Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan seyogyanya harus secara terencana, terstruktur, dan terukur dengan baik untuk menerapkan pendidikan multikultural di institusi sekolah-sekolah. Melalui kerjasama seluruh stakeholder akan lebih memudahkan target tercapainya dengan baik pendidikan multikultural di sekolah-sekolah.
Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menitikberatkan pada dua hal yaitu kebebasan dan toleransi. Dalam pengertian yang paling sederhana, kebebasan berarti ketiadaan dari paksaan-paksaan atau pembatasan- pembatasan (Kalidjernih, 2009: 17). Toleran sering dipahami sebagai suatu kerelaan untuk 'membiarkan sendiri' (leave alone) dengan sedikit refleksi pada motif-motif yang ada di balik posisi tersebut. Pendidikan multikultural menurut pemikiran Freddy K. Kalidjernih, kuncinya adalah masalah kebebasan dan toleransi yang mana kebebasan yang dimaksud adalah kehidupan tanpa ada batasan-batasan selama itu adalah hak warga negara, dan toleransi menjadi kunci kedua dalam multikulturalisme karena melalui toleransi warga negara akan terhindar dari sifat fanatik dan purbasangka. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan harus dapat menginternalisasi pentingnya nilai kebebasan dan toleransi pada tiap diri peserta didik atau warga negara.
Pada jurnal civics dengan judul “Pendidikan Multikultural Untuk Membangun Bangsa Yang Nasionalis Religius” (Ambarudin, 2016) Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
Pendidikan multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat istiadat yang ada.
Polemik atau isu kewarganegaraan dalam konteks lokal sebenarnya ada banyak dan tidak hanya sebatas isu etnosentrisme, yang paling umum adalah isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena pada tatanan lokal biasanya isu SARA lebih rentan terjadi. Namun etnosentrisme sebenarnya adalah bagian dari kekerasan SARA, hanya saja memang etnosentrisme dianggap menjadi polemik kewarganegaraan yang tidak ada habis-habisnya. Untuk itu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki tanggung jawab besar untuk memfasilitasi edukasi positif kepada warga negara dalam hal pendidikan multikulturalisme.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar