Isu Kewarganegaraan dalam konteks Nasional
Dalam konteks nasional, isu kewarganegaraan cakupannya berkaitan dengan seluruh teritorial bangsa Indonesia yang kompleks. Nasional sendiri dapat diartikan sesuatu yang bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi suatu bangsa (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nasional).
Sementara dalam buku bahan ajar “Identitas Nasional” (Sulisworo, Wahyuningsih, dan Arif, 2012) dijelaskan bahwa Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu “natie” dan “nation”, artinya masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah yang memiliki unsur satu kesatuan bahasa, daerah, ekonomi, dan satu kesatuan jiwa yang terlukis dalam kesatuan budaya.
Dari penjelasan di atas, maka dapat dipahami bahwa kewarganegaraan adalah perihal kebangsaan atau berkenaan dengan bangsa sendiri yang meliputi unsur- unsur seperti kesatuan bahasa, kesatuan daerah, kesatuan ekonomi, kesatuan hubungan ekonomi, dan kesatuan budaya. Isu kewarganegaraan dalam konteks nasional secara garis besar akan meliputi isu-isu yang berkaitan dengan bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
1) Ideologi
Isu kewarganegaraan dalam konteks nasional pada bidang ideologi merupakan salah satu isu yang paling sering banyak dibicarakan. Indonesia telah lama dihujani isu-isu yang berdampak pada rasa kekhawatiran keberadaan dan kausalitas ideologi kita yaitu Pancasila yang akan memicu disintegrasi bangsa. Contohnya isu gerakan pembentukan negara khilafah di bumi Indonesia. Isu ini memicu disintegrasi, bahkan sampai menjadi bahan propaganda esensi kebenaran Jihad dalam Islam. Sehingga tidak sedikit umat beragama Islam di Indonesia yang terjebak di dalamnya. Sebut saja kelompok Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menginginkan terbentuknya negara Indonesia sebagai negara khilafah.
Dilain pihak selaku pemegang otoritas, pemerintah sejak 19 Juli lalu HTI resmi dibubarkan. Pemerintah mengkategorikannya sebagai organisasi anti Pancasila. Gagasan khilafah yang diusung dianggap bertentangan dengan dasar ideologi negara dan mengancam kesatuan Indonesia. Realitas ini tentu dapat mengganggu ketentraman bangsa Indonesia oleh karena orasi dan propaganda pihak HTI yang dianggap dapat melunturkan jiwa pancasilais bangsa Indonesia.
Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program pendidikan yang juga berfokus pada penanaman nilai-nilai Pancasila, secara esensial juga turut bertanggung jawab untuk membentuk karakter Pancasilais. Konsepsi ini tentu dapat menjadi solusi alternatif menyelesaikan persoalan isu pembentukan negara khilafah. Hal ini didukung oleh paradigma substantif-pedagogis Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yaitu untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air, dan mengembangkan semua potensi peserta didik yang menunjukkan karakter yang memancarkan nilai-nilai Pancasila (Winataputra, 2015). Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam frame pendidikan berperan memberi andil secara signifikan dalam membentuk warga negara yang cinta tanah air dan Pancasilais.
2) Pertahanan dan Keamanan
Separatisme adalah suatu paham yang mengambil keuntungan dari pemecah- belahan dalam suatu golongan (bangsa). Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain atau suatu negara lain. Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religious (Hartati, 2010). Kasus-kasus separatisme di Indonesia sering kali dihubungkan dengan Aceh melalui Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua melalui Organisasi Papua Merdeka (OPM). Untuk GAM, secara resmi melalui peran dan kebijakan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) Presiden Republik Indonesia ke-6. Pada tahun 2005 terjadi kesepakatan di kota Helsinki (Finlandia), yang diikuti dengan penetapan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam rangka menyelesaikan masalah atau konflik sosial di kalangan masyarakat, Pemerintahan SBY juga membentuk lembaga-lembaga dialog. Antara lain pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). SBY berperan memfasilitasi proses perjanjian untuk damai melalui dialog-dialog.
Untuk isu separatisme di Papua masih menjadi bara yang sewaktu-waktu siap untuk mengeluarkan api yang besar dan berefek merugikan bagi kedamaian negara persatuan Republik Indonesia. Intensitas dan kompleksitas konflik di Papua semakin menjadi-jadi tiap masanya. Tahun 2013 terjadi peningkatan intensitas konflik ketika aparat polisi menjadi lebih represif dalam 14 menghadapi kelompok-kelompok separatis Papua seperti national liberation army atau Organisasi Papua Merdeka. Kekacauan nasionalisme di tanah Papua ini sungguh menjadi PR besar bagi Indonesia dalam menata dan mendudukkan
kembali makna Negara kesatuan Republik Indonesia yang terlahir dari proses panjang dimasa masa lalu pada saat masa perjuangan kemerdekaan.
3) Ekonomi
Kesenjangan antara si kaya dengan si miskin, seakan menjadi jargon yang buruk bagi Indonesia. Tercatat, disparitas antara si kaya dengan si miskin masih saja menjadi momok bagi Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa faktanya pada maret tahun 2019 BPS 15 (Badan Pusat Statistik) melansir masih ada 25,14 juta penduduk indonesia tergolong miskin. Survey ini pada satu sisi ada perbaikan karena jumlahnya berkurang 810 ribu dari tahun sebelumnya.
(lihat https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190715132823-532-412205/jumlahpenduduk-miskin-ri-maret-2019-turun-jadi-2514-juta?)
Namun angka 25,14 juta itu bukanlah angka kecil. Karena berdampak pada kelompok yang berpendapatan rendah kesulitan untuk mengakses kebutuhan dan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan dan pendidikan.
Polemik marjin ekonomi warga, dalam konsep kewarganegaraan akan memicu rendahnya egality (perasaan atas kedudukan yang sama atau persamaan) yang berkaitan erat dengan civic virtue (kebajikan warga negara). Tentu dalam kontekstual civics ini kontradiktif dan perlu adanya reaktualisasi konsep pembelajaran economi civic yang lebih digalakkan lagi di sekolah-sekolah. Dalam konteks civic education, bahwa economic civic selain mengutamakan unsur keterampilan warga negara untuk cerdas bersikap dalam menentukan masa depannya dan sumbangsihnya pada negara dan bangsanya, juga harus mempertimbangkan sisi prinsip hidup yang saling menghormati atau menghargai (inilah sisi civic virtue-nya) atau egality. Simpulan ini diadaptasi dalam penjelasan materi perkembangan pembelajaran civics yang berorientasi pada community, economic, dan vocational civics (Wahab dan Sapriya, 2011).
Persoalan ekonomi akan memiliki efek negatif terhadap bidang politik dan budaya yang akan melahirkan diskriminasi maupun marjinalisasi. Untuk itu, guru dan segenap pemangku kepentingan ataupun agen pendidikan kewarganegaraan di Indonesia perlu memperhatikan sisi disposition warga negara dalam konteks aktualisasi perekonomiannya. Apalagi dalam dimensi pendidikan, khususnya Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan secara eksplisit bertanggung jawab pada pembinaan ekonomi warga negara yang kreatif dan terkontrol. Terkontrol dalam arti kreativitas ekonomi yang dibangun tetap dinetralisir dengan sikap berekonomi yang humanis yaitu menjaga prinsip menghargai dan menghormati, agar jangan sampai terjadi atau terciptanya disparitas atau marginalisasi dan diskriminasi yang mengakibatkan kecemburuan sosial atau bahkan perseteruan
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar