Interaksi Sosial Dalam Kelompok Dan Proses Pembentukan Kelompok-Kelompok


 
Interaksi Sosial Dalam Kelompok Dan Proses Pembentukan Kelompok-Kelompok
Interaksi Sosial Kelompok Dan Proses Pembentukan Kelompok

        Manusia sering melakukan hubungan dan pengaruh timbal balik dengan manusia yang lain dalam rangka memenuhi kebutuhan dan mempertahankan kehidupannya. Bahkan, secara ekterm manusia akan mempunyai arti jika ada manusia yang lain tempat ia berinteraksi. Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Ada aksi dan ada reaksi, pelakunya lebih dari satu, individu dan individu, individu dan kelompok, kelompok dan kelompok Interaksi sosial memerlukan syarat yaitu kontak sosial dan komunikasi sosial. Kontak sosial sendiri dapat berupa kontak primer dan kontak sekunder.  kemudian komunikasi sosial dapat secara langsung maupun tidak langsung. 
      Proses pembentuk terjadinya kelompok sosial meliputi faktor pendorong timbulnya kelompok sosial dan dasar pembentukan kelompok sosial. Setiap manusia selama hidup pasti mengalami perubahan perubahan. Perubahan-perubahan masyarakat dapat mengenai nilai-nilai sosial norma-norma sosial, pola-pola perilaku organisasi, susunan kelembagaan masyarakat, kekuasaan dan wewenang, kelompok sosial dan sebagainya.

A. Pengertian Interaksi dan Kelompok 

1. Pengertian interaksi menurut para ahli 

      Gillin mengatakan bahwa interaksi merupakan suatu hubungan yang bersifat dinamis dalam bersosialisasi antar individu, individu dengan kelompoknya atau kelompok lain dan kelompok yang satu dengan kelompok yang lainnya. 
       Macionis mengatakan bahwa interaksi merupakan proses dalam melakukan aksi serta memberikan reaksi dalam hubungan sosialisasi dengan masyarakat. 
      Kimball dan Raymond mengatakan bahwa interaksi merupakan suatu hubungan dalam ranah sosial yang bersifat dinamis antara individu dengan kelompoknya. 
     Soerjono Soekanto mengatakan bahwa interaksi merupakan cara yang dipakai atau dilakukan oleh seseorang dalam menjalin hubungan sosial antara individu dengan kelompoknya atau kelompok lain. 
       Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa interaksi merupakan kegiatan yang dilakukan oleh setiap manusia saat menjalin hubungan sosial dengan orang-orang sekitarnya. 

2. Pengertian kelompok 

Kelompok adalah kumpulan dari dua orang atau lebih yang berinteraksi dan mereka saling bergantung (interdependent) dalam rangka memenuhi kebutuhan dan tujuan bersama yang menyebabkan satu sama lain saling mempengaruhi (Catwright & Zander, 1968 Lewin, 1948). Manfaat dari kelompok, yaitu : 
a) Orang-orang lain yang menjadi sumber informasi yang sangat penting. 
b) Kelompok dapat menjadi bagian penting dari identitas kita, yang mendefinisikan siapa diri kita. 
c) Kelompok membantu menegakkan norma sosial, aturan yang eksplisit atau implisit mengenai perilaku yang dapat diterima. 

B. Pengertian Interaksi Sosial dan Faktor-faktornya 


         H. Bonner dalam bukunya Social Psychology. Berpendapat bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, dimana kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah atau memperbaiki kelakuan individu yang lain atau sebaliknya. 
     Faktor-faktor yang mendasari interaksi sosial baik secara tunggal maupun bergabung, yaitu : 

1. Faktor imitasi 

     Imitasi adalah orang yang mengikuti sesuatu di luar dirinya, adanya proses imitasi dalam interaksi sosial dapat menimbulkan kebiasaan dimana orang mengimitasi sesuatu tanpa kritik yang dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis. Adanya peran imitasi dalam interaksi sosial dapat memajukan gejala-gejala kebiasaan malas berpikir kritis pada individu manusia, yang mengandalkan kehidupannya. 
    Imitasi bukan menjadi dasar pokok daripada semua interaksi sosial, tetapi imitasi merupakan suatu segi dari proses interaksi sosial yang menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah laku antara orang banyak. Dengan cara imitasi pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide dan adat istiadat dari keseluruhan kelompok masyarakat dan dengan hal itu seseorang dapat lebih melebarkan dan meluaskan hubungannya dengan orang lain. 

2. Faktor sugesti 

       Sugesti adalah orang yang memberikan pandangan atau sikap dari dirinya yang lalu diterima oleh orang lain. Dalam ilmu jiwa sosial, sugesti adalah proses dimana seorang individu menerima suatu cara penglihatan, atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. 
Secara garis besar, ada beberapa keadaan tertentu dan syarat-syarat yang memudahkan sugesti terjadi yaitu:

a. Sugesti karena hambatan berpikir ; Dalam proses sugesti terjadi gejala bahwa orang yang dikenainya mengambil over pandangan dari orang lain tanpa memberinya pertimbangan pertimbangan kritik terlebih dahulu. Hal ini dapat terjadi jika orang yang akan dikenai sugesti berada dalam keadaan dimana cara berpikir kritisnya sudah terhambat dan orang tersebut sudah lelah berpikir atau daya berfikirnya sedang mengalami perangsangan-perangsangan emosional. 

b. Sugesti karena keadaan fikiran terpecah-belah (disosiasi);  Hal in dapat terjadi karena orang yang bersangkutan menjadi bingung menghadapi kesulitan-kesulitan hidup yang terlalu kompleks bagi daya tampungnya 

c. Sugesti karena otoritet; Dalam hal ini orang cenderung menerima pandangan atau sikap tertentu jika hal itu dimiliki oleh orang-orang yang ahli dalam bidangnya, sehingga dianggap otoritet pada bidang atau dimiliki oleh orang yang mempunyai prestige sosial yang tinggi.  

d. Sugesti karena mayoritet; Dalam hal ini orang cenderung akan menerima suatu pandangan atau ucapan apabila ucapan itu diikuti oleh mayoritet oleh sebagian golongan kelompok atau masyarakat. Mereka cenderung menerima pandangan itu tanpa pertimbangan lebih lanjut, oleh karena itu jika kebanyakan sudah berpendapat demikian maka ia pun rela ikut berpendapat demikian. 

e. Sugesti karena "will to believe”;  Dalam hal ini orang akan menerima suatu sikap atau pandangan tertentu karena pandangan tersebut sudah ada pada dirinya namun dalam keadaan terpendam. Isi daripada sugesti akan diterima tanpa pertimbangan lebih lanjut, karena pada diri orang tersebut sudah terdapat suatu kesediaan untuk lebih sadar dan yakin akan hal-hal yang disugestikan. Jenis sugesti ini disebut sugesti karena 'will to believe" atau sugesti karena keinginan untuk meyakini dirinya. 

3. Faktor identifikasi 

   Identifikasi dalam ilmu psychology berarti dorongan untuk menjadi identik (sama) dengan orang lain. Kecenderungan ini bersifat tidak sadar (dengan sendirinya), secara irasionil yang berdasarkan perasaan atau kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan mempunyai guna untuk melengkapi sistem norma, cita dan pedoman tingkah laku orang mengidentifikasi. 

4. Faktor simpati. 

    Simpati adalah perasaan tertarik antar individu yang timbul tidak atas dasar logis rasionil, melainkan berdasarkan penilaian perasaan. Gejala pada identifikasi dan simpati berdekatan, hanya bedanya jika pada simpati dorongan utamanya adalah ingin mengerti dan ingin kerja sama dengan orang lain sedangkan pada identifikasi dorongan utamanya adalah ingin mengikut jejaknya, ingin mencontoh dan ingin belajar dari orang lain yang dianggap ideal. 

C. Situasi Sosial 


     Situasi sosial adalah tiap-tiap situasi dimana terdapat hubungan antara manusia yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain tiap-tiap situasi dimana terjadi interaksi sosial dapat disebut situasi sosial Menurut M. Sherif, ada 2 (dua) golongan utama situasi sosial yaitu: 

1. Togetherness situation (situasi kebersamaan) 

       Situasi kebersamaan merupakan situasi dimana berkumpulnya sejumlah orang yang sebelumnya tidak kenal-mengenal dan interaksi sosial yang terdapat antara mereka tidak begitu mendalam. Yang terpenting dalam situasi ini bukanlah mereka yang mengadakan interaksi sosial yang mendalam, melainkan bahwa sejumlah orang itu ada karena kepentingan bersama telah terkumpul pada suatu tempat. 

2. Group situation (situasi kelompok sosial) 

     Situasi kelompok sosial merupakan situasi di dalam kelompok, dimana kelompok sosial tempat orang berinteraksi secara keseluruhan, seperti kumpulan suatu partai yang anggota-anggotanya sudah mempunyai hubungan yang lebih mendalam antara yang satu dengan yang lain dimana hubungan tersebut tidak terdapat pada hari itu saja namun juga pada hari sebelumnya.

D. Teori Keterpaduan Kelompok 


      Keterpaduan kelompok (group cohesiveness) diterangkan oleh berbagai teori. Sebagian tidak berdasarkan eksperimen (Lon Bon, McDougall dan Bion), sebagian lagi berdasarkan eksperimen (Festinger dan Lott & Lott) 

1. Teori-teori pra eksperimental 

a. Gustave Le Bon (dalam Nye, 1975) 
Jiwa kelompok adalah irasional, impulsif, agresif, tidak dapat membedakan antara kenyataan dan khayalan dan bagaikan di bawah pengaruh hipnotis. Dreyfus berpendapat bahwa keterpaduan kelompok dapat dicapai melalui proses-proses pada tingkat individu (demokrasi). bukan dipaksakan melalui disiplin yang ketat. 

b. McDougall (1908-1921) 
Jiwa kelompok bukanlah yang mengendalikan perilaku kelompok Karena pengendali perilaku kelompok adalah naluri emosi. Naluri emosi inilah yang membedakan perilaku kelompok yang tidak terorganisir (seperti kerumunan orang-orang di pasar) dan kelompok yang terorganisir (seperti perusahaan, tantara). Kelompok tidak selalu mempunyai jiwa kelompok. Jiwa kelompok baru tumbuh jika ada 4 (empat) faktor yang menimbulkannya, yaitu: 
1) Keberlangsungan keberadaan kelompok (berlanjut untuk waktu yang lama) dalam arti keanggotaan dan peran setiap anggota 
2) Adanya tradisi, kebiasaan,dan adat. 
3) Ada organisasi dalam kelompok (ada diferensiasi dan spesialisasi fungsi) 
4) Kesadaran diri kelompok, yaitu setiap anggota tahu siapa saja yang termasuk kelompok, bagaimana caranya ia berfungsi dalam kelompok, bagaimana struktur dalam kelompok, dan sebagainya. 

c. Bion (1949,1959,1961) 
      Kelompok tidaklah sama dengan kumpulan individu, tetapi merupakan kesatuan dengan ciri dinamika dan emosi sendiri. Kelompok adalah makrokosmos dari individu. Dalam kelompok yang penting adalah memori kelompok atau protemental. Ketika sistem yang satu sedang berfungsi, sistem yang lain disimpan dalam protemental untuk siap difungsikan sewaktu-waktu. 

2. Teori-teori eksperimental 

a Festinger, Schachter & Back (1952) 
   Keterpaduan kelompok diawali oleh ketertarikan terhadap kelompok dan anggota kelompok dan dilanjutkan dengan interaksi sosial dan tujuan tujuan pribadi yang menuntut saling ketergantungan. Pada giliran kekuatan-kekuatan di lapangan itu akan menimbulkan perilaku kelompok yang berupa kesinambungan keanggotaan dan penyesuaian terhadap standar kelompok. 
b. Lott & Lott (1965) 
   Keterpaduan kelompok mempunyai dampak, yaitu (1) evaluasi diri, (2) persepsi tentang kesamaan antarpribadi dalam hal sikap, perilaku, dan kepribadian, (3) komunikasi yang lebih bebas hambatan. 

E. Teori Identitas Sosial 


     Teori identitas sosial ini dipelopori oleh Henri Tajfel (1957,1959) dalam upaya untuk menjelaskan prasangka, diskriminasi, konflik antar kelompok, dan perubahan sosial. Ciri khas Tajfel adalah non-reduksionis, yaitu membedakan antara proses kelompok dari proses dalam diri individu. Jadi, harus dibedakan antara proses intraindividual (yang membedakan seseorang dari orang lain) dan proses identitas sosial (yang menentukan apakah seseorang dengan ciri ciri tertentu termasuk atau tidak termasuk dalam suatu kelompok tertentu). 
         Perilaku kelompok berbeda dari perilaku individu. Yang termasuk dalam perilaku kelompok, antara lain etnosentrisme, ingroup bias, kompetisi, dan diskriminasi antar kelompok, stereotip, prasangka, uniformitas, konformitas, dan keterpaduan kelompok (Brewer Campbell, 1976). Menurut teori ini identitas sosial seseorang ikut membentuk konsep diri dan memungkinkan orang tersebut menempatkan diri pada posisi tertentu dalam jaringan hubungan-hubungan sosial yang rumit Teori identitas sosial ini juga digunakan untuk menjelaskan perubahan sosial pada tingkat makro-sosial. Menurut teori ini ada 2 (dua) kemungkinan perubahan sosial, yaitu (1) mobilitas sosial dan (2) perubahan sosial itu sendiri. 

F. Kategorisasi Diri 


     Teori kategorisasi diri (self categorisation) dikemukakan oleh Tumer (1985). Teori ini memberi tekanan pada faktor kognisi yang dalam teori identitas sosial masih kurang dibahas. Dasar dari teori kategorisasi diri adalah bahwa orang menggolong-golongkan diri dalam berbagai tingkat abstraksi (Rosch, 1978): ingroup-outgroup (identitas sosial), bodoh-pandai, cantik-jelek, pemimpin-pengikut, kaya-miskin, beriman-tak beriman dan sebagainya. Kategorisasi ini selalu terkait dengan konteks, tidak pernah berdiri sendiri, dan selalu menekankan pada stereotip, prototipe, dan norma. 
       Semua kategorisasi itu terjadi dalam kognisi orang, dan atas dasar kategorisasi kognitif itulah orang berperilaku atau bereaksi. Terjadinya kategorisasi kognitif, menurut Robbie, Scott & Visser (1989) bukan disebabkan oleh karena setiap orang mencari identitas sosial yang positif, melainkan karena setiap orang berusaha untuk memaksimalkan keuntungan bagi dirinya sendiri dalam kelompok (economic self interest). Dampaknya adalah polarisasi kelompok (pendapat kelompok mengumpul pada satu kutub tertentu). Penelitian oleh Witterman (1991) menunjukkan bahwa dalam mengatasi konflik dalam kelompok, anggota-anggota kelompok lebih puas jika penyelesaiannya berorientasi pada pemecahan masalah (memperjelas posisi masing-masing) daripada penyelesaian yang non-konfrontasi. Akan tetapi, jika identitas kelompok terancam kelompok justru cenderung beraksi secara etnosentris, yaitu dengan polarisasi kelompok (mengembangkan stereotip stereotip di pihak outgroup). 

G. Dasar-Dasar Pembentukan Kelompok 


1. Dasar Psikologis 

Pada dasarnya manusia bersifat sosial, dalam arti bahwa tidak ada orang yang ingin hidup menyendiri terpisah dari orang lain. Mereka mengelompokkan dirinya dalam berbagai kelompok manusia yang bersifat sosial dan mengandung pengertian bahwa pertumbuhan dan perkembangan manusia mungkin terjadi di dalam hubungan sosial tersebut. Dalam hubungan sosial akan terjadi interaksi sosial. Setiap individu mempunyai hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara individu dan kelompoknya Pengaruh timbal balik itu mengandung nilai meninggikan atau meningkatkan baik dalam arti konstruktif maupun destruktif. Pengaruh konstruktif terjadi bila dapat meningkatkan kelompok (umum) dan perkembangan individu (khusus). Sedangkan pengaruh destruktif terjadi bila hambatan atau perusakan hubungan sosial ada, namun lebih ditekankan pada sifat kelompok yang konstruktif untuk memberi kesempatan yang luas kepada individu sesuai hakikat serta untuk mencapai perkembangan dan kepribadiannya. 

2. Dasar Pedagogis 

     Setiap kelompok harusnya mengandung nilai paedagogis yang berarti bahwa terbentuknya kelompok dapat meningkatkan taraf perkembangan kepribadian seseorang. Dengan adanya hubungan timbal balik dalam kelompok maka prestasi individu dapat ditingkatkan, seperti rasa malu menjadi berani, malas menjadi rajin, sifat egois yang dihilangkan karena harus bekerja sama dalam tugas kelompok. Untuk mencapai tujuan dibutuhkan pribadi yang bertanggung jawab, dan pimpinan kelompok harus sadar dalam melihat arah perkembangan yang terjadi. Kelompok akan mudah ditemukan alat pendidikan yang dapat digunakan untuk mengembangkan kepribadian anggota dan masyarakat. 

3. Dasar Didaktis 

      Kelompok memiliki nilai didaktis sebagai alat untuk menjadi perantara penyampaian materi baru kepada anggota, dan melalui kerja kelompok anggota dapat menguasai suatu materi dengan jalan diskusi, soal jawab secara singkat, melengkapi/ menanggapi dan sbgainya. 
       Dalam sebuah kelompok terdapat norma-norma tingkah laku yang khas antara anggota kelompok yang diharapkan semua anggota dalam keadaan yang berhubungan dengan kehidupan dan tujuan interaksi kelompok, norma kelompok juga memberi suatu pedoman mengenai tingkah laku mana dan sampai batas mana masih dapat diterima oleh kelompok dan tingkah laku anggota yang mana tidak diperbolehkan lagi oleh kelompok. 

H. Proses Pembentukan Kelompok 


1. Persepsi 

Pembagian kelompok diharapkan mempunyai kemampuan yang berimbang, apabila ada anggota yang mempunyai tingkat intelegensi rendah, maka anggota yang mempunyai tingkat intelegensi tinggi mampu menginduksi anggota yang lain, sehingga tidak terjadi ketimpangan yang mencolok. 

2. Motivasi 

Pembagian kekuatan yang berimbang akan memotivasi setiap anggota kelompok untuk berkompetisi secara sehat dalam mencapai tujuan kelompok 

3. Tujuan 

Pembentukan kelompok diantaranya untuk menyelesaikan tugas-tugas kelompok atau individu dengan menggunakan metode diskusi ataupun kerjasama, sehingga suatu kelompok memiliki tujuan yang sama dengan anggotanya. 

4. Organisasi 

Pengorganisasian bermaksud untuk mempermudah koordinasi, sehingga penyelesaian masalah kelompok menjadi lebih efektif dan efisien. 

5. Independensi 

Kebebasan merupakan hal penting dalam dinamika kelompok dalam menyampaikan ide dan pendapatnya. Kebebasan di sesuaikan dengan aturan yang berlaku dalam kelompok sehingga tidak mengganggu proses kelompok. 

6. Interaksi 

Interaksi atau hubungan timbal balik antar anggota kelompok merupakan syarat yang penting dalam kelompok karena dengan adanya intetraksi / hubungan timabal balik akan ada proses memberi dan menerima ilmu pengetahuan dari satu anggota ke anggota yang lain. 

I.Tahap Terbentuknya Kelompok

1. Tahap 1 = Forming (Pembentukan) 

     Pada tahap ini kelompok baru  dibentuk dan diberikan tugas. Anggota kelompok lebih cenderung untuk bekerja sendiri dan walaupun memiliki itikad baik namun mereka belum saling mengenal dan belum saling percaya. 

2. Tahap 2=Storming (Keributan) 

      Tahap ini Kelompok sudah mulai mengembangkan ide-ide berhubungan dengan tugas tugas yang mereka hadapi. Kemudian membahas isu-isu semacam masalah yang harus mereka selesaikan. Serta Anggota kelompok satu sama lain saling terbuka dan mengkonfrontasi ide-ide dan perspektif mereka masing-masing. Pada beberapa kasus, tahap storming cepat selesai namun ada pula yang menetap pada tahap ini. 

3. Tahap 3=Norming (Penormaan) 

       Terdapat kesepakatan dan consensus antara anggota kelompok. Peranan dan tanggung jawab telah jelas. Anggota kelompok mulai dapat mempercayai satu sama lain seiring dengan mereka melihat kontribusi masing-masing anggota kelompok. 

4. Tahap 4 = Performing (Pelaksanaan) 

       Kelompok pada tahap ini dapat menyelesaikan pekerjaan dengan lancar dan efektif tanpa ada konflik yang tidak perlu dan supervisi eksternal. Anggota kelompok satu sama lainnya saling bergantung  dan mereka saling respect dalam berkomunikasi. 

5 Tahap 5 = Adjourning dan Transforming (Peristirahatan) 

      Tahap ini dimana proyek berakhir dan kelompok membubarkan diri Kelompok bisa saja kembali pada tahap mana pun ketika mereka mengalami perubahan. 

KESIMPULAN 

      Interaksi sosial ialah hubungan antara individu satu dengan individu lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya. Jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Hubungan tersebut dapat terjadi berupa antara individu dengan individu, individu dengan kelompok atau Kelompok dengan kelompok. Faktor faktor yang mendasari terjadinya interaksi sosial meliputi imitasi, sugesti, identifikasi, motivasi, simpati dan empati. Interaksi sosial mennyaratkan adanya kontak sosial dan komunikasi sosial Kemudian membuat terjadinya proses sosial. Proses sosial dapat bersifat asosiatif dan disosiatif. 
       Manusia pada umumnya dilahirkan seorang diri, akan tetapi dia adalah makhluk yang telah mempunyai naluri untuk hidup dengan manusia lain. kelompok sosial merupakan suatu himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan tersebut antara lain menyangkut kaitan timbal-balik yang mempengaruhi dan suatu kesadaran untuk saling tolong monolog, oleh karena manusia membentuk kelompok-kelompok dalam kehidupannya. Akan tetapi dalam membentuk kelompok tidak sembarangan ada syarat-syarat yang mesti ada pada diri masing-masing individu.


------------------------ 
Sumber 
Ahmadi, Abu.1999 .Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta 
Sarwono, Sarlito Wirawan.  2005. Psikologi Sosial. Jakarta: Balai Pustaka
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar