Teori-teori Kecerdasan


  

Teori-teori Kecerdasan

Sejak dahulu banyak orang percaya bahwa "kesuksesan hidup" seseorang banyak ditentukan oleh kecerdasannya. Namun apa itu kecerdasan dan bagaimana bentuk kecerdasan itu masih merupakan misteri hitam. Meskipun demikian, para ahli telah berupaya mengembangkan berbagai kecerdasan. The Seven Liberal Art diyakini sebagai subyek yang dapat mengembangkan kecerdasan, tetapi hasilnya menunjukkan ternyata hanya segelintir orang yang mampu menguasai ketujuh subyek itu, sehingga orang-orang yang cerdas pada waktu itu hanya merupakan devian saja.

Tahun 1870, Francis Galton menelaah 5000 orang jenius di Inggris. Kesimpulannya adalah bahwa kecerdasan itu diturunkan atau bersifat herediter (fixed). Temuan ini kemudian menjadi inspirasi bagi Alfred Binet yang pada tahun 1905 menyusun suatu tes kecerdasan (intelegensi) yang kemudian dikenal sebagai tes IQ (Intelligence Quotient). Sampai di sini, kecerdasan merupakan suatu domain kemampuan intelektual (intellectual abilities) manusia yang berkenaan dengan kemampuannya untuk melakukan secara tepat, cepat, dan cermat. Kecerdasan sebagaimana digambarkan Galton (1870) dan Binet (1905) tentu memperkuat teori bahwa orang-orang jenius itu dipandang sebagai orang-orang devian. Kecerdasan intelektual (IQ) sebagai determinan "sukses hidup" kemudian banyak dipertanyakan orang. Yunani kuno dikenal sebagai negeri yang banyak melahirkan orang-orang jenius, ratusan bahkan ribuan filsuf lahir dari negeri ini. Tapi selama ribuan tahun itu pula, dunia terdiam dan tidak bergerak. Baru pada Abad Pertengahan (Middle Age), di era renaisans lahir 2 (dua) orang Bacon, Kecerdasannya hanya selevel murid peringkat ketiga dari Plato; namun kedua orang Bacon tersebut mampu mengubah dunia dan memberikan sumbangan masa depan bagi kemanusiaan. Demikian pula dengan Thomas Alpha Edison, sang penemu listrik, juga akhirnya dapat memberikan sumbangan yang sangat besar kepada dunia dan kemanusiaan, padahal ia hanya seorang murid yang putus sekolah.

Moh. Surya (1979) dalam disertasinya di IKIP Bandung menemukan sejumlah murid yang under-achiever, yaitu ber-IQ tinggi namun tidak memiliki prestasi belajar yang baik bahkan rendah: Dalam kehidupan sehari-hari, kita seringkali menyaksikan sejumlah orang yang sukses, namun ternyata IQ-nya hanya biasa-biasa ca Karena itu, mulai tahun 1950-an yang kemudian mencanai puncaknya pada tahun 1980-an ditemukanlah jenis kecerdasan lain yaitu kecerdasan kreatif atau Creativity Quotient (CQ). Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menciptakan sesuatu yang baru. Pada CQ, kontruksi kecerdasannya berbeda. Jika pada IQ lebih mengandalkan kemampuan berpikir memusat (konvergen) dan mendalam (vertikal), maka CQ justru lebih menekankan kemampuan berpikir menyebar (divergen) dan menyamping (lateral). Dedi Supriadi (1989) barangkali merupakan orang pertama di Indonesia yang melakukan studi khusus tentang kreativitas dan orang-orang kreatif dalam disertasinya di IKIP Bandung. Sampai di sini, maka tabir atau misteri tentang kecerdasan sedikit-sedikit sudah mulai terjawab. Bahwasannya bisa saja seseorang yang ber-IQ tinggi gagal dalam hidupnya karena ternyata dia memiliki CQ yang rendah. Namun demikian kedua jenis kecerdasan ini belum mampu menjawab pokok "sukses hidup" manusia.

Pada tahun 1994, Thomas Amstrong dalam bukunya "Multiple Intelligences in the Classroom" berhasil mengidentifikasi adanya 8 (delapan) aspek atau tipe kecerdasan manusia, di antaranya adalah:  

(1) Kecerdasan verbal (linguistic intelligence)

(2) Kecerdasan visual-spasial (visual-spatial intelligence)

(3) Kecerdasan logika-matematis (logico-mathematical intelligence)

(4) Kecerdasan ritmik (musical intelligence)

(5) Kecerdasan kinestetik - taktil (bodily intelligence) 

(6) Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)

(7) Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence) 

(8) Kecerdasan naturalis (natural intelligence)

Dengan teori Amstrong ini, maka kecerdasan seseorang makin berkembang sehingga dapat mematahkan mitos bahwa kecerdasan itu adalah sesuatu yang sudah built-in dari Sang Maha Pencipta atau diturunkan, namun justru dengan berkembangnya teori ini maka kecerdasan itu adalah suatu hal yang dapat dipelajari.

Kemudian setahun kemudian, pada tahun 1995 Daniel Goleman berhasil menyodorkan teori baru tentang kecerdasan manusia dengan memperkenalkan teori "Kecerdasan Emosional" atau Emotional Quotient (EQ) melalui bukunya yang termasuk best-seller di dunia yaitu "Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ?".Dengan beraninya Goleman berkesimpulan bahwa IQ hanya memberikan kontribusi 25% terhadap kesuksesan hidup manusia, sementara 75% sisanya ditentukan oleh kecerdasan lainnya di antaranya adalah kecerdasan emosi (EQ)-nya.  

Sekilas elaborasi kecerdasan emosional adalah bagaimana membawa emosi kita menjadi cerdas. Ilmu-ilmu psikologi modern menyebutnya sebagai metamood untuk melukiskan kesadaran seseorang akan emosinya sendiri yang menurut Goleman disebut sebagai kesadaran emosi diri (self-awareness). Dengan menyadari eksistensi emosi ini, kita tidak lagi dikuasai bahkan diperbudak oleh emosi. Justru sebaliknya, kita dapat mengendalikan atau menguasai emosi, yang menurut kearifan orang Yunani kuno diberikan terminologi sophrosyne, yakni keseimbangan dan kebijaksanaan emosi yang terkendali. Islam berpesan: "Barang Siapa mengenali emosi dirinya, maka ia benar- benar bisa mengenali Tuhannya". Belum lagi kita tuntas membahas EQ-nya Goleman, pada tahun 1997 Paul G. Stoltz memperkenalkan jenis kecerdasan baru yaitu Kecerdasan Adversitas atau Adversity Quotient (AQ) dalam bukunya, "Adversity Quotient: Turning Obstacles into Opportunities". Dalam bukunya, Stoltz menempatkan AQ sebagai faktor paling penting dalam meraih kesuksesan hidup. Dengan tegas ia mengatakan bahwa sejumlah orang memiliki IQ yang tinggi berikut segala aspek kecerdasan emosional (EQ)-nya, namun tragisnya, mereka gagal menunjukkan kemampuannya. Agaknya bukan IQ ataupun Fo yang menentukan suksesnya seseorang, tapi keduanya memainkan suatu peran. Jadi pertanyaannya masih sama. mengapa ada orang yang mampu bertahan, sementara yang lainnya – mungkin sama-sama brilian dan pandai bergaul – gagal. dan masih ada lagi lainnya yang menyerah? AQ menjawab pertanyaan ini. Dalam komentarnya, Dr. Gerald Pepper seorang profesor komunikasi dari University of Minnesota menyatakan bahwa AQ menyajikan sebuah argumen yang mengesankan tentang perlunya merumuskan kembali apa yang dibutuhkan untuk meraih kesuksesan. AQ merupakan ukuran sekaligus falsafah. Sebagai ukuran, AQ mempersatukan riset psikologi kognitif, psikoneuroimunologi dan neurofisiologi untuk membentuk suatu gambaran lengkap tentang bagaimana caranya kita mendekati sebuah “kesulitan" atau "tantangan" dan mengapa. Dan sebagai falsafah, AQ menyajikan sebuah cara untuk membingkai kembali kehidupan kita. AQ merupakan logika untuk bergerak maju, menjadikan diri kita lebih baik daripada sekarang, dan memegang kendali ke mana kita akan pergi. Orang-orang yang ber-AQ tinggi adalah "the early adopter yaitu orang-orang pertama yang merespons secara proaktif peluang-peluang baru (new opportunities). "AQ can be learned", demikian ungkap Stoltz. Dia sangat yakin bahwa hanya orang orang yang ber-AQ tinggi saja yang akan meraih "sukses hidup". Memasuki milenium ketiga, ternyata teori kecerdasan terus mengalami perkembangan yang pesat sejalan dengan berbagai penemuan dan penelitian para ahli tentang otak manusia. Maka pada tahun 2000, seorang psikolog yang juga ahli geologi dari Harvard University Danah Zohar, dan isterinya lan Marshall dari Oxford University memperkenalkan Kecerdasan Spiritual atau Spiritual Quotient (SQ) sebagai "the ultimate intelligence" atau puncak dari segala kecerdasan manusia. Sungguh memukau!

Secara literal, kecerdasan spiritual adalah spiritual quotient atau SQ. Jika IQ bersandarkan nalar dan rasio-intelektual, EQ bersandarkan pada emosional, maka SQ berpusat pada ruang spiritual (spiritual space). Theodore Rotzack, ahli teknologi spiritualis yang memberi pengantar pada buku "Small is Beautiful" karya ahli ekonomi pembangunan dunia, E.F. Schumacher menarik kesimpulan, bahwa dalam diri setiap manusia ada ruang spiritual, yang jika tidak diisi dengan hal-hal yang lebih tinggi, maka ruang itu secara otomatis akan terisi oleh hal-hal yang lebih rendah, yang ada dalam diri manusia". Kecerdasan spiritual hendak membawa ruang spiritual dalam diri manusia untuk menjadi cerdas. 

Secara literal, kecerdasan spiritual adalah spiritual quotient atau SQ. Jika IQ bersandarkan nalar dan rasio-intelektual, EQ bersandarkan pada emosional, maka SQ berpusat pada ruang spiritual (spiritual space) Theodore Rotzack, ahli teknologi spiritualis yang memberi pengantar pada buku "Small is Beautiful" karya ahli ekonomi pembangunan dunia, E.F. Schumacher menarik kesimpulan, bahwa dalam diri setiap manusia ada ruang spiritual, yang jika tidak diisi dengan hal-hal yang lebih tinggi, maka ruang itu secara otomatis akan terisi oleh hal-hal yang lebih rendah, yang ada dalam diri manusia". Kecerdasan spiritual hendak membawa ruang spiritual dalam diri manusia untuk menjadi cerdas.

Pembuktian Ilmiah Kecerdasan Spiritual

Di antara empat pembuktian ilmiah tentang SQ yang dipaparkan Zohar dan Marshall maka dua di antaranya adalah: 

(1) Riset ahli neuropsikologi Michael Persinger pada awal tahun 1990-an dan lebih mutakhir lagi tahun 1997 oleh VS Ramachandran dan timnya dari University of California, yang menemukan eksistensi atau keberadaan "Titik Tuhan" atau "God Spot" dalam otak manusia. Hanya saja secara singkat adanya God Spot dalam riset Ramachandran dan timnya ini tidak untuk membuktikan keberadaan Tuhan, tetapi untuk menunjukkan bahwa otak manusia telah berkembang ke arah pencarian agenda-agenda fundamental dan mendasar dalam hidup ini, seperti rasa memiliki dan menggunakan kepekaan, makna, dan nilai-nilai kehidupan. Nada-nadanya, arah pencarian ini bermuara pada spiritualitas gaya Naisbitt dan Aburdene, yang tidak mengarah ke orientasi Tuhan dalam agama formal.

(2) Bukti lainnya adalah hasil riset ahli saraf Austria Wolf Singer pada tahun 1990-an yang menunjukkan adanya proses saraf dalam otak manusia yang terkonsentrasi pada usaha mempersatukan dan memberi makna dalam pengalaman hidup kita. Suatu jaringan saraf yang secara literal mengikat pengalaman kita secara bersama untuk hidup lebih bermakna.

Kecerdasan spiritual memang mengarahkan hidup kita untuk selalu berhubungan dengan kebermaknaan hidup, agar hidup kita menjadi lebih berkualitas dan menoleh kepada esensi spiritualitas (keberagamaan) yang melampaui tradisi agama agama besar. Sudut pandang kecerdasan spiritual memberi tahu kita bahwa "ruang spiritual" pun memiliki arti kecerdasan. Maka, di antara kita bisa saja tidak cerdas secara spiritual, dengan menunjukkan ekspresi keberagamaan yang monolitik, eksklusif, dan intoleran, yang sering berakibat pada korban konflik antar nama agama dan Tuhan. 



Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar