Kondisi Politik dan Pemerintahan Orde Baru


 

Kondisi Politik dan Pemerintahan Orde Baru
Kondisi Politik dan Pemerintahan Orde Baru

a.    Lahirnya Orde Baru

Salah satu fase penting dalam sejarah Indonesia adalah masa peralihan dari pemerintahan Sukarno ke Soeharto. Tahapan ini dimulai setelah meletusnya peristiwa penculikan para pemimpin Angkatan Darat (AD) pada 1 Oktober 1965. Penculikan tersebut mengakibatkan pucuk pimpinan AD menjadi kosong. Melihat masalah tersebut, Soeharto sebagai salah satu pimpinan AD berinisiatif untuk melakukan koordinasi dengan jajaran pimpinan yang masih ada serta segera menyusun strategi untuk mengambil alih keadaan dan mengamankan situasi. Dari sini kemudian ia diberikan wewenang oleh Sukarno pada 3 Oktober 1965 sebagai pelaksana pemulihan keamanan dan ketertiban. Gerak cepat yang dikomandoi oleh Soeharto ini kemudian membawanya masuk ke dalam jajaran eksekutif pemerintahan sebagai Menteri Panglima Angkatan Darat sekaligus panglima Operasi Pemulihan Kemananan dan Ketertiban. Sebagai pengganti Ahmad Yani, Soeharto kemudian mengambil tindakan dengan membekukan PKI dan organisasi yang berada dalam naungannya.

Akibat peristiwa 1 Oktober 1965 itu, terjadi berbagai goncangan dalam berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Hal ini kemudian menyulut gerakan massa yang dimotori oleh para mahasiswa yang terbabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) pada 25 Oktober 1966. Setelah itu, banyak bermunculan kesatuan aksi lain dari berbagai lapis kelompok masyarakat. Munculnya kesatuan aksi ini bermuara pada demonstari besar-besaran yang mulai dilakukan pada Januari 1966. Di Jakarta demonstrasi secara maraton. Dari sinilah lahir aspirasi bertajuk Tri Tuntutan Rakyat (Tritura) kepada pemerintah yang berisikan (1) bubarkan PKI, (2) retool kabinet Dwikora, dan (3) turunkan harga/perbaikan ekonomi (Kartasasmita, dkk., 1995).

Tuntutan dari masyarakat telah mendorong Sukarno untuk melakukan perubahan kabinet. Pada 21 Februari 1966, ia mengumumakan susunan kabinet baru yang terdiri atas 102 menteri. Kabinet ini disebut ‘Kabinet Dwikora yang Disempurnakan.’ Akan tetapi, para mahasiswa menyebutnya sebagai ‘Kabinet 100 Menteri.’ Tak ayal lagi, hal ini memicu kekecewaan di kalangan mahasiswa. Akibatnya, setelah pelantikan kabinet pada 24 Februari 1966, terjadi kembali demonstrasi dan aksi serentak pengempisan ban-ban mobil. Aksi ini mengakibatkan bentrok yang menewaskan Arif Rahman Hakim. Di tubuhnya bersarang timah panas yang dimuntahkan oleh Resimen Cakrabirawa. Ini pulalah yang mengakibatkan pada 25 Februari 1966 KAMI dibubarkan (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010).

Serangkaian peristiwa pada akhir tahun 1965 sampai awal tahun 1966 bermuara pada dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Supersemar lahir dari kegentingan situasi yang telah mencapai klimaks. Isi dalam Supersemar itu adalah memerintahkan kepada Soeharto untuk mengamankan Pancasila, mengamankan UUD 1945, menjaga stabilitas nasional, dan menjaga keamanan Bung Karno. Akan tetapi dalam perkembangannya terjadi berbagai macam kontroversi tentang naskah asli Supersemar.

Dampak dari Supersemar sangatlah terasa. Tidak lama setelah Soeharto menerimanya, keluarlah Keputusan Preseden/Panglima Tertinggi ABRI/Mandataris MPRS/Pemimpin besar Revolusi Nomor 1/3/1966 tanggal 12 Maret 1966 yang menetapkan pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk semua bagian-bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah. Dalam surat tersebut turut dibubarkan pula semua organisasi yang seasas/berlindung/bernaung di bawah PKI. Surat tersebut ditandatangani oleh Soeharto atas nama presiden (Kartasasmita, dkk., 1995).

Kedudukan Supersemar semakin menguat ketika dikukuhkan menjadi Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 tentang Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/PBR/Mandataris MPRS. Ketatapan ini dikeluarkan bersama 23 ketetapan lain dalam sidang umum MPRS IV pada 20 Juni 1966 sampai 5 Juli 1966. Pada sidang umum itu pula Sukarno membacakan pidato berjudul Nawaksara (nawa
= sembilan, aksara = pasal). Pidato yang sering dianggap sebagai pertanggungjawaban presiden ini ternyata dianggap tidak memenuhi harapan karena tidak memuat secara jelas kebihaksanaan presiden tentang peristiwa Gerakan 30 September.

Di dalam ketetapan MPRS tersebut diputuskan pula untuk “Mempercayakan kepada Letnan Jenderal TNI. Soeharto Menteri Panglima Angkatan Darat, pemegang Ketetapan tersebut, untuk memikul tanggung jawab wewenang yang terkandung didalamnya dengan penuhkebijaksanaan, demi pengamanan usaha- usaha mencapai tujuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuanBangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945.”

Telah dikukuhkannya Supersemar sering ditandai sebagai pembuka babakan baru dalam kehidupan bernegara. Babakan sejarah ini sering disebut sebagai Orde Baru. Sebagaimana tertuang dalam lampiran Tap MPRS No. XX/MPRS/1966, Supersemar sebagai kunci babak baru dalam sejarah revolusi Indonesia, yaitu babak pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen. Masih menurut ketetapan tersebut, Supersemar diharapkan mampu menguatkan pancasila dan pemerintahan, sehingga dapat merealisasikan dasar dan tujuan revolusi secara bertahap.

b.    Karakteristik Orde Baru

Menurut Prof. Dwight Y King, pakar politik dari Amerika, pemerintahan Orde Baru memiliki karakteristik bureaucratic authoritarian. Ciri-cirinya adalah: (1) kewenangan tertinggi di tangan militer, (2) adanya mentalitas teknokratik yang merata, (3) adanya proses untuk menciptakan massa mengambang, menciptkan konsensus dan konformitas, (4) upaya untuk mencapai tujuan melalui represi. Pada awal Orde Baru, militer memainkan lebih banyak peran dalam aspek politik dibandingkan dengan masa sebelumnya. Dalam perkembangannya militer memegang posisi penting dalam cabinet dan elite birokrasi. Lekatnya militer dalam pemerintahan Orde Baru disebabkan konsep Dwi Fungsi yang ada di dalam militer Indonesia. Militer tidak hanya berperan dalam masalah ketahanan negara, tetapi juga dalam masalah sosial dan politik masyarakat.

Pada masa Orde Baru, berdasarkan Tap MPR No. VIII/MPR/1973 tentang pemilihan umum disebutkan bahwa susunan keanggotaan DPR dan DPRD terdiri atas Golongan Politik, Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI. Sedangkan susunan keanggotaan MPR terdiri atas anggota DPR ditambah Utusan Daerah, Utusan Golongan Politik, Utusan Golongan Karya ABRI dan bukan ABRI. Dalam MPR Fraksi ABRI memiliki hak veto apabila suatu keputusan politis dianggap membahayakan keselamatan negara (Widiarto, Syafaat dan Suryokumoro, 2007). 

Di bidang ideologi, Pancasila tampak semakin diperkuat. Upaya memperkuat Pancasila dilakukan lagi dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Eka Prasetia Pancakarsa) atau yang sering dikenal dengan P4. Puncaknya adalah dengan dijadikannya Pancasila sebagai Azas Tunggal setelah berlangsungnya Sidang Umum MPR tahun 1983 dengan adanya Tap MPR No.II/1983 (Santoso, 1993).

Dalam bidang pemerintahan, tercipta pola patronase di kalangan elite. Hal ini tampak dari pengangkatan pejabat-pejabat pusat yang cenderung berasal dari lingkungan terdekat Soeharto. Akibatnya, posisi Presiden amatlah sentral karena melahirkan pola loyalitas patron-client yang berpusat pada Soeharto. Dalam pemerintahan Orde Baru adalah sentralisasi yang kuat dan ambivalensi hubungan pusat-daerah (Santoso, 1993). Pemerintahan Orde Baru telah berhasil menyelesaikan permasalahan Irian Barat. Pada 14 Juli sampai 4 Agustus 1969 berhasil diselenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera).

c.    Kehidupan Politik dan Pemerintahan pada Masa Orde Baru.

Setelah Soeharto mejabat sebagai presiden, pada 6 Juni 1968 diumumkan susunan Kabinet Pembangunan (Kartasasmita, dkk., 1995). Tugas pokok kabinet ini sebagaimana dalam Ketetapan MPRS No XLI/MPRS/1968 disebut sebagai Pancakrida. Rinciannya adalah sebagai berikut.
•    Menciptakan stabilisasi politik dan ekonomi sebagai syarat mutlak berhasilnya pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun dan Pemilihan Umum;
•    Menyusun dan melaksanakan Rencana Pembangunan Lima Tahun;
•    Melaksanakan Pemilihan Umum selambat-lambatnya pada tanggal 5 Juli 1971;
•    Mengembalikan ketertiban dan keamanan masyarakat dengan mengikis habis sisa-sisa G30S/PKI dan setiap rongrongan, penyelewengan, serta pengkhiatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; dan
•    Melanjutkan penyempurnaan dan pembersihan secara menyeluruh aparatur negara baik di tingkat pusat maupun di tingkat rendah.

Dalam kabinet yang pertama ini, Soeharto menerapkan sistem reformasi birokrasi. Reformasi dilakukan dengan menyederhanakan dan penggabungan departemen. Pada masa itu, hanya terdapat 5 menteri negara dan 18 manteri/pimpinan departemen yang duduk di dalam kabinet. Sebagai tindak lanjut Pancakrida, pada 3 Maret 1969 dibentuk Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib). Lembaga ini bertugas (1) memulihkan keamanan dan ketertiban dalam hubungan dengan sebab akibat pemberontakan G30S/PKI serta kegiatan- kegiatan eksterm dan subversi lainnya; dan (2) mengamankan kewibawaan pemerintah dan alat- alatnya dari pusat sampai dengan daerah, untuk menjamin kelangsungan hidup Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dari sini benih- benih kekuasaan militer semakin mengemuka dan menjadi pendukung utama Orde Baru (Poesponegoro dan Notosusanto, 2010). Inilah yang menjadikan pemerintahan Orde Baru mampu bertahan selama 32 tahun.

Selanjutnya, pemerintahan masa Orde Baru sejak 1968 berhasil menjalankan pemerintahan selama 7 periode kabinet. Kabinet pada masa Orde Baru sejak 1968 dinamakan Kabinet Pembangunan. Sepanjang periode Orde Baru, berhasil disenggarakan pemilihan umum sebanyak enam kali. Pemilihan umum pertama dilakukan pada 1971. Selanjutnya pemilihan dilakukan secara rutin setiap lima tahun semenjak 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Pada pemilihan umum pertama tahun 1971, peserta sejumlah 10 partai politik/organisasi. Peserta ini merupakan yang terbanyak selama Orde Baru.

Pemungutan suara dilaksanakan pada 3 Juli 1971. Pada pemilu ini, partai-partai politik mendapat 124 kursi di DPR dan Golongan Karya mendapat 261 kursi. Sementara itu, ABRI mendapat 75 kursi. Pada pemilihan umum selanjutnya, hanya terdapat dua partai politik dan satu golongan karya. Hal ini merupakan hasil dari penyederhanaan partai politik yang telah digagas sejak pertemuan antara predisen dengan partai politik pada 27 Februari 1970. Gagasan penyederhanaan ditindaklanjuti dengan terbentuknya kelompok nasionalis pada 4 Maret 1970 dan kelompok spirituil pada 14 Maret 1970. Kelompok Nasionalis terdiri atas PNI, IPKI, Murba, Parkindo, dan Partai Katolik. Kelompok ini kemudian dinamakan kelompok demokrasi pembangunan. Sementara itu kelompok spirituil terdiri atas NU, Parmusi, PSII, dan Perti yang menamakan diri kelompok persatuan.

d.    Jatuhnya Pemerintahan Orde Baru

Pemilihan Umum 1997 menetapkan Golkar sebagai pemenang dengan suara mayoritas. Hal ini mendorong dicalonkannya kembali Soeharto yang telah berusia 76 tahun menjadi presiden. Pada 11 Maret 1998 secara aklamasi Soeharto kembali terpilih didampingi oleh B.J. Habibie. Tak lama berselang pada 14 Maret 1998, dibentuklah kabinet yang di dalamnya terdapat beberapa kerabat dekat Soeharto. Terpilihnya kembali Soeharto sebagai presiden ditambah dengan kondisi ekonomi yang kian parah telah mendorong munculnya kekuatan oposisi yang telah sekian lama dibatasi gerakannya. (Ricklefs, 2008).

Pada tahun 1990-an berbagai kelompok oposisi mulai bermunculan. Abdurrahman Wahid, pemimpin Nahdlatul Ulama tampil sebagai sosok yang memperjuangkan nilai-nilai kejujuran, keadilan, serta pluralisme. Hal yang tidak kalah menarik adalah perpecahan dalam tubuh PDI yang akhirnya mencuatkan nama Megawati Soekarnoputri yang kelak menjadi presiden RI. Akibat perpecahan dalam PDI pada pemilihan 1997, suara PDI anjlok. Selain itu kelompok-kelompok intelektual dan aktivis mulai bergeliat. Salah satunya adalah Amien Rais yang berinisiatif untuk mengoordinasi beberapa demonstrasi antipemerintah pada Mei 1998.

Merespon masalah ini, berbagai demonstrasi digelar sejak awal 1998. Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa menuntut agar segera dilakukan reformasi politik. Akan tetapi, karena merasa tidak mendapat tanggapan, aksi demonstrasi meluas ke luar kampus. Puncaknya terjadi pada bulan Mei 1998 setelah pemerintah menaikkan harga BBM dan tarif dasar listrik. Pada mulanya mahasiswa merencanakan momentum hari kebangkitan nasional pada 20 Mei 1998 sebagai hari reformasi nasional. 

Akan tetapi, bentrokan antara aparat keamanan dengan mahasiswa terjadi lebih cepat. Pada tanggal 12 Mei 1998, dalam aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Trisakti Jakarta, telah terjadi bentrokan dengan aparat keamanan yang menyebabkan empat orang mahasiswa (Elang Mulia Lesmana, Hery Hartanto, Hafidhin A. Royan, dan Hendriawan Sie) tertembak hingga tewas dan puluhan mahasiswa lainnya mengalami luka-luka. Kematian empat mahasiswa tersebut mengobarkan semangat para mahasiswa dan kalangan kampus untuk menggelar demonstrasi secara besar besaran. Demonstrasi tersebut menuntut dilaksanakannya agenda reformasi sebagai berikut.
•    Adili Soeharto dan kroni-kroninya,
•    Laksanakan amandemen UUD 1945,
•    Hapuskan Dwi Fungsi ABRI,
•    Pelaksanaan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
•    Tegakkan supremasi hukum,
•    Ciptakan pemerintahan yang bersih dari KKN.

Penembakan terhadap mahasiswa memicu terjadinya demonstrasi yang lebih besar dan tersebar ke beberapa kota di luar Jakarta seperti Solo. Bahkan kerusuhan tidak dapat dielakkan pada 13-14 Mei 1998. M.C. Ricklefs menggambarkan bahwa kerusuhan Mei 1998 merupakan kerusuhan perkotaan terburuk sepanjang sejarah Indonesia, dengan pusat perbelanjaan, ribuan toko, rumah, dan tempat usaha serta kendaraan dihancurkan. Di tengah kondisi ini, Soeharto justru menghadiri kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi G-15 di Mesir pada 9 Mei 1998. Akan tetapi, karena situasi kian memanas Soeharto kembali ke Indonesia pada 15 Mei 1998.

Kerusuhan ini sampai menelan ratusan korban di berbagai kota. Puncaknya pada 17-18 Mei 1998, Gedung DPR/MPR berhasil diduduki oleh mahasiswa. Sebagai reaksi atas aksi tersebut Harmoko selaku pimpinan MPR/DPR mengeluarkan pernyataan berisi ‘anjuran agar Presiden Soeharto mengundurkan diri’. Setelah peristiwa itu, Soeharto mulai ditinggal para pembantunya. 14 menteri yang dipimpin oleh Ginandjar Kartasasmita menyatakan diri tidak bersedia menjabat dalam kabinet baru serta mendesak presiden untuk mundur.

Merespon hal-hal tersebut, pada 20 Mei 1998, Presiden Soeharto bertemu dengan tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat. Tujuannya adalah untuk meminta pertimbangan dalam rangka pembentukan Dewan Reformasi yang akan diketuai oleh Presiden Soeharto sendiri. Akan tetapi, Dewan Reformasi urung dibentuk dan akhirnya Soeharto mundur pada 21 Mei 1998 dan menyerahkan kepemimpinan ke B.J. Habibie.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar