Pengertian Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Multibudaya


Pengertian Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Multibudaya
Pengertian Pendidikan Multikultural dan Pendidikan Multibudaya


Multikulturalisme secara sederhana dapat dikatakan pengakuan atas pluralisme budaya. Pluralisme budaya bukanlah suatu yang "given” tetapi merupakan suatu proses internalisasi nilai-nilai di dalam suatu komunitas.
                Di tengah-tengah polaritas antara identitas (tribalisme) dengan globalisasi, konsep negara-bangsa akan mempunyai dimensi-dimensi yang baru, yaitu bagaimana pluralisme justru akan memperkuat rasa nasionalisme yang positif. Konsep ini menghargai akan adanya pluralisme komunitas dengan berbagai jenis kebudayaannya sekaligus memperkuat solidaritas dan rasa bersatu dari komunitas tersebut dari suatu bangsa di dalam kehidupan global yang penuh persaingan dan kerja sama. Pendidikan masa depan akan mempunyai paradigma baru berkaitan dengan pendidikan demokrasi yang mengakui adanya pluralitas budaya tetapi sekaligus memperkuat rasa persatuan nasional dari suatu negara-bangsa. 

A. Pengertian Multikulturalisme


             Multikulturalisme berasal dari kata "multi yang berarti plural, "kultural” yang berarti kultur atau budaya dan "isme” yang berarti paham atau aliran. Istilah multikulturalisme bukan sekadar pengakuan akan adanya kultur atau budaya yang berjenis-jenis, tetapi pengakuan itu juga mempunyai implikasi implikasi politis, sosial dan ekonomi, terutama yang berkaitan dengan "the right to culture" Rumusan Multikulturalisme Menurut Rob Reich dibedakan menjadi dua:(a) multikulturalisme deskriptif, dan (b) multikulturalisme normatif.

I. Multikulturalisme deskriptif. yaitu kenyataan sosial yang dikenal oleh pakar ilmu politik sebagai kenyataan pluralistik. Multikulturalisme deskriptif tidak mengakui adanya satu konsep mengenai apa yang disebut sesuatu yang baik (good). Sesuatu yang baik tergantung kepada nilai pluralistik dalam masyarakat Dengan demikian, kebenaran yang disebut tunggal tidak dikenal dalam konsep multikulturalisme. Hal yang baik adalah yang dianggap benar oleh suatu masyarakat.

II. Multikulturalisme normatif berkaitan dengan dasar-dasar moral antara keterikatan seseorang dalam suatu negara bangsa. Artinya, terdapat suatu ikatan moral dari anggota-anggotanya dalam batas-batas Negara, bangsa untuk melakukan sesuatu sebagaimana yang telah menjadi kesepakatan bersama. Dalam kaitan ini, multikulturalisme normatif merupakan suatu kritik sosial dalam membangun keinginan bersama dari suatu kelompok membangun suatu wadah di dalam pluralitas budaya yang ada dalam komunitas tersebut.  
              

B. Pengertian pendidikan multikultural.


                  Pendidikan Multibudaya dalam Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial (Kuper,2000) dimulai sebagai gerakan reformasi pendidikan di AS selama perjuangan hak-hak kaum sipil Amerika keturunan Afrika pada tahun 1960-an dan 1970-an.Perubahan kemasyarakatan yang mendasar seperti integrasi sekolah-sekolahn negeri dan peningkatan populasi imigran telah memberikan dampak yang besar atas lembaga-lembaga pendidikan. Pada saat para pendidik berjuang untuk menjelaskan tingkat kegagalan dan putus sekolah murid-murid dari etnis marginal, beberapa orang berpendapat bahwa murid-murid tersebut tidak memiliki pengetahuan budaya yang memadai untuk mencapai keberhasilan akademik
                  Rumusan pendidikan multikultural dari James A. Banks  Pendidikan multikultural adalah konsep, ide atau falsafah sebagai suatu rangkaian kepercayaan(set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai pentingnya keragaman budaya dan etnis di dalam membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, kesempatan-kesempatan pendidikan dari individu kelompok maupun negara. 
                   Menurut Sosiolog Parsudi Suparlan, Pendidikan Multikultural adalah pendidikan yang mampu menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesuku bangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural. Perbedaan itu dapat terwadahi di tempat-tempat umum, tempat kerja dan pasar, dan sistem nasional dalam hal kesetaraan derajat secara politik, hukum, ekonomi, dan sosial.
                  Gibson (1984) mendefinisikan bahwa pendidikan multikultural adalah suatu proses pendidikan yang membantu individu mengembangkan cara menerima, mengevaluasi, dan masuk ke dalam sistem budaya yang berbeda dari yang mereka miliki. 
                   Pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses atau strategi pendidikan yang melibatkan lebih dari satu budaya, yang ditunjukkan melalui kebangsaan, bahasa, etnik, atau kriteria rasial. 
                  Nieto (1992) menyebutkan bahwa pendidikan multibudaya bertujuan untuk sebuah pendidikan yang bersifat anti rasis; yang memperhatikan keterampilan keterampilan dan pengetahuan dasar bagi warga dunia; yang penting bagi semua murid yang menembus seluruh aspek sistem pendidikan; mengembangkan sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang memungkinkan murid bekerja bagi keadilan sosial; yang merupakan proses di mana pengajar dan murid bersama-sama mempelajari pentingnya variabel budaya bagi keberhasilan akademik; dan menerapkan ilmu pendidikan yang kritis yang sosial. memberi perhatian pada bangun pengetahuan sosial dan membantu murid untuk mengembangkan keterampilan dalam membuat keputusan dan tindakan sosial.
                 Banks (1993) telah mendiskripsikan evolusi pendidikan multibudaya dalam empat fase. Pertama, ada upaya untuk mempersatukan kajian-kajian etnis pada setiap kurikulum. Kedua, hal ini diikuti oleh pendidikan multietnis sebagai usaha untuk menerapkan persamaan pendidikan melalui reformasi keseluruhan sistem pendidikan. Ketiga, kelompok-kelompok marginal yang lain, seperti perempuan, orang cacat, homo dan lesbian, mulai menuntut perubahan-perubahan mendasar dalam lembaga pendidikan. Keempat, perkembangan teori, triset dan praktik, perhatian pada hubungan antar-ras, kelamin, dan kelas telah menghasilkan tujuan bersama bagi kebanyakan ahli teoritisi, jika bukan para praktisi, dari pendidikan multibudaya. Gerakan reformasi mengupayakan transformasi proses pendidikan dan lembaga-lembaga pendidikan pada semua tingkatan sehingga semua murid, apapun ras atau etnis, kecacatan, jenis kelamin, kelas sosial dan orientasi seksualnya akan menikmati kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan.
                    Pendidikan multikultural adalah sintesa dari pendekatan pendidikan anti-rasis dan multi-budaya yang dipakai secara internasional pada tahun 60  an hingga 90an.
                  Indonesia sejak awal berdirinya telah mempunyai banyak keanekaragaman budaya, suku, bahasa dan agama. Keanekaragaman inilah yang sering diistilahkan dengan multikultural atau interkultural. Kedua istilah ini menggambarkan situasi di mana terdapat banyak kultur dalam sebuah negara. Istilah multikulturalisme kadang digunakan untuk menggambarkan sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat banyak kultur yang berbeda yang hidup berdampingan tanpa ada banyak interaksi. Istilah interkulturalis mengungkapkan sebuah kepercayaan yang setiap orang merasa diperkaya secara pribadi dengan berinteraksi dengan kultur lain. Setiap orang dari suku yang berlainan dapat terlibat dan belajar dari satu sama lainnya.

C. Latar Belakang Pendidikan Multikultural.


                 sebuah ide, pendidikan multikultural dibahas dan diwacanakan pertama kali di Amerika dan negara-negara Eropa Barat pada tahun 1960-anoleh gerakan yang menuntut diperhatikannya hak-hak sipil (civil right movement). Tujuan utama dari gerakan ini adalah untuk mengurangi praktik diskriminasi di tempat-tempat publik, di rumah, di tempat-tempat kerja, dan dilembaga-lembaga pendidikan, yang dilakukan oleh kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas. Selama itu, di Amerika dan negara-negara Eropa Barat hanya dikenal adanya satu kebudayaan, yaitu kebudayaan kulit putih yang Kristen. Golongan-golongan lainnya yang ada dalam masyarakat-masyarakat tersebut dikelompokkan sebagai minoritas dengan pembatasan hak-hak mereka(Suparlan, 2002: 2-3). Gerakan hak-hak sipil ini, menurut James A. Bank (19894-5), berimplikasi pada dunia pendidikan, dengan munculnya beberapa tuntutan untuk melakukan reformasi kurikulum pendidikan yang sarat dengan diskriminasi. Pada awal tahun 1970-an muncullah sejumlah kursus dan program pendidikan yang menekankan pada aspek-aspek yang berhubungan dengan etnik dan keragaman budaya (cultural diversity).
                 Alasan lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah keberadaan masyarakat dengan individu-individu yang beragam latar belakang bahasa dan kebangsaan (nationality), suku (race or etnicity), agama(religion), gender, dan kelas sosial (social class). Keragaman latar belakang individu dalam masyarakat tersebut berimplikasi pada keragaman latar belakang peserta didik dalam suatu lembaga pendidikan (James A. Bank, 1989: 14).Dalam konteks Indonesia, peserta didik di berbagai lembaga pendidikan diasumsikan juga terdiri dari peserta didik yang memiliki beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Asumsi ini dibangun berdasarkan pada data bahwa di Indonesia terdapat 250 kelompok suku, 250 lebih bahasa lokal (lingua francka), 13.000 pulau, dan 5 agama resmi (Leo Suryadinata, dkk.,2003: 30,71,104 dan 179). Paling tidak keragaman latar belakang siswa dilembaga-lembaga pendidikan di Indonesia terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).
                Hal lain yang melatarbelakangi adanya pendidikan multikultural adalah adanya tiga teori sosial yang dapat menjelaskan hubungan antar-individu dalam masyarakat dengan beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya. Menurut Ricardo L. Garcia (1982: 37-42) ketiga teori sosial tersebut adalah: (1) Melting Pot Anglo Conformity, (2) Melting Pot II: Ethnic Synthesis, dan (3)Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Ketiga teori tersebut populer dengan sebutan teori masyarakat majemuk (communal theory).
                Teori pertama, Melting Pot : Anglo Conformity, berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang seperti agama, etnik, bahasa, dan budaya-harus disatukan ke dalam satu wadah yang paling dominan. Teori ini melihat individu dalam masyarakat secara hirarkis, yaitu kelompok mayoritas dan minoritas. Bila mayoritas individu dalam suatu masyarakat adalah pemeluk agama Islam, maka individu lain yang memeluk agama non-Islam harus melebur ke dalam Islam. Bila yang mendominasi suatu masyarakat adalah individu yang beretnik Jawa, maka individu lain yang beretnik non-Jawa harus mencair ke dalam etnik Jawa, dan demikian seterusnya. Teori ini hanya memberikan peluang kepada kelompok mayoritas untuk menunjukkan identitasnya. Sebaliknya, kelompok minoritas sama sekali tidak memperoleh hak untuk mengekspresikan identitasnya. Identitas di sini bisa berupa agama, etnik, bahasa, dan budaya. Teori ini tampak sangat tidak demokratis. Teori pertama tidak demokratis, maka muncullah
               teori kedua, yaitu Melting Pot Il: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masing-masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik bahasa, dan budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-individu yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
                teori ketiga yaitu Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Teori yang dikembangkan oleh Berkson ini berpandangan bahwa masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang beragam latar belakang agama, etnik, bahasa, dan budaya, memiliki hak untuk mengekspresikan identitas budayanya secara demokratis. Teori ini sama sekali tidak meminggirkan identitas budaya tertentu, termasuk identitas budaya kelompok minoritas sekalipun. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu pemeluk agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, dan Konghucu, maka semua pemeluk agama diberi peluang untuk mengekspresikan identitas keagamaannya masing-masing. Bila individu dalam suatu masyarakat berlatarbelakang budaya Jawa, Madura, Betawi, dan Ambon, misalnya, maka masing-masing individu berhak menunjukkan identitas budayanya, bahkan diizinkan untuk mengembangkannya. Masyarakat yang menganut teori ini, terdiri dari individu yang sangat pluralistik, sehingga masing-masing identitas individu dan kelompok dapat hidup dan membentuk mozaik yang indah.
                Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh pendidikan multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy Untuk konteks Indonesia, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya.

D. Tujuan pendidikan multikultural


               Tujuan pendidikan multikultural adalah agar anak-anak dapat menghormati keanekaragaman budaya yang ada dan mendorong mereka secara nyata untuk dapat mengenali dan melenyapkan kecurigaan serta diskriminasi yang telah ada. 
              Pendidikan multikultural berupaya mengajak siswa untuk menerima perbedaan yang ada pada sesama manusia sebagai hal-hal yang alamiah (natural sunnatullah). Menanamkan kesadaran kepada mahasiswa akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values) yang diperlukan dalam beragam aktivitas sosial. 
               Pada intinya, pendidikan multikultural mempunyai dua fokus persoalan,yaitu
1. proses pendidikan yang menghormati, mengakui dan merayakan perbedaan di semua bidang kehidupan manusia. Pendidikan multikultural merangsang anak terhadap kenyataan yang berkembang di masyarakat, yang berupa pandangan hidup, kebiasaan, kebudayaan, yang semuanya telah memperkaya kehidupan manusia.
2. Proses pendidikan yang menerapkan persamaan keseimbangan dan HAM menentang ketidakadilan diskriminasi dan menyuarakan nilai-nilai yang membangun keseimbangan.




______________
sumber
Basrowi dan Suko Susilo, 2010, sosiologi pendidikan mengapa penting?, Bekasi: pustaka ilmu Nusantara.
H. A. R. Tilaar, 2004, multikulturalisme, Jakarta: Grasindo.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar