Berkomunikasi secara Efektif, Empatik, dan Santun dengan Peserta Didik


Berkomunikasi secara Efektif, Empatik, dan Santun dengan  Peserta Didik

Kemampuan berkomunikasi merupakan tuntutan yang harus dimiliki oleh setiap guru. Akan tetapi, kemampuan berkomunikasi saja tidak cukup. Dalam proses pembelajaran guru harus mampu berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan siswa.

a.   Berkomunikasi secara Efektif

Komunikasi efektif adalah komunikasi yang bertujuan agar komunikan atau siswa dapat memahami pesan yang disampaikan oleh komunikator atau guru dan komunikan memberikan umpan balik yang sesuai dengan pesan. Umpan balik yang sesuai dengan pesan tidak selalu berupa persetujuan. Komunikan dapat saja memberikan umpan balik berupa ketidaksetujuan terhadap pesan, yang terpenting adalah dimengertinya pesan dengan benar oleh komunikan dan komunikator memeroleh umpan balik yang menandakan bahwa pesannya telah dimengerti oleh komunikan.

Secara sederhana komunikasi dikatakan efektif apabila pesan yang disampaikan oleh pengirim sama maknanya dengan pesan yang ditangkap dan dipahami oleh penerima. Jika Anda mengatakan: “Jangat ribut!”, maka orang yang mendengar memahami bahwa kalimat tersebut diartikan sebagai tindakan tidak berisik, tidak gaduh, atau diam tanpa suara, kemudian orang-orang itu diam, maka komunikasi menjadi efektif sebab “jangan ribut” yang diinginkan oleh komunikator kenyataannya sama makna dengan pemahaman orang yang diajak bicara tadi.

Akan tetapi komunikasi bisa menjadi tidak efektif apabila pesan yang diinginkan komunikator tidak semakna dengan pemahaman komunikan. Misalnya, suatu hari Anda melihat orang yang melambaikan tangan di tengah kolam renang, lalu Anda membalasnya dengan lambaian tangan lagi. Bagi orang yang di kolam renang lambaian tangan anda tidak bermakna apa-apa sebab yang dia butuhkan bukan lambaian tangan lagi melainkan pertolongan Anda, karena dia sedang tenggelam dan tidak bisa berenang.

Pesan harus dimaknai bersama antara penyampai dan penerima, sebab dengan memahami makna yang sama terhadap suatu pesan, tindakan yang diharapkan terhadap efek komunikasi menjadi sama. Perbedaan makna pesan (persepsi) akan menghasilkan salah menafsirkan maksud pesan (misinterpretasion), yang akan berakibat misunderstanding, hasilnya akan misaction.

Menurut Stewart L. Tubb dan Sylvia Moss (dalam Mulyana, 2001), komunikasi yang efektif memiliki tanda-tanda antara lain:

1)  Pemahaman.

Komunikasi dikatakan efektif apabila penerima pesan (komunikan) memperoleh pemahaman yang cermat atas isi pesan yang disampaikan oleh komunikator. Kegagalan utama berkomunikasi disebabkan oleh ketidakpahaman komunikan dalam mencermati isi pesan yang dimaksud oleh komunikasi.

2)  Kesenangan.

Ketika Anda mengatakan: “Halo!”, “Selamat pagi!”, Anda mungkin tidak bermaksud mencari informasi dari orang yang Anda sapa. Komunikasi seperti ini dimaksudkan untuk memperoleh kesenangan. Komunikasi seperti inilah yang dapat mempertahankan hubungan insani, sehingga timbul keakraban, kehangatan, dan menyenangkan. Komunikasi akan efektif apabila timbul rasa senang diantara pelaku komunikasi, baik pada saat komunikasi berlangsung maupun setelah proses komunikasi terjadi.

3)  Memengaruhi Sikap.

Tindakan memengaruhi orang lain merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari. Dalam berbagai situasi kita berusaha memengaruhi sikap orang lain, dan berusaha agar orang lain tidak hanya memahami ucapan kita, tetapi agar orang mengikuti apa yang kita inginkan. Suatu hari Anda mengajak masyarakat untuk menanami tanaman pada tanah gersang dan banyak batu-batuan. Anda menjelaskan bahaya longsor dan bahaya banjir bila hujan turun, pidato Anda begitu meyakinkan. Anda jangan puas dengan anggukan kepala komunikan, sebab tujuan berpidato di depan mereka adalah agar mereka menghentikan penebangan hutan, dan menanam tumbuhan di tanah yang gundul. Komunikasi akan efektif bila pesan yang Anda sampaikan diterima oleh komunikan, kemudian komunikan berbuat sesuatu sesuai dengan ajakan Anda. Komunikasi secara persuasif akan efektif dilakukan untuk mempengaruhi sikap mereka.

4)  Hubungan Sosial yang Baik.

Manusia adalah makhluk sosial, dia tidak akan bertahan hidup sendirian. Dia butuh orang lain untuk melangsungkan kehidupannya. Dia membutuhkan hubungan dengan yang lain, maka dia harus berinterkasi dengan sesamanya. Interaksi terjadi kalau ada kontak dan komunikasi. Komunikasi yang dilakukannya bertujuan untuk menumbuhkan hubungan yang baik. Hubungan yang baik dapat berupa kehangatan, keakraban, atau saling cinta. Jika komunikasi menimbulkan hubungan yang tidak baik, seperti perpecahan, kebencian, dan permusuhan, maka komunikasi menjadi tidak efektif.

5)  Tindakan.

Efektivitas komunikasi biasanya dikukur oleh tindakan nyata. Masyarakat berbondong-bondong menyumbangkan harta atau pakain setelah mengetahui berita betapa mengenaskannya korban bencana longsor. Warga desa Gunung Kidul menghemat air untuk persedian di musim kemarau setelah mendapat penjelasan dari aparat mengenai akan datangnya kemarau panjang. Masyarakat beramai-ramai menanam kembali areal hutannya yang sudah ditebang setelah mendapat penjelasan dari penyuluh kehutanan bahwa hutan gundul berati petaka bagi kita dan kehidupan. Menimbulkan tindakan yang nyata merupakan indikator efektifitas komunikasi yang penting. Untuk menimbulkan tindakan, terlebih dahulu harus menanamkan pengertian, menimbulkan kesenangan, membentuk sikap, dan menumbuhkan hubungan yang baik. Tindakan merupakan akumulasi seluruh proses komunikasi.

Berkomunikasi secara efektif antara lain dapat dilakukan oleh guru menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh siswa. Perintah-perintah dan larangan-larangan disampaikan dengan jelas dan mudah dipahami sehingga siswa dapat melaksanakannya dengan mudah. Guru juga harus pandai membuat kata-kata yang spesifik dalam menjelaskan suatu konsep kepada siswa. Selain itu, prosesnya dilakukan dengan cara menarik dan menyenangkan bagi siswa.

Berikut adalah contoh komunikasi efektif antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.

Guru     :  Asalamualaikum  warahmatullahi  wabarakatuh,  anak-anak?  (dengan senyum yang ramah dan pandangan tertuju kepada seluruh siswa).

Siswa    : Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. (serentak menjawab)

Guru  : Sebelum memulai pembelajaran mari kita berdoa terlebih dahulu. (menunjuk ketua kelas untuk memimpin doa). Alhamdulillah, anak-anak. Hari ini kita dapat mengikuti kegiatan pembelajaran IPA. Bagaimana kabar kalian? Sehat semuanya?

Siswa    : Alhamdulillah, baik, Bu. (serentak menjawab) 

Guru     : Siapa yang tidak masuk hari ini?

Siswa    : Tidak ada, Bu. Semuanya masuk. (ketua kelas menjawab pertanyaan guru)

Guru     : Alhamdulillah. Bagus, Anak-anak. Bapak senang kalian masuk sekolah semua dan tidak ada yang terlambat datang. Sudah siap belajar, anak- anak?

Siswa    : Siap, Bu!

Guru     : Bagus! Kalau begitu mari kita mulai pembelajaran IPA kita hari ini.

Silakan duduk dengan rapi, meja dan kursinya tolong dirapikan dan pastikan tidak ada pekerjaan lain selain belajar IPA. Siapkan buku tulis, buku paket dan alat tulis lainnya. (anak-anak mempersiapkan diri untuk belajar, merapikan meja, kursi, menyiapkan buku dan alat tulis). 

“Anak-anak, hari ini kita akan mempelajari topik tentang perubahan fisika dan kimia dalam kehidupan sehari-hari”.   (guru menuliskan topik pembelajaran di papan tulis).

Pada contoh kegiatan pembelajaran di atas guru memulai pembelajaran dengan mengucapkan salam dan berdoa. Hal ini merupakan penting dilakukan sebagai bagian dari penerapan pendidikan karakter, yaitu religius. Selanjutnya, guru menyiapkan kondisi psikologis siswa untuk mengikuti pembelajaran. Dalam kegiatan pembelajaran tersebut, guru berkomunikasi dengan siswa menggunakan bahasa yang sederhana, tidak berbelit-belit sehingga mudah dipahami siswa.

b.   Berkomunikasi secara Empatik

Komunikasi empatik adalah komunikasi yang menunjukkan adanya saling pengertian antara komunikator dengan komunikan. Komunikasi ini menciptakan interaksi yang membuat satu pihak memahami sudut pandang pihak lainnya.

Komunikasi empatik bisa dipahami dari kata empati. Empati adalah kemampuan seseorang untuk mengetahui apa yang dialami orang lain pada saat tertentu, dari sudut pandang dan perspektif orang lain tersebut. Jadi, komunikasi empatik dapat menjadi sarana untuk menjalin saling pengertian antara dua pihak yaitu guru dan siswa. Jika guru berhasil mengembangkan komunikasi empatik, diharapkan siswa dapat memahami bahwa tujuan dari penyampaian tugas tersebut agar siswa dapat menyelesaikan tanggung jawabnya secara lebih efektif.

Agar komunikasi empatik tercipta, guru sebagai harus  memerlihatkan hal-hal sebagai berikut.

1) Menghargai   setiap   pertanyaan,   jawaban   dan   semua   respons   yang disampaikan oleh siswa. Hal ini akan memberikan rasa percaya diri dan semangat pada diri siswa dalam mengikuti pembelajaran.

2) Bersikap sabar untuk tidak memotong pembicaraan. Banyak informasi yang didapat jika guru bersabar untuk memeroleh penjelasan detail dari siswa. Jika informasi   yang   diperoleh   telah   cukup   dan   siswa   hanya   berputar- putar menjelaskan  hal  yang  sama  guru  perlu  menyampaikan  kembali pengertian yang telah didapatnya dan menarik perhatian siswa pada masalah berikutnya. 

3)   Bersikap   tenang   dalam   menghadapi   berbagai   kondisi   pembelajaran.

Terkadang guru dihadapkan pada kelas yang tidak kondusif, misalnya siswa berbuat gaduh. Guru harus bersikap tenang dan berkomunikasi dengan siswa agar kelas kondusif kembali.

4)   Bersikap bebas prasangka, atau tidak evaluatif, kecuali jika sangat diperlukan.

Untuk dapat memahami sudut pandang siswa, guru harus menghindari sikap evaluatif. Sikap evaluatif dapat membuat siswa menyeleksi hal-hal yang perlu disampaikan dan tidak, dengan pertimbangan apakah pandangannya akan diterima atau tidak, disetujui atau tidak oleh guru.

5) Bersikap penuh pengertian. Kadang-kadang siswa menyampaikan pendapat yang bertentangan atau kurang tepat. Guru tetap harus memberikan respon positif dan selanjutnya meluruskannya tanpa menyinggung perasaan siswa.

Komunikasi  empatik  dapat  dilakukan  dengan  membayangkan  pikiran  dan perasaan siswa menurut persepsi siswa, bukan menurut persepsi guru. Hal ini tercermin dalam bahasa yang digunakan dan cara memperlakukan siswa.

Berikut  contoh  komunikasi  empatik  antara  guru  dan  siswa  dalam  proses pembelajaran.

Contoh 1

Guru     : ”Mengapa kamu datang terlambat?”

Siswa    : ”Saya terlambat bangun, Bu.”

Guru     : “Ah, alasan kamu! Tidakkah kamu tahu kalau sekolah dimulai pukul 07.00?”

Siswa    : ”Saya tahu, Bu. Tapi kali ini saya benar-benar terlambat bangun. Saya menyesal datang terlambat.”

Guru     : ”Ya, sudah. Besok tidak boleh terlambat lagi. Awas kalau terlambat lagi!”

Contoh 1 di atas menunjukkan cara guru yang berkomunikasi tidak empatik dalam menyelesaikan persoalan siswa yang terlambat masuk sekolah. Kata-kata yang digunakan guru adalah kata-kata yang menyudutkan, menyalahkan, dan mengundang rasa tidak nyaman. Bahkan, di dalamnya terdapat kalimat yang mengancam siswa. Siswa akan merasa tidak nyaman dengan sikap guru tersebut. Siswa sebenarnya sudah tahu bahwa dirinya tidak mau terlambat ke sekolah. Akan tetapi, pertanyaan dan ancaman guru semakin membuat dirinya merasa bersalah yang mendalam. Sikap guru seperti itu dapat mengundang siswa tidak hormat pada guru, bahkan dapat menimbulkan rasa marah dan dendam siswa kepada guru. 

Contoh 2

Guru     : ”Mengapa kamu datang terlambat, Nak?”

Siswa    : ”Saya terlambat bangun, Bu.”

Guru     : “Kamu tidur terlampau larut tadi malam?”

Siswa    : ”Betul, Bu. Saya nonton pertandingan sepak bola.”

Guru     : ”Kamu sangat menyukai sepak bola?” 

Siswa    : ”Betul, Bu. Saya pecinta sepak bola.” 

Guru     : ”Kamu mencintai sepak bola?”

Siswa    : ”Ya, Bu.”

Guru     : ”Kamu tidak mau kehilangan kesempatan nonton sepak bola?”

Siswa    : Betul, Bu.”

Guru     : ”Kamu juga sebetulnya tidak mau terlambat sekolah?”

Siswa    : ”Betul, Bu.”

Guru     : ”Kamu dapat mengatur waktumu agar kecintaanmu terhadap sepak bola

tidak mengganggu sekolahmu?”

Siswa    : ”Bisa, Bu. Lain kali saya tidak akan terlambat ke sekolah, meskipun

habis nonton sepak bola.”

Guru     : ”Kamu merasa itu pilihan yang terbaik untukmu?”

Siswa    : ”Ya, Bu.”

(Guru mengangguk, lalu mempersilakan siswa masuk kelas).

Contoh 2 merupakan cara guru berkomunikasi secara empati dalam menyelesaikan persoalan siswa yang terlambat masuk sekolah. Pada contoh tersebut guru memosisikan diri pada persepsi dan perasaan siswa yang terlambat sehingga akhirnya siswa menyadari kekeliruannya dengan penuh kesadaran. Bahkan, siswa menemukan solusinya tanpa harus merasa ditekan atau diancam oleh guru. Kecintaannya pada sepak bola tidak dicela oleh guru.

c.    Berkomunikasi secara Santun

Berdasarkan Kamus Besar bahasa Indonesia (1990:781), santun memiliki makna halus dan baik (budi bahasanya, tingkah lakunya); sopan; sabar; dan tenang. Kesantunan dalam konteks yang lebih luas, tidak merujuk kepada kesantunan berbahasa semata-mata tetapi juga merujuk kepada aspek nonverbal seperti tingkah laku, mimik muka, dan nada suara.

Berdasarkan pengertian di atas, komunikasi santun dapat diartikan sebagai komunikasi yang dilaksanakan dengan halus, baik dan sopan baik menyangkut budi bahasa maupun tingkah laku. Ketika berkomunikasi dalam proses pembelajaran, guru harus memerhatikan kesantunan baik dalam bentuk sikap maupun bahasa yang digunakan. Bahasa yang digunakan menggunakan bahasa yang baik dan benar serta sesuai dengan norma-norma budaya yang berlaku.

Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan demi kelancaran komunikasi. Oleh karena itu, masalah tatacara berbahasa ini harus mendapatkan perhatian. Dengan mengetahui tatacara berbahasa diharapkan orang lebih bisa memahami pesan yang disampaikan dalam komunikasi karena tatacara berbahasa bertujuan mengatur serangkaian hal berikut.

1)   Apa yang sebaiknya dikatakan pada waktu dan keadaan tertentu?

2)   Ragam bahasa apa yang sewajarnya dipakai dalam situasi tertentu?

3)   Kapan dan bagaimana giliran berbicara dan pembicaraan dapat diterapkan?

4)   Bagaimana mengatur kenyaringan suara ketika berbicara?

5)   Bagaimana sikap dan gerak-gerik ketika berbicara?

6)   Kapan harus diam dan mengakhiri pembicaraan?

Berikut adalah beberapa contoh komunikasi santun secara verbal dalam proses pembelajaran:

1. “Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau ke belakang!”

Tuturan di atas terasa lebih halus dan sopan daripada menggunakan tuturan: “Pak, mohon izin keluar sebentar, saya mau berak!”

2. “Sebenarnya, kalian bisa mendapatkan nilai yang lebih bagus dari sekarang, asal kalian belajar lebih giat dan tekun. Jika tidak mengerti kalian bisa bertanya kepada teman atau guru”.

Tuturan di atas merupakan respons guru terhadap hasil belajar siswa yang belum mencapai hasil yang diharapkan.  Sebenarnya guru dihadapkan pada keadaan bahwa siswanya menjengkelkan, bodoh, dan malas. Namun, guru tetap harus dapat menggunakan bahasa yang santun kepada siswanya. Secara psikologis tuturan guru yang tidak santun akan berakibat fatal pada siswa.

Selain unsur verbal, unsur-unsur nonverbal seperti paralinguistik dan kinetik pun perlu diperhatikan dalam berkomunikasi secara santun. Unsur paralinguistik berkenaan dengan ciri-ciri bunyi seperti suara berbisik, suara meninggi, suara rendah, suara sedang, suara keras, atau pengubahan intonasi yang menyertai unsur verbal dalam berbahasa. Penutur harus memahami kapan unsur-unsur ini diterapkan ketika berbicara dengan orang lain kalau ingin dikatakan santun. Misalnya, ketika di kelas siswa mau bertanya kepada guru,  jangan berbisik atau dengan suara rendah. Tentu tidak akan didengar guru dan teman-temannya. Sebaiknya menggunakan suara yang sedang. Juga jangan bersuara keras, karena hal tersebut menunjukkan ketidaksantunan dalam bertutur di kelas.

Gerak tangan, anggukan kepala, gelengan kepala, kedipan mata, dan ekspresi wajah seperti murung dan senyum merupakan contoh unsur kinestetik yang juga perlu diperhatikan ketika berkomunikasi. Apabila penggunaannya bersamaan dengan unsur verbal dalam berkomunikasi, fungsinya untuk memperjelas unsur verbal.

Misalnya, seorang siswa disuruh guru mengerjakan soal di depan kelas karena tidak menguasai, anak menjawab “Tidak, tidak bisa, Bu. Soalnya susah sekali” (verbal) sambil menggelengkan kepala dan melambaikan tangan (kinestik). Seharusnya siswa dapat menolak permintaan guru dengan cara yang santun, dengan menjawab, “Maaf ibu saya belum memahami cara mengerjakan soal itu” (verbal). Guru mendengar jawaban siswa juga harus bisa bijaksana, mungkin dengan cara membujuk dan memotivasi siswa dengan tuturan yang membuat siswa percaya diri dan berani mencoba mengerjakan walaupun tidak yakin jawabannya benar. Guru sebaiknya bertutur, “Andi, silakan mencoba, Ibu percaya Andi bisa nanti akan ibu bantu”. Tuturan guru tersebut menjadikan hati siswa luluh dan mau mencoba mengerjakan soal yang ada di papan tulis.

Hal lain yang perlu diusahakan adalah menjaga suasana atau situasi komunikasi antara guru dan siswa. Ketika proses pembelajaran berlangsung, tidaklah sopan guru menggunakan telepon genggam atau menerima telepon dari luar, apalagi dengan suara keras. Kalau terpaksa menggunakan atau menerima telepon, sebaiknya izin kepada siswa.

Beberapa contoh sikap kurang santun siswa selama melaksanakan proses pembelajaran yang dapat menggangu suasana pembelajaran; 

(1) mendominasi pembicaraan ketika diskusi kelas, 

(2) berbincang-bincang dengan teman sebelah ketika guru sedang menjelaskan pelajaran, 

(3) melihat ke arah lain dengan gaya melecehkan guru yang baru menyampaikan materi di kelas, 

(4) tertawa kecil atau sinis.




Sumber. Modul Pengembangan Keprofesian Berkelanjutan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)  Sekolah Menengah Pertama (SMP) - Kelompok Kompetensi H Pedagogi: Komunikasi Efektif

Penulis. Abdul Kodir, M.Pd., Indrawati, Dr. M.Pd. Irman Yusron, S.Sos.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar