Persiapan dan Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia


Persiapan dan Pelaksanaan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

a. Persiapan Menuju Kemerdekaan

Memasuki tahun 1944 kekuatan bala tentara Jepang dalam perang dengan Sekutu mulai nampak kemundurannya dan posisinya semakin terjepit. Salah satu langkah kebijakan yang diambil oleh Koiso dalam rangka tetap mempertahankan pengaruh Jepang di daerah-daerah yang didudukinya adalah mengeluarkan pernyataan tentang "janji kemerdekaan di kemudian hari". Dengan cara demikian pemerintah Jepang berharap bahwa rakyat di daerah pendudukan akan dengan senang hati mempertahankan negerinya itu jika kelak Sekutu datang. Indonesia sebagai daerah pendudukan kemudian diberi janji kemerdekaan di kelak kemudian hari pada tanggal 7 September 1944.

Pada tahun 1944 itu pula, dengan jatuhnya Pulau Saipan dan dipukul mundurnya tentara Jepang oleh angkatan perang Sekutu yang datang dari Papua Nugini, Kepulauan Solomon, dan Kepulauan Marshal, maka seluruh garis pertahanan angkatan perang Jepang di Pasifik mulai runtuh. Ini berarti kekalahan Jepang dalam perang besar itu sudah diambang pintu. Di wilayah Indonesia angkatan perang Jepang juga sudah mulai kewalahan ketika menghadapi serangan-serangan Sekutu.

Menghadapi situasi yang sangat kritis tersebut, maka pemerintah pendudukan Jepang di Jawa di bawah pimpinan Letnan Jenderal Kumakici Harada mencoba merealisasikan janji kemerdekaan di kemudian hari dengan mengumumkan pembentukan Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan setelahnya dibentuk Dokuritsu Junbi Iinkai atau Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pendirian negara dan pemerintahan Indonesia.

Pada Agustus 1945, 2 bom atom dijatuhkan ke dua kota di Jepang, Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika Serikat. Ini menyebabkan Jepang menyerah kepada Amerika Serikat dan sekutunya. Momen ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya. Kemudian pada 9 Agustus 1945 Soekarno, Hatta dan Radjiman Wedyodiningrat diterbangkan ke Vietnam untuk bertemu Marsekal Terauchi. Mereka dikabarkan bahwa pasukan Jepang sedang menuju kehancuran tetapi Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada 24 Agustus. Pada 15 Agustus Jepang menyerah kepada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Belanda.

b. Perbedaan Pendapat antar Kelompok.

Dalam peristiwa menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia dikotomi antara kedua kelompok muncul ke permukaan hingga sempat terjadi ketegangan di antara mereka. Ketegangan itu muncul sebagai akibat perbedaan pandangan tentang saat diumumkannya proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ketegangan tersebut bermula dari berita tentang menyerahnya Jepang pada sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945.
Pada tanggal 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu tanpa syarat (unconditional surrender). Hal ini diumumkan oleh Tenno Heika melalui radio. Kejadian itu jelas mengakibatkan pemerintah Jepang tidak dapat meneruskan janji atau usahanya mengenai kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu soal terus atau tidaknya usaha mengenai kemerdekaan Indonesia tergantung sepenuhnya kepada para pemimpin bangsa Indonesia.

Sjahrir termasuk tokoh pertama yang mendesak agar proklamasi kemerdekaan Indonesia segera dilaksanakan oleh Sukarno-Hatta tanpa harus menunggu janji Jepang. Itulah sebabnya ketika mendengar kepulangan Bung Karno, Bung Hatta dan Dr. Radjiman Wedyodiningrat dari Dalat (Saigon), maka ia segera datang ke rumah Bung Hatta. Adapun maksud kedatangannya adalah meminta kepada Bung Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, tanpa harus menunggu dari pemerintahan Jepang karena Jepang telah menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Namun Bung Hatta tidak dapat memenuhi permintaan Sutan Sjahrir dan untuk tidak mengecewakan, maka diajaknya ke rumah Bung Karno. Oleh Bung Hatta dijelaskan maksud kedatangan Sutan Sjahrir, namun Bung Karno belum dapat menerima maksud Sutan Sjahrir dengan alasan bahwa Bung Karno hanya bersedia melaksanakan proklamasi, jika telah diadakan pertemuan dengan anggota-anggota PPKI yang lain.

Sikap Bung Karno dan Bung Hatta tersebut memang cukup beralasan karena jika proklamasi dilaksanakan di luar PPKI, maka Negara Indonesia Merdeka ini harus dipertahankan terhadap Sekutu (NICA) yang akan mendarat di Indonesia dan sekaligus tentara Jepang yang ingin mempertahankan jajahannya atas Indonesia, untuk menjaga status quo sebelum kedatangan Sekutu. Jadi dengan demikian Negara Indonesia Merdeka harus dipertahankan terhadap dua lawan sekaligus. Hal itu akan berlainan, jika proklamasi dilaksanakan di dalam konteks PPKI, karena Jepang tidak akan memusuhinya.

Golongan muda ini kemudian mengadakan rapat dengan menghasilkan keputusan tuntutan-tuntutan golongan pemuda yang menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia adalah hak dan soal rakyat Indonesia sendiri, tak dapat digantungkan kepada orang dan kerajaan lain. Segala ikatan, hubungan dan janji kemerdekaan harus diputus dan sebaliknya perlu mengadakan rundingan dengan Ir. Sukarno dan Mohammad Hatta agar kelompok pemuda diikutsertakan dalam menyatakan proklamasi ( Djonet, 1984: 80).

Setelah rapat dan mengadakan musyawarah, maka diambil keputusan untuk mendesak Bung Karno agar bersedia melaksanakan proklamasi kemerdekaan Indonesia secepatnya sehingga lepas dari Jepang. Peristiwa ini menunjukkan adanya ketegangan antara kelompok tua dengan kelompok muda yang memiliki sifat, karakter, cara bergerak, dan dunianya sendiri-sendiri. Perbedaan pendapat itu tidak hanya berhenti pada adu argumentasi, tetapi juga sudah mengarah pada tindakan pemaksaan dari golongan muda terhadap golongan tua. Tentu saja semua itu demi kemerdekaan Indonesia.

Dalam rangka menjauhkan atau "mengamankan" Ir Soekarno dan Drs. Moh. Hatta dari segala pengaruh Jepang, maka penculikan Sukarno Hatta itu akhirnya dilakasanakan pada tanggal 16 Agustus 1945 pukul 04.30 waktu Jawa jaman Jepang atau jam 06.00 waktu Jepang atau pukul 04.00 Waktu Indonesia Bagian Barat (WIB). Kedua tokoh ini kemudian diamankan dengan dibawa ke Rengasdengklok.

Pemilihan Rengasdengklok sebagai tempat pengamanan Sukarno-Hatta, didasarkan pada perhitungan militer. Antara anggota Peta Daidan Purwakarta dan Daidan Jakarta terdapat hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama. Secara geografis, Rengasdengklok letaknya terpencil (Marwati, 1984).
Sementara itu di Jakarta telah terjadi kesepakatan antara golongan tua, yakni Ahkmad Subardjo dengan Wikana dari golongan muda untuk mengadakan proklamasi di Jakarta. Berdasarkan kesepakatan itu mereka menuju ke Rengasdengklok untuk menjemput Sukarno. Akhmad Subardjo memberi jaminan bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia akan diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1945. Akhirnya Sukarno dan Hatta dapat kembali ke Jakarta.

c. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Pemuda-pemuda Indonesia dan golongan tua berkumpul menyusun teks proklamasi kemerdekaan Indonesia. Teks proklamasi itu dirumuskan oleh tiga orang pimpinan golongan tua yaitu Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Achmad Subardjo yang disaksikan oleh tiga orang pemuda yaitu Sukarni, B.M. Diah, dan Sudiro serta beberapa orang Jepang. Penulis klad naskah proklamasi itu ialah Ir. Soekarno, sedangkan Drs. Moh. Hatta dan Mr. Achmad Subardjo menyumbangkan pikirannya secara lisan. Setelah naskah proklamasi itu selesai ditulis dalam klad, maka kemudian Ir. Soekarno membacakannya di hadapan mereka yang hadir pada rapat di rumah Laksamana Maeda itu.

Sekarang timbulah masalah siapakah yang menandatangani naskah proklamasi itu. Ir. Soekarno menyarankan agar semua yang hadir menandatangani naskah proklamasi itu selaku "Wakil-wakil Bangsa Indonesia". Saran itu mendapat tantangan dari para pemuda. Kemudian Sukarni selaku salah seorang pimpinan pemuda mengusulkan, agar Soekarno-Hatta menandatanganinya atas nama bangsa Indonesia. Usul itu diterima dengan suara bulat.

Selanjutnya Ir. Soekarno minta kepada Sayuti Melik untuk mengetik klad itu, dengan beberapa perubahan yang telah disetujui. Ada tiga perubahan, yakni kata "tempoh" diganti menjadi "tempo", sedangkan bagian akhir "Wakil-wakil bangsa Indonesia" diganti dengan "Atas nama bangsa Indonesia". Cara menulis tanggal diubah sedikit menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05". Naskah yang sudah selesai diketik itu kemudian ditandatangani oleh Soekarno dan Hatta di rumah itu juga

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar