Teori Behaviorisme Menurut Para Ahli


Teori Behaviorisme menurut ahli
Teori Behaviorisme




Teori pembelajaran behaviorisme     

    Psikologi merupakan ilmu pengetahuan yang belum lama lahir pada permulaan abad kedua puluh. Dua aliran pemikiran yang menonjol pada saat itu adalah strukturalisme dan fungsionalisme , tetapi masing-masing menghadapi permasalahan. Strukturalisme menggunakan metode introspeksi yang memisahkannya dari perkembangan perkembangan penting dalam ilmu pengetahuan dan tidak mempertimbangkan tulisan Darwin tentang adaptasi dan evolusi. Fungsionalisme memiliki fokus studi yang terlalu luas karena pendukung-pendukungnya memberikan terlalu banyak tuntutan penelitian.
          Di tengah situasi ini, behaviorisme mengawali kemunculannya menjadi disiplin ilmu psikologi yang terkemuka (Rachlin, 1991). John B. Watson (1878-1958) yang umumnya dikatakan sebagai penemu dan penyokong behaviorisme modern (Heidbreder, 1933; Hunt, 1993), meyakini bahwa aliran-aliran pemikiran dan metode metode penelitian yang mempelajari pikiran itu tidak ilmiah. Jika psikologi ingin dijadikan sebagai sebuah ilmu pengetahuan, studinya harus membangun strukturnya sendiri melalui jalur-jalur ilmu-ilmu fisik yang meneliti fenomena-fenomena yang dapat diamati dan diukur. Perilaku merupakan materi yang tepat bagi studi para psikolog (Watson, 1924). Introspeksi tidak dapat diandalkan, pengalaman-pengalaman dari pikiran sadar tidak dapat diamati, dan orang-orang yang memiliki pengalaman pengalaman tersebut tidak bisa dipercaya untuk melaporkannya secara akurat (Murray, Kilgour, & Wasylkiw, 2000).
        Watson (1916) berpikir bahwa model pengkondisian Pavlov adalah model yang tepat untuk membangun sebuah ilmu perilaku manusia. Ia terkesan dengan pengukuran Pavlov terhadap perilaku-perilaku yang dapat diamati. Watson yakin bahwa model Pavlov dapat dikembangkan. untuk dapat mencakup bentuk-bentuk pembelajaran dan karakteristik kepribadian yang bermacam-macam. Contohnya, bayi yang baru lahir mampu memperlihatkan tiga macam emosi: rasa sayang, rasa takut, dan rasa marah (Watson, 1926a). Melalui teori pengkondisian dari Pavlov, emosi-emosi ini dapat menjadi lekat dengan stimulasi-stimulasi untuk menghasilkan kehidupan masa dewasa yang kompleks.
         Menurut aliran behavioristik, belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Dengan kata lain, belajar adalah perubahan yang dialami peserta didik dalam hal kemampuannya untuk bertingkah laku dengan cara yang baru dengan hasil interaksi antara stimulus dan respon. Penekanan dalam teori ini hanya pada perilaku yang dapat dilihat dan tanpa memperhatikan perubahan perubahan atau proses-proses internal yang terlibat di dalamnya. Teori-teori belajar yang termasuk dalam teori belajar behavioristik antara lain teori classical conditioning dari Pavlov, Connectionism Thorndike, teori operant conditioning dari Skinner
         Teori behaviorisme yang terkenal adalah operant conditioning (pengkondisian operan) dari B.F. Skinner. koneksionisme dari Thorndike, pengkondisian klasik dari Pavlov, dan pengkondisian kontinuitas (contiguouos conditioning) dari gutrhrie.

1. KONEKSIONISME ( Edward L.  Thorndike)


      Thorndike lahir pada 1874 di Williamsburg, Massachusetts, putra kedua dari seorang pendeta Methodis. Dia mengatakan belum pernah mendengar atau melihat kata psikologi sampai dia masuk Wesleyan University. Pada saat itu dia membaca karya William James, Principles of Psychology (1890), dan amat tertarik dengannya.Kelak saat dia masuk Harvard dan mengikuti pelajaran James, keduanya menjadi sahabat karib.
     Edward L. Thorndike (1874-1949) adalah seorang psikolog terkemuka di Amerika Serikat yang teori pembelajarannya-koneksionisme-dominan di negeri tersebut pada paruh pertama abad kedua puluh (Mayer, 2003). Tidak seperti banyak psikolog terdahulu, ia tertarik pada pendidikan, terutama pembelajaran, transfer, perbedaan-perbedaan individu, dan inteligensi (Hilgard, 1996; McKeachie, 1990). la menerapkan sebuah pendekatan eksperimental ketika mengukur hasil-hasil yang dicapai oleh siswa. Pengaruhnya terhadap pendidikan ditandai dengan adanya Thorndike Award (Penghargaan Thorndike); penghargaan tertinggi yang diberikan oleh Divisi Psikologi Pendidikan Asosiasi Psikologi Amerika kepada kontribusi-kontribusi besar terhadap psikologi pendidikan.
         Menurut teori connectionism, seluruh kegiatan belajar didasarkan pada jaringan asosiasi atau hubungan (bonds) antara stimulus dan respon, sehingga teori ini dikenal dengan sebutan S-R bond Theory. Dalam hubungan antara stimulus dan respon ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, sehingga Thorndike merumuskan tiga hukum belajar yaitu sebagai berikut. Pertama, hukum persiapan atau Law of readiness, yaitu bahwa belajar akan menjadi bila ada kesiapan pada diri individu. Kedua, hukum latihan atau Law of excercise, yaitu bahwa hubungan antara stimulus dan respon dalam proses belajar akan diperkuat atau diperlemah oleh tingkat intensitas dan durasi dari penggulangan hubungan atau latihan.
         Hubungan akan bertambah kuat bila ada latihan, sebaliknya bila tidak terjadi latihan selama beberapa waktu, maka hubungan antara stimulus dan respon akan melemah. Ketiga, hukum efek atau Law of effect, yaitu bahwa hubungan antara stimulus dan respon akan semakin kuat bila sebuah respon menghasilkan efek yang menyenangkan. Sebaliknya, apabila respon yang ada kurang memberikan efek yang menyenangkan, maka hubungan antara stimulus dan respon akan melemah, Paul Eggen dan D. Kauchak (1997) 

Pembelajaran dengan Cara Trial-and-Error

     Karya Thorndike yang paling penting adalah seri Educational Psychology yang berjumlah tiga volume (Thorndike, 1913a, 1913b, 1914). Ia menyatakan pandangan bahwa tipe pembelajaran yang paling fundamental adalah pembentukan asosiasi-asosiasi (koneksi koneksi) antara pengalaman-pengalaman indrawi (persepsi terhadap stimulus atau peristiwa) dan impuls-impuls saraf (respons-respons) yang memberikan manifestasinya dalam bentuk perilaku. la percaya bahwa pembelajaran sering terjadi melalui rangkaian eksperimen trial and error (menyeleksi dan mengkoneksikan).
       Thorndike mulai mempelajari pembelajaran dengan serangkaian eksperimen yang dilakukannya terhadap hewan (Thorndike, I1911). Hewan-hewan yang berada dalam situasi situasi yang bermasalah mencoba untuk mencapai tujuannya (misalnya; mendapatkan makanan, sampai ke tempat yang dituju).Dari banyaknya respons yang mereka lakukan mereka memilih satu, menjalankannya, dan menerima akibatnya. Makin sering mereka membuat respons terhadap suatu stimulus, makin kuat respons tersebut menjadi terkoneksi dengan stimulus tersebut.
      Dalam sebuah situasi eksperimen tipikal, seekor kucing ditempatkan dalam sebuah kandang. Si kucing dapat membuka sebuah lubang keluar dengan mendorong sebuah tongkat atau menarik sebuah rantai. Setelah melakukan serangkaian respon acak, si kucing pada akhirnya dapat keluar dengan membuat respons yang dapat membuka lubang keluar tersebut Setelah itu si kucing ditaruh lagi dalam kandang. Dari hasil mencoba coba, kucing tersebut mencapai tujuannya (keluar. kandang) dengan lebih cepat dan membuat lebih sedikit kesalahan sebelum akhirnya merespons dengan benar.

Pembelajaran trial-and-error

terjadi secara berangsur-angsur (bertahap) di mana respons-respons yang berhasil dibentuk dan yang tidak berhasil diabaikan. Koneksi koneksi terbentuk secara mekanis melalui perulangan; persepsi dari pikiran sadar tidak diperlukan. Hewan tidak "memahami" atau "memiliki pengetahuan." Thorndike menyadari bahwa pembelajaran manusia lebih kompleks karena manusia terlibat dalam tipe-tipe pembelajaran lainnya yang memerlukan pengkoneksian ide-ide, analisis, dan penalaran (Thorndike, 1913 b). Meski demikian, kemiripan dalam hasil-hasil penelitian dari studi hewan dan studi manusia mendorong Thorndike untuk menjelaskan pembelajaran yang kompleks dengan prinsip-prinsip pembelajaran dasar. Orang dewasa yang berpendidikan memiliki jutaan koneksi antara stimulus dan respons

Hukum Latihan dan Akibat (Exercise and Effect Laws)

Ide-ide dasar Thorndike mengenai pembelajaran diwujudkan dalam Hukum Latihan dan Akibat. Hukum Latihan terdiri dari dua bagian: Hukum Kegunaan (Law of Use) sebuah respons terhadap sebuah stimulus memperkuat koneksi keduanya; Hukum Ketidakgunaan (Law of Disuse)-ketika respons tidak diberikan terhadap sebuah stimulus, kekuatan koneksinya menjadi mehurun (dilupakan). Makin panjang interval waktu sebelum sebuah respons diberikan, makin besar penurunan kekuatan koneksi.

Prinsip prinsip lain

    Teori Thorndike (1913b) mencakup prinsip-prinsip lain yang juga relevan dengan pendidikan. Salah satunya adalah Hukum Kesiapan (Law of Readiness) yang menyatakan bahwa ketika seseorang dipersiapkan (sehingga siap) untuk bertindak, maka melakukan tindakan tersebut merupakan imbalan (rewarding) sementara tidak melakukannya me rupakan hukuman (punishing). Jika seseorang lapar, respons-respons yang mengarah pada makanan ada dalam kondisi siap, sementara respons respons lain yang tidak mengarah pada makanan tidak dalam kondisi siap. Ketika seseorang capek, yang akan dihasilkannya adalah hukuman jika ia memaksa untuk bekerja. Jika ide ini diaplikasikan pada pembelajaran, dapat kita katakan bahwa ketika siswa siap untuk mempelajari tindakan tertentu (dalam kaitannya dengan level perkembangan atau penguasaan keterampilan yang sebelumnya), maka perilaku-perilaku yang mendukung kelancaran pembelajaran ini akan menghasilkan imbalan. Ketika siswa tidak siap untuk belajar atau tidak memiliki keterampilan-keterampilan prasyaratnya, maka berusaha belajar akan menghasilkan hukuman dan menyia-nyiakan waktu.
      Prinsip peralihan asosiatif (nssociative shifting) mengacu pada situasi di mana respons respons yang diberikan untuk stimulus tertentu pada akhirnya ditujukan pada stimulus yang sama sekali berbeda, jika, setelah percobaan yang berulang-ulang ada perbedaan perbedaan kecil dalam karakteristik stimulus. Contohnya, untuk mengajari siswa membagi sebuah bilangan dua digit menjadi sebuah bilangan empat digit, pertama-tama kita mengajari mereka membagi bilangan satu digit menjadi bilangan satu digit, kemudian secara bertahap ditambahkan lebih banyak digit pada bilangan pembagi/penyebut dan pembilang.
     Prinsip elemen-elemen identik memengaruhi transfer (generalisasi),yaitu tingkatan di mana penguatan atau pelemahan suatu koneksi menghasilkan perubahan yang serupa dalam koneksi lainnya (Hilgard, 1996; Thorndike, 1913b;)  Transfer terjadi ketika situasi-situasi yang ada memiliki elemen-elemen yang identik dan memerlukan respons-respons yang sama. Thorndike dan Woodworth (1901)menemukan bahwa latihan atau pelatihan untuk sebuah keterampilan dalam konteks tertentu tidak meningkatkan kemampuan seseorang dalam mempraktikkan keterampilan tersebut secara umum. Jadi berlatih menghitung luas bujur sangkar tidak meningkatkan kemampuan siswa dalam menghitung luas segitiga, lingkaran, dan gambar-gambar bangun tak beraturan Keterampilan harus diajarkan dengan tipe-tipe muatan pendidikan yang berbeda-beda kepada siswa untuk memahami bagaimana menerapkannya.

PENDIDIKAN MENURUT THORNDIKE

Thorndike percaya bahwa praktik pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Menurutnya ada hubungan erat antara pengetahuan proses belajar dengan praktik pengajaran. Ia mengharapkan akan ditemukan lebih banyak lagi pengetahuan tentang hakikat belajar, semakin banyak pengetahuan yang dapat diaplikasikan untuk memperbaiki praktik pengajaran.

2. PENGKONDISIAN KLASIK (ivan petrovich pavlov)


   pavlov lahir di Rusia pada 1849 dan meninggal di sana pada 1936. Ayahnya adalah pendeta, dan Pavlov pada mulanya belajar untuk menjadi pendeta. Dia berubah pikiran dan menghabiskan sepanjang hidupnya untuk mempelajari fisiologi. Pada 1904 dia memenangkan hadiah Nobel untuk karyanya di bidang fisiologi pencernaan. Dia baru memulai studi refleks yang dikondisikan pada usia 50 tahun.
Stimulus UCS (bubuk makanan) Respon UCR (berliur), stimulus CS(metronom),lalu UCS (bubuk makanan) respon UCR(berliur) stimulus CS(metronom)  respon CR(berliur)
   Pengkondisian klasik merupakan sebuah prosedur multi-langkah yang pada mulanya membutuhkan sebuah stimulus yang tik terkondisikan (UCS Unconditioned Stimulus) yang menghasilkan sebuah respons yang tak terkondisikan(UCR - Unconditioned Response) Pavlov memberikan bubuk daging kepada si anjing yang lapar (UCS) yang kemudian membuat si anjing mengeluarkan liurnya (UCR). Untuk mengondisikan binatang ini, ia harus berulang kali diberi stimulus yang pada mulanya netral untuk waktu yang singkat sebelum diberikan UCS. Pavlov sering menggunakan metronom yang berdetak sebagai stimulus netral. Di percobaan-percobaan awal, bunyi detak metronom tidak membuat si anjing mengeluarkan liurnya. Pada akhirnya, si anjing mengeluarkan liurnya sebagai respons bunyi detak metronom sebelum bubuk daging diberikan padanya. Metronom ini menjadi sebuah stimulus yang terkondisikan (CS=Conditioned Stimulus) yang menghasilkan respons yang terkondisikan (CR = Conditioned Response) serupa dengan UCR aslinya. Pemberian CS (dalam hal ini tanpa UCS) yang dilakukan berulang kali tanpa ada penguatan membuat CR menurun intensitasnya dan kemudian hilang sebuah fenomena yang dikenal dengan kepunahan (extinction)(Larrauri & Schmajuk, 2008, Pavlov, 1932b).
     Pemulihan spontan (spontaneous recovery) terjadi setelah selang waktu di mana tidak diberikan dan CR dianggap menghilang. Jika kemudian CS diberikan dan CR nya kembali lagi, bisa kita katakan bahwa CR tersebut secara spontan dipulihkan dari kepunahan Sebuah CR yang pulih tidak akan bertahan kecuali CS tersebut diberikan kembali Pemasangan CS dengan UCS dapat mengembalikan CR kepada pengaruhnya semula sepenuhnya. Kenyataan bahwa pasangan CS-CR dapat diperbaiki tanpa banyak kesulitan menunjukkan bahwa kepunahan bukan merupakan pembatalan pembelajaran atas asosiasi-asosiasi tersebut (Redish, Jensen, Johnson,& Kurth-Nelson, 2007)
      Generalisasi bermakna bahwa CR ditimbulkan oleh stimulus-stimulus yang serupa dengan CS. Begitu si anjing telah dikondisikan untuk mengeluarkan liurnya Sebagai respons terhadap metronom yang berdetak 70 kali per menit, ia juga dapat berliur Ketika metronom tersebut berdetak lebih cepat ataupun lebih lambat, demikian juga untuk jam atau pengukur waktu yang berdetak. Makin tidak serupa stimulus-stimulus yang baru dengan CS atau makin sedikit elemen yang sama antara stimulus yang baru dan CS makin sedikitlah generalisasi yang terjadi (Harris, 2006).
       Diskriminasi adalah proses komplementer yang terjadi ketika si anjing belajar untuk merespons CS saja, sementara stimulus-stimulus yang lain yang serupa tidak. Untuk melatih diskriminasi, pelaku eksperimen dapat memasangkan CS dengan UCS dan menghadirkan pula stimulus-stimulus lainnya yang serupa tanpa UCS. Jika CSnya adalah metronom yang berdetak 70 kali per menit, maka UCS akan disajikan, sementara penyajian metronom yang lain (misalnya; metronom yang berdetak 50 dan 90 per menit) tidak dibarengi atau dipasangkan dengan penyajian UCS.
  Ketika stimulusnya telah terkondisikan, ia akan berfungsi sebagai sebuah UCS dan dalam hal ini pengkondisian dengan tingkatan yang lebih tinggi (higher-orderconditioning) dapat terjadi (Pavlov, 1927).Jika Seekor anjing telah dikondisikan untuk berliur dengan hadirnya bunyi metronom yang berdetak 70 kali per menit, metronom yang berdetak ini dapat berfungsi sebagai sebuah UCS untuk pengkondisian dengan tingkatan yang lebih tinggi. Sebuah stimulus netral yang baru (seperti alat listrik yang berdengung) dapat dibunyikan selama beberapa detik, lalu diikuti dengan bunyi detak metronom. Jika, setelah beberapa kali percobaan, si anjing mulai berliur ketika mendengar bunyi dengung listrik tersebut, alat listrik berdengung ini telah menjadi CS tingkatan kedua. Pengkondisian untuk CS tingkatan ketiga akan memerlukan pemanfaatan CS sebagai USC dan sebuah stimulus netral baru yang dipasangkan dengannya. Pavlov (1927)melaporkan bahwa pengkondisian yang melebihi tingkatan ketiga sulit dicapai.
          Teori classical conditioning yang dikembangkan oleh Pavlov didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem saraf otonom serta gerak reflek setelah menerima stimulus dari luar. Suatu hal yang terpenting dari teori ini adalah tentang metode yang digunakan dalam proses belajar dan hasil-hasil yang diperolehnya.

PENDAPAT PAVLOV TENTANG PENDIDIKAN


Prinsip Pavlovian sulit diaplikasikan ke pendidikan kelas, meskipun prinsip itu ada. Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa setiap kali kejadian netral dipasangkan dengan kejadian bermakna, akan terjadi pengkondisian klasik; jelas, penyandingan seperti ini selalu ada di siap waktu. Ketika suatu parfum yang sering dipakai oleh guru favorit pada suatu waktu di kemudian hari tercium lagi, bau itu akan mengingatkan kenangan pada sekolah; belajar matematika dalam situasi yang menegangkan dan guru galak mungkin akan menyebabkan munculnya sikap negatif terhadap matematika; sering dihukum dengan menulis dan menulis terus mungkin akan menyebabkan sikap negatif terhadap kegiatan menulis; mendapat pelajaran sulit di pagi hari mungkin menyebabkan ketidaksukaan pada pelajaran jam pertama di pagi hari; dan guru yang ramah dan menyenangkan mungkin akan mengilhami murid untuk berkarier menjadi guru. Perasaan kecemasan yang dikaitkan dengan kegagalan di sekolah mungkin menimbulkan masalah di luar sekolah. efek Garcia menunjukkan bahwa aversi yang kuat terhadap suatu situasi dapat muncul apabila pengalaman negatif diasosiasikan dengan situasi itu. Jadi, hewan yang makan suatu makanan dan menjadi sakit akan menghindari makanan itu. Adalah mungkin jika pengalaman di kelas adalah buruk murid mungkin akan seumur hidup mengembangkan aversi terhadap pendidikan. Selain itu, murid yang punya sikap negatif terhadap pendidikan mungkin akan menyerang guru, merusak sekolah, atau berkelahi dengan murid lain untuk menyalurkan frustrasinya.

3. PENGKONDISIAN KONTIGUITAS /CONTIGUOUS CONDITIONING (Edwin Ray Guthrie).


        guthrie lahir pada 1886 dan meninggal pada 1959. Dia adalah profesor psikologi di University of Washington dari 1914 sampai pensiun pada 1956. Karya dasarnya adalah The Psychology of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952. Gaya tulisannya mudah diikuti, penuh humor, dan menggunakan banyak kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya. Tidak ada istilah teknis atau persamaan matematika, dan dia Sangat yakin bahwa teorinya-atau teori ilmiah apa saja-harus dikemukakan dengan cara yang dapat dipahami oleh mahasiswa baru. Dia sangat menekankan pada aplikasi praktis dari gagasannya dan dalam hal ini dia mirip dengan Thorndike dan Skinner. Dia sebenarnya bukan eksperimentalis meskipun dia jelas punya pandangan dan orientasi eksperimental.
        Guthrie menyatakan prinsip-prinsip pembelajaran berdasarkan pada asosiasi-asosiasi (Guthrie, 1940). Bagi Guthrie, perilaku-perilaku pokok dalam pembelajaran adalah tindakan dan gerakan.

Tindakan dan Gerakan

        Prinsip-prinsip dasar Guthrie menyajikan gagasan kontiguitas stimulus dan respons Kombinasi dari stimulus-stimulus yang telah mencapai suatu gerakan, jika berulang akan cenderung diikuti oleh gerakan tersebut. (Guthrie, hlm. 23) Dengan kata lain Pola-pola stimulus yang aktif pada saat sebuah respons terjadi akan cenderung menghasilkan respons tersebut jika dimunculkan berulang-ulang (Guthrie, 1938, hlm. 37) Gerakan (movement)merupakan perilaku spesifik yang dihasilkan dari kontraksi-kontraksi otot. Guthrie membedakan antara gerakan dan tindakan (act). Tindakan adalah kelompok kelompok gerakan berskala besar yang menghasilkan suatu hasil. Bermain piano dan menggunakan komputer adalah tindakan-tindakan yang meliputi banyak gerakan. Sebuah tindakan dapat disertai berbagai macam gerakan: tindakan tersebut bisa jadi tidak mengkhususkan gerakan-gerakannya secara persis. Dalam olahraga basket contohnya, memasukkan bola ke keranjang (sebuah tindakan)dapat dilakukan dengan berbagai macam gerakan Pembelajaran kontiguitas bermakna bahwa sebuah perilaku dalam sebuah situasi akan diulang ketika situasi tersebut muncul kembali (Guthrie, 1959). Tetapi, pembelajaran kontiguitas itu selektif.

Kekuatan Asosiatif Teori Guthrie

menyebutkan bahwa pembelajaran terjadi melalui pemasangan stimulus dan respons. Guthric(1942) juga membicarakan tentang peinasangan, atau kekuatan asosiatif:  Sebuah pola stimulus memperoleh kekuatan asosiatif optimalnya pada saat pemasangannya dengan sebuah respons. (hlm. 30)

Imbalan dan Hukuman

      Guthrie yakin bahwa respons-respons tidak perlu diberi imbalan untuk dapat dipelajari Mekanisme pokoknya adalah kontiguitas, atau pemasangan yang tepat pada waktunya antara stimulus dan respons. Respons tersebut tidak harus memuaskan; pemasangan tanpa akibat-akibat dapat menghasilkan pembelajaran.

Pembentukan dan Berubahan Kebiasaan

      Kebiasaan adalah kecenderungan yang dipelajari untuk mengulang respons-respons yang pernah dibuat (Wood Neal, 2007). Karena kebiasaan adalah perilaku-perilaku yang dibentuk untuk banyak tanda, guru yang ingin siswanya berperilaku baik di sekolah harus menghubungkan aturan-aturan sekolah dengan banyak tanda. Aturan "Perlakukan orang lain dengan rasa hormat," harus dihubungkan dengan ruang kelas, lab komputer. aula, kafetaria, gelanggang olahraga, auditorium, dan taman bermain. Dengan mengaplikasikan aturan ini di masing-masing setting tersebut, perilaku hormat terhadap orang lain akan menjadi kebiasaan.
    Kunci untuk mengubah kebiasaan adalah "menemukan tanda-tanda yang memicu tindakan tersebut dan melatih respons lain terhadap tanda-tanda ini" (Guthrie, 1952, hlm. 115) Guthrie mengidentifikasi tiga metode untuk mengubah kebiasaan: ambang batas (threshold), keletihan (fatigue), dan respons yang tidak sesuai (incompatible response). Meskipun metode,-metode ini memiliki perbedaan-perbedaan, semuanya menyajikan tanda tanda untuk sebuah tindakan yang biasa dilakukan tetapi mengaturnya agar tidak dilakukan.

PENDAPAT GUTHRIE TENTANG PENDIDIKAN


      Seperti Thorndike, Guthrie menyarankan proses pendidikan dimulai dengan menyatakan tujuan, yakni menyatakan respons apa yang harus dibuat untuk suatu stimuli. Dia menyarankan lingkungan belajar yang akan memunculkan respons yang diinginkan bersama dengan adanya stimuli yang akan dilekatkan padanya.
      Motivasi lebih tidak penting bagi Guthrie ketimbang bagi Throndike. Menurut Guthrie yang diperlukan adalah siswa mesti merespons dengan tepat dalam kehadiran stimuli tertentu. Latihan (praktik) adalah penting karena ia menimbulkan lebih banyak stimuli untuk menghasilkan perilaku yang diinginkan. Karena setiap pengalaman adalah unik, seseorang harus belajar ulang" berkali-kali. Guthrie mengatakan bahwa belajar 2 tambah 2 di papan tulis tidak menjamin siswa bisa belajar 2 tambah 2 di bangkunya. Siswa bukan hanya harus belajar bahwa 2 blok merah plus 2 blok merah sama dengan 4 blok merah, tetapi mereka juga harus membuat asosiasi 2 tambah 2 sama dengan 4 untuk hal lain seperti apel, anjing, buku, dan sebagainya. Adalah mungkin bahwa siswa akan belajar melekatkan respons ke stimuli di kelas dan respons lain ke stimuli yang sama di luar kelas.

4. PENGKONDISIAN OPERAN /OPERANT CONDITIONING (B. F. Skinner)


Teori behavioral yang terkenal adalah operant conditioning atau pengkondisian operan yang dirumuskan oleh B.F. (Burrus Frederick) Skinner (1904-1990) Diawali pada 1930-an,Skinner menerbitkan serangkaian tulisan ilmiah yang melaporkan hasil-hasil penelitian laboratorium terhadap binatang di mana ia mengidentifikasi berbagai komponen dari pengkondisian operan. la merangkum sebagian besar dari karya tulis awalnya ini dalam bukunya yang terkenal, The Behavior of Organisms (Skinner, 1938)
Pavlov menelusuri lokus pembelajaran ke sistem saraf dan memandang perilaku sebagai sebuah manifestasi dari fungsi neurologis. Skinner (1938) tidak memungkiri bahwa fungsi neurologis menyertai perilaku, tetapi ia yakin bahwa psikologi  perilaku dapat dipahami dalam bidangnya sendiri tanpa mengacu pada peristiwa-peristiwa neurologis atau peristiwa-peristiwa internal lainnya.
           Teori operant conditioning, berpendapat bahwa perilaku dalam proses belajar terbentuk oleh konsekuensi yang ditimbulkannya. Konsekuensi yang menyenangkan, yaitu positive reinforcement atau punishment akan membuat perilaku dihindari

Prilaku responden dan operan

     Skinner membedakan dua jenis perilaku: respondent behavior (perilaku responden). yang ditimbulkan oleh suatu stimulus yang dikenali, dan operant behavior (perilaku operan), yang tidak diakibatkan oleh stimulus yang dikenal tetapi dilakukan sendiri oleh organisme Respons yang tidak terkondisikan (bersyarat) atau unconditioned response adalah contoh dari perilaku responden karena respons ini ditimbulkan oleh stimuli yang tak terkondisikan. Contoh dari perilaku responden adalah semua gerak refleks, seperti menarik tangan ketika tertusuk jarum, menutupnya kelopak mata saat terkena cahaya yang menyilaukan, dan keluarnya air liur saat ada makanan. Karena perilaku operan pada awalnya tidak berkorelasi dengan stimuli yang dikenali, maka ia tampak spontan. Contohnya adalah tindakan ketika hendak bersiul, berdiri lalu berjalan, atau anak yang meninggalkan satu mainan dan beralih ke mainan lainnya. Kebanyakan aktivitas keseharian kita adalah perilaku operan. Perhatikan bahwa Skinner tidak mengatakan bahwa perilaku operan terjadi secara independen dari stimulasi; dia mengatakan bahwa stimulus yang menyebabkan perilaku itu tidak diketahui dan bahwa kita tidak perlu mengenali penyebabnya karena hal itu tidak penting. Berbeda dengan perilaku responden, yang bergantung pada stimulus yang mendahuluinya, perilaku operan dikontrol oleh konsekuensinya.

Pengkondisian Tipe S dan Tipe R

Bersama dengan dua macam perilaku tersebut, ada dua jenis pengkondisian. Pengkondisian Tipe S juga dinamakan respondent conditioning (pengkondisian responden) dan identik dengan pengkondisian klasik). Ia disebut pengkondisian Tipe S karena menekankan arti penting stimulus dalam menimbulkan respons yang diinginkan. Tipe kondisi yang menyangkut perilaku operan dinamakan Tipe R karena penekannya adalah pada respons. Pengkondisian Tipe R juga dinamakan operant conditioning (pengkondisian operan). Penting untuk dicatat bahwa dalam pengkondisian Tipe R, kekuatan pengkondisiannya ditunjukkan dengan tingkat respons (response rate), sedangkan dalam pengkondisian Tipe S kekuatan pengkondisiannya biasanya ditentukan berdasarkan besaran (magnitude) dan respons yang terkondisikan. Maka kita melihat bahwa pengkondisian Tipe R Skinner menyerupai pengkondisian instrumental Thorndike, dan pengkondisian Tipe S Skinner identik dengan pengkondisian klasik Pavlov. Riset Skinner hampir semuanya berkaitan dengan pengkondisian Tipe R, atau pengkondisian operan.

Prinsip Pengkondisian Operan

          Ada dua prinsip umum dalam pengkondisian Tipe R: (1) setiap respons yang diikuti dengan stimulus yang menguatkan cenderung akan diulang; dan (2) stimulus yang menguatkan adalah segala sesuatu yang memperbesar rata-rata terjadinya respons operan. sebuah penguat adalah segala sesuatu yang meningkatkan probabilitas terjadinya kembali suatu respons.
           Skinner (1953) tidak mengemukakan kaidah yang mesti diikuti seseorang untuk menemukan apa yang merupakan penguat yang efektif. Namun, dia mengatakan bahwa apakah sesuatu itu menguatkan atau tidak akan hanya dapat dipastikan melalui efeknya terhadap perilaku.
       proses-proses dasar dalam pengkondisian operan: penguatan, kepunahan, penguat-penguat primer dan sekunder, Prinsip Premack, hukuman, jadwal-jadwal penguatan, generalisasi, dan diskriminasi.
           Penguatan bertanggung jawab terhadap upaya memperkuat respons menaikkan tingkat kemunculan respons atau membuat respons-respons makin cenderung terjadi. Sebuah penguat (atau stimulus penguat) adalah semua stimulus atau peristiwa yang mengikuti sebuah respons yang membuat respons menguat.
          Kepunahan adalah menurunnya kekuatan respons karena ketiadaan penguatan. Siswa yang mengangkat tangannya di kelas, tetapi tidak pernah dipanggil bisa jadi akan berhenti mengangkat tangannya. Orang yang mengirimkan pesan-pesan email kepada orang yang sama, tetapi tidak pernah mendapatkan jawaban pada akhirnya akan berhenti mengirimkan pesan kepada orang tersebut.
         Hukuman menekan sebuah respons, tetapi tidak menghilangkannya. Ketika ancaman hukuman dihilangkan, respons yang diberi hukuman sebelumnya dapat kembali. Efek efek hukuman adalah sesuatu yang kompleks. Hukuman sering menimbulkam respons respons yang tidak sesuai dengan perilaku yang diberi hukuman dan yang cukup kuat untuk menekan perilaku tersebut (Skinner, 1953).
          Generalisasi. Begitu respons tertentu terjadi secara rutin terhadap stimulus tertentu, respons tersebut juga dapat terjadi terhadap stimulus-stimulus lain. Hal ini disebut dengan generalisasi (Skinner, 1953)
        Diskriminasi, yang merupakan proses komplementer untuk generalisasi, adalah memberikan respons yang berbeda (dalam intensitasnya atau tingkatannya) berdasarkan stimulus atau karakteristik-karakterisitk dari sebuah situasi (Rilling, 1977). Meskipun guru ingin siswanya menggeneralisasikan apa yang mereka pelajari pada situasi-situasi lainnya, ia juga ingin mereka meresponsnya dengan cara yang berbeda beda (diskriminatif).

PANDANGAN SKINNER TENTANG PENDIDIKAN


 Skinner, seperti Thorndike, sangat tertarik untuk mengaplikasikan teori belajarnya ke proses pendidikan. Menurut Skinner, belajar akan berlangsung sangat efektif apabila: (1) informasi yang akan dipelajari disajikan secara bertahap; (2) pembelajar segera diberi umpan balik (feedback) mengenai akurasi pembelajaran mereka yakni, setelah belajar mereka segera diberi tahu apakah mereka sudah memahami informasi dengan benar atau tidak); dan (3) pembelajar mampu belajar dengan caranya sendiri.
     Skinner menegaskan bahwa tujuan belajar seharusnya dispesifikasikan dahulu sebelum pelajaran dimulai. Dia menegaskan bahwa tujuan belajar itu mesti didefinisikan secara behavioral. Jika satu unit didesain untuk mengajarkan kreativitas, dia akan menanyakan "Apa yang dilakukan murid saat mereka menjadi kreatif?" Jika satu unit didesain untuk mengajarkan pemahaman sejarah, dia akan bertanya, "Apa yang akan dilakukan murid jika mereka memahami sejarah?" Jika tujuan pendidikan tidak bisa dispesifikasikan secara behavioral, instruktur tak akan tahu apa yang harus diajarkan. Jika tujuan dispesifikasikan dalam term yang sulit diterjemahkan ke dalam term behavioral, maka sulit sekali untuk menentukan sejauh mana tujuan pelajaran sudah terpenuhi.
      Guru Skinnerian juga perlu beralih dari jadwal penguatan 100 persen kejadwal penguatan parsial. Selama tahap awal training, respons yang benar akan diperkuat setiap kali respons itu muncul. Tetapi kemudian ia hanya diperkuat secara periodik, yang, tentu saja, membuat respons itu lebih sulit untuk lenyap.
     Guru Skinnerian menghindari pemberian hukuman. Mereka akan memperkuat perilaku yang tepat dan mengabaikan perilaku yang tak tepat. Karena lingkungan belajar didesain agar siswa mendapatkan kesuksesan maksimal, mereka biasanya memerhatikan materi yang hendak dipelajari.
   
   >  Aplikasi teori behavior dalam pengajaran

      Skinner (1954, 1961, 1968, 1984) menulis panjang lebar tentang bagaimana gagasan gagasannya dapat diaplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan. la yakin bahwa ada terlalu banyak kontrol yang tidak diinginkan. Meskipun siswa jarang menerima hukuman fisik, mereka sering mengerjakan tugas bukan karena mereka ingin belajar atau karena mereka menikmatinya, tetapi lebih disebabkan oleh keinginan menghindari hukuman seperti kritik dari guru, kehilangan hak-hak istimewa, dan diminta menghadap ke kantor kepala sekolah.

     Keprihatinannya yang kedua adalah bahwa penguatan jarang diberikan di sekolah dan ketika diberikan sering pada saat yang tidak tepat. Guru memerhatikan masing-masing siswa hanya selama beberapa menit setiap harinya. Ketika siswa mengerjakan tugas di bangku mereka masing-masing, ada selang waktu beberapa menit yang berlalu antara ketika mereka selesai mengerjakan tugas dan ketika mereka menerima umpan balik dari guru. Akibatnya, siswa tidak belajar secara benar, yang berarti bahwa guru harus mengalokasikan tambahan waktu untuk memberikan umpan balik perbaikan.
        Poin perhatian ketiga Skinner adalah bahwa cakupan dan rangkaian kurikulum, kurikulum tidak menjamin bahwa seluruh siswa akan berhasil memperoleh keterampilan keterampilan yang diajarkan. Para siswa tidak belajar dengan kecepatan yang sama. Untuk dapat menyelesaikan seluruh materi, guru kadang-kadang beralih ke pelajaran lain sebelum semua siswa menguasai pelajaran yang sebelumnya. Skinner berpendapat bahwa permasalahan permasalahan ini serta yang lainnya tidak dapat dipecahkan dengan menaikkan gaji guru (meskipun hal ini akan menyenang kan bagi guru), memperpanjang jam belajar harian dan tahunan di sekolah, menaikkan standar, atau memperketat persyaratan sertifikasi guru.
     Skinner merekomendasikan pemanfaatan waktu mengajar yang lebih baik. Karena mengharapkan siswa menjalani kurikulum dengan kecepatan yang sama adalah hal yang tidak realistis, mengindividualkan pengajaran akan meningkatkan efisiensi Skinner yakin bahwa mengajar membutuhkan pengaturan kontingensi-kontingensi penguatan yang tepat. Kita tidak memerlukan prinsip-prinsip baru dalam mengaplikasikan pengkondisian operan terhadap pendidikan. Pengajaran akan lebih efektif jika (1) guru memberikan materi dalam langkah-langkah yang lebih kecil.(2) para siswa merespons secara aktif daripada sekadar mendengarkan secara pasif, (3) guru memberikan umpan balik langsung setelah didapatkan respons-respons dari pembelajar, dan (4) siswa mempelajari materi yang diberikan sesuai dengan ritme mereka sendiri. Proses dasar pengajaran melibatkan pembentukan tujuan dari pengajaran (perilaku yang diinginkan) dan perilaku awal siswa diidentifikasi; sub-sub langkah (perilaku perilaku) yang bermula dari perilaku awal dan bergerak menuju perilaku yang diinginkan dirumuskan; dan akhirnya, tiap sub-langkah merepresentasikan sebuah modifikasi kecil dari sub-langkah sebelumnya. Siswa digerakkan sepanjang rangkaian pembentukan ini menggunakan berbagai pendekatan yang meliputi demonstrasi; belajar dalam kelompok kecil dan tugas individu. Siswa secara aktif merespons terhadap materi dan menerima umpan-balik langsung.



-----------------------
Sumber:
Dale H. Schunk, learning theories an educational perspective, edisi ke enam(yogyakarta : pustaka pelajar, 2012)
B. R. Hergenhahn dan Metthew H.  Olson, theories of learning,  edisi ke tujuh (jakarta;  kencana, 2009)
Zainal Abidin Arif,, landasan teknologi pendidikan, Bogor: uikapress: 2015
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar