Teater Modern Indonesia Masa Kebangkitan (1925-1941)


 Sejarah teater modern Indonesia secara historis menurut Jakob Sumardjo (1992:101) Pada  Masa Kebangkitan (1925-1941) terdiri dari:

a)    Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934);
b)    The Malay Opera “Dardanella” (1926 1935);
c)    Awal Teater Modern di Indonesia (1926-1941).

Teater Masa Kebangkitan (1925-1941)

Perkenalan masyarakat Indonesia dengan aktivitas teater Mohammad Pushi, Agust Mahieu dan Sim Tek Bie bukan dari kaum terpelajar serta kritik teater Lauw Giok Lan dan Kwee Tek Hoay Lauw Giok Lan sangat berpengaruh terhadap perkembangan teater di Indonesia. Pada tahun 1925, pengaruh unsur-unsur teater Barat seperti sastra drama, idiom teater dari tonil Belanda maupun kaum terpelajar Indonesia melahirkan bentuk teater baru di Indonesia.

a)    Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934)

Jika rombongan teater Mohammad Pushi, Agust Mahieu dan Sim Tek Bie bukan dari kaum terpelajar, lebih mengutamakan lakunya karcis untuk mendapatkan uang. Pada tahun 1925, seorang pemilik modal juga terpelajar memasuki wilayah teater baru Indonesia. Nama orang itu T.D. Tio Jr. atau Tio Tik Djien, ia lulusan sekolah Dagang Batavia dan mendirikan rombongan Orion. Di era ini banyak bermunculan rombongan teater yag meneruskan tradisi stambul dan opera. Rombongan itu seperti The Union Dahlia Opera pimpinan Tengku Katan of Medan, The Malay Opera of Malacca pimpinan Wan Yet Al Kaf berdiri sejak tahun 1915 di Malaysia.

Nama Teater Miss Riboet’s Orion karena pada waktu itu Orion mementaskan lakon Barat berjudul Juanita de Vega karangan Antoinette de Zerna dengan pelaku utamanya Miss Riboet’s sebagai perampok perempuan. Mulai saat itu Orion dan Miss Riboet’s menonjol sehingga nama rombongan menjadi Miss Riboet’s Orion. Pada tahun 1925 ini, kedudukan rombongan semakin kuat, seorang wartawan China-peranakan, redaksi surat kabar Interocean di Surabaya bergabung menjadi penulis cerita untuk Orion. Naskah lakon yang dipentaskan antara lain: Black Sheep, Singapura After Midnight, Saidjah, Barisan Tengkorak, R.A. Soeatie, Gagak Solo, dan sebagainya.

b)    The Malay Opera “Dardanella” (1926 - 1935)

Di tengah kejayaan Miss Riboet’s Orion pada tanggal 21 Juni 1926 di Sidoarjo berdiri The Malay Opera “Dardanella” dengan pimpinannya Willy Klimanof alias A. Piedro, seorang Rusia putih kelahiran Penang. Kalau Orion popular berkat bintang panggungnya Miss Riboet, Dardanella memiliki bintang legendaris Tan Tjeng Bok. Dardanella pada awal mementaskan cerita Barat, baik dari roman maupun film. Contohnya The Thief of Bagdat, Mark of Zorro, Don Q, The Qourt of Mone Christo, The ree Msketeers dan sebagainya.

Pada perkembangannya tidak hanya Tan Tjeng Bok yang menjadi bintang Dardanella. Pada tahun 1927, Dewi Dja ketemu A. Piedro yang memimpin rombongan Dardanella. Muncul pada zamannya sangat terkenal “Dardanella’s big five”: Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II dan Astaman. Pada tahun 1930, Andjar ASMPra, keluar dari redaksi “Doenia Film” di Betawi bergabung di Dardanella. Andjar ASMPra khusus menulis naskah untuk diperankan Dja seperti Dr. Samsi, Si Bongkok, Haida dan Tjang. Kemudian juga lakon Ex Sawah Lunto, Tandak Buta, Gadis Desa dan Singa Minangkabau. A. Piedro menulis drama Fatima, Maharani, Rencong Aceh. “Perang teater” pun terjadi Dardanella dengan tokohnya: A. Piedro, Andjar ASMPra dan Tan Tjeng Bok sedang Orion dengan tokohnya T.D. Tio Jr., Nyoo Cheong Seng dan A. Boelaard van Tuijl. Perang lewat reklame berua poster-poster menyolok, iklan di surat kabar dan majalah, propaganda di jalan-jalan dan sebagainya. Naskah besar menjadi andalan naskah Dr. Samsi unggulan Dardanella dan naskah Gagak Solo unggulan Orion.

Tahun 1934, riwayat Orion harus tamat, karena penulis Nyoo Cheong Seng bersama istrinya Fifi Young alian Tan Kim Nio menyeberang ke Dardanella. Dardanella mencapai puncaknya. Bintang panggung baru masuk ke Dardanella yakni Bactiar Effendi, saudara sastrawan dan anggota Twee Kamer Roestam Effendi. Dardanella pun berkemilauan bintang-bintang: Dja, Fifi Young, Ratna ASMPra, Koesna (saudara Dja), Ferry Kok, Astaman, Gadok, Oedjang, Henry L. Duart orang Amerika. Masa kejayaan Dardanella berlangsung sekitar 10 tahunan. ”Zaman emas” Dardanella telah terbentuk sebuah tontonan teater yang lebih banyak mengambil dan belajar dari seni teater Barat. Ini gambaran teater baru atau teater modern bagi orang-orang kota. Hal ini menjadi modal dasar mengembangkan teater modern di Idonesia, baik pada Zaman Jepang maupun setelah kemerdekaan bangsa Indonesia.

c)    Awal Teater Modern di Indonesia (1926)

Setelah Teater Bangsawan (1885-1902), Teater Stamboel (1891-1906), Teater Opera (1906-1925), Teater Miss Riboet’s Orion (1925-1934), The Malay Opera “Dardanella” (1926-1935). Kehadiran teater modern Indonesia secara awal pun sudah nampak, pada tahun 1901 ditemukan drama sebabak Lakon Raden Beij Soerio Retno dalam bahasa Melayu-Rendah yang ditulis oleh F. Wiggers, jurnalis Belanda. Tahun 1926, Rustam Effendi menerbitkan drama bersajak Bebasari. Mulai saat itu diterbitkan naskah- naskah drama lewat majalah kaum intelektuil zamannya, seperti karya Muhamad Yamin, Sanusi Pane, Ajirabas, Arminj Pane dan sebagainya. Perkembangan teater lebih bersifat profesional. Kelompok-kelompok berorientasi pada budaya massa. Karena kehidupan pemainnya ditanggung oleh kelompok itu, bagaimana bisa menjual karcis sebanyak-banyaknya, bagaimana menarik penonton, mengatur keuangan dan teater-teater ini daya persaingannya kuat sekali. Dari teater profesional ini yang mempengaruhi teater modern sekarang ini.
Teater pada masa kesusasteraan angkatan Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks sejarah teater modern Indonesia tetapi cukup penting dilihat dari sudut kesusasteraan. Naskah-naskah drama tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk dipentaskan. Drama-drama Pujangga Baru ditulis sebagai ungkapan ketertekanan kaum intelektual di masa itu karena penindasan pemerintahan Belanda yang amat keras terhadap kaum pergerakan. Bahkan Presiden pertama Indonesia, Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan menyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan). Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow, Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan. Penulis lakon lainnya, yaitu Sanusi Pane menulis Airlangga (1928), Burung Garuda Terbang Sendiri (1929), Kertajaya (1932) dan Sandyakalaning Majapahit (1933). Muhammad Yamin menulis Kalau Dewi Tara Sudah Berkata (1932), Ken Arok dan Ken Dedes (1934). Armiijn Pane mengolah roman Swasta Setahun di Bedahulu karangan I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi naskah drama. Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere, dengan judul Si Bachil. Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu Gandring. Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul Nyai Blorong. Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu. Lakon-lakon ini ditulis berdasarkan tema kebangsaan, persoalan, dan harapan serta misi mewujudkan Indonesia sebagai negara merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indonesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.


source:modul pppk seni teater

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar