Anak dengan Hambatan Penglihatan / ketunanetraan
1. Pengertian Anak dengan Hambatan Penglihatan
Terdapat sejenis konsensus internasional untuk menggunakan dua jenis
definisi sehubungan dengan hambatan penglihatan, yaitu: Definisi legal (definisi berdasarkan peraturan p erundang-undangan), dan Definisi edukasional (definisi untuk tujuan pendidikan).
1) Definisi Legal
Definisi legal terutama dipergunakan oleh profesi medis untuk menentukan apakah seseorang berhak memperoleh akses terhadap keuntungan - keuntungan tertentu sebagai mana diatur oleh peraturan perundang - undangan yang berlaku, seperti jenis asuransi tertentu, bebas be a transportasi, atau untuk menentukan perangkat alat bantu yang sesuai dengan kebutuhannya, dsb. Dalam definisi legal ini, ada dua aspek yang diukur, yaitu ketajaman penglihatan dan medan pandang.
2) Definisi Pendidikan
Hambatan penglihatan adalah seseorang yang tidak dapat mempergunakan penglihatannya untuk pendidikan, sehingga untuk mengikuti pendidikan ia memerlukan pendekatan dan metode khusus serta alat bantu yang dimodifikasi ataupun alat bantu khusus yang tidak digunakan oleh anak -anak awas.
3) Definisi sosial
Ditinjau dari segi sosial: hambatan penglihatan adalah orang yang tidak sanggup ikut serta dalam kehidupan yang dilakukan ora ng-orang awas pada umumnya, karena tidak berfungsinya alat penglihatan mereka tidak dapat melakukan pekerjaan sebagaimana lazimnya yang dapat dilakukan oleh orang awas (tanpa menggunakan alat bantu khusus).
2. Penyebab ketunanetraan
Penyebab ketunanetraan, secara umum meliputi faktor keturunan (internal) , penyakit, dan kecelakaan (eksternal). Faktor keturunan (internal) merupakan faktor penyebab tunanetra yang lebih sering terjadi dibanding faktor penyakit dan kecelakaan.
1) Faktor Internal
Faktor internal merupakan penyebab ketunanetraan yang timbul dari dalam diri individu, yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar terjadi pada pernikahan antar keluarga dekat dan pernikahan antar tunanetra.
2) Faktor Eksternal
Faktor eksternal merupakan faktor penyebab ketunanetraan yang berasal dari luar diri individu. Penyebab ketunanetraan pada faktor ini dikelompokkan menjadi beberapa yaitu
1. Penyakit Rubella dan Sypilis
Rubella atau campak Jerman merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus yang berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Apabila seorang ibu hamil terkena virus rubella pada tri semester pertama ( 3 bulan pertama) maka virus tersebut dapat merusak pertumbuhan sel -sel pada janin dan merusak jaringan pada mata, telinga ata u organ lainnya. Sehingga kemungkinan besar anaknya lahir tunanetra atau tunarungu atau berkelainan lainnya. Demikian pula dengan penyakit Sypilis ( penyakit yang me n y e ra n g alat kelamin). Apabila penyakit Sypilis terjadi pada ibu hamil maka p e n y a k it tersebut akan merambat ke dalam kandungan sehingga dapat menimbulka n kelainan pada bayi yang dikandungnya atau bayi tersebut akan terkena penyakit ini sewaktu dilahirkan.
2. Glaukoma
Glaukoma merupakan suatu kondisi dimana terjadi tekanan yang berlebihan pada bola mata. Hal itu terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna pada saat pembentukan dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran pada bola mata, kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau.
3. Retinopati Diabetes
Retinopati Diabetes merupakan kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan dalam suplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit diabetes. Diabetes merupakan gangguan metabolisme
tubuh, dimana tubuh tidak cukup memproduksi insulin sehingga produksi gula darah meningkat dari ukuran normal. Gangguan metabolisme tubu h in i dapat merusak mata, ginjal, susunan saraf, dan pembuluh darah.
4. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina, dan sering ditemukan pada anak-anak. Gejala yang dapat dicurigai dari penyakit ini antara lain menonjolnya bola mata, adanya bercak putih pada pupil, strabismus (juling), glaukoma, mata sering merah atau penglihatnnya ser in g menurun.
5. Kekurangan Vitamin A
Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Dengan adanya vitamin A tubuh lebih efisien dalam menyerap protein yang dikonsumsi. Kekurangan vitamin A dapat menyebabkan kerusakan pada mata, yaitu kerusakan pada sensivisitas retina terhadap cahaya (rabun senja) dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi yang terdapat pada celah kelopak mata, disertai pengerasan dan penebalan epitel. Pada saat mata bergerak akan tampak lipatan pada konjungtiva bulbi. Dalam keadaaan parah hal ini dapat merusak retina, dan apabila keada an ini tetap d ib iar k an , akan terjadi ketunanetraan.
6. Terkena Zat Kimia
Disamping memberikan manfaat bagi manusia, zat -zat kimia juga dapat merusak apabila penggunaannya tidak hati-hati. Zat kimia tertentu, seperti zat etanol dan aseton apabila mengenai kornea akan mengakibatkan ker in g dan terasa sakit. Selain itu zat-zat lain seperti asam sulfat dan asam tannat yang mengenai kornea akan menimbulkan kerusakan, bahkan dapat menimbulkan ketunanetraan.
7. Kecelakaan
Kecelakaan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan ketunanetraan apabila kecelakaan tersebut mengenai mata atau saraf mata.
Benturan keras mengenai saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan atau ketunanetraan.
3. Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan
1) Karakteristik Anak Dengan Hambatan Penglihatan dalam Aspek Akademis
Hambatan penglihatanan secara langsung berpengaruh pada perkembangan dan belajar dalam hal yang bervariasi. Lowenfeld menggambarkan dampak kebutaan dan low vision terhadap perkembangan kognitif, dengan mengidentifikasi keterbatasan yang mendasar pada anak dalam tiga area berikut ini:
a) Tingkat dan keanekaragaman pengalaman
Ketika seorang anak mengalami hambatan penglihatanan, maka pengalaman harus diperoleh dengan mempergunakan indera-indera yang masih berfungsi, khususnya perabaan dan penglihatan.
b) Kemampuan untuk berpindah tempat.
Penglihatan memungkinkan kita untuk bergerak dengan leluasa dalam suatu lingkungan, tetapi hambatan penglihatan mempunyai keterba tasan dalam melakukan gerakan tersebut..
c) Interaksi dengan lingkungan.
Jika anda berada disuatu tempat yang ramai, anda dengan segera bisa melihat ruangan dimana anda berada, melihat orang -orang disekitar, dan anda bisa dengan bebas bergerak di lingkungan tersebut.
Menurut Tillman & Obsorg (1969), ada beberapa perbedaan antara anak hambatan penglihatan dan anak awas yaitu:
a) Anak-anak hambatan penglihatan menyimpan pengalaman -pengalaman khusus seperti anak awas, tetapi pengalaman -pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
b) Anak-anak hambatan penglihatan mendapat angka yang ha mp ir s a ma dengan anak awas dalam hal berhitung, informasi, dan kosa kata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman (comprehension) dan persamaan.
c) Kosa kata anak-anak hambatan penglihatan cenderung merupakan kata-kata yang definitif, sedangkan anak awas menggunakan arti yang le b ih luas. Contoh, bagi anak hambatan penglihatan kata malam berarti gelap atau hitam, sedangkan bagi anak awas, kata malam memp unyai makna cukup luas, seperti malam penuh bintang atau malam yang indah dengan sinar purnama.
Studi yang dilakukan oleh Kephart & Schwartz (1974), juga menunjukkan bahwa anak-anak yang mengalami gangguan penglihatan yang berat cenderung memperoleh kemampuan berkomunikasi secara lisan, dan mampu berprestasi, seperti anak awas (ada beberapa tes standar). Di lain pihak kemampuan mereka untuk memproses informasi sering berakhir dengan pengertian yang terpecah-pecah atau kurang terintegrasi, sekalipu n dalam konsep yang sederhana.
Dengan demikian, berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa hambatan penglihatanan dapat mempengaruhi prestasi akademik para penyandangnya. Disamping itu peningkatan dalam penggunaan media pembelajaran yang bersifat auditory d an taktil dapat mengurangi h a mb a t an dalam kegiatan akademik siswa. Disamping itu penglihatan merupakan indra mereka yang dapat digunakan untuk mencapai kesuksesan. Kesuksesan yang mereka peroleh karena mereka mempunyai bakat (talented) diantaranya dalam bidang musik.
2) Karakteristik Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Pribadi dan Sosial
Beberapa literatur mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak hambatan penglihatan yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari kebutaannya adalah:
a) Curiga pada orang lain
Keterbatasan rangsangan visual/penglihatan, menyebabkan anak hambatan penglihatan kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan mobilitasnya pun terganggu.
b) Mudah tersinggung
Pengalaman sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa dapat mempengaruhi hambatan penglihatan sehingga tekanan -tekanan suara tertentu atau singgungan fisik yang tidak sengaja dari orang lain dapat menyinggung perasaannya.
c) Ketergantungan pada orang lain
Sifat ketergantungan pada orang lain mungkin saja terjadi pada hambatan penglihatan. Hal tersebut mungkin saja terjadi karena ia belum berusaha sepenuhnya dalam mengatasi kesulitannya sehingga selalu mengha ra pk a n pertolongan orang lain.
3) Karakteristik Anak Hambatan penglihatan dalam Aspek Fisik/sensoris danMotorik/perilaku
a) Aspek fisik dan sensoris
Dilihat secara fisik, akan mudah ditentukan bahwa orang tersebut mengalami hambatan penglihatan. Hal tersebut dapat dilihat dari kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang kurang ajeg serta agak kaku. Pada umu mn y a k o n d is i mata hambatan penglihatan dapat dengan jelas dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang hambatan penglihatan ada yang terlihat putih semua, tidak ada bola matanya atau bola matanya agak menonjol keluar. Namun ada juga yang secara anatomis matanya, seperti orang awas sehingga kadang-kadang kita ragu kalau dia itu seorang hambatan penglihatan, tetapi kalau ia sudah bergerak atau berjalan akan tampak bahwa ia hambatan penglihatan.
Dalam segi indra, umumnya anak hambatan penglihatan menunjukkan kepekaan yang lebih baik ada indra penglihatan dan perabaan dibanding anak awas. Namun kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara otomatis , melainkan melalui proses latihan.
b) Aspek Motorik/Perilaku
Ditinjau dari aspek motorik/perilaku anak hambatan penglihatan menunjukkan karakteristik sebagai berikut:
❖ Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Oleh karena keterbatasan penglihatannya anak hambatan penglihatan tidak bebas bergerak, seperti halnya anak awas. Dalam melakukan aktivitas motorik, seperti jalan, berlari atau melompat, cenderung menampakkan gerakan yang kaku dan kurang fleksibel.
❖ Perilaku stereotipee (stereotypic behavior)
Sebagian anak hambatan penglihatan ada yang suka mengulang -ngulang gerakan tertentu, seperti mengedip -ngedipkan atau menggosok-gosok matanya. Perilaku seperti itu disebut perilaku stereotipee ( stereotypic behavior). Perilaku stereotipe lainnya adalah menepuk-nepuk tangan.
Disamping karakteristik di atas, berikut ini aka n dikemukakan aktivitas- aktivitas motorik yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat ( low vision).
❖ Selalu melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik -titik benda. Dengan mengerutkan dahi, ia mencoba melihat benda yang ada di sekitarnya.
❖ Memiringkan kepala apabila akan memulai melakukan suatu pekerjaan.
Hal itu dilakukan untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dan daya lihatnya.
❖ Sisa penglihatannya mampu mengikuti gerak benda. Apabila ada benda
bergerak di depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda tersebut sampai benda tersebut tidak tampak lagi.
4. Klasifikasi Hambatan Penglihatan
1) Klasifikasi berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
a) Hambatan penglihatan Ringan ( defective Vision), yaitu mereka yang mengalami kekurangan daya penglihatan ringan, seperti: rabun senja, juling, dan myopia. Kelompok ini dapat mengikuti program pendidikan biasa di sekolah-sekolah umum dan dapat menggunakan media tulisan pika ukuran 12. Kelompok ini juga masih bisa melakukan pekerjaan yang membutuhkan penglihatan dengan baik.
b) Hambatan penglihatan Setengah Berat ( partially sighted/low vision), yaitu mereka yang kehilangan sebagian penglihatannya. Seseorang dikatakan mempunyai penglihatan low vision atau kurang lihat apabila hambatan penglihatanannya berhubungan dengan kemamp u a n ny a dalam melakukan kegiatan sehari-hari. Saluran utama dalam belajar mempergunakan penglihatan dan alat bantu baik yang direkomendasik a n oleh dokter maupun bukan. Media huruf yang dipergunakan sangat bervariasi tergantung pada sisa penglihatan dan alat bantu yang dipergunakannya. Latihan orientasi dan mobilitas diperlukan oleh siswa low vision untuk mempergunakan sisa penglihatannya.
c) Hambatan penglihatan Berat (totally blind), yaitu mereka yang sama sekali tidak dapat melihat atau kemampuan melihatnya sangat parah, sehingga masyarakat pada umumnya menyebut buta. Seseorang dikatakan buta apabila mempergunakan kemampuan perabaan dan penglihatan sebagai saluran utama dalam belajar. Orang seperti ini biasanya mempergunakan huruf Braille sebagai media membaca dan memerlukan latihan orientasi dan mobilitas.
2) Klasifikasi Berdasarkan Tingkat Sisa Penglihatan
a) Buta Total (visus 0);
b) Masih memiliki persepsi cahaya (visus 2/200 sd 5/200);
c) Masih memiliki persepsi objek (visus 5/200 sd 10/200);
d) Kurang lihat (low vision/partially sighted).
Klasifikasi berdasarkan tingkat sisa penglihatan ini dapat digunakan untuk menentukan bentuk pelayanan pendidikan.
3) Klasifikasi Berdasarkan waktu terjadinya, yaitu hambatan penglihatanan:
a) Sebelum lahir/prenatal (sejak dalam kandungan)hambatan penglihatanan terjadi karena kasus ibu hamil yang mengidap penyakit menular ke janin, saat hamil terjatuh, keracunan makanan atau obat, usaha engguguran/aborsi, serangan virus misalnya taxoplasma, bisa juga karena herediter.
b) Sekitar saat kelahiran (natal)
Hambatan penglihatanan bisa terjadi pada proses kelahiran yang sulit sehingga menggunakan alat bantu kelahiran alat sedot, penjepit, dll, prose s kelahiran yang lama sehingga bayi terjepit dan kekurangan oksigen, terkena virus GO Blenorhoe (sipilis) yang dialami oleh ibu.
c) Masa balita
d) Usia Sekolah;
e) Masa Remaja;
f) Masa Dewasa;
g) Masa Tua
Klasifikasi berdasarkan waktu terjadinya ini dapat digunakan untuk menentukan bentuk penanganan psikologis hambatan penglihatanan.
4) Klasifikasi Berdasarkan lapangan penglihatan, terdapat tiga kategori yaitu memiliki kemampuan melihat:
a) Ke samping (peripheral vision);
b) Ke tengah(central vision);
c) Cerobong (tunnel vision).
Klasifikasi ini menentukan bentuk pelayanan pendidikan.
5) Klasifikasi Pedagogis
a) Anak hambatan penglihatan pra sekolah, yaitu anak -anak yang berusia kurang dari lima tahun atau disebut anak hambatan penglihatan balita;
b) Anak hambatan penglihatan usia sekolah, yaitu anak hambatan
penglihatan yang berusia enam tahun sampai delapan belas tahun yang mengikuti pendidikan formal;
c) Anak hambatan penglihatan yang berusia lima belas tahun ke atas yang sudah atau belum pernah mengikuti pendidikan formal serta belum bekerja. Mereka memerlukan pendidikan untuk mempersiapkan diri agar kelak dapat bekerja, mandiri, dan bertanggungjawab.
5. Identifikasi dan Asesmen Anak Dengan Hambatan Penglihatan
a. Pengertian
Istilah identifikasi secara harfiah dapat diartikan menemukan atau menemukenali. Identifkasi anak dengan hambatan penglihatan dimaksudkan merupakan suatu usaha seseorang (orang tua, dokter mata, guru, maupun tenaga kependidikan lainnya) untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan/penyimpangan atau hambatan dalam penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya (anak-anak normal).
Dalam istilah sehari-hari, identifikasi sering disebut dengan istilah penjaringan, sedangkan asesmen disebut dengan istilah penyaringan. Kegiatan identifikasi sifatnya masih sederhana dan tujuannya lebih ditekankan pada menemukan (secara kasar) apakah seorang anak tergolong anak yang mengalami gangguan penglihatan/tunanetra atau bukan. Maka biasanya identifikasi dapat dilakukan oleh orang -orang yang dekat (sering berhubungan/bergaul) dengan anak, seperti orang tuanya, pengasuhnya, gurunya, dan pihak-pihak yang terkait dengannya. Sedangkan langkah berikutnya, yang sering disebut asesmen, bila diperlukan dapat dilakukan oleh tenaga profesional, seperti dokter mata, psikolog, neurolog, orthopedagog, dan lain-lain. Jadi tahap ini merupakan tahap awal untuk menemukenali anak-anak yang diduga mengalami gangguan penglihatan atau tunanetra.
b. Tujuan
Tujuan identifikasi adalah untuk menghimpun informasi yang lengkap tentang identitas dan data diri anak, orang tua, dan untuk mengetahui apakah seorang anak mengalami kelainan penglihatan dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya yang awas/normal. Mengetahui kemampuan melihat yang masih dimiliki, mengetahui penyebab ketunanetraan, dll. Hasil identifikasi ini akan dijadikan data untuk dilanjutkan pada asesmen yang akan dijadikan dasar untuk penyusunan program pembelajaran sesuai dengan kondisi penglihatannya.
c. Sasaran Identifikasi
Secara umum sasaran identifikasi anak dengan hambatan penglihatan adalah seluruh anak usia pra-sekolah dan usia sekolah dasar . Sedang k an secara khusus (operasional), sasaran identifikasi anak dengan hambatan penglihatan adalah:
• Anak-anak usia sekolah yang terdaftar di rumah sakit mata sebagai pasien yang mengalami gangguan penglihatan;
• Anak yang sudah bersekolah di Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang akan masuk ke Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah;
• Anak yang belum/tidak bersekolah karena orangtuanya merasa anakn y a tergolong anak yang mengalami ketunanetraan sedangkan lokasi SLB jauh dari tempat tinggalnya; sementara itu, semula SD terdekat belum/tidak mau menerimanya;
• Anak yang drop-out Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah karena factor akademik.
a) Petugas Identifikasi
Untuk mengidentifikasi seorang anak apakah tergolong anak dengan hambatan penglihatan atau bukan, dapat dilakukan oleh: Guru kelas, Orang tua anak; dan/atau Tenaga professional terkait
b) Instrumen Identifikasi
Secara sederhana ada beberapa aspek informasi yang perlu mendapatkan perhatian dalam pelaksanaan identifikasi. Contoh alat identifikasi sederhana untuk membantu guru dan orang tua dalam rangka menemukenali anak dengan hambatan penglihatan antara lain sebagai berikut :
• Instrumen untuk mengumpulkan data/Informasi riwayat perkembangan anak;
• Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi orangtua anak/wali siswa;
• Instrumen untuk mengumpulkan data/informasi profil kondisi penglihatan anak.
d. Gejala-gejala gangguan Penglihatan
1) Gejala-gejala buta total:
❖ Corena tidak bening atau tidak rata;
❖ Cairan aquous keruh;
❖ Pupil tidak dapat berakomodasi secara normal;
❖ Iris tidak bekerja sesuai fungsinya;
❖ Lensa keruh dan tidak berakomodasi;
❖ Cairan vitreous tidak bening;
❖ Retina macula tidak sensitive terhadap cahaya;
❖ Bola mata terlalu besar atau terlalu kecil;
❖ Bola mata tertutup selaput putih;
❖ Syaraf mata tidak berfungsi normal;
❖ Otot-otot mata tidak berakomodasi secara normal;
2) Gejala-gejala Low Vision:
❖ Mencoba “melihat” apa yang didekatnya;
❖ Mencoba “melihat titik-titik;
❖ Dapat bergerak dengan percaya diri di lingkungannya;
❖ Orientasi “visual” apabila ada rangsang cahaya pada mata;
❖ Menunjukkan respon terhadap adanya cahaya dan warna;
❖ Melirikkan mata terhadap sesuatu yang kena sinar;
❖ Dapat menghindari rintangan-rintangan/benda yang besar;
❖ Menunjukkan perhatian kepada sesuatu yang bergerak di sekitarnya;
❖ Terkejut apabila sesuatu yang mendekat secara tiba-tiba;
❖ Memiringkan kepala secara tidak wajar apabila melakukan suatu pekerjaan;
❖ Menunjukkan tanda-tanda dapat mengikuti sesuatu dengan penglihatannya;
❖ Menunjukkan respon terhadap bayangan;
❖ Mencari sesuatu yang jatuh menggunakan penglihatannya;
❖ Menjadi penuntun bagi teman-temannya yang buta (totally blind);
❖ Tertarik terhadap permainan yang menggunakan penglihatan;
❖ Menggerak-gerakkan tangannya apabila sedang berbicara
3) Asesmen Ketunanetraan
a. Pengukuran Visus
Pengukuran dilakukan menggunakan Snelen Chart.
Visus normal
adalah 20/20 (ukuran feet), atau 6/6 (dengan satuan ukuran meter). Penghitungan Visus menggunakan rumus: V = d/D.
(V = visus atau ketajaman penglihatan; d = jarak antara kartu Snelen dengan mata orang yang sedang diukur; D = jarak baca penglihatan normal. )
1) Pengukuran lapang pandang/penglihatan
Lapang pandang yang normal adalah 1800 yang diukur dengan alat campimetri.
2) Pengukuran Penglihatan Warna
Buta warna yang paling sering terjadi adalah terhadap warna merah d an atau hijau dan biasanya menurun pada anak laki -laki. Meskipun demikian buta warna juga terjadi terhadap warna biru dan atau kuning. Ada beberapa tes yang dapat digunakan untuk melakukan tes buta warna akan tetapi tes yang paling dikenal oleh guru adalah tes warna Ishihara. Tes ini berupa kartu yang berisi bercak-bercak warna yang membentuk huruf atau angka tertentu yang dilatarbelakangi oleh warna-warna lain sebagai pengecoh. Testee diminta untuk melihat kartu tersebut dan mengatakan apakah melihat angka atau tidak pada kartu tersebut. Jika testee mengalami buta warna maka dia tidak melihat atau angka huruf pada kartu.
4) Asesmen Kemampuan Akademik Anak dengan hambatan penglihatan
Assesmen akademik adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak dalam upaya mendapatkan gambaran yang jelas dan lengkap tentang kemampuan akademik anak sebagai anggota keluarga. Apakah kemampuan akademik ini sesuai dengan usianya? Hal ini akan membantu dan dipakai pertimbangan dalam penempata n anak tersebut . oleh karena itu asesmen ini dimaksudkan untuk menentukan penempatan anak pada jenjang atau program pendidikan dan rehabilitasi yang tepat, sehingga anak dapat mempelajari hal-hal baru berdasarkan kemampuan akademik yang dimiliki. Asesmen ini dapat dilakukan dengan tes dan non tes (wawancara).
5) Asesmen Keterampilan Anak dengan hambatan penglihatan
Asesmen keterampilan adalah penilaian yang dilakukan terhadap diri anak dalam upaya mendapatkan gambaran ya ng jelas tentang keterampilan yang dimilikinya, terutama keterampilan kegiatan kehidupan sehari -hari. Asesmen ini dimaksudkan agar guru dapat melatih dan mengajarkan keterampilan-keterampilan baru berdasarkan keterampilan yang telah dimiliki dan dikuasai serta untuk mengoreksi dan mengevaluasi keterampilan-keterampilan yang dikembangkan anak sendiri secara kurang tepat. Asesmen ini dapat dilakukan dengan tes perbuatan dan atau observasi.
6. Dampak anak dengan Hambatan Penglihatan pada Fungsi Kognitif
Anak dengan hambatan penglihatan memiliki dampak terhadap belajar , perkembangan, ketreampilan sosial dan perilakunya. Kemampuan kognitif berbeda dengan anak lainnya. Kemampuan berpindah tempat mereka amat terbatas sehingga pengalaman sebagai faktor pembentuk kemampuan kognitif mereka juga sangat terbatas, Didi Tarsidi dalam tulisannya yang berjudul “Dampak Ketunanetraan terhadap Fungsi Kognitif Anak” mengemukakan bahwa individu tunanetra menyandang kelainan dalam struktur fisiologisnya, dan mereka harus menggantikan fungsi indera penglihatan dengan indera-indera lainnya untuk mempersepsi lingkunganya. Selanjutnya beliau Banyak di antara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman visual, sehingga konsepsi mereka tentang dunia ini sejauh tertentu mungkin berbeda dari konsepsi orang awas pada umumnya. Satu perbedaan penting lainnya antara perabaan dan penglihatan adalah bahwa perabaan menuntut jauh lebih banyak upaya sadar untuk memfungsikannya. Sebagaimana diamati oleh Lowenfeld (Hallahan & Kauffman, 1991 ), indera perabaan pada umumnya hanya berfungsi bila aktif dipergunakan untuk keperluan kognisi, sedangkan penglihatan aktif dan berfungsi selama mata terbuka. Oleh karena itu, untuk memperkaya kognisinya, anak tunanetra harus sering didorong untuk mempergunakan indera perabaannya untuk keperluan kognisi. Akan tetapi, di dalam masyarakat kita, di mana obyek - obyek tertentu ditabukan untuk diraba, dorongan untuk mempergunakan
indera perabaan itu sering harus dibatasi demi menghindari perilaku ya ng bertentangan dengan norma-norma sosial. Lebih jauh belaiu mengatakan Seberapa besar perbedaannya dari anak awas, perkembangan konsep anak tunanetra itu akan sangat tergantung pada dua faktor, yaitu tingkat ketunanetraannya dan usia terjadinya ketunanetraan itu (Hallahan & Kauffman, 1991). Anak yang berkesempatan memperoleh pengalaman visual sebelum menjadi tunanetra, sejauh tertentu akan dapat memanfaatkannya untuk memahami konsep -konsep baru. Anak yang tunanetra sejak lahir pada umumnya akan lebih berga ntung pada indera taktualnya untuk belajar tentang lingkungannya daripada mereka yang ketunanetraannya terjadi kemudian. Demikian pula, anak yang buta total akan lebih bergantung pada indera taktual untuk pengembangan konsepnya daripada mereka yang masih memiliki sisa penglihatan yang fungsional ( low vision).
7. Progsus Bagi Anak dengan Hambatan Penglihatan
Program kebutuhan khusus merupakan suatu layanan intervensi dan/atau pengembangan yang dilakukan sebagai bentuk kompensasi atau penguatan akibat kelainan yang dialami anak berkebutuhan khusus dengan tujuan meminimalkan hambatan dan meningkatan akses dalam mengikuti pendidikan dan pembelajaran yang lebih optimal. Program kebutuhan khusus bukan mata pelajaran, tetapi wajib diberikan sesuai kebutuhan peserta didik.
Program kebutuhan khusus bagi anak dengan hambatan penglihatan yaitu Pengembangan Orientasi, Mobilitas, Sosial dan Komunikasi (POMSK) .
a. Pengembangan Orientasi dan Mobilitas
Pengembangan kemampuan orientasi mobilitas adalah merupakan pengembangan kemampuan, kesiapan dan kemampuan bergerak dari satu posisi/tempat ke satu posisi/tempat lain yang dikehendaki dengan baik, tepat, efektif, dan selamat. Melalui Pengembangan Orientasi Mobilitas, Peserta didik diharapkan mampu memasuki setiap lingkungan yang dikenal maupun tidak dikenal dengan efektif, aman, dan baik, tanpa banyak meminta bantuan orang lain.
b. Pengembangan Sosial
Pengembangan Kemampuan sosial merupakan pengembangan kemampuan membina hubungan antar manusia dan lingkungannya serta perilaku manusia dalam melaksanakan aktivitasnya sehari-hari secara mandiri tanpa banyak dibantu orang lain. Tujuan Pengembangan sosial ini adalah agar peserta didik mampu berinteraksi, beradaptasi dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan pribadi dan sosial di lingk ungan keluarga di sekolah dan masyarakat luas.
c. Pengembangan Komunikasi
Pengembangan komunikasi bagi peserta didik tunanetra bertujuan agar mereka mampu bersikap baik dan benar dalam berkomunikasi lisan, tulisan dan isyarat secara ekspresif menyenangkan baik menggunakan alat komunikasi manual maupun elektronik.
Sumber Utama : Marja. 2019. Pendalaman Materi : Pendidkan Khusus (PKh)/Pendidikan Luar Biasa (PLB) Modul 2 : Pendidikan Bagi Anak Dengan Hambatan Penglihatan, Kemendikbud.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar