepala kabupaten, yaitu bupati. Bupati ini dibantu oleh seorang patih. Di bawah tingkat kabupaten terdapat kewedanaan yang dijabat oleh seorang wedana. Kecamatan, yang dikepalai seorang camat, merupakan wilayah di bawah kewedanaan. Sedangkan jabatan kepala desa pada dasarnya tidak termasuk dalam struktur birokrasi pemerintah kolonial sehingga bukan merupakan anggota korp pegawai dalam negeri Hindia Belanda. Korps pegawai dalam negeri Hindia Belanda (Departemen van Binnenland Bestuur), terdiri atas pegawai bangsa Eropa dan pribumi. Korp pegawai Eropa disebut Eropees bestuur sementara korps pegawai negeri pribumi disebut inland bestuur. Kedua korp pegawai ini secara umum disebut binnenland bestuur (BB). Dalam bahasa pribumi BB ini disebut Pangreh Praja (Pemangku Kerajaan). Para pejabat pribumi inilah yang disebut kaum priyayi, suatu istilah yang sebelumnya dipakai di kerajaan Jawa.
Selama masa Interregnum Inggris tahun 1811-1816, Raffles mengadakan suatu sistem administrasi yang sejajar dengan doktrin-doktrin liberal, yaitu persamaan hukum dan kebebasan ekonomi. Salah satu hal yang khas dari zaman pemerintahannya adalah hal pajak tanah (landrente). Yang diutamakan oleh Inggris adalah kepentingan perdagangan di tanah-tanah jajahan. Mereka menjual hasil-hasil industri di pasar Asia, dan untuk tujuan itu tanam wajib harus dihapus dan diganti dengan suatu sistem pajak, sehingga ekonomi uang itu dapat menciptakan suatu syarat pokok bagi pemasaran barang-barang produksi Inggris. Di samping aspek material, politik Raffles juga mempertunjukkan aspek ideal yaitu usaha mempraktekkan beberapa prinsip humaniter. Rakyat harus dibebaskan dari pemerasan para penguasanya dan harus pula dijamin keamanan, keadilan, dan pendidikannya. Ide-ide ini mengharuskan suatu perubahan total terhadap sistem lama, yaitu sistem pemerintahan tidak langsung. Sebagian besar dari perubahan- perubahan di dalam sistem politik kolonial yang dibuat oleh Raffles tersebut, akhirnya kandas atau dihapus oleh Belanda sebelum waktu berlakunya habis.
b. Sistem Tanam Paksa dan Politik Pintu Terbuka
1) Sistem Tanam Paksa
Peperangan yang dihadapi VOC maupun kerajaan Belanda tidak hanya di Indonesia tetapi juga di Eropa, sebagai dampak adanya Revolusi Perancis. Akibatnya kas negara defisit, sebab peperangan itu memerlukan biaya sangat besar. Untuk itu pemerintah jajahan melaksanakan Cultur Stelsel (Sistem Tanaman) pada periode 1830-1870. Munculnya sistem Batig Slot, atau Saldo plus. Artinya upaya memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dengan modal yang sedikit atau tanpa modal. Disebut tanpa modal uang tetapi modal kekuasaan di tanah jajahan. Dengan kata lain sistem tanaman itu dilakukan dengan paksa karena itu Cultur Stelsel disebut juga Tanam Paksa.
Culturstelsel di Jawa dimulai pada tahun 1836 atas inisiatif seseorang yang berpengalaman dalam urusan tersebut yaitu Van Den Bosch. Tujuan Van Den Bosch dengan sistem cultuurstelsel di Jawa itu adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang menjadi permintaan di pasaran dunia. Untuk mencapai tujuan tersebut Bosch menganjurkan pembudidayaan berbagai produk seperti kopi, gula, indigo (nila), tembakau, teh, lada, kayumanis, jarak, dan lain sebagainya. Persamaan dari semua produk itu adalah bahwa petani dipaksakan oleh pemerintah kolonial untuk memproduksinya dan sebab itu tidak dilakukan secara voluter (Fasseur, 1992: 239).
Dari pelaksanaan tanam paksa, terdapat beberapa dampak yang dirasakan oleh bangsa Indonesia. Dampak negatif tanam paksa antara lain adalah;
a) Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu kegiatan penanaman padi.
b) Persiapan lahan untuk tanaman kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi.
c) Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu membutuhkan air yang sangat besar sehingga memberatkan petani.
d) Budidaya tebu dan nila menggunakan sebagian besar tanah sawah petani yang baik dan bernilai paling tinggi.
e) Pelaksanaan sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan
f) Ternak petani, tidak hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik atau pelabuhan.
g) Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis.
h) Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis.
Di sampng itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana (Ricklefs M.C, 2008), Sedangkan dampak positif dari pelaksanaan sistem tanam paksa antara lain adalah:
a) Rakyat Indonesia mengenal beragai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru
b) Meningkatkan jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
c) Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di pedesaan.
d) Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan Gudang untuk hasil budidayanya. (Ricklefs M.C, 2008),
2) Politik Pintu Terbuka
Politik pintu terbuka (Open Door Policy) mulai diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1870. Ini merupakan salah satu politik yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda. Politik pintu terbuka adalah pelaksanaan politik kolonial liberal di Indonesia, dimana golongan liberal Belanda berpendapat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia harus ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah cukup berperan mengawasi saja. Diawalinya liberalisme di Hindia-Belanda ditandai dengan penetapan kebijakan Undang-undang Agraria pada tahun 1870. Kebijakan tersebut meliputi;
a) Agrarische Wet, yaitu kebijakan mengenai pertanahan.
b) Suiker Wet, yaitu Undang-undang membebaskan para pengusaha dalam menguasai perusahaan gula yang dimonopoli oleh pemerintah.
c) Agrarische Besluit, Agrarische Besluit merupakan peraturan yang ditetapkan oleh raja Belanda, undang-undang ini diatur guna menjelaskan hal yang lebih spesifik terhadap Agrarische Wet.
d) Koelie Ordonantie atau kontrak kerja yang dilakukan oleh pemerintah
e) Poenalie Sanctie merupakan aturan yang diberlakukan dalam Koelie rdonantie, yaitu berupa bermacam sistem penyiksaan yang iberlakukan terhadap para pekerja yang melanggar aturan
Perubahan arah politik di negeri Belanda mulai berubah setelah pemilihan umum tahun 1901. Pihak Belanda menyebutkan tiga prinsip dasar kebijakan baru tersebut: edukasi, emigrasi, dan irigasi (pendidikan, perpindahan penduduk, dan pengairan). Kemudian awal abad ke-20 ditandai dengan perkembangan ekonomi yang pesat dan perluasan birokrasi pemerintahan kolonial secara besar-besaran di Indonesia. Dengan adanya perubahan di dalam tata pemerintahan yang dimulai pada tahun 1903 maka system desentralisasi mulai dilaksanakan, yang konsesinya di satu pihak memberi otonomi lebih banyak kepada pemerintah daerah dan di lain pihak mendirikan badan-badan perwakilan.
Dibentuknya dewan-dewan rakyat (Volksraad), lembaga-lembaga tersebut menjadi wadah tempat latihan politik bagi banyak elit Indonesia dan juga dapat mendekatkan orang-orang Indonesia ini dengan cara-cara, aspirasi, dan pola-pola pemikiran Barat. Penekanannya adalah individu dan mendasarkan soal-soal keanggotaan, kekuasaan, dan hak-hak menurut ukuran Barat. Volksraad merupakan sumber kecaman dan pertentangan terhadap pemerintah kolonial. Volksraad juga tidak mempunyai pertanggungjawaban dan tidak memiliki hak-hak parlemen. Bagi orang Indonesia, dengan didirikannya Volksraad, maka keinginan- keinginan politik secara resmi dapat disalurkan kepada pemerintah kolonial.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar