Teater Tradisional
• Teater Tradisional
Teater Tradisional, ialah suatu bentuk teater yang lahir, tumbuh dan berkembang di suatu daerah etnik, yang merupakan hasil kreativitas kebersamaan dari suatu suku bangsa di Indonesia. Berakar dari budaya etnik setempat dan dikenal oleh masyarakat lingkungannya. Teater Tradisional dari suatu daerah umumnya bertolak dari sastra lisan, yang berupa pantun, syair, legenda, dongeng dan cerita-cerita rakyat setempat. Teater tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan dihayati oleh masyarakat lingkungannya, karena ia merupakan warisan budaya nenek moyangnya. Warisan budaya guyub (kebersamaan dan kekeluargaan) yang sangat kuat melekat pada masyarakat di Indonesia. Uraian dan penjelasan mengenai teater tradisional di bawah ini disarikan dari Mengenal Teater Tradisonal Indonesia, tulisan Kasim Achamd (Dewan Kesenian Jakarta, 2006).
Sejarah teater
tradisional dimulai sejak sebelum jaman Hindu. Pada jaman itu, ada
tanda-tanda bahwa unsur-unsur teater tradisional banyak digunakan untuk
mendukung upacara ritual, hingga unsur teater tradisional merupakan
bagian dari suatu upacara keagamaan ataupun upacara adat-istiadat dalam
tata cara kehidupan masyarakat kita. Pada saat itu, yang disebut
“teater”, sebenarnya baru merupakan unsur-unsur teater, dan belum
merupakan suatu bentuk kesatuan teater yang utuh. Setelah melepaskan
diri dari kaitan upacara, unsur- unsur teater tersebut membentuk suatu
seni pertunjukan yang lahir dari spontanitas rakyat dalam masyarakat
lingkungannya.
Pada masa itu masyarakat pertanian menaruh arti
yang penting pada tanah, alam, pepohonan, air, sungai dan juga roh-roh
halus yang menjaganya. Di sini terkait dengan adanya kepercayaan
terhadap adanya roh-roh halus (roh nenek-moyang) yang mempengaruhi
kehidupannya. Teater tradisional lahir dari spontanitas kehidupan dan
dihayati oleh masyarakat lingkungannya, karena merupakan warisan budaya
nenek moyangnya. Kelahirannya, pada umumnya didorong oleh kebutuhan
masyarakat, dimulai sebagai pendukung sarana dan kelengkapan upacara,
dan setelah itu sekaligus merupakan pemenuhan kebutuhan akan hiburan.
Pertunjukan teater tradisional yang masih dapat disaksikan dewasa ini, biasanya dilaksanakan bersamaan dengan keperluan masyarakatnya yang masih terkait untuk keperluan suatu upacara, hajatan, perayaan atau pun keperluan lainnya. Pertunjukan diselenggarakan atas dasar tata cara dan pola yang diikuti secara mentradisi, secara turun-temurun.
Lahirnya
teater tradisional di Indonesia sebagian besar dimulai pada saat teater
melepaskan diri dari kaitannya dengan upacara baik adat ataupun upacara
keagamaan. Pertumbuhan dan perkembangannya tidak dapat dilepaskan dari
pertumbuhan dan perkembangan kehidupan kesenian serta kebudayaan. Proses
terjadinya atau munculnya teater tradisional di Indonesia sangat
bervariasi dari satu daerah dengan daerah lainnya. Hal ini disebabkan
oleh unsur-unsur pembentuk teater tradisional itu berbeda-beda,
tergantung kondisi dan sikap budaya masyarakat, sumber dan tata-cara di
mana teater tradisional lahir.
1) Teater tradisional yang lahir dari sarana upacara.
Sebagian
besar teater tradisional di Bali dan Kalimantan banyak yang lahir dari
kelompok yang pada mulanya digunakan untuk “sarana upacara”, yang berupa
tarian pengiring dan paduan suara dari suatu upacara yang bersifat
ritual. Pada saat teater dijadikan sarana upacara ritual, sebetulnya
belum ditemukan bentuk teater yang utuh, tetapi masih berupa unsur-unsur
teater yang digunakan untuk memperkuat keperluan upacara. Mulai saat
itulah “unsur teater tradisional” sering jadi penunjang dan sarana
upacara ritual.
Setelah periode lepas dari kaitan dengan upacara
ritual, di beberapa daerah lahir teater rakyat yang memang muncul dari
keinginan masyarakat lingkunganya, Mengadakan kegiatan yang diperlukan,
untuk menghibur masyarakat.
Upacara yang mempunyai bentuk menyerupai teater, dahulu kala banyak ditemukan di berbagai daerah, yang selalu dikaitkan dengan roh nenek moyang atau roh penolak kejahatan. Trance (kerasukan) selalu menyertai teater upacara semacam ini. Bentuk wujudnya merupakan unsur-unsur teater, berupa gerak-gerak pendukung atau berupa paduan suara persembahan, doa atau pun mantra-mantra yang magis dan puitis, tetapi menyatu dengan upacara yang sedang berlangsung. Dalam perkembangannya, bentuk teater semacam ini dipakai untuk keperluan sarana upacara dan barulah kemudian teater muncul sebagai seni pertunjukan untuk hiburan.
Contoh-contoh
teater yang pada mulanya masih terkait dan digunakan untuk sarana
upacara ritual dapat kita temukan di Bali, diantaranya: Topeng Pajegan
dan Tarian Sanghyang Jaran dan Hudoq yang terdapat di Kalimantan.
2) Teater tradisional yang lahir dari sastra lisan.
Bentuk teater tutur dapat di temukan di berbagai daerah Indonesia. Bentuk penyajiannya beraneka macam.. Ada yang diceritakan dengan cara berdendang, ada yang disertai dengan iringan alat musik sederhana, misal gendang, seruling dan alat petik. Bahkan ada yang disertai gerak-gerak yang ritmis sambil duduk. Bentuk teater yang hanya diceritakan tersebut, sekaligus digunakan sebagai alat penyebaran sastra lisan, yang disampaikan dengan cara bertutur.
Banyak ditemukan di berbagai daerah, baik di Sumatera (rumpun budaya Melayu), di Jawa, Bali, Kalimantan dan Sulawesi. Dan bahkan di Ambon pun yang disebut Badendang Kapata melahirkan Teater Tutur. Di berbagai daerah, Teater Tutur tetap merupakan bentuk teater yang mandiri, dan tetap dipertunjukan sebagai Teater Tutur. Untuk keperluan hajatan, di Jawa Timur dan Jawa Tengah orang masih sering nanggap (membiayai pementasan) Kentrung, atau di Lombok dengan Cepung. Tetapi sering pula Teater Iutur berkembang menjadi Teater Rakyat.
Dalam
perkembangannya, teater tutur juga diperagakan dengan gerak tubuh, dan
dimainkan contoh Topeng Dalang di Madura. Teater tutur ini ada dalang
yang tetap bercerita. Di Yogyakarta dan Surakarta ada Langendriyan,
merupakan contoh teater tutur yang diperagakan. Para penari hanya
menari, dan menggerak-gerakkan tangannya, sedangkan dialog tetap
dilakukan oleh dalang. Para penari, selain menari juga menyanyi (Jawa:
nembang). Sementara itu, sang dalang tetap bercerita dan penarinya pun
berdialog. Topeng Dalang, Langendriyan merupakan contoh yang sangat
jelas proses perkembangannya dari teater tutur berkembang menjadi teater
yang dimainkan. Secara teknik seni pertunjukan wayang kulit, wayang
golek, dan teater boneka dapat dikatakan sebagai suatu bentuk teater
tutur yang disertai dengan peragaan.
3) Teater tradisional yang lahir dari permainan
Permainan tersebut berwujud bunyi-bunyian untuk “hiburan” (mengusir rasa lelah) antar warga, yang kemudian dikembangkan menjadi seni pertunjukan dalam bentuk teater rakyat, sebagaimana Kethoprak di Yogyakarta. Teater Rakyat dihubungkan dengan kehidupan desa. Ia berhubungan dengan kepercayaan-kepercayaan animistik prasejarah dan ritual. Pementasan diadakan pada masa-masa senggang yang tak tetap dan untuk kejadian- kejadian khas. Para pemain adalah orang-orang desa setempat yang berperang, menari sebagai hobi dan atau untuk mendapatkan prestise bahkan mereka bukan pemain professional (James R. Brandon, 2003: 107).
Sifat teater rakyat adalah sederhana, spontan dan menyatu dengan kehidupan rakyat. Ciri-ciri dari teater rakyat adalah:
a) cerita tanpa naskah dan digarap berdasarkan peristiwa sejarah, dongeng, mitologi, kehidupan sehari-hari.
b) penyajian dengan dialog, tarian dan nyanyian.
c) unsur lawakan selalu muncul
d)
nilai dan laku dramatik dilakukan secara spontan dan dalam satu adegan
terdapat unsur emosi sekaligus, yakni tertawa dan menangis.
e) pertunjukan mempergunakan tabuhan atau musik tradisional.
f)
penonton mengikuti pertunjukan secara santai dam akrab, dan bahkan
tidak terelakan adanya dialog langsung antara pelaku dan publiknya.
g) mempergunakan bahasa daerah.
h) tempat pertunjukan terbuka dalam bentuk arena, dikelilingi penonton (Jakob Sumardjo, 1992:19).
Teater
rakyat berkembang dikalangan pedesaan didukung oleh anggota masyarakat
setempat dimana teater rakyat hidup berkembang. Contoh nama-nama teater
rakyat, yakni Ubrug (Teater Rakyat Banten), Lenong (Betawi, DKI
Jakarta), Longser (Jawa Barat), Kethoprak (DIY, Jawa Tengah, Jawa
Timur), Ludruk (Jawa Timur), Arja (Bali) dan sebagainya.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar