Analisis dan Refleksi Penelitian Tindakan Kelas PTK


 

Analisis dan Refleksi Penelitian Tindakan Kelas PTK

Analisis adalah kegiatan yang dilakukan menelaah suatu objek, diuraikan menjadi bagian-bagian, dan mencermati unsur-unsumya. Ketika berbagai unsur yang diuraikan tersebut ditemukan kesamaan esensialnya dan kemudian dapat kita satukan, maka upaya menyatukan itu disebut sintesis. Berpikir induktif adalah berpikir yang didasarkan pada pengalaman keseharian kemudian dicari abstraksinya, atau dari kasus-kasus kemudian dicari sifat umumnya. Sedangkan berpikir deduktif adalah berangkat dari hal yang abstrak, hal yang berlaku umum, misalnya: jumlah seluruh sudut setiap segitiga sama dengan 180 derajat, atau dari konsep alat rumah tangga dapat kita deduksikan atau kita jabarkan menjadi beragam segitiga yang semuanya memiliki jumlah sudut 180 derajat, akan menjadi beragam kursi tamu, kursi makan, kompor, tempat tidur, almari dan lainnya.

Untuk berpikir induktif memerlukan fakta empiris yang cukup sebagai pendukung dalam melakukan abstraksi, untuk berpikir deduktif memerlukan bukti jabaran atau konsep abstrak yang cukup, sedangkan untuk berpikir reflektif memerlukan kemampuan untuk berpikir bolak-balik antara induksi-deduksi. Dalam berpikir reflektif lebih menunt kecerdasan dan kecakapan dalam menangkap makna dan esensi dari sesuatu

Untuk dapat dikatakan berpikir induktif dan deduktif secara berkualitas, seseorang harus mampu mengumpulkan dukungan empiris atau bukti jabaran secara luas. Sedangkan pada refleksi, untuk dapat dikatakan berkualitas, bukan terletak luasnya dukungan empiris atau dukungan bukti jabarannya melainkan lebih pada tertangkapnya esensi dan makna, meskipun dukungan pembuktian kurang. Namun demikian, hasil kerja refleksi yang bermutu biasanya cenderung lebih dalam kebermaknaannya daripada kerja induksi atau deduksi.

1. Analisis, Refleksi, dan Tindakan

Tiga aktivitas pikir yang sangat penting dalam penelitian tindakan kelas adalah melakukan analisis, melakukan refleksi, dan merancangkan tindakan. Dalam penelitian tindakan kelas, ketiga aktivitas tersebut dilakukan secara berkelanjutan Aktivitas berpikir berkelanjutan tersebut dapat berlangsung secara linear-konvergen dan dapat pula secara horizontal-divergen. Berpikir linear-konvergen merupakan suatu cara yang sudah sangat kita kenal dan malahan secara kurang kita sadari alur berpikir kita lebih banyak didominasi alur pikir linear-konvergen. Contoh-contoh berpikir linear-konvergen di antaranya: mencari hubungan sebab-akibat, melakukan analisis dan penataan secara hierarkis, dan membuat sintesis dari kesamaan karakteristik dari hasil analisis.

Melakukan analisis, refleksi, dan tindakan dalam kerangka berpikir yang horinzontal-divergen itu semakin diperlukan karena banyaknya perubahan yang sangat cepat, tingginya kecanggihan teknologi, dan banyaknya tuntutan untuk lebih kreatif. Untuk memberikan gambaran tentang analisis, refleksi, dan tindakan tersebut,

berikut ini disajikan dua ilustrasi berikut ini. Contoh: "rendahnya minat baca pada siswa." Jika kita terkungkung pada pemikiran bahwa rendahnya minat baca siswa itu karena bacaan kurang berkualitas, berarti kita membangun analisis dan refleksi hubungan sebab akibat. Di antaranya adalah bacaan tidak menarik karena tidak ada gambar, tidak lucu, kurang ada contoh-contoh, dan sejenisnya. Ketika pemikiran kita lebih terbuka, maka berpikir kita bergerak horizontal untuk mencari relevansi lain. Misalnya: rendahnya minat baca mungkin karena siswa terlalu banyak nonton TV, mungkin karena memang buku bacaan kurang, mungkin karena anak telah lelah bermain, atau bahkan mungkin karena anak terlalu lelah membantu orang tua bekerja mencari tambahan penghasilan keluarga. Namun demikian, pola berpikir semacam ini dapat pula menyebabkan kita menjadi terkungkung kembali ke dalam suatu kerangka pemikiran sebagai orang yang berminat pada pencegahan kesewenang-wenangan memperkerjakan anak. Jika demikian, maka analisis dan refleksinya dapat menjadi linear-konvergen yakni berkonsentrasi pada masalah kesewenang-wenangan mempekerjakan anak sebagai penyebab rendahnya minat baca anak.

Contoh lain adalah: "menurunnya prestasi belajar siswa." Jika kita berpikir agar dalam mengkaji penyebab menurunnya prestasi belajar siswa itu jangan hanya terpusat pada keterkaitannya dengan IQ yang siswa, maka berarti kita sudah bergerak ke arah berpikir horizontal-devergen. Dengan menelaah dua ilustrasi di atas dapat memberikan gambaran yang lebih jelas dan lebih mudah dipahami berkenaan dengan analisis dan refleksi yang perlu dilakukan secara berkelanjutan. Selanjutnya, guru berupaya untuk tidak terkungkung pada analisis dan refleksi yang linear-konvergen saja, tetapi juga dapat secara cermat melakukan analisis dan refleksi secara horizontal-devergen.

Dalam penelitian tindakan kelas, mengembangkan kemampuan berpikir reflektif atau mengembangkan kemampuan mencermati kembali secara lebih rinci menjadi sentral pada model berpikir kelima ahli tersebut. Refleksi merupakan upaya mengenal kembali secara lebih rinci dan menjelajah kembali agar mengenal lebih rinci. Kegiatan melakukan refleksi dalam penelitian tindakan kelas perlu dilanjutkan dengan membuat perencanaan baru atau tindakan baru atau menjelaskan kekurangan implementasi tindakan. Secara metodologis, refleksi merupakan upaya melakukan deduksi dan induksi secara bergantian dan cepat serta mampu menyajikan konsep esensial dan bermakna.

Dalam refleksi juga harus mampu menyajikan evidensi. Evidensi adalah suatu konsep yang dalam pengalaman keseharian memang cocok dengan keadaan senyatanya Jadi, dalam evidensi ini konsep teoritik dihadapkan dengan fakta empiris serta tuntutan tindakan. Dengan cara berpikir reflektif diharapkan menghasilkan tindakan yang dapat membawa perubahan ke arah perbaikan kualitas. Pertanyaannya adalah apakah guru mampu melakukan semuanya ini? Karena guru kaya dengan pengalaman empiris dan terbiasa dituntut untuk mengadakan tindakan perbaikan bagi siswanya, maka sesungguhnya sudah memiliki bekal kemampuan untuk melakukan refleksi ke arah perbaikan dan peningkatan kualitas.

Untuk lebih memperjelas makna dan aplikasi analisis refleksi ini, berikut ini disajikan lagi suatu ilustrasi. Contoh: "Meningkatkan kemampuan belajar matematika pada siswa." Matematika itu adalah ilmu murni yang bersifat deduktif. Bagaimana guru dapat membelajarkan siswa SD tentang hitungan pecahan? Contoh-contoh berupa gambar (diagram) yang dibagi-bagi menurut pecahan tertentu atau menggunakan benda-benda yang bentuknya teratur sebagai peraga yang dapat dibagi-bagi sesuai keadaan bilangan pecahan, adalah cara-cara yang mungkin dapat membantu siswa memahami konsep-komsep pecahan dalam matematika. Konsep teoretis tentang ragam hitungan pecahan dan pengalaman guru menghadapi beragam anak serta tuntutan tindakan agar anak-anak paham pada konsep hitungan pecahan mendorong guru untuk lebih kreatif menemukan cara-cara pembelajaran yang lebih baik. Jika guru mampu menemukan cara-cara baru untuk membantu siswa mampu menyelesaikan hitungan pecahan, berarti guru itu mampu mengembangkan kreativitas dalam proses pembelajaran.

Bagaimana membantu dan membuat guru lebih kreatif? Jawabnya adalah gunakan analisis refleksi, bisa dalam bentuk linear-konvergen, bisa juga secara horizontal-divergen. Ketika guru membuat alat peraga untuk pecahan dengan sama pembaginya, berarti guru itu berpikir linear. Tetapi ketika guru menggunakan model alat peraga yang sama temyata mampu mendemonstrasikan pecahan dengan pembagi yang berbeda-beda, berarti guru itu mampu berpikir kreatif dan berpikir devergen.

Guru menghayati betul bagaimana sulitnya memberikan pemahaman kepada siswa SD tentang bilangan nol. Ketika guru menerangkan bilangan nol pada pejumlahan atau pengurangan, mudah sekali meragakannya. Namun, ketika menjelaskan kepada siswa agar paham tentang fungsi nol pada perkalian (x)" dan "pembagian () guru mengalami kesulitan untuk meragakannya. Akibatnya, seringkali yang terjadi bukan menerangkan dan meragakan agar siswa paham melainkan mengindoktrinasikan fungsi nol pada perkalian dan pembagian itu kepada siswa. Dalam konteks ini, guru perlu mengembangkan kemampuan berpikir divergen agar dapat menemukan cara-cara menjelaskan dan meragakan kepada siswa tentang fungsi nol pada perkalian dan pembagian.

Satu hal yang menarik dan perlu diingatkan di sini adalah salah satu pandangan psikologi kognitif yang mengatakan bahwa peragaan tidak selalu membantu proses berpikir, kadang-kadang justru menghambat proses berpikir. Matematika adalah muri ilmu deduktif. Peragaan dalam pembelajaran matematika memang dapat membantu upaya awal pemahaman konsep matematika, tetapi secara perlahan-lahan guru harus dapat membawa siswa siap untuk mampu berpikir mumi abstrak dalam matematika. Kapan dan pada titik konsep mana guru membawa siswa berpikir abstrak, itu perlu anda kaji. Pandangan psikologi kognitif di atas perlu diajukan di sini agar guru tidak terjebak terlalu sibuk mencari dan menemukan alat peraga untuk pembelajaran matematika, meskipun alat peraga itu perlu. Sebab, pada hakikatnya, dalam matematika fungsi memahami ilmu yang sifatnya abstrak dan deduktif itu sangat penting. 

2. Analisis, Refleksi, dan Evaluasi

Salah satu faktor penting dan mendasar yang harus diperhatikan dalam evaluasi penelitian tindakan kelas adalah sebaiknya guru jangan disibukkan pada evaluasi penelitian tindakan kelas. Mengapa demikian? Karena tugas utama guru adalah melaksanakan proses pembelajaran dan mengupayakan secara serius perbaikan proses pembelajaran yang dilakukan itu. Harus ditekankan bahwa yang harus dilakukan oleh guru secara serius adalah melaksanakan proses pembelajaran, memantau proses pembelajaran, mencermati hasil-hasil pembelajaran, dan memperbaiki proses pembelajaran. Tetapi mengevaluasi hasil penelitian sebaiknya jangan dibebankan pada guru agar tidak terlalu membebani guru dalam melaksanakan penelitian tindakan kelas

Sebenarnya ada dua alternatif yang dapat dilakukan untuk melakukan analisis, refleksi, dan evaluasi pada penelitian tindakan kelas. Pertama, jika digunakan bentuk penelitian tindakan kelas dan guru sebagai peneliti, maka rancangkanlah model penelitian dan evaluasi yang sederhana, baik instrumen perekaman maupun analisisnya sehingga guru tidak mengalami kesulitan. Kedua, jika digunakan bentuk penelitian tindakan kelas kolaboratif-partisipatoris, maka instrumen dan evaluasinya perlu dirancang lebih cermat dan juga mungkin lebih canggih. Sebaiknya, jangan membebankan tugas merekam dan menggunakan enstrumen evaluasi itu kepada guru, tetapi hendaknya dikerjakan oleh peneliti dari dosen perguruan tinggi kependidikan.

Pertanyaan penting yang perlu diajukan di sini adalah: Evaluasi yang bagaimana yang dapat dipandang sebagai evaluasi yang didukung oleh penyimpulan yang valid? Uji validitas penelitian tindakan kelas pada dasarnya terletak pada marupu tidaknya tidakan yang dilaksanakan dapat memecahkan, memperbaiki, atau meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil belajar siswa atau tidak. Konsep validitas dalam penelitian tindakan kelas semacam ini sejalan dengan pandangan yang dikemukakan oleh Chein (dalam Noeng Muhadjir, 1999) bahwa hasil penelitian tindakan itu valid bila tindakan itu memang aplikatif dan dapat berfungsi untuk memecahkan masalah yang dihadapi. Dengan demikian, kriteria validitas penelitian tindakan kelas terletak pada aplikatifnya atau berfungsinya tindakan untuk mengupayakan perbaikan atas masalah yang dihadapi oleh guru dalam proses pembelajaran dalam rangka meningkatkan hasil belajar siswa.

Berdasarkan kriteria tersebut, maka guru dapat membuktikan validitas penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan dengan bukti bahwa tindakan pembelajaran yang dilakukan berhasil meningkatkan hasil belajar siswa. Kriteria tersebut perlu dicksplisitkan agar guru tidak terbebani tugas lain, kecuali tugas meningkatkan kualitas profesioanalitasnya sebagai guru. Tugas guru meningkatkan profesionalitas berupa adanya upaya yang dilakukan secara berkelanjutan untuk melakukan analisis, refleksi, dan evaluasi agar terjadi perbaikan dan peningkatan kualitas proses pembelajaran. Ini perlu ditegaskan lagi karena tujuan utama penelitian tindakan kelas bukan untuk pengembangan ilmu, melainkan memecahkan permasalahan tindakan, agar diperoleh hasil tindakan yang lebih baik.




src. Mohammad Asrori, Penelitian Tindakan Kelas, Bandung, 2016, wacana prima h. 134-138

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar