Pengertian Teater : Arti Luas dan Arti Sempit


Pengertian Teater : Arti Luas dan Arti Sempit
Pengertian Teater : Arti Luas dan Arti Sempit

•    Arti Luas

Gejala awal kelahiran teater memiliki kisah yang khas. Ada tiga cerita berbeda dari tiga tempat yang menceritakan awal kelahiran teater yakni: di China, Babilonia, dan Yunani (Fred Wibowo,1989). Bangsa Cina dahulu kala terdiri dari suku-suku pengelana yang hidup dari berburu binatang. Mereka berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Dalam kelompok-kelompok yang besar mereka berhenti dan tinggal beberapa waktu ditempat yang dianggap banyak binatang buruan untuk makanan mereka. Siang hari mereka berburu dan malam hari mereka berkumpul di sekeliling api unggun bersama keluarga mereka. Inilah pesta dari seluruh kelompok besar suku bangsa itu. “Pesta” itu diikuti oleh seluruh kelompok tanpa kecuali. Di tengah “Pesta” sambil makan minum bersama, biasanya ada seorang yang bercerita tentang pengalaman perburuannya kemudian cerita itu ditanggapi atau disambung cerita dari orang lain. Demikianlah terjadi saling menceritakan di dalam kelompok secara bebas dan bergantian.

Sambil bercerita ada yang memulai memperagakan dan menirukan gerakan- gerakan yang tadi dilakukan dalam mengejar atau menangkap binatang buruan. Lalu seorang teman diminta menirukan gerak-gerak binatang buruannya. Terjadilah cerita peragaan menirukan gerak-gerak itu. Kalau mereka menirukan gerakan lucu dari kejadian yang dialami waktu berburu, mereka tertawa bersama. Seluruh waktu dalam "Pesta" itu diisi dengan pertunjukan menarik dari cerita-cerita yang dihidupkan lagi oleh anggota kelompok secara bebas. Dalam pertunjukan itu tidak ada pemain yang khusus pemain, pencerita dan penonton. Tak ada pemisah antara pemain dan penonton.

Pada puncak "Pesta" muncul seorang yang mulai bernyanyi. Kemudian disusul yang lain dan bernyanyilah mereka bersama-sama seluruh kelompok. Ketika ada yang mulai menari, seluruh kelompok menari pula. Inilah pesta rakyat yang merupakan ungkapan setiap orang lewat cerita, gerak, tari dan penyanyi. Sering mereka menggunakan peralatan yang ada untuk mengiringi tari dan nyanyian mereka. Lahirlah instrumen atau alat pengiring yang kemudian disebut musik. Demikian pertunjukan yang bermula dari "Pesta" dan merupakan Pesta Rakyat itu menjadi embrio teater-teater rakyat dimana semua orang sekaligus menjadi pemain dan penonton, dimana semua orang menjadi "pencipta" dan dengan demikian kreatif.

Cerita dari Babilonia mengisahkan awal kelahiran teater dari “Pesta” pemujaan pahlawan di kuil pemakamannya. Dalam pesta tersebut seluruh rakyat menyanyikan bersama kidung-kidung pujian kemudian berganti-ganti mereka menuturkan kehebatan sang pahlawan dengan cerita-cerita yang mereka kenal atau ditulis orang-orang yang mengetahui kehidupan pahlawan tersebut. Lama kelamaan kisah itu dibawakan dengan gerak dan tingkah laku secara bergantian. Di dalam pesta pemujaan pahlawan itu terjadi "Teater" di mana seluruh rakyat terlibat. Namun seperti yang terjadi pada cerita dari China penguasa dan para pendeta mengambil alih pesta ini dengan menghentikan peran serta rakyat. Upacara sepenuhnya dilakukan demi kepentingan dan para pendeta. Rakyat menjadi penonton pasif, mengikuti apa yang ditampilkan dalam "Teater" tersebut.

Teater lahir sebagai bagian dari upacara keagamaan yang disebut pesta Dionysus. Dionysus adalah dewa anggur dan kesuburan. Dalam pesta tersebut rakyat ikut menari dan bernyanyi. Nyanyian rakyat itu disebut dithyrambic berisi kisah pahlawan dan dewa-dewa yang diambil dari legenda atau cerita rakyat yang cukup dikenal. Yang sangat populer dari mitologi Yunani adalah karangan Homerus. Dari kisah itu lahir tragedi sebagai wujud dari teater paling kuno dimana rakyat bernyanyi sebagai chorus atau koor. Namun kemudian muncul kepentingan para raja dan “orang bijak” yang menetapkan landasan moral bagi rakyat. Muncullah teater yang mempunyai tujuan agar menjadi "pemurnian atau pembersihan" diri    sesudah rakyat menonton. Rakyat sebagai penonton menyerahkan diri pada tokoh di atas pentas ter-empati yaitu hubungan perasaan antara penonton (rakyat) dengan protagonis (tokoh). Maka katarsis terjadi sehingga melahirkan tragedi.

Ketika sang tokoh mulai memperlihatkan cacat dalam perilakunya yang disebut hamartia (cacat atau tercela tindakannya) dan akhirnya jatuh dari puncak kejayaannya, penonton yang merasa dirinya tokoh yang seolah juga mengalami cacat perilaku atau memliki tindakan tercela mulai merasa takut. Maka ketika sang tokoh dalam menghadapai kemalangan tersebut mulai menyadari dan mengakui cacat celanya, demikian halnya dengan penonton juga akan menerima cacat-cela (hamartia) dalam dirinya. Pada saat terakhir, tragedi harus diselesaikan secara mengerikan dan penyelesaian itu disebut catastrope (kehancuran yang tidak selalu berarti kematian, tetapi penderitaan mental). Menyaksikan kehancuran itu penonton atau rakyat dibersihkan dari hamartia atau cacat celanya.

Melalui tiga cerita tersebut di atas dapat dipahami bahwa sejarah teater semula adalah pesta rakyat. Pesta ini dilakukan sebagai ungkapan keagamaan atau peniruan alam dan diwujudkan lewat cerita, tarian dan nyanyian yang diiringi bunyi-bunyian. Ditegaskan oleh Jakob Sumardjo (1993) bahwa asal mula teater:
a.    Berasal dari upacara agama primitif.
b.    Berasal dari nyanyian untuk menghormati pahlawa di kuburannya.
c.    Berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita.

Seperti cerita tentang perburuan, perang, kepahlawanan. Sebelum ada wujud yang disebut teater, suku-suku yang kebudayaanna ‘agak maju’ ingin berhubungan dengan para dewa atau sesuatu kekuatan gaib yang dianggap supernatural. Kemudian mereka pun membuat semacam upacara yang dipimpin oeh seorang dukun. Upacara ritual itulah awal mula teater. Saat itu belum ada naskah. Kata-kata masih dianggap sebagai mantra yang memiliki kekuatan gaib (supranatural). Bentuk ritualnya berupa monolog atau dialog bersahutan antara dukun dan audiens (penonton), yang dikarang oleh para dukun.

Yunani akhirnya menjadi sumber utama Teater Barat yang menuliskan naskah untuk dipentaskan. Upacara ritual tetap dilakukan. Di Timur, teater pun tumbuh dan berkembang, antara lain di China (Opera China), Jepang (Noh, Bunraku, Kabuki), India, Jawa dan Bali (Wayang) yang bersumber dari epos Ramayana dan Mahabarata. Lewat upacara itu diharapkan dewa-dewa sudi memberi restu.

Jadi, teater memang dilakoni sebagai upacara ritual (keagamaan) ribuan tahun sebelum Masehi. Beberapa bangsa kuno yang memiliki peradaban maju: Masa (Amerika Selatan), Mesir Kuno, Babilonia, Asia Tengah, India dan Cina, menggunakan teater sebagai salah satu cara untuk berhubungan dengan ‘Yang Maha kuasa’ atau ‘Yang Memiliki Kekuasaan’. Dalang upacara ritual itu adalah Dukun atau Pendeta Agung. Zaman terus bergulir, dari Yunani lahir aturan teater yang kemudian menjadi pergelaran. Pengaruhnya masih terasa sampai sekarang ini (N. Riantarno, 2011:10).

Sejarah kehadiran pertunjukan teater sejalan dengan sejarah kemunculan seni pemeranan atau seni peran (acting), sehingga keberadaan seni peran sama tuanya dengan teater. Seni peran di dunia pertunjukan teater Barat menjadi sebuah karya seni pertama yang tercipta dan dinikmati langsung oleh penonton. Diawali ketika Thespis, aktor pertunjukan Yunani klasik, keluar dari barisan koor dalam pertunjukan Oedipus Sang Raja karya Sophocles. Dengan dikelilingi oleh koor, aktor tersebut mengucapkan dialog-dialog sebagai berikut: “akulah Oedipus” atau “akulah sang penguasa”. Diawali dengan meniru karakter seperti yang tertulis dalam naskah dramanya, seni peran tercipta. Sebuah pertunjukan teater terkenal karena aktor di dalamnya, penonton akan memprotes sebuah pertunjukan teater jika tidak ada pemain-pemain idola mereka (Robert Cohen, 1983:62).

Pertunjukan teater untuk pertama kali dimulai kapan dan dimana tidak diketahui secara pasti. Adapun yang diketahui yakni teori tentang asal mula teater tersebut. Pertama, teater berasal dari upacara agama primitif; kedua, teater berasal dari nyanyian untuk menghormati seorang pahlawan yang dikuburkan; ketiga, berasal dari kegemaran manusia mendengarkan cerita. Ketiga teori asal mula teater tersebut melahirkan teater dengan kisah agama primitif, perburuan, kepahlawanan, perang, dan lain sebagainya.

Dengan memahami wacana asal mula teater ini, maka disana ada metode yang sederhana dalam bermainnya. Kesederhanaan metode itu mengisyaratkan bahwa betapa besarnya hasrat untuk meniru itu. Demikian juga dalam awal mula teater meniru merupakan suatu keharusan, meniru dari lingkungan alam semesta. Metode awal ini menggunakan imitasi dari kehidupan. Seperti ungkap Aristoteles via Djelantik (1990), kesenian dipandang sebagai sesuatu yang secara indah membuat imitasi yakni tiruan atau pencerminan dari apa yang atau terjadi sebenarnya di dunia manusia atau Dewa.

•    Arti Sempit

Istilah teater dari bahasa Yunani theatron yang diturunkan dari kata theaomai, artinya takjub melihat, memandang. Theatron, sesungguhnya berarti 'a place for seeing'. Tempat dimana teater dipergelarkan, tempat pertunjukan atau panggung atau stage. Di era Yunani teater dipertunjukkan di Teater Dyonisus yang terletak di lereng bukit Acropolis di atas kuil Dyonisus. Kuil ini paling terkenal di Yunani. Kata teater kemudian mewakili tiga pengertian: 1) Gedung, tempat pertunjukan, panggung yang secara kesejarahan telah digunakan sejak zaman Thucydides (471-395 SM) dan Plato (426-348 SM). Di sini jelas istilah teater berarti gedung, tempat pertunjukan disajikan dinamai panggung, pentas (stage). 2). Publik (audience), auditorium, sudah ada sejak zaman Herodotus (480-424 SM). dan 3). ‘Karangan tonil’ (toneel) seperti disebut dalam Kitab Perjanjian Lama I. Tonil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005:993) sama dengan sandiwara; drama, teater. Berupa pertunjukan lakon atau cerita yang dimainkan oleh orang. Bahkan tonil dapat berupa perkumpulan seperti drama, teater.

Pada perkembangannya, kata ‘teater’ tidak hanya menunjuk sebuah tempat pertunjukan, namun dapat mencakup berbagai pengertian. Bakdi Soemanto (2001:8) menjelaskan kata teater dalam bahasa Indonesia mengacu kepada tiga hal, yakni: 1). Aktivitas melakuan kegiatan dalam seni pertunjukan, 2). Kelompok yang melakukan kegiatan tersebut, dan 3). Seni pertunjukan itu sendiri. Hal ini diperjelas melalui arti kata teater dalam bahasa Inggris: theatre dan the The treatre. Theatre terpusat pada bagaimana sebuah pertunjukan dihidupkan di atas pentas, sedang The theatre lebih mengacu pada tempat pertunjukannya.

Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam pengertian yang lebih luas; yakni meliputi: proses penentuan ide, pemilihan naskah lakon, penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan atau pergelaran atau pertunjukan; penyaksian, pemahaman, penikmatan, pengkajian, penganalisaan, dan atau penilaian. Proses demikian bersifat umum terhadap seluruh seni pertunjukan (performing art). Proses tersebut merupakan proses penjadian seni, dari ide sampai dengan penyambutan audience (hadirin, penonton, pendengar, pirsawan, pembaca, pemerhati, pengamat, kritisi atau peneliti). Dalam hal proses penjadian drama dan atau teater biasa dikenali istilah formula dramaturgi yang meliputi 4 M, yaitu: (1) Mengkhayal (ide); (2) Mencipta (Naskah lakon, script, story); (3) Mementaskan atau Mempertunjukkan (action); dan (4) Menyaksikan atau Memahami, Menikmati, Menilai (audience). Esensi drama dan teater adalah adanya konflik atau tikaian.

G.B. Tennyson membedakan istilah “drama” dan “teater” sebagai berikut, Drama dirives from a Greek word meaning to do act, theater derives from a Greek word meaning to see, ti view (Tennyson, 1967). Keduanya berasal dari bahasa Yunani. Drama berarti melakukan, mengerjakan, berbuat, bertindak. Sedang teater berarti melihat, memandang, meninjau. Bagan dibawah ini untuk menjelaskan pengertian drama dan teater:

Tabel  Komporasi Drama dan Teater

DRAMA

TEATER

Lakon (play)

Pertunjukan (performing)

Naskah (script)

Produksi (production)

Teks (teks)

Pemanggungan (staging)

Pengarang (author)

Aktor (actor)

Kreasi (creation)

Penafsiran (interpretation)

Teori (theory)

Praktik (practice)

Dari perbandingan di atas dapat disimpulkan bahwa seni drama lebih merupakan lakon yang belum dipentaskan atau dipertunjukkan, naskah yang belum digarap atau diproduksi; teks yang belum dipanggungkan; kreasi pengarang (penulis naskah lakon) yang masih harus ditafsirkan untuk merebut maknanya, atau teori yang harus dipraktekkan atau diaplikasikan. Atau dapat juga dikatakan demikian: pertunjukan lakon; garapan atau produksi naskah, pemanggungan teks, penafsiran kreasi pengarang; atau penerapan pemraktekan teori (Soediro Satoto, 1991:6).

Seni drama memang belum mencapai kesempurnaannya apabila belum sampai pada tingkat seni teater dalam bentuk pementasan atau pertunjukan drama sebagai visualisasi atau perwujudannya. Maka, pemahaman naskah lakon tanpa memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan penggarapan, gaya dan penyajian atau pementasannya belumlah cukup. Pada gilirannya kita hanya dapat menikmati seni drama dengan baik apabila kita telah menyaksikan sendiri pementasannya atau pertunjukan drama tersebut.
Dengan kata lain, seni teater hanya dapat dinikmati, dipahami, dan dinilai dengan baik apabila dalam proses penilaiannya diperhitungkan pula proses penjadiannya: dari pemilihan naskah (tertulis) atau teks (ide), penafsiran, penggarapan, pemilihan gaya tertentu, sampai dengan pementasan atau pemanggungannya.



source : Modul pembelajaran PPPK

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar