Akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling


Akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling

a.  Konsep tentang akuntabilitas secara umum

Akuntabilitas dipandang sebagai konsep penting dalam kehidupan suatu lembaga atau organisasi. Konsep ini memungkinkan diperolehnya gambaran kinerja dan tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan tugas pekerjaannya. Para ahli yang bergelut dalam bidang ini meyakini bahwa akuntabilitas merupakan salah satu prinsip mendasar dalam penyelenggaraan atau terciptanya sebuah pemerintahan/lembaga/organisasi yang baik (Buhory, 2007) 

Darwin (dalam Widodo, 2001) membedakan tiga istilah yang perlu dipahami terkait dengan pertanggungjawaban yaitu akuntabilitas (accountability), responsibilitas (responsibility), dan responsivitas (responsiveness). Responsibilitas (responsibility) merupakan konsep yang berkenaan dengan standar profesional dan kompetensi teknis yang dimiliki seorang pemberi layanan dalam menjalankan tugasnya. Individu dinilai responsibel apabila unjuk kerjanya menampilkan standar profesionalisme atau kompetensi teknis yang tinggi.

Konsep responsivitas (responsiveness) merupakan pertanggungjawaban dari sisi yang menerima pelayanan (masyarakat). Seberapa jauh mereka melihat pemberi layanan bersikap tanggap (responsive) yang  lebih  tinggi terhadap apa  yang menjadi permasalahan, kebutuhan, keluhan dan aspirasi mereka. Sementara pertanggungjawaban sebagai akuntabilitas (accountability) merupakan suatu istilah yang pada awalnya diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat. Dalam perkembanganya akuntabilitas juga digunakan untuk melihat efisiensi ekonomi program. Akuntabilitas dilihat sebagai upaya untuk mencari dan menemukan apakah ada penyimpangan staf atau tidak serta efisiensi prosedur yang digunakan. Dengan demikian akuntabilitas menunjuk pada institusi tentang “cheks and balance” dalam sistem administrasi.

Sesuai dengan esensi akuntabilitas sebagai wujud pertanggungjawaban suatu kegiatan, Schater (dalam Budi, 2013) menegaskan bahwa akuntablitas memiliki dua  tujuan  utama yakni  tujuan  politik  dan  tujuan  operasional. Tujuan politik (political purpose) menunjukkan akuntabilitas sebagai suatu mekanisme untuk meminimalkan penyalahgunaan kekuasaan. Kaitannya dengan politik pendidikan misalnya yang berupa kebijakan-kebijakan, peraturan-peraturan yang dibuat dan ditegakkan berbasis hasil evaluasi. Sedangkan tujuan operasional (operational purpose) merujuk akuntabilitas sebagai mekanisme untuk membantu menjamin pemerintah bertindak secara efektif dan efisien. Berdasarkan gagasan para ahli, terdapat keragaman tentang konsep akuntabilitas, namun terdapat kesamaan konsep khususnya berkaitan dengan pertanggungjawaban. 

Akuntabilitas diperlukan untuk mempertanggungjawabkan terhadap seluruh kegiatan yang telah dilakukan. Akuntabilitas mengandung kewajiban melaporkan, menjelaskan, dan mengungkapkan semua kegiatan yang dilakukan. Akuntabilitas diperlukan untuk meminimalkan  penyalahgunaan         kekuasaan serta menjamin pemerintah/pelaksana untuk bertindak secara efektif dan efisien.

b. Akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling

Penilaian/evaluasi dalam bimbingan dan konseling adalah proses untuk mengumpulkan dan menggunakan informasi untuk pengambilan keputusan mengenai kegiatan bimbingan dan konseling. Dengan melakukan penilaian guru pembimbing/konselor pada hakekatnya bertujuan untuk memperbaiki kinerja profesionalnya, dan inilah bentuk akuntabilitas guru pembimbing/konselor terhadap stakeholders.

Menurut Brown dan Trusty (2005) evaluasi dan akuntabilitas merupakan satu kesatuan dan tidak dapat dihindari menuju tercapainya tujuan program konseling yang efektif dan efisien. Akuntabilitas dipandang sebagai proses dimana konselor sekolah menunjukkan bahwa kegiatan yang dilakukannya memberikan dampak atau perubahan terhadap para siswa. Dengan kata lain, akuntabilitas dipandang sebagai bentuk pertanggungjawaban. Hal ini sejalan dengan pandangan Gibson dan Mitchel (2011:56-57) yang menggunakan istilah akuntabilitas dan evaluasi dengan mengacu kepada upaya untuk mempertanggungjawabkan program konseling.

Akuntabilitas merupakan bentuk pertanggungjawaban suatu kegiatan. Akuntabilitas dilihat sebagai suatu kegiatan yang digunakan untuk meyakinkan stakeholder sehingga memiliki kepercayaan terhadap program atau kegiatan yang dilakukan (Furqon & Badrujaman, 2014). Myrick (dalam Schellenberg, 2008; dalam Furqon & Badrujaman, 2014) menjelaskan bahwa akuntabilitas merupakan upaya pertanggungjawaban seseorang terhadap tindakan dan kontribusinya khususnya berkaitan dengan tujuan, prosedur, dan hasil yang dicapai.

Secara khusus akuntabilitas bimbingan dan konseling merujuk pada pengungkapan informasi program konseling sekolah dan hasil-hasil evaluasi yang dicapai dengan stakeholder (Schellenberg, 2008). Pemahaman ini senada dengan pendapat Cobia & Henderson, (2007) yang menjelaskan bahwa tuntutan terhadap akuntabilitas dapat dilihat dalam program-program konseling yang berbasis data maupun berbasis hasil.

Penegakan akuntabilitas oleh guru pembimbing/konselor merupakan bentuk pertanggungjawaban pekerjaan konselor. Saat  ini,  terdapat arah baru dalam penegakan akuntabilitas. Pada masa sebelumnya, akuntabilitas cukup tentang apa yang telah dikerjakan, tetapi saat ini akuntabilitas menekankan pada dampak dan kontribusi apa yang dapat diberikan oleh konselor. Sehingga penegakan akuntabilitas, dalam pelayanan konseling di sekolah, tidak cukup hanya dengan menyampaikan layanan-layanan yang dilaksanakan konselor. Namun menuntut penyampaian berbagai dampak yang telah ditimbulkan oleh layanan yang diselenggarakan konselor.

“saat  ini  akuntabilitas menekankan pada dampak dan   kontribusi   apa   yang dapat diberikan oleh konselor melalui layanan konseling”

Penerapan prinsip akuntabilitas sebagai pertanggungjawaban profesional tidak terkecuali dalam bimbingan dan konseling. Bimbingan dan konseling sebagai bagian integral dari pendidikan dituntut akuntabel baik dalam proses penyusunan program kegiatan, pembiayaan, pelaksanaan, evaluasi, hasil, maupun dampaknya. Menurut Gysbers (dalam Cobia & Henderson, 2007; dalam Schellenberg, 2008) tuntutan akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling bukan merupakan suatu kerangka konseptual yang baru. Pemaparan tentang akuntabilitas konselor sekolah sudah       Konsentrasi evaluasi bimbingan dan konseling di Indonesia memfokuskan pada tiga hal, yakni evaluasi program, proses, dan hasil layanan bimbingan dan konseling. 

sedangkan intensitas kajian yang perlu dirujuk oleh setiap pemangku evaluasi layanan bimbingan dan konseling adalah berkaitan dengan kebermanfaatan layanan bimbingan dan konseling yang dapat diberikan di sekolah, misalnya kebermanfaatan yang berkaitan dengan peningkatan nilai akademik peserta didik, peningkatan sikap positifi siswa, dan peningkatan kedisiplinan siswa.

Illinois School Counselor Association (2014) menegaskan bahwa akuntabilitas merupakan bagian penting dari program konseling perkembangan. Urgensi akuntabilitas dalam konseling sekolah berkaitan dengan pengaruh konselor sekolah terhadap siswa khususnya berhubungan dengan perubahan prestasi siswa. Mehlos (2009) menjelaskan bahwa kemampuan   untuk   menunjukkan pengaruh   yang dimiliki konselor sekolah terhadap prestasi dan   keberhasilan siswa   merupakan aspek profesi yang sangat mendasar. Dengan demikian akuntabilitas merupakan unsur pokok dalam konseling sekolah (Steen & Kaffenberger dalam Mehlos, 2009).

Hal senada juga  ditegaskan   oleh   ASCA   (dalam   Mehlos,   2009)   bahwa konselor mempunyai tanggung jawab untuk memperlihatkan hasil kerja mereka berkaitan dengan program konseling sekolah dengan cara yang terukur. Dengan demikian akuntabilitas menjadi media penting yang dapat dinilai melalui kinerja konselor sekolah dan keefektifan program (ASCA dalam Loesch, 2007). Evaluasi kinerja  konselor  sekolah  berkaitan  dengan  pelaksanaan  dan   manajemen program.

Sedangkan evaluasi program konseling sekolah dilakukan untuk menentukan apakah kegiatan-kegiatan tersebut memiliki manfaat dan dampak bagi siswa. Erford (dalam Loesch, 2007) menambah dan menjelaskan asesmen kebutuhan sebagai dimensi ketiga untuk akuntabilitas konseling sekolah. Data asesmen kebutuhan digunakan untuk menentukan tujuan program yang pada gilirannya mengarahkan dan membentuk keberfungsian dan kinerja konselor sekolah 

Berdasarkan kajian para ahli, yang dimaksud dengan akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling adalah perwujudan kewajiban konselor sekolah untuk mempertanggungjawabkan segala tindakan berkaitan dengan kegiatan pelayanan bimbingan dan konseling. Akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling merupakan komponen kunci untuk memperlihatkan keefektifan program konseling. Tuntutan akuntabilitas memungkinkan konselor untuk memperlihatkan kepada stakeholder baik di dalam maupun di luar sekolah kontribusi atau dampak tentang apa yang dilakukan konselor untuk menjawab pertanyaan: Bagaimana perbedaan yang dirasakan siswa sebagai hasil dari program konseling sekolah.

c. Tujuan dan Manfaat Akuntabilitas dalam Bimbingan dan Konseling

Penerapan akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling memiliki beberapa tujuan. Young dan Kaffenberg (dalam   Topdemir,   2010;   dalam   Paolini   & Topdemir, 2013) menjelaskan bahwa akuntabilitas dilaksanakan untuk: 

(1) menghubungkan program konselor sekolah dengan prestasi akademik para siswa.

(2) Memantau perkembangan siswa dan mengurangi kesenjangan prestasi siswa, konselor harus memulainya dengan memperhatikan data sekolah dan menentukan dimana kesenjangan tersebut muncul. 

(3) Untuk menilai dan mengevaluasi program,   konselor perlu melihat keefektifan program bimbingan dan konseling. 

Berkaitan dengan manfaat penerapan akuntabilitas, Illinois School Counselor Association (2014) memaparkan bahwa: 

(1) akuntabilitas memungkinkan konselor memiliki data spesifik untuk digunakan dalam mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan bidang-bidang program. Informasi  ini dapat  digunakan  untuk  mengubah tujuan serta metode  pelaksanaan program. 

(2)   Data   yang   diperoleh dapat digunakan untuk memperlihatkan siswa bagaimana mereka bertumbuh dan berkembang melalui program tersebut. Data juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi bidang-bidang yang masih membutuhkan peningkatan. 

(3) Informasi yang diperoleh melalui asesmen harus disampaikan kepada semua stakeholder; termasuk siswa, orang tua dan guru. 

(4) Informasi perlu disampaikan dengan orang-orang yang terlibat dalam pembuatan kebijakan dan manajemen kebijakan. 

Akuntabilitas merupakan aspek penting dalam menunjukkan keefektifan program konseling sekolah.  Adelman  (dalam  Paolini  &  Topdemir,  2013)  berpendapat bahwa konselor sekolah dewasa ini berhadapan dengan tuntutan untuk menunjukkan keefektifan program. Oleh karena itu, memperlihatkan akuntabilitas menjadi praktik yang standar di antara konselor sekolah (Dahir &  Stone  dalam Paolini   &   Topdemir, 2013). Melalui pengukuran akuntabilitas, konselor akan mampu memperlihatkan peran, tanggungjawab, dan signifikansi mereka dalam membantu siswa untuk mencapai tujuan dalam bidang akademik, pribadi/sosial, dan karir. Akuntabilitas dipandang sebagai alat ampuh bagi konselor untuk mengklarifikasi peran profesional mereka (Stone & Dahir dalam Paolini & Topdemir, 2013).

Sugiyo (2018) memaparkan bahwa akuntabilitas dalam bimbingan dan konseling berfungsi  untuk:  

(1)  memperoleh balikan  mengenai  hasil  kerja  konselor,  

(2) mempertimbangkan penggunaan metode dalam layanan bimbingan dan konseling, 

(3) dapat lebih mengenal kebutuhan-kebutuhan peserta didik yang belum terealisasi, 

(4) mengurangi cara kerja yang sifatnya rutinitas dan menemukan inovasi  layanan bimbingan dan konseling, 

(5) sebagai dasar untuk memberikan masukan dalam rekrutmen konselor, 

(6) memberikan pertimbangan dalam meningkatkan keterampilan konselor melalui pengiriman untuk mengikuti pelatihan-pelatihan bimbingan dan konseling. Merujuk kembali ke intensitas kajian dalam evaluasi yang telah disampaikan sebelumnya, maka fungsi 3 dan 5 merujuk pada  evauasi  program,  fungsi  2,  4,  dan  6  merujuk  pada  evaluasi  proses, sedangkan fungsi 1 merujuk pada evaluasi hasil layanan bimbingan dan konseling.

d. Komponen Akuntabilitas Bimbingan dan Konseling

Furqon dan Badrujaman (2014) memaparkan bahwa akuntabilitas merupakan suatu keadaan dinamis yang dipengaruhi oleh komponen- komponen yang dipandang sebagai indikator yang menjadi dasar untuk mengukur akuntabilitas. Komponen- komponen akuntabilitas adalah menerima tanggungjawab, komunikasi, penjelasan kepada stakeholder, umpan balik, dan perbaikan program. 

Pertama, menerima tanggung jawab. Menurut Bavly sebagaimana dikutip oleh Wood Jr. dan Winston (dalam Furqon & Badrujaman, 2014) akuntabilitas menyiratkan adanya penerima tanggung jawab, dalam hal ini adalah pelaksana program. Menerima tanggungjawab berarti siap menghadapi kenyataan, tidak menyembunyikan suatu kebenaran, berani mengakui kekurangan dalam program.

Kedua, komunikasi. Komunikasi antara pengelola program dan stakeholder merupakan indikator  penting  dalam  akuntabilitas (Levinson  dalam  Furqon  & Badrujaman, 2014).  Sejalan  dengan  pandangan ini,  Ryan  (dalam  Furqon  & Badrujaman, 2014) mengemukakan bahwa akuntabilitas dapat dipandang sebagai respon terhadap kebutuhan dan harapan stakeholder terkait dengan program.

Ketiga, penjelasan kepada stakeholder mengenai program. Penjelasan mengenai program kepada stakeholder merupakan komponen penting dalam akuntabilitas. Para ahli belum sepakat tentang jenis infomasi yang mau disampaikan kepada stakeholder.  Menurut  Myrick    (dalam    Furqon&Badrujaman, 2014) informasi yang dijelaskan kepada stakeholder meliputi standar atau tujuan program, prosedur yang digunakan untuk mencapai tujuan, dan hasil yang dicapai dalam program. 

Sementara Sink (dalam Furqon dan Badrujaman, 2014) mengkaji empat bidang dimensi akuntabilitas yang dikomunikasikan yakni audit terhadap program; dampak program terhadap pencapai kompetensi siswa dalam bidang pribadi- sosial, akademis dan karir; perbaikan program dan intervensi melalui kinerja yang ditampilkan konselor; serta perbaikan program melalui asesmen kebutuhan.

Kelima, perbaikan program. Emergency Capacity Building Project (dalam Furqon& Badrujaman, 2014) menjelaskan bahwa menanggapai atau melakukan perubahan didasarkan pada umpan balik yang diterima. Sejalan dengan hal ini, Steenberger dan Smith (dalam Furqon & Badrujaman, 2014) memaparkan bahwa adanya perbaikan yang kontinu merupakan kunci akuntabilitas 


Sugiyo ;  Amin Nurul Z.  2019. Modul 3  Perencanaan dan Evaluasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar