Prinsip-Prinsip Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan


Prinsip-Prinsip Pembelajaran Pendidikan Pancasila  dan Kewarganegaraan


a.  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai Social Studies

Social Studies merupakan nama atau istilah yang digunakan oleh lembaga pendidikan di negara lain terutama di negara-negara Barat. Barr, Barth, dan Shermis (1977) mengidentifikasi "The Three Social Studies Traditions, yaitu: (1) Social Studies as Citizenship Transmission (Civic Education); (2) Social Studies as  Social  Science;  (3)  Social  Studies  as  Reflective  Inquiry.  Tiga  tradisi  ini memiliki pengertian, tujuan, isi, dan metode masing-masing (Wahab dan Sapriya, 2012).

Social Studies as Citizenship Transmission. Tradisi pembelajaran yang paling tua dan  biasa  dipraktikkan  oleh  para  guru.  Tujuan  transmisi  kewarganegaraan adalah agar peserta didik mempelajari dan meyakini konsep kewarganegaraan yang diajarkan dengan cara guru menyajikan asumsi-asumsi, kepercayaan- kepercayaan, dan harapan-harapan tentang masyarakatnya.

Social Studies Taught as Social Science. Tradisi ini awalnya dikembangkan oleh Social Science Education Consortium, yang bertujuan agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan perlengkapan disiplin ilmu sosial sehingga mereka akan menjadi warga negara yang efektif. Isi dari social studies sebagai social science terkait dengan masalah-masalah, isu-isu, dan topik-topik disiplin ilmu sosial masing-masing.

Social Studies Taught as Reflective Inquiry merupakan tradisi pembelajaran berdasarkan kedudukan filsafat yang berakar pada masa lalu. Tujuan reflective inquiry adalah kewarganegaraan didefinisikan sebagai pengambilan keputusan dalam konteks sosial-politik. Metode tersebut terkait dengan proses membuat keputusan dan mendorong peserta didik untuk menganalisis tentang apa saja yang terlibat dalam suatu keputusan. 

Secara metodologis, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu ilmu merupakan pengembangan salah satu dari lima tradisi Social Studies yakni transmisi kewarganegaraan (citizenship transmission) seperti dikemukakan oleh Barr, Barth dan Shermis (1978).   Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu struktur keilmuan yang dikenal sebagai citizenship education, yang memiliki paradigma sistemik di dalamnya terdapat tiga domain yakni: domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural (Winataputra, 2001).

Domain  akademis  yaitu  berbagai  pemikiran  tentang  Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler yaitu konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan formal dan non-formal.

Domain sosio kultural yaitu konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan masyarakat. Ketiga domain tersebut satu sama lain saling terkait dan diikat oleh konsepsi kebajikan dan budaya kewarganegaraan (civic virtue dan civic  culture)  yang mencakup penalaran  kewarganegaraan  (civic  knowledge), sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition), keterampilan kewarganegaraan (civic skill), keyakinan diri kewarganegaraan (civic confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment), dan kemampuan kewarganegaraan (civic competence) (CCE:1998).

b.  Pancasila sebagai prinsip utama dalam pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 

Pembelajaran erat kaitannya dengan proses belajar. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan menyatakan bahwa belajar merupakan usaha sadar dan terencana   untuk mewujudkan   suasana belajar  dan  proses  pembelajaran  agar  peserta  didik  secara  aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian  diri,  kepribadian,  kecerdasan,  akhlak  mulia,  serta  keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

Secara umum tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) yang tentu saja berbeda menurut konteks negara yang  bersangkutan  (Winarno,  2011).  Untuk  itu  pada  proses  pembelajaran 

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengusung konsep transfer nilai- nilai Pancasila ke dalam struktur keilmuannya yang hendak diberikan kepada peserta didik. Oleh karenanya, terdapat tiga ihwal penting yang perlu senantiasa diingat  (Kalidjernih  & Winarno, 2019).  Pertama, Pancasila  tidak  diperlakukan sekadar  sebagai  pengejawantahan  ideologi  negara  belaka.  Pancasila  harus dilihat sebagai filosofi bangsa yang hidup. Sila-silanya adalah cerminan pandangan hidup dan cita-cita yang dinamis dan terbuka sesuai dengan perkembangan  zaman.  Kedua,  Pancasila  selayaknya  ditempatkan  sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan dalam konteks yang lebih luas dan umum. Pancasila berintikan pendidikan moral atau pendidikan karakter.

Dengan   demikian   proses   pembelajaran   Pancasila   sebagai   bagian   dari pendidikan kewarganegaraan yang demokratis tidak lagi menekankan pada kegiatan menghafal peraturan-peraturan, undang-undang, dan prosedur- prosedur tata negara, serta proses-proses politik yang hanya “berbasis tekstual”. Proses pembelajaran perlu memfokuskan pelbagai interaksi sosial dalam hubungan  antara  warga  negara  dan  warga    negara,  warga  negara  dengan negara yang mengembangkan pluralisme dan kewarganegaraan yang dialogis dan partisipatoris.

c.  Prinsip Dasar Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

Menurut pendapat Budimansyah (2002:8) prinsip-prinsip pembelajaran tersebut adalah prinsip belajar siswa aktif (student active learning), kelompok belajar kooperatif (cooperative learning), pembelajaran partisipatorik, dan mengajar yang reaktif (reactive learning). Selanjutnya keempat prinsip tersebut dijelaskan sebagai berikut.

1) Prinsip Belajar Siswa Aktif

Model ini menganut prinsip belajar siswa aktif. Aktivitas siswa hampir di seluruh proses pembelajaran, dari mulai fase perencanaan di kelas, kegiatan lapangan, dan pelaporan. Dalam fase perencanaan aktivitas siswa terlihat pada saat mengidentifikasi masalah dengan menggunakan teknik bursa ide (brainstorming). Setiap siswa boleh menyampaikan masalah yang menarik baginya, disamping tentu saja yang berkaitan dengan materi pelajaran. Setelah masalah terkumpul, siswa melakukan voting untuk memilih satu masalah untuk kajian kelas. 

Dalam fase kegiatan lapangan, aktivitas siswa lebih tampak. Dengan berbagai teknik (misalnya dengan wawancara, pengamatan, kuesioner, dan lain-lain) mereka mengumpulkan data dan  informasi yang diperlukan  untuk menjawab permasalahan yang menjadi kajian kelas mereka. Untuk melengkapi data dan informasi tersebut, mereka mengambil foto, membuat sketsa, membuat kliping, bahkan ada kalanya mengabadikan peristiwa penting dalam video.

2)   Kelompok Belajar Kooperatif

Proses  pembelajaran Pendidikan  Kewarganegaraan  juga menerapkan  prinsip belajar kooperatif, yaitu proses pembelajaran yang berbasis kerja sama. Kerjasama yang dimaksud adalah kerjasama antar siswa dan antar komponen- komponen lain di sekolah, termasuk kerjasama sekolah dengan orang tua siswa dan lembaga terkait. Kerja sama antar siswa jelas terlihat pada saat kelas sudah memilih satu masalah untuk bahan kajian bersama. Dengan komponen- komponen sekolah lainnya juga seringkali harus dilakukan kerjasama. Misalnya pada saat para siswa hendak mengumpulkan data dan informasi lapangan sepulang dari sekolah, bersamaan waktunya dengan jadwal latihan olahraga yang diundur atau kunjungan lapangan yang diubah. Kasus seperti itu memerlukan  kerjasama,  walaupun  dalam  lingkup  kecil  dan  sederhana.  Hal serupa juga seringkali terjadi dengan pihak keluarga.

Orang tua perlu juga diberi pemahaman, manakala anaknya pulang agak terlambat dari sekolah karena melakukan kunjungan lapangan terlebih dahulu. Sekali lagi, dari peristiwa ini pun tampak perlunya kerjasama antara sekolah dengan orang tua dalam upaya membangun kesepahaman. Kerja sama dengan lembaga terkait diperlukan pada saat para siswa merencanakan mengunjungi lembaga tertentu atau meninjau suatu kawasan yang menjadi tanggung jawab lembaga tertentu. Misalnya mengunjungi dinas perparkiran. Mengunjungi kantor bupati atau walikota untuk mengetahui kebijakan mengenai penertiban pedagang kaki lima. Mengamati dampak pembuangan limbah pabrik pada suatu kawasan tertentu, dan sebagainya. Kegiatan para siswa tentu saja perlu dibekali surat pengantar dari kepala sekolah selaku penanggung jawab kegiatan sekolah. 

3)   Pembelajaran Partisipatorik

Prinsip dasar pembelajaran partisipatori adalah siswa belajar sambil melakoni (learning by doing). Salah satu bentuk pelakonan itu adalah siswa belajar hidup berdemokrasi. Sebab dalam tiap langkah model ini memiliki makna yang ada hubungannya dengan praktik hidup berdemokrasi. Misalnya pada saat memilih masalah untuk kajian kelas memilih makna bahwa siswa dapat menghargai dan menerima pendapat yang didukung suara terbanyak. Pada saat berlangsungnya perdebatan, siswa belajar mengemukakan pendapat, mendengarkan pendapat orang lain, menyampaikan kritik dan sebaliknya belajar menerima kritik, dengan tetap berkepala dingin. Proses ini mendukung adagium yang mengatakan bahwa “democracy is not in heredity but learning” (demokrasi itu tidak diwariskan, tetapi dipelajari dan dialami). Oleh karena itu, mengajarkan demokrasi itu harus dalam suasana yang demokratis (teaching democracy in and for democracy). Tujuan ini hanya dapat dicapai dengan belajar sambil melakoni atau dengan kata lain harus menggunakan prinsip belajar partisipatori.

4)   Reactive Teaching

Prinsip dari reactive teaching adalah menekankan bagaimana guru menciptakan strategi agar murid mempunyai motivasi belajar. Oleh karena itu, guru harus memahami kondisi siswa sehingga materi pembelajaran menarik, tidak membosankan. Guru harus mempunyai sensitivitas  yang tinggi untuk  segera mengetahui apakah kegiatan pembelajaran sudah membosankan siswa jika hal ini terjadi, guru harus segera mencari cara untuk menanggulanginya. Inilah tipe guru yang reaktif itu. Ciri guru yang reaktif itu diantaranya sebagai berikut.

a)   Menjadikan siswa sebagai pusat kegiatan belajar.

b) Pembelajaran dimulai dengan hal-hal yang sudah diketahui dan dipahami siswa.

c) Berupa  untuk  membangkitkan  motivasi  belajar  siswa  dengan  membuat materi pelajaran sebagai sesuatu hal yang menarik dan berguna bagi kehidupan siswa.

d)   Mengenali materi atau metode pembelajaran yang membuat siswa bosan.

Bila hal ini ditemui, ia segera menanggulanginya. 


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar