Jenis Model Pembelajaran , Pengertian Dan Langkah Penerapannya (sintaks)


Jenis Model Pembelajaran ,
Jenis Model Pembelajaran 



Ada berbagai macam model pembelajaran,  berikut adalah beberapa macam model pembelajaran beserta sintaks atau tahap / langkah langkah(fase)  dalam penerapannya

I.PEMBELAJARAN KOOPERATIF  (cooperative learning)


A.Pengertian 

        Meskipun tidak ada satu pandangan tunggal, sebagian besar peneliti sepakat bahwa kerja kelompok dan pembelajaran kooperatif terdiri dari para siswa bekerja sama di dalam kelompok-kelompok cukup kecil (biasanya dua hingga lima) yang bisa diikuti semua orang di dalam tugas yang jelas (Slavin, 1995; eggen dan kauchak). Pembelajaran kooperatif merujuk pada berbagai macam metode pengajaran di mana para siswa bekerja dalam kelompok-kelompok kecil untuk saling membantu satu sama lainnya dalam mempelajari materi pelajaran. Dalam kelas kooperatif, para siswa diharapkan dapat saling membantu, saling mendiskusikan dan berargumentasi, untuk mengasah pengetahuan yang mereka kuasai saat itu dan menutup kesenjangan dalam pemahaman masing-masing. Cara belajar kooperatif jarang sekali menggantikan pengajaran yang diberikan oleh guru, tetapi lebih seringnya menggantikan pengaturan tempat duduk yang individu, cara belajar individual, dan dorongan yang individual. Apabila diatur dengan baik, siswa siswa dalam kelompok kooperatif akan belajar satu sama lain untuk memastikan bahwa tiap orang dalam kelompok telah menguasai konsep-konsep yang telah dipikirkan.(slavin)
    Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang dirancang untuk membelajarkan kecakapan akademik (academic Skill), sekaligus keterampilan sosial (social skill termasuk interpersonal skill, riyanto(2009;271)
Sehingga dapat dikatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran kelompok yang melibatkan siswa saling bekerja sama untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. 

B.Tujuan pembelajaran kooperatif     

   ide utama dari belajar kooperatif adalah siswa bekerja sama untuk belajar dan bertanggung jawab pada kemajuan belajar temannya. Sebagai tambahan, belajar kooperatif menekankan pada tujuan dan kesuksesan kelompok, yang hanya dapat dicapai jika semua anggota kelompok mencapai tujuan atau penguasaan materi (Slavin, 1995). Johnson & Johnson (1994) menyatakan bahwa tujuan pokok belajar kooperatif adalah memaksimalkan belajar siswa untuk peningkatan prestasi akademik dan pemahaman baik secara individu maupun secara kelompok. Karena siswa bekerja dalam suatu team, maka dengan sendirinya dapat memperbaiki hubungan di antara para siswa dari berbagai latar belakang etnis dan kemampuan, mengembangkan keterampilan-keterampilan proses kelompok dan pemecahan masalah (Louisell & Descamps, 1992).
      Zamroni (2000) mengemukakan bahwa manfaat penerapan belajar kooperatif adalah dapat mengurangi kesenjangan pendidikan khususnya dalam wujud input pada level individual. Di samping itu, belajar kooperatif dapat mengembangkan solidaritas sosial di kalangan siswa. Dengan belajar kooperatif, diharapkan kelak akan muncul generasi baru yang memiliki prestasi akademik yang cemerlang dan memiliki solidaritas sosial yang kuat.
        Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi. Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain dan di mana masyarakat secara budaya semakin beragam. Sementara itu, banyak anak muda dan orang dewasa masih kurang dalam keterampilan sosial. Situasi ini dibuktikan dengan begitu sering pertikaian kecil antara individu dapat mengakibatkan tindak kekerasan atau betapa sering orang menyatakan ketidakpuasan pada saat diminta untuk berada dalam situasi kooperatif (amri & ahmadi: 2010:68)
•Langkah-langkah umum Pembelajaran Kooperatif (Sintaks): 
1. Berikan informasi dan sampaikan tujuan serta skenario pembelajaran. 
2. Organisasikan siswa/peserta didik dalam kelompok kooperatif. 
3. Bimbing siswa/peserta didik untuk melakukan ke kegiatan/berkooperatif. 
4. Evaluasi. 
5. Berikan Penghargaan.riyanto(2009;270)

C.Jenis pembelajaran kooperatif 

Ada berbagai macam pembelajaran kooperatif yang bisa digunakan dalam kegiatan pembelajaran. berikut beberapa variasi bentuk pembelajaran kooperatif

1.) STAD (student team achievment division )
         sebuah strategi pembelajaran kooperatif yang memberi tim berkemampuan majemuk latihan untuk mempelajari konsep dan keahlian.
Dalam STAD, para siswa dibagi dalam tim belajar yang terdiri atas empat orang yang berbeda-beda tingkat kemampuan, jenis kelamin, dan latar belakang etniknya. Guru menyampaikan pelajaran, lalu siswa bekerja dalam tim mereka untuk memastikan bahwa semua anggota tim telah menguasai pelajaran.
STAD merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang paling sederhana, dan merupakan model yang paling baik untuk permulaan bagi para guru yang baru menggunakan pendekatan kooperatif. 
STAD terdiri atas lima komponen utama: presentasi kelas, tim, kuis, skor kemajuan individual, rekognisi tim. 
•Presentasi Kelas.
Materi dalam STAD pertama-tama diperkenalkan dalam presentasi di dalam kelas. Ini merupakan pengajaran langsung seperti yang sering kali dilakukan atau diskusi pelajaran yang dipimpin oleh guru, tetapi bisa juga memasukkan presentasi audiovisual. Bedanya Presentasi kelas dengan pengajaran biasa hanyalah bahwa presentasi tersebut haruslah benar-benar berfokus pada unit STAD. Dengan cara ini, para siswa akan menyadari bahwa mereka harus benar-benar memberi perhatian penuh selama presentasi kelas, karena dengan demikian akan sangat membantu mereka mengerjakan kuis-kuis, dan skor kuis mereka menentukan skor tim mereka. 
•Tim. 
Tim terdiri dari empat atau lima siswa yang mewakili seluruh bagian dari kelas dalam hal kinerja akademik, jenis kelamin, ras dan etnisitas. Fungsi utama dari tim ini adalah memastikan bahwa semua anggota tim benar-benar belajar, dan lebih khususnya lagi, adalah untuk mempersiapkan anggotanya untuk bisa mengerjakan kuis dengan baik. Setelah guru menyampaikan materinya, tim berkumpul untuk mempelajari lembar-kegiatan atau materi lainnya. Yang paling sering terjadi, pembelajaran itu melibatkan pembahasan permasalahan bersama, membandingkan jawaban, dan mengoreksi tiap kesalahan pemahaman apabila anggota tim ada yang membuat kesalahan. 
     Tim adalah fitur yang paling penting dalam STAD. Pada tiap poinnya, yang ditekankan adalah membuat anggota tim melakukan yang terbaik untuk tim, dan tim pun harus melakukan yang terbaik untuk membantu tiap anggotanya. Tim ini memberikan dukungan kelompok bagi kinerja akademik penting dalam pembelajaran, dan itu adalah untuk memberikan perhatian dan respek yang mutual yang penting untuk akibat yang dihasilkan seperti hubungan antarkelompok, rasa harga diri, penerimaan terhadap siswa-siswa mainstream 
•Kuis. 
setelah guru memberikan presentasi dan  praktik tim, para siswa akan mengerjakan kuis individual. Para siswa tidak diperbolehkan untuk saling membantu dalam mengerjakan kuis Sehingga, tiap siswa bertanggung jawab secara individual untuk memahami materinya.
•Skor Kemajuan Individual.
Gagasan dibalik skor kemajuan individual adalah untuk memberikan kepada tiap siswa tujuan kinerja yang akan dapat dicapai apabila mereka bekerja lebih giat dan memberikan kinerja yang lebih baik daripada sebelumnya. Tiap siswa dapat memberikan kontribusi poin yang maksimal kepada timnya dalam sistem skor ini, tetapi tak ada siswa yang dapat melakukannya tanpa memberikan usaha mereka yang terbaik. Tiap siswa diberikan skor "awal", yang diperoleh dari rata-rata kinerja siswa tersebut sebelumnya dalam mengerjakan kuis yang sama. Siswa selanjutnya akan mengumpulkan poin untuk tim mereka berdasarkan tingkat kenaikan skor kuis mereka dibandingkan dengan skor awal mereka.
•Rekognisi Tim. (Pengakuan) 
Tim akan mendapatkan sertifikat atau bentuk penghargaan yang lain apabila skor rata-rata mereka mencapai kriteria tertentu. Skor tim siswa dapat juga digunakan untuk menentukan dua puluh persen dari peringkat mereka.
Langkah-langkah: 
1 Membentuk kelompok yang anggotanya = 4 orang secara heterogen (campuran menurut prestasi, jenis kelamin, suku, dan lain-lain). 
2. Guru menyajikan pelajaran. 
3. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggotanya tahu menjelaskan pada anggota lainnya sampai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. 
4. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak boleh saling membantu.
5. Memberi evaluasi 
6. Kesimpulan

2.) Teams Games-Tournament (TGT). 
Teams Games-Tournament, pada mulanya dikembangkan oleh David De Vries dan Keith Edwards. 
Secara umum TGT sama saja dengan STAD kecuali satu hal: TGT menggunakan turnamen akademik, dan menggunakan kuis-kuis dan sistem skor kemajuan individu, di mana para siswa berlomba sebagai wakil tim mereka dengan anggota tim lain 
Komponen TGT sebagai berikut
•Presentasi di Kelas. (sama seperti dalam STAD) 
•Tim (Sama seperti STAD)
•Game. 
Gamenya terdiri atas pertanyaan-pertanyaan yang kontennya relevan yang dirancang untuk menguji pengetahuan siswa yang diperolehnya dari presentasi di kelas dan pelaksanaan kerja tim. Game, tersebut dimainkan di atas meja dengan tiga orang siswa, yang masing-masing mewakili tim yang berbeda. Kebanyakan game hanya berupa nomor-nomor pertanyaan yang ditulis pada lembar yang sama. Seorang siswa mengambil sebuah kartu bernomor dan harus menjawab pertanyaan sesuai nomor yang tertera pada kartu tersebut. Sebuah aturan tentang penantang memperbolehkan para pemain saling menantang jawaban masing-masing. 
•Turnamen,
Turnamen adalah sebuah struktur di mana game berlangsung. Biasanya berlangsung pada akhir minggu atau akhir unit, setelah guru memberikan presentasi di kelas dan tim telah melaksanakan kerja kelompok terhadap lembar-kegiatan pada turnamen pertama, guru menunjuk siswa untuk berada pada meja turnamen-tiga siswa berprestasi tinggi sebelumnya pada meja 1, tiga berikutnya pada meja 2, dan seterusnya. Kompetisi yang seimbang ini, seperti halnya sistem skor kemajuan individual dalam STAD, memungkinkan para siswa dari semua tingkat kinerja sebelumnya berkontribusi secara maksimal terhadap skor tim mereka jika mereka melakukan yang terbaik. 
Setelah turnamen pertama, para siswa akan bertukar meja tergantung pada kinerja mereka pada turnamen terakhir. Pemenang pada tiap meja "naik tingkat ke meja berikutnya yang lebih tinggi (misalnya, dari meja 6 ke meja 5): skor tertinggi kedua tetap tinggal pada meja yang sama; dan yang skornya paling rendah diturunkan." Dengan cara ini, jika pada awalnya siswa sudah salah ditempatkan, untuk seterusnya mereka akan terus dinaikkan atau diturunkan sampai mereka mencapai tingkat kinerja mereka yang sesungguhnya 
•Rekognisi Tim. (Sama seperti STAD).

3.)  Tim Ahli (JIGSAW) 
Jigsaw  telah dikembangkan dan diuji coba oleh Elliot Aroson dan teman-teman dari Universitas Texas, 
Langkah Pembelajaran Jigsaw 
•Siswa dibagi atas beberapa kelompok (tiap kelompok anggotanya 5-6 orang)
• Materi pelajaran diberikan kepada siswa dalam bentuk teks yang telah dibagi-bagi menjadi beberapa sub bab. 
•Setiap anggota kelompok membaca subbab yang ditugaskan dan bertanggung jawab untuk mempelajarinya. Misalnya, jika materi yang disampaikan mengenai sistem ekskresi. Maka seorang siswa dari satu kelompok mempelajari tentang ginjal, siswa yang lain dari kelompok satunya mempelajari tentang paru-paru, begitu pun siswa lainnya mempelajari kulit, dan lainnya lagi mempelajari hati. 
•Anggota dari kelompok lain yang telah mempelajari sub bab yang sama bertemu dalam kelompok-kelompok ahli untuk mendiskusikannya. 
•Setiap anggota kelompok ahli setelah kembali ke kelompoknya bertugas mengajar teman-temannya. 
•Pada pertemuan dan diskusi kelompok asal, siswa-siswa di kenai tagihan berupa kuis individu.
Jigsaw tipe II 
dikembangkan oleh Slavin (Roy Killen, 1996) dengan sedikit perbedaan. Dalam belajar kooperatif tipe jigsaw, secara umum siswa dikelompokkan oleh secara heterogen dalam kemampuan. Siswa diberi materi yang baru atau pendalaman dari materi sebelumnya untuk dipelajari. Masing-masing anggota kelompok secara acak ditugaskan untuk menjadi ahli (expert) pada suatu aspek tertentu dari materi tersebut. Setelah membaca dan mempelajari materi, "ahli" dari kelompok berbeda berkumpul untuk mendiskusikan topik yang sama dari kelompok lain sampai mereka menjadi "ahli" di konsep yang ia pelajari. Kemudian kembali ke kelompok semula untuk mengajarkan topik yang mereka kuasai kepada teman sekelompoknya. Terakhir diberikan tes atau assessment yang lain pada semua topik yang diberikan. Model pembelajaran Jigsaw tipe II sudah dikembangkan oleh Slavin. Ada perbedaan mendasar antara pembelajaran Jigsaw I dan Jigsaw II, kalau pada tipe I, awalnya siswa hanya belajar konsep tertentu yang akan menjadi spesialisasinya sementara konsep konsep yang lain ia dapatkan melalui diskusi dengan teman segrupnya. Pada tipe II ini setiap siswa memperoleh kesempatan belajar secara keseluruhan konsep (scan read) sebelum ia belajar spesialisasinya untuk menjadi expert. Hal ini untuk memperoleh gambaran menyeluruh dari konsep yang akan dibicarakan.
Jigsaw II terdiri atas siklus regular dari kegiatan-kegiatan pengajaran: 
•Membaca. 
Para siswa menerima topik ahli dan membaca materi yang diminta untuk menemukan informasi. 
•Diskusi Kelompok-ahli.
Para siswa dengan keahlian yang sama bertemu untuk mendiskusikannya dalam kelompok kelompok ahli. 
•Laporan tim. 
Para ahli kembali ke dalam kelompok mereka masing-masing untuk mengajari topik-topik mereka kepada teman satu timnya. 
•Tes.
Para siswa mengerjakan kuis-kuis individu yang mencakup semua topik. 
•Rekognisi tim. Skor tim dihitung seperti dalam STAD.

4.) GROUP INVESTIGATION
Investigasi kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling kompleks dan paling sulit untuk diterapkan. Model ini dikembangkan pertama kali oleh Thelan. Dalam perkembangannya model ini diperluas dan dipertajam oleh Sharan dari Universitas Tel Aviv. Berbeda dengan STAD dan Jigsaw, siswa terlibat dalam perencanaan baik topik yang dipelajari dan bagaimana jalannya penyelidikan mereka. Pendekatan ini memerlukan norma dan struktur kelas yang lebih rumit daripada pendekatan yang lebih berpusat pada guru. Pendekatan ini juga memerlukan mengajar siswa keterampilan komunikasi dan proses kelompok yang baik. 
    Dalam implementasi tipe investigasi kelompok guru membagi kelas menjadi kelompk-kelompok dengan anggota 5-6 siswa yang heterogen. Kelompok di sini dapat dibentuk dengan mempertimbangkan keakraban persahabatan atau minat yang sama dalam topik tertentu. Selanjutnya siswa memilih topik untuk di selidiki, dan melakukan penyelidikan yang mendalam atas topik yang dipilih. Selanjutnya ia menyiapkan dan mempresentasikan laporannya kepada seluruh kelas.
Tahap group investigation
Tahap 1: Mengidentifikasikan Topik dan Mengatur Murid ke dalam kelompok 
Para siswa meneliti beberapa sumber, mengusulkan sejumlah topik, dan mengategorikan saran-saran. Para siswa bergabung dengan kelompoknya untuk mempelajari topik yang telah mereka pilih. Komposisi kelompok didasarkan pada ketertarikan siswa dan harus bersifat heterogen. Guru membantu dalam pengumpulan informasi dan memfasilitasi pengaturan. 
Tahap 2: Merencanakan Tugas yang akan Dipelajari 
Para siswa merencanakan bersama mengenai: Apa yang kita pelajari? Bagaimana kita mempelajarinya? Siapa melakukan apa? (pembagian tugas). Untuk tujuan atau kepentingan apa kita menginvestigasi topik ini? 
Tahap 3: Melaksanakan Investigasi
Para siswa mengumpulkan informasi, menganalisis data, dan membuat kesimpulan. Tiap anggota kelompok berkontribusi untuk usaha-usaha yang dilakukan kelompoknya. Para siswa saling bertukar, berdiskusi, mengklarifikasi, dan menyintesis semua gagasan.
Tahap 4: Menyiapkan Laporan Akhir 
Anggota kelompok menentukan pesan-pesan esensial dari proyek mereka, Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan, dan bagaimana mereka akan membuat presentasi mereka. Wakil-wakil kelompok membentuk sebuah panitia acara untuk mengkoordinasikan rencana-rencana presentasi. 
Tahap 5: Mempresentasikan Laporan Akhir 
Presentasi yang dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai macam bentuk Bagian presentasi tersebut harus dapat melibatkan mendengarkan secara aktif. Para pendengar tersebut mengevaluasi kejelasan dan penampilan presentasi berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya oleh seluruh anggota kelas. 
Tahap 6: Evaluasi 
Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik tersebut, mengenai tugas yang telah mereka kerjakan, mengenai keefektifan pengalaman-pengalaman mereka. Guru dan murid berkolaborasi dalam mengevaluasi pembelajaran siswa. Penilaian atas pembelajaran harus mengevaluasi pemikiran paling tinggi .

5.) THINK PAIR SHARE (TPS) 
think-pair-share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think-pair share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Universitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997), menyatakan bahwa think-pair-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola diskusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengaturan untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan dalam think-pair-share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk merespons dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru menginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dialami. Guru memilih menggunakan think-pair-share untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. 
langkah-langkah (fase) berikut. 
a.Langkah 1: Berpikir (Thinking) 
Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikait kan dengan pelajaran, dan meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sendiri jawaban atau masalah. Siswa membutuhkan penjelasan bahwa berbicara atau mengerjakan bukan bagian berpikir.
b.Langkah 2: Berpasangan (Pairing) 
Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan dan mendiskusikan apa yang telah mereka peroleh. Interaksi selama waktu yang disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan atau menyatukan gagasan apabila suatu masalah khusus yang diidentifikasi. Secara normal guru memberi waktu tidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. 
c.Langkah 3: Berbagi (Sharing) 
Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluruhan kelas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mendapat kesempatan untuk melaporkan Arends, (1997) dicadur Tjokrodihardjo, (2003).

6.)  Numbered Head Together (NHT) 
Numbered Head Together (NHT) atau penomoran berpikir bersama adalah merupakan jenis pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa dan sebagai alternatif terhadap struktur kelas tradisional. Numbered Head Together (NHT) pertama kali dikembangkan oleh Spenser Kagen (1993) untuk melibatkan lebih banyak siswa dalam menelaah materi yang tercakup dalam suatu pelajaran dan mengecek pemahaman mereka terhadap isi pelajaran tersebut. Dalam mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, guru menggunakan struktur empat fase sebagai sintaks NHT:
a.Fase 1: Penomoran Dalam fase ini,
guru membagi siswa ke dalam kelompok 3-5 orang dan kepada setiap anggota kelompok diberi nomor antara 1 sampai 5.
b. Fase 2: Mengajukan pertanyaan, 
Guru mengajukan sebuah pertanyaan kepada siswa. Pertanyaan dapat bervariasi. Pertanyaan dapat amat spesifik dan dalam bentuk kalimat tanya. Misalnya, "Berapakah jumlah gigi orang dewasa?" Atau berbentuk arahan, misalnya "Pasti kan setiap orang mengetahui 5 buah ibu kota provinsi yang terletak di Pulau Sumatera." 
c.Fase 3: Berpikir bersama, 
Siswa menyatukan pendapatnya terhadap jawaban pertanyaan itu dan meyakinkan tiap anggota dalam timnya mengetahui jawaban tim. 
d.Fase 4: Menjawab, 
Guru memanggil satu nomor tertentu, kemudian siswa yang nomornya sesuai mengacungkan tangannya dan mencoba untuk menjawab pertanyaan untuk seluruh kelas.

7.)  Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (Steven dan Slavin, 1995) 
sebuah program yang komprehensif untuk mengajari pelajaran membaca, menulis, dan seni berbahasa para kelas yang lebih tinggi di sekolah dasar.  pengembangan CIRC yang secara simultan difokuskan pada kurikulum dan pada metode metode pengajaran merupakan sebuah upaya untuk menggunakan pembelajaran kooperatif sebagai sarana untuk memperkenalkan teknik terbaru latihan-latihan kurikulum yang berasal terutama dari penelitian dasar mengenai pengajaran praktis pelajaran membaca dan menulis. Pendekatan pembelajaran kooperatif mengikuti penemuan pada penelitian sebelumnya, menekankan tujuan tujuan kelompok dan tanggung jawab individu.
Langkah-langkah tipe ini adalah 
1. Membentuk kelompok yang terdiri empat orang secara heterogen. 
2. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran. 
3. Siswa Bekerja sama saling membacakan dan menemukan ide pokok dan memberi tanggapan terhadap wacana/ kliping dan ditulis pada lembar kertas. 
4. Mempresentasikan dan atau membacakan hasil kelompok 
5. Guru membuat kesimpulan bersama. 
6. Pembelajaran ditutup

II.MODEL PENGAJARAN LANGSUNG (direct instruction)


A. Pengertian

       Pengajaran Langsung adalah satu model yang menggunakan peragaan dan penjelasan guru digabungkan dengan latihan dan umpan balik siswa untuk membantu mereka mendapatkan pengetahuan dan keterampilan nyata yang dibutuhkan untuk pembelajaran lebih jauh (Kuhn, 2007; Rosenshine & Stevens, 1986). Pengajaran Langsung didasarkan pada bangunan penelitian yang luas dan terutama efektif saat berhadapan dengan siswa bermotif prestasi rendah dan siswa dengan kesulitan belajar (Flores & Kaylor, 2007; Leno & Dougherty, 2007).
         Pengajaran langsung adalah suatu model pengajaran yang bersifat teacher center. Menurut Arends (1997), model pengajaran langsung adalah salah satu pendekatan mengajar yang dirancang khusus untuk menunjang proses belajar siswa yang berkaitan dengan pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural yang ter struktur dengan baik yang dapat diajarkan dengan pola kegiatan yang bertahap, selangkah demi selangkah. Selain itu model pembelajaran langsung ditujukan pula untuk membantu siswa mempelajari keterampilan dasar dan memperoleh informasi yang dapat diajarkan selangkah demi selangkah.
      Pengajaran langsung menurut Kardi (1997: 3), dapat berbentuk ceramah, demonstrasi, pelatihan atau praktik, dan kerja ke lompok. Pengajaran langsung digunakan untuk menyampaikan pelajaran yang ditransformasikan langsung oleh guru kepada siswa. Penyusunan waktu yang digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran harus seefisien mungkin, sehingga guru dapat merancang dengan tepat waktu yang digunakan.
     Dua tujuan utama dari instruksi langsung adalah memaksimalkan waktu belajar siswa dan mengembangkan kemandirian dalam mencapai dan mewujudkan tujuan pendidikan. Perilaku-perilaku guru yang tampak berhubungan dengan prestasi siswa sesungguhnya juga berhubungan dengan waktu yang dimiliki siswa dan rating kesuksesan mereka dalam mengerjakan tugas, yang pada gilirannya juga berhubungan erat dengan prestasi siswa. Oleh karena itulah, perilaku yang berkaitan erat dengan instruksi langsung memang dirancang untuk membuat sebuah lingkungan pendidikan yang berorientasi akademik dan juga terstruktur serta mengharuskan siswa untuk terlibat aktif (dalam tugas) saat pelaksanaan instruksi langsung. 
   Lingkungan instruksi langsung adalah tempat dimana pembelajaran menjadi fokus utama dan tempat tugas-tugas akademik dalam waktu tertentu dan mencapai rating ke suksesan yang tinggi. Iklim sosial dalam lingkungan ini harus diciptakan secara positif dan bebas dari pengaruh negatif.
Model pengajaran langsung memiliki ciri-ciri seperti berikut: 
(1) Adanya tujuan pembelajaran dan pengaruh model pada siswa termasuk prosedur penilaian hasil belajar. 
(2) Fase atau pola keseluruhan dan alur kegiatan pembelajaran. 
(3) Sistem pengelolaan dan lingkungan belajar model yang diperlukan agar kegiatan pembelajaran tertentu dapat berlangsung dengan berhasil.
Selain itu, juga dalam pengajaran langsung harus memenuhi suatu persyaratan, antara lain: (1) ada alat yang akan didemonstrasikan; dan (2) harus mengikuti tingkah laku mengajar (sintaks)

B.TAHAP / FASE  MODEL PENGAJARAN LANGSUNG

Sintaks

Model instruksi langsung terdiri dari lima tahap aktivitas; yakni orientasi, presentasi, praktik yang terstruktur, praktik di bawah bimbingan, dan praktik mandiri. Namun, penerapan model ini harus didahului oleh diagnosis yang efektif mengenai pengetahuan atau keterampilan siswa untuk memastikan bahwa mereka memiliki prasyarat pengetahuan dan keterampilan untuk mencapai tingkat akurasi tinggi dalam kondisi praktik yang berbeda. (Joyce, weil, &calhoun:2016:559)
1.Tahap pertama, adalah orientasi di mana kerangka kerja pelajaran dibangun. 
Selama tahap ini, guru menyampaikan harapan dan keinginannya, menjelaskan tugas-tugas yang ada dalam pembelajaran, dan menentukan tanggung jawab siswa. Ada tiga langkah yang sangat penting dalam meng-goal-kan tujuan tahap ini, yakni (1) guru memaparkan maksud dari pelajaran dan tingkat-tingkat performa dalam praktik; (2) guru menggambarkan isi pelajaran dan hubungannya dengan pengetahuan dan atau pengalaman sebelumnya; (3) guru mendiskusikan prosedur-prosedur pelajaran yakni bagian yang berbeda antara pelajaran dan tanggung jawab siswa selama aktivitas-aktivitas ini berlangsung. 
2. Tahap kedua, adalah presentasi , 
yakni menjelaskan konsep atau keterampilan baru dan memberikan pemeragaan serta contoh. Jika materi yang ada merupakan konsep baru, maka guru harus mendiskusikan karakteristik-karakteristik dari konsep tersebut, aturan-aturan pendefinisian, dan beberapa contoh. Jika materinya adalah keterampilan baru, maka hal yang harus disampaikan guru adalah langkah langkah untuk memiliki keterampilan tersebut dengan menyajikan contoh di setiap langkah. (Kesalahan umum pada bagian ini adalah terlalu sedikitnya demonstrasi/pemeragaan yang disajikan). Pada kasus apa pun, akan sangat membantu jika guru mentransfer informasi materi atau keterampilan baru, baik secara lisan maupun secara visual, sehingga siswa akan memiliki dan dapat mempelajari representasi visual sebagai referensi dalam awal pembelajaran. Tugas lain adalah menguji apakah siswa telah memahami informasi baru sebelum mereka mengaplikasikannya dalam tahap praktik. Bisakah mereka kembali mengingat karakteristik-karakteristik konsep yang telah dijelaskan guru? Bisakah mereka mengingat urutan dan daftar langkah-langkah dalam keterampilan yang baru saja mereka pelajari? Menguji pemahaman yang demikian mengharuskan siswa mengingat dan memperhitungkan informasi yang baru saja mereka pelajari. Pada tahap praktik yang terstruktur, mereka akan mengaplikasikannya. 
3.Tahap ketiga, adalah praktik yang terstruktur.
Guru menuntun siswa melalui contoh-contoh praktik dan langkah-langkah di dalamnya. Biasanya, siswa melaksanakan praktik dalam sebuah kelompok, dan menawarkan diri untuk menulis jawaban. Cara yang paling baik dalam hal ini adalah menggunakan proyektor, menyajikan contoh praktik secara transparan dan terbuka, sehingga semua siswa bisa melihat bagaimana tahap-tahap praktik dilalui. Peran guru dalam tahap ini adalah memberi respons balik terhadap respons siswa, baik untuk menguatkan respons yang sudah tepat maupun untuk memperbaiki kesalahan dan mengarahkan siswa pada performa praktik yang tepat. Jika guru telah mampu menjalankan fungsi tersebut dengan baik dan bisa memberikan contoh praktik yang benar, bisa dipastikan bahwa siswa akan mampu memahami segala langkah dalam praktik sehingga mereka bisa mengandalkan pengetahuan tersebut sebagai referensi utama sebelum menjalani tahap praktik semi-independen. 
4.Tahap keempat, praktik di bawah bimbingan guru.
memberikan siswa kesempatan untuk melakukan praktik dengan kemauan mereka sendiri. Praktik di bawah bimbingan memudahkan guru mempersiapkan bantuan untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menampil kan tugas pembelajaran. Hal ini biasanya dilakukan dengan cara membantu meminimalisir jumlah dan ragam kesalahan yang dilakukan siswa. Peran guru dalam tahap ini adalah mengontrol kerja siswa, dan jika dibutuhkan, memberikan umpan balik korektif ketika dibutuhkan. 
5.Pada tahap kelima,  praktik mandiri. 
Praktik ini dimulai saat siswa telah mencapai level akurasi 85 hingga 90 persen dalam praktik di bawah bimbingan. Tujuan dari praktik mandiri ini adalah memberikan materi baru untuk memastikan dan menguji pemahaman siswa terhadap praktik-praktik sebelumnya. Dalam praktik mandiri, Siswa melakukan praktik dengan caranya sendiri tanpa bantuan dan respons balik dari guru. Praktik mandiri ini harus ditinjau sesegera mungkin setelah siswa menyelesaikan seluruh proses. Hal ini dilakukan untuk memperkirakan dan mengetahui apakah level akurasi siswa telah stabil ataukah tidak, serta untuk memberikan respons balik yang sifatnya korektif di akhir praktik terhadap mereka yang membutuhkannya. Aktivitas praktik mandiri bisa diterapkan dalam waktu yang singkat; namun, praktik mandiri ini tidak seharusnya dilakukan dalam satu waktu. lima atau enam sesi praktik yang tersebar selama satu bulan atau lebih akan mampu mempertahankan penyerapan siswa terhadap materi yang telah diterimanya.

III.PROBLEM BASED LEARNING (pembelajaran berbasis masalah)


A.Pengertian pembelajaran berbasis masalah

    Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu model pembelajaran yang didasarkan pada banyaknya permasalahan yang membutuhkan penyelidikan autentik yakni penyelidikan yang membutuhkan penyelesaian nyata dari permasalahan yang nyata.(trianto:2009:90)
     Menurut Dewey (dalam Sudjana 2001: 19) belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respons, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberi masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis serta dicari pemecahannya dengan baik. Pengalaman siswa yang diperoleh dari lingkungan akan menjadikan kepadanya bahan dan materi guna memperoleh pengertian serta bisa dijadikan pedoman dan tujuan belajarnya. 
    Pengajaran berdasarkan masalah merupakan pendekatan yang efektif untuk pengajaran proses berpikir tingkat tinggi. Pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Pembelajaran ini cocok untuk mengembangkan pengetahuan dasar maupun kompleks (Ratumanan, 2002: 123).
      Pada model pembelajaran berdasarkan masalah, kelompok kelompok kecil siswa bekerja sama memecahkan suatu masalah yang telah disepakati oleh siswa dan guru. Ketika guru sedang menerapkan model pemelajaran tersebut, seringkali siswa menggunakan bermacam-macam keterampilan, prosedur pemecahan masalah dan berpikir kritis. Model pemelajaran berdasarkan masalah dilandasi oleh teori belajar konstruktivis.
       Menurut Arends (1997), pengajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian, dan percaya diri. Model pembelajaran ini juga mengacu pada model pembelajaran yang lain, seperti "pembelajaran berdasarkan proyek (project-based instruction)," "pembelajaran berdasarkan pengalaman (experience-based instruction)", "belajar autentik (authentic learning)" dan "pembelajaran bermakna atau pembelajaran berakar pada kehidupan (anchored instruction) (ibrahim dan Nur, 2000: 2).
      Pembelajaran Berbasis-Masalah adalah seperangkat model mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi, dan pengaturan-diri (Hmelo-Silver, 2004; Serafino & Cicchelli, 2005).
B.Fase fase dalam menerapkan pelajaran pembelajaran berbasis masalah.
    Pelajaran untuk Pembelajaran Berbasis-Masalah hadir dalam dua level, yang berkorespondensi dengan tujuan belajar saat menggunakan model ini. Pertama, siswa harus memecahkan satu masalah spesifik dan memahami materi yang terkait dengan itu. Kedua, siswa harus mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dan menjadi murid mandiri. Untuk membantu siswa memenuhi tujuan-tujuan ini, pelajaran untuk Pembelajaran Berbasis-Masalah terjadi dalam empat fase: (eggen&kauchak:2012)
Fase 1: Mereview dan Menyajikan Masalah 
Menerapkan Pelajaran Berbasis-Masalah dimulai dari mereview pengetahuan awal yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan kemudian  menyajikan masalah itu sendiri.
Guru mereview pengetahuan yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah dan memberi siswa masalah spesifik dan konkret untuk dipecahkan. Dalam hal ini ada 3 hal yang harus dilakukan;
(1). Menarik perhatian siswa dan menarik mereka ke dalam pelajaran, (2). Secara informal menilai pengetahuan awal ,(3). Memberikan fokus konkret untuk pelajaran
Fase 2: Menyusun Strategi 
Siswa menyusun strategi untuk memecahkan masalah dan guru memberi mereka umpan balik soal strategi, Memastikan sebisa mungkin bahwa siswa menggunakan pendekatan berguna untuk memecahkan masalah.
siswa menyusun strategi untuk memecahkan masalah. Guru harus menggunakan pertimbangan cermat di tengah fase ini untuk memberikan cukup bimbingan supaya siswa tidak menghabiskan terlalu banyak waktu meraba-raba. Namun, jangan juga memberikan bimbingan berlebihan sehingga pengalaman mereka menyusun strategi menjadi terbatas.
Fase 3: Menerapkan Strategi 
Siswa menerapkan strategi strategi mereka saat guru secara cermat memonitor upaya  mereka dan memberikan umpan balik, Memberi siswa pengalaman untuk memecahkan masalah.
Dalam fase ini, siswa menerapkan strategi mereka. Meskipun fase ini harus mengalir mulus dari kedua fase pertama, kadang itu tidak terjadi sehingga guru harus memberikan sokongan (scaffolding), dukungan pengajaran yang membantu siswa menyelesaikan tugas-tugas yang tak mampu mereka selesaikan sendiri (Puntambekar & Hubscher, 2005). Mengajukan pertanyaan yang memberikan panduan bagi siswa adalah bentuk sokongan yang paling umum
Fase 4: Membahas dan Mengevaluasi Hasil 
Guru membimbing diskusi tentang upaya siswa dan hasil yang mereka dapatkan,  Memberi siswa umpan balik tentang upaya mereka.Dalam fase terakhir, guru meminta siswa untuk menilai kesahihan solusi mereka. 

IV.BERMAIN PERAN (ROLE PLAYING)


A.PENGERTIAN MODEL PEMBELAJARAN  BERMAIN PERAN

     Menurut roestiyah (1991) role playing ialah siswa bisa berperan atau memainkan peranan dalam dramatisasi masalah sosial/psikologis itu. Karena itu kedua teknik ini hampir sama, maka dapat di gunakan bergantian tidak ada salahnya.
    Menurut Martinis yamin(2010) bermain peran adalah metode yang melibatkan interaksi antara dua siswa atau lebih tentang suatu topik atau situasi. Siswa melakukan peran masing sesuai dengan tokoh yang ia lakoni, mereka berinteraksi sesama meraka melakukan peran terbuka. Metode ini dapat dipergunakan di dalam mempraktik isi pelajaran yang baru, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk memerankan sehingga menemukan kemungkinan masalah yang akan dihadapi dalam pelaksanaan sesungguhnya. Metode ini menuntutkan guru untuk mencermati kekurangan dari peran yang diperagakan siswa.
      Role playing mengeksplorasi bagaimana nilai nilai mendorong perilaku dan menaikkan kesadaran siswa tentang peran nilai-nilai dalam kehidupan mereka dan kehidupan orang lain. Pengaruh langsungnya jauh lebih memahami dan berempati dengan perbedaan-perbedaan pada nilai-nilai ketika orang-orang berinteraksi. Pengaruh langsung lain adalah strategi-strategi untuk memecahkan konflik dengan gaya yang menghormati sudut pandang yang berbeda tanpa menyerah akan kebutuhan bagi kesepakatan akan nilai-nilai kemanusiaan.
      Bermain peran sebagai model pengajaran berakar pada dimensi pendidikan pribadi dan sosial. Bermain peran berusaha untuk membantu individu menemukan makna personal dalam dunia sosial mereka dan memecahkan dilema personal dengan bantuan kelompok sosial. Dalam dimensi sosial, ia memungkinkan individu untuk bekerja bersama dalam menganalisis situasi sosial, khususnya masalah antar pribadi, dan dalam mengembangkan cara yang demokratis dan pantas dalam menangani situasi-situasi tersebut. Maka suatu kewajaran jika menempatkan bermain peran dalam kelompok model sosial karena kelompok sosial memainkan bagian yang diperlukan dalam perkembangan manusia dan karena peluang unik yang ditawarkan bermain peran untuk mengatasi dilema antarpribadi dan sosial.
      Model ini, Pertama, dibuat berdasarkan asumsi bahwa sangatlah mungkin menciptakan analogi otentik ke dalam suatu situasi permasalahan kehidupan nyata. Kedua, bahwa bermain peran dapat mendorong siswa mengekspresikan perasaannya dan bahkan melepaskan. Ketiga, bahwa proses psikologis melibatkan sikap, nilai, dan keyakinan (belief) kita serta mengarahkan pada kesadaran melalui keterlibatan spontan yang disertai analisis. Model ini dipelopori oleh George Shaftel. 
     Dalam kehidupan nyata, setiap orang mampu cara yang unik dalam berhubungan dengan orang lain. Masing-masing dalam kehidupan memainkan sesuatu yang dinamakan peran. Oleh karena itu, untuk dapat memahami diri sendiri dan orang lain (masyarakat) sangatlah penting bagi kita untuk menyadari peran dan bagaimana peran tersebut dilakukan. Untuk kebutuhan ini, kita mampu menempatkan diri dalam posisi atau situasi orang lain dan mengalami/mendalami sebanyak mungkin pikiran dan perasaan orang lain tersebut. Kemampuan ini adalah kunci bagi setiap individu untuk dapat memahami dirinya dan orang lain yang pada akhirnya dapat berhubungan dengan orang lain (masyarakat).

B.TUJUAN TUJUAN DAN ASUMSI ASUMSI 

Inti bermain peran adalah keterlibatan peserta dan pengamat dalam situasi masalah sebenarnya dan keinginan untuk mengatasi dan memahami bahwa keterlibatan ini timbul.
   Bermain peran sebagai suatu model pembelajaran bertujuan untuk membantu siswa menemukan makna diri (jati diri) di dunia sosial dan memecahkan dilema dengan bantuan kelompok. Artinya, melalui bermain peran siswa belajar menggunakan konsep peran, menyadari adanya peran-peran yang berbeda dan memikirkan perilaku dirinya dan perilaku orang lain. Proses bermain peran ini dapat memberikan contoh kehidupan perilaku manusia yang berguna sebagai sarana bagi siswa untuk: 
(1) menggali perasaannya, 
(2) memperoleh inspirasi dan pemahaman yang berpengaruh terhadap sikap, nilai, dan persepsinya, 
(3) mengembangkan keterampilan dan sikap dalam memecahkan masalah, dan 
(4) mendalami mata pelajaran dengan berbagai macam cara. Hal ini akan bermanfaat bagi siswa pada saat terjun ke masyarakat kelak karena ia akan mendapatkan diri dalam suatu situasi di mana begitu banyak peran terjadi, seperti dalam lingkungan keluarga, bertetangga, lingkungan kerja, dan lain-lain.


C.PROSEDUR PEMBELAJARAN 
SINTAKS 
LANGKAH LANGKAH/TAHAP TAHAP

     Manfaat bermain peran tergantung pada kualitas proses memainkan peran (apakah para aktor benar-benar masuk dalam perannya) dan khususnya pada analisis sesudahnya. Manfaat juga tergantung pada persepsi siswa terhadap peran yang mirip dengan situasi kehidupan sebenarnya. Anak-anak tidak perlu turut serta secara efektif dalam bermain peran atau analisis peran ketika pertama kali mereka mencobanya. Kebanyakan siswa harus belajar untuk turut serta dalam bermain peran dengan cara yang tulus sehingga muatan yang dihasilkan dapat dianalisis dengan serius. Bermain peran tidak mungkin berhasil jika guru hanya melontarkan situasi masalah, membujuk anak anak untuk memerankannya, dan kemudian melakukan diskusi tentang proses memainkan peran tersebut. Seperti dengan perilaku yang berhasil pada semua model, siswa perlu belajar bagaimana membuat jenis penelitian ini berguna. 
      Shaftels menyatakan bahwa aktivitas bermain peran terdiri dari sembilan langkah: (1)melatih kelompok, (2) menyeleksi peserta, (3) mengatur panggung, (4) mempersiapkan pengamat,(5) berperan, (6) membahas dan mengevaluasi, (7) berperan kembali, (8) membahas dan mengevaluasi, dan (9) berbagi pengalaman serta menggeneralisasi. Masing masing langkah atau fase tersebut memiliki tujuan khusus yang berkontribusi pada kekayaan dan fokus aktivitas pembelajaran. Bersama-sama, langkah-langkah ini memastikan bahwa rangkaian pemikiran diikuti di seluruh aktivitas, bahwa siswa dipersiapkan dalam perannya, bahwa tujuan untuk bermain peran diidentifikasi, dan bahwa pembahasan sesudahnya tidak sekadar kumpulan reaksi yang menyebar, meskipun juga penting. 
Fase satu, melatih kelompok/ pemanasan (warming up) 
       melibatkan perkenalan siswa ke masalah sehingga mereka mengenalinya sebagai bidang yang perlu di pelajari oleh setiap orang. Pelatihan dapat dimulai, sebagai contoh, dengan mengidentifikasi masalah dalam kelompok. 
Pada langkah ini, Guru berupaya memperkenalkan siswa pada permasalahan yang mereka sadari sebagai suatu hal yang bagi semua orang perlu memelajari dan menguasainya. Bagian berikutnya dari proses pemanasan adalah menggambarkan permasalahan dengan jelas disertai contoh. Hal ini bisa muncul dari imajinasi siswa atau sengaja disiapkan oleh guru. 
Pada fase dua, menyeleksi peserta, 
  anak-anak dan guru mendeskripsikan berbagai karakter - seperti apakah mereka, bagaimana mereka merasakannya, dan apa yang mungkin mereka lakukan. Anak-anak kemudian diminta untuk bersukarela memainkan peran; mereka bahkan mungkin meminta untuk memainkan peran tertentu. Shaftel memperingatkan kita agar tidak memberikan peran kepada seorang anak yang telah ditetapkan untuk peran tersebut, karena orang yang menunjuk mungkin membuat anak tersebut berada dalam situasi yang tidak mengenakkan. Seseorang pasti menginginkan untuk memainkan sebuah peran. Meskipun ia mempertimbangkan kesukaan anak-anak, guru sebaiknya melatih kendali pada situasi tersebut.
Fase ketiga, menata panggung. 
     Dalam hal ini guru mendiskusikan dengan siswa di mana dan bagaimana peran itu akan dimainkan. Apa saja kebutuhan yang diperlukan. Penataan panggung ini dapat sederhana atau kompleks. Yang paling sederhana adalah hanya membahas skenario (tanpa dialog lengkap) yang menggambarkan urutan permainan peran. Misalnya siapa dulu yang muncul, kemudian diikuti oleh siapa, dan seterusnya. Sementara penataan panggung yang lebih kompleks meliputi aksesoris lain seperti kostum dan lain lain. Konsep sederhana memungkinkan untuk dilakukan karena intinya bukan kemewahan panggung, tetapi proses bermain peran itu sendiri. 
fase keempat, menyiapkan pengamat
   guru menunjuk beberapa siswa sebagai pengamat. Namun demikian, penting untuk dicatat bahwa pengamat di sini harus juga terlibat aktif dalam permainan peran. Untuk itu, walaupun mereka ditugaskan sebagai pengamat, guru sebaiknya memberikan tugas peran terhadap mereka agar dapat terlibat aktif dalam permainan peran tersebut. 
Fase kelima, permainan peran di mulai. 
       Permainan peran dilaksanakan secara spontan. Pada awalnya akan banyak siswa yang masih bingung memainkan perannya atau bahkan tidak sesuai dengan peran yang seharusnya ia lakukan. Bahkan, mungkin ada yang memainkan peran yang bukan perannya. Jika permainan peran sudah terlalu jauh keluar jalur, guru dapat menghentikannya untuk segera masuk ke langkah berikutnya. 
Fase keenam, membahas dan mengevaluasi
      guru bersama siswa mendiskusikan permainan tadi dan melakukan evaluasi terhadap peran-peran yang dilakukan. Usulan perbaikan akan muncul. Mungkin ada siswa yang meminta untuk berganti peran. Atau bahkan alur ceritanya akan sedikit berubah. Apa pun hasil diskusi dan evaluasi tidak jadi masalah Setelah diskusi dan evaluasi selesai, 
fase ketujuh, yaitu permainan peran ulang. 
     Seharusnya, pada permainan peran kedua ini akan berjalan lebih baik. Siswa dapat memainkan perannya lebih sesuai dengan skenario. Siswa dan guru bisa saling berbagi penafsiran baru tentang peran dan memutuskan siapakah yang akan kembali memerankan peran tersebut. Pemeranan ulang harus menyelidiki sebanyak mungkin kemungkinan baru tentang penyebab dan pengaruh.
Fase kedelapan, diskusi dan evaluasi
     siswa memiliki kemampuan untuk menerima solusi, namun guru mendesak munculnya solusi yang cukup realistis dengan bertanya apakah yang mereka pikirkan dapat benar-benar terjadi dalam ending cerita tersebut.
fase kesembilan, berbagi pengalaman dan mengembangkannya
   siswa diajak untuk berbagi pengalaman tentang tema permainan peran yang telah dilakukan dan dilanjutkan dengan membuat kesimpulan. Misalnya siswa akan berbagi pengalaman tentang bagaimana ia dimarahi habis-habisan oleh ayahnya. Kemudian guru membahas bagaimana sebaiknya siswa menghadapi situasi tersebut. Seandainya jadi ayah dari siswa tersebut, sikap seperti apa yang sebaiknya dilakukan. Dengan cara ini, siswa akan belajar tentang kehidupan.

V.TEMUAN TERBIMBING


A.Pengertian
    Menurut Sund dalam roetiyah(1991:20) discovery adalah proses mental dimana siswa mampu mengasimilasikan sesuatu konsep atau prinsip. Yang dimaksudkan dengan proses mental tersebut antara lain ialah: mengamati, mencerna, mengerti, menggolong-golongkan, membuat dugaan, menjelaskan, mengukur, membuat kesimpulan dan sebagainya. Suatu konsep misalnya: segitiga, panas, demokrasi dan sebagainya, sedang yang dimaksud dengan prinsip antara lain ialah: logam apabila dipanaskan akan mengembang. Dalam teknik ini siswa dibiarkan menemukan sendiri atau mengalami proses mental itu sendiri, guru hanya membimbing dan memberikan instruksi.
     Discovery melibatkan siswa dalam proses kegiatan mental melalui tukar pendapat, dengan diskusi, seminar, membaca sendiri dan mencoba sendiri, agar anak dapat belajar sendiri. Penggunaan teknik discovery ini guru berusaha meningkatkan aktivitas siswa dalam proses belajar mengajar. 
     Temuan terbimbing adalah satu pendekatan mengajar di mana guru memberi siswa contoh-contoh topik spesifik dan memandu siswa untuk memahami topik tersebut. model ini efektif untuk mendorong keterlibatan dan motivasi siswa seraya membantu mereka mendapatkan pemahaman mendalam tentang topik-topik yang jelas. Eggen & kauchak(2012)
       Saat menggunakan model temuan terbimbing,  guru memberikan siswa contoh yang menggambarkan materi yang ingin mereka pahami. Kemudian, membimbing pikiran mereka saat mereka mengenali informasi penting di dalam contoh-contoh itu.  Didasarkan pada pandangan bahwa murid membangun pemahaman mereka sendiri tentang dunia ketimbang menyimpannya dalam bentuk yang sudah tertata, model ini menuntut guru untuk ahli dalam mengajukan pertanyaan dan membimbing pemikiran siswa.
Materi yang diajarkan dengan model temuan terbimbing terdiri dari
Konsep: kategori kategori dengan karakteristik umum Sebagai  contoh , garis sejajar, garis yang membentang ke timur dan barat, dan garis-garis yang mengukur jarak utara dan selatan ekuator (khatulistiwa) adalah karakteristik dari konsep garis lintang.
Generalisasi: satu pernyataan yang menghubungkan konsep-konsep satu sama lain dalam pola-pola umum. Contoh Kutub magnet yang sama akan saling menolak, sementara kutub magnet berbeda akan saling menarik. Orang dengan pola makan tinggi lemak jenuh cenderung memiliki tingkat kolesterol tinggi dibandingkan orang dengan pola makan rendah lemak jenuh.
B. Menerapkan Pelajaran Menggunakan Model Temuan Terbimbing 
      Setelah mengidentifikasi topik, menentukan tujuan  dan memilih atau membuat contoh. Kini,  siap memulai pelajaran. Menerapkan pelajaran menggunakan Model Temuan Terbimbing terdiri dari 4 fase 
Fase 1: Pendahuluan 
Fase 1 memulai pelajaran. Fase 1 diniatkan untuk menarik perhatian siswa dan memberikan kerangka kerja konseptual mengenai apa yang harus diikuti serta menetapkan fokus belajar. Fase ini bisa mulai dengan berbagai cara dan dapat terdiri dari pernyataan-pernyataan sederhana. 
Fase 2: Fase Berujung-terbuka (Open-ended Phase) 
Fase ini guru memberi siswa contoh dan meminta siswa untuk mengamati dan membandingkan contoh contoh. 
Fase berujung-terbuka bertujuan mendorong keterlibatan siswa dan memastikan keberhasilan awal mereka.  Dalam memulai fase ini dengan berbagai cara:1. memberikan contoh dan meminta siswa mengenali pola pola di dalam contoh-contoh itu,dan kemudian meminta siswa bekerja berkelompok untuk mencari pola pola. 2. Guru dapat melaksanakan pelajaran dalam situasi kelas-utuh, memberi siswa satu contoh dan meminta mereka mengamati dan menggambarkannya, kemudian mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti, "Apa yang kalian amati dari contoh ini?" Karena banyak jawaban berbeda yang berterima, dia bisa memanggil sejumlah siswa yang berbeda dengan cepat dan mudah untuk mendorong tingkat keterlibatan tinggi di dalam pelajaran ini. 3. guru dapat memberikan satu contoh dan noncontoh serta meminta siswa untuk membandingkan keduanya.  bahkan dapat memulai dengan satu noncontoh dan meminta siswa menggambarkannya., pelajaran berlanjut dengan meminta siswa merespons pertanyaan berujung-terbuka (open-ended), pertanyaan-pertanyaan di mana beragam jawaban bisa diterima.
Fase 3: Fase Konvergen 
Pada fase ini guru menanyakan pertanyaan pertanyaan lebih spesifik yang dirancang untuk membimbing siswa mencapai pemahaman tentang konsep atau generalisasi .
Fase berujung-terbuka dirancang untuk memastikan keberhasilan siswa dan meningkatkan keterlibatan serta motivasi mereka. Akan tetapi, guru harus mempersempit rentang respons siswa dan membantu mereka mengidentifikasi karakteristik utama jika  mengajarkan konsep. Atau mengidentifikasi hubungan jika  mengajarkan generalisasi. membimbing siswa supaya respons mereka seragam terhadap satu tujuan belajar spesifik, ini disebut fase konvergen. Inilah fase di mana siswa secara aktual membangun pengetahuan mereka tentang konsep atau generalisasi.
Fase 4: Penutup dan Penerapan 
Guru membimbing siswa memahami. Definisi suatu konsep atau pernyataan generalisasi dan siswa menerapkan pemahaman mereka ke dalam konteks.
Penutup terjadi kala siswa mampu secara lisan menyatakan karakteristik karakteristik dari konsep atau secara verbal menggambarkan hubungan yang ada di dalam generalisasi.
Fase 4 juga memberikan kesempatan untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan mereka mengenali informasi yang tidak relevan, kemampuan yang merupakan keterampilan berpikir penting.

VI.DISKUSI

1.Pengertian Diskusi
     Ada dua istilah yang kadang-kadang kita sering merancukannya meski memiliki kesamaan, yaitu diskusi dan diskursus. Memang dalam makna kamus kedua istilah ini memiliki keidentikan, yaitu melibatkan saling tukar pendapat secara lisan, teratur, dan untuk mengungkapkan pikiran mengenai pokok pembicaraan tertentu Tetapi di lapangan para guru lebih suka menggunakan istilah diskusi karena diskusi menggambarkan prosedur yang digunakan guru untuk mendorong antara para siswa saling tukar pendapat secara lisan. Sebaliknya, para ilmuan dan peneliti lebih menyukai penggunaan istilah diskursus, karena masalah ini mencerminkan perhatian para audiensi pada pola tukar pendapat dan komunikasi lebih luas yang terdapat dalam forum (Tjokrodihardjo, 2000:2). 
     Arends (1997), mendefinisikan diskusi dan diskursus sebagai komunikasi seseorang berbicara satu dengan yang lain, saling berbagi gagasan dan pendapat. Kamus bahasa mendefinisikan diskursus dan diskusi hampir identik, yaitu melibatkan saling tukar pendapat secara lisan, teratur, dan untuk mengekspresikan pikiran tentang pokok pembicaraan tertentu. Sedang menurut Suryosubroto (1997: 179), diskusi adalah suatu percakapan ilmiah oleh beberapa orang yang tergabung dalam satu kelompok, untuk saling bertukar pendapat tentang suatu masalah atau bersama-sama mencari pemecahan mendapatkan jawaban dan kebenaran atas suatu masalah. 
     Sering kali diskusi dicampuradukkan dengan resitasi. Diskusi merupakan situasi di mana guru dan para siswa, atau antara siswa dengan siswa yang lain berbincang satu sama lain dan berbagi gagasan dan pendapat mereka. Pertanyaan yang diajukan untuk merangsang diskusi biasanya pada tingkat kognitif tinggi. Resitasi, sebaliknya adalah pertanyaan yang bertukar, seperti misalnya dalam pembelajaran langsung (direct instruction), di mana guru memberikan serangkaian pertanyaan tingkat rendah atau faktual kepada para siswa dengan maksud mengecek seberapa jauh pemahaman mercka terhadap suatu konsep atau gagasan. Diskusi kelas pada dasarnya bukanlah model pembelajaran sebenarnya (true learning models), tetapi merupakan prosedur atau strategi mengajar yang bermanfaat dan banyak dipakai sebagai bagian langkah (sintaks) dari banyak model pembelajaran yang lain.trianto (2010)
       Diskusi adalah sebuah interaksi komunikasi antara dua orang atau lebih (sebagai suatu kelompok). Biasanya komunikasi antara mereka / kelompok berupa salah satu ilmu atau pengetahuan dasar yang akhirnya memberikan rasa pemahaman yang baik dan benar. Diskusi bisa berupa apa saja yang awalnya disebut topik. Dari topik inilah diskusi berkembang, dibincangkan, dan pada akhirnya menghasilkan suatu pemahaman dari topik tersebut. Diskusi sebagai suatu bentuk pembelajaran umum adalah suatu cara pembelajaran di mana peserta didik (murid, mahasiswa) mendiskusikan (membicarakan, mencari jawaban bersama dengan cara saling memberikan pendapatnya, kemudian disaring untuk ditemukan kesimpulan. amri sofan& ahmadi(2010;165)
Diskusi adalah strategi instruksional atau pengajaran yang melibatkan siswa untuk Berbagi ide tentang satu topik umum. diskusi melibatkan interaksi siswa-siswa. Eggen & kauchak(2012;155)
2.Tujuan pembelajaran diskusi
    Diskusi secara umum digunakan untuk memperbaiki cara berpikir dan keterampilan komunikasi siswa dan untuk menggalakkan keterlibatan siswa di dalam pelajaran. Namun secara khusus menurut Tjokrodihardjo (2000: 3), diskusi digunakan oleh para guru untuk setidaknya 3 (tiga) tujuan pembelajaran yang penting, yaitu: Pertama, meningkatkan cara berpikir siswa dengan jalan membantu siswa membangkitkan pemahaman isi pelajaran. Kedua, menumbuhkan keterlibatan dan partisipasi siswa. Ketiga, membantu siswa mempelajari keterampilan komunikasi dan proses berpikir
3. Tiga fase dalam menerapkan Diskusi 
Menurut eggen &kauchak diskusi diterapkan dalam tiga fase
Fase 1: Perkenalan 
Sebagaimana semua strategi dan model, guru harus mendapatkan perhatian siswa untuk membuat diskusi yang berhasil.
Pada bagian ini Guru memberikan satu isu dan pembuka diskusi,  dengan tujuan Menarik perhatian, Memberikan fokus bagi diskusi, Mengaktifkan pengetahuan latar belakang. 
Fase 2: Eksplorasi 
Sepanjang fase eksplorasi, siswa berfokus pada topik atau isu dan berbagi perspektif mereka satu sama lain. 
Guru memiliki dua peran penting saat memandu diskusi. Pertama,  mesti menjaga diskusi terfokus dan mengalir. Karena diskusi terutama didorong oleh komentar siswa, kemungkinan melantur (drift) selalu ada.  perlu dengan cermat memonitor arah diskusi dan mengembalikan fokus siswa apabila mereka menyimpang atau mengarah jalan buntu. Kedua,  berusaha memberi siswa pengalaman yang mendorong perkembangan sosial.
Pada bagian ini Siswa mengeksplorasi topik, memperjelas pemikiran mereka, dan mengambil satu posisi, dengan tujuan Mendorong keterlibatan siswa, Mendorong pemahaman mendalam terhadap topik, Mengembangkan pemikiran kritis dan perkembangan sosial
Fase 3: Penutup 
Terlepas dari strategi atau model yang digunakan, pelayaran memerlukan semacam penutup (closure), sebuah review atau pernyataan ringkasan di akhir pelajaran.
Menelaah perspektif dan interpretasi berbeda adalah tujuan diskusi. Sehingga, siswa tidak akan mencapai satu kesimpulan yang sama sebagaimana jika mereka mempelajari konsep atau keterampilan tertentu. 
Pada bagian ini Poin-poin utama dalam diskusi akan diringkaskan, dengan tujuan menjernihkan poin poin kesepakatan dan perdebatan.

-----------------------
Sumber: 
Trianto,  mendesain model pembelajaran inovatif progresif, jakarta: kencana, 2009
Sofan amri dan iif khoiru ahmadi,  proses pembelajaran kreatif dan inofatif dalam kelas,  jakarta: prestasi pustaka, 2010
Robert slavin,  cooperative learning,  bandung : nusa media, 2010
Yatim riyanto, paradigma baru pembelajaran, jakarta: kencana, 2009
Paul eggen & don kauchak, strategi dan model pembelajaran, jakarta: indeks, 2012
Roestiyah N K, strategi belajar mengajar, jakarta : rineka cipta, 1991
Bruce joyce, marsha weil, & emily calhoun, model of teaching, yogyakarta: pustaka pelajar, 2016
Hamzah b. Uno,  model pembelajaran, jakarta: bumi aksara, 2009
Martinis yamin, desain pembelajaran berbasis tingkat satuan pendidikan,  jakarta: GP press, 2010
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar