Konsep Dasar Konseling Berorientasi Perilaku


Konsep Dasar Konseling Berorientasi Perilaku
 

a)   Hakikat Manusia

Manusia pada dasarnya adalah unik dan memiliki kecenderungan berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Sebaliknya, ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional, individu akan menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang terhadap suatu situasi/kejadian sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir  yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional. Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orangtua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir   yang tepat. Perasaan   dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

b) Struktur Kepribadian

Pandangan pendekatan rasional emotif, kepribadian dikaji dari konsep kunci teori Ellis mencakup tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Activating event (A), Belief (B), dan Emotional Consequence (C). Selain itu ditambah pula dengan Disputing (D) dan Effect (E). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

Teori Kepribadian Konseling REB (Teori A-B-C-D-E)

Komponen/aspek

Proses

A : Activity, or Action or agent

Hal-hal,       situasi,    kegiatan/peristiw yang mendahului atau menggerakan individu

External event:

Kejadian di luar atau disekitar individu

Bi: Belief irrational

Keyakinan-keyakinan    irasional    atau    tidak layak/maladaptif terhadap kejadian eksternal (A)

 

 

Br: Belief rational Keyakinan-keyakinan yang rasional/adaptif/layak dan secara empiril/fakta mendukung kejadian eksternal (A)

Self-verbalization:

Apa yang secara terus-menerus individu katakan/bisikkan kepada dirinya sendiri terkait dengan peristiwa eksternal (A) yang dialami.

Ci: Consequencies irrational Konsekuensi-konsekuensi irasional/maladaptif/tak layak yang dianggap berasal dari kejadian eksternal (A)

 

 

 

 

 

 

 

 

Cr: Consequencies rational Konsekuensi-konsekuensi rasional yang dianggap berasal dari keyakinan rasional (Br)

Consequencies effective emotion: Konsekuensi yang mempengaruhi emosi individu, apakah positif (healty negative emotion) atau negatif (unhealty negative emotion) sebagai hasil dari verbalisasi diri (self- verbalization)

Consequencies effective behavior: Konsekuensi    yang     mempengaruhi tingkah laku individu, apakah positif atau negatif sebagai hasil dari verbalisasi diri (self-verbalization)

D: Dispute irrational belief

Keyakinan-keyakinan irasional dalam diri individu saling bertentangan

Validate or invalidate self- verbalization: Suatu proses verbalisasi dalam diri individu apakah valid (tepat/pantas)

ataukah tidak

Ec: Effect cognitive of disputing

Efek kognitif yang terjadi dari pertentangan dalam keyakinan irasional

 

Ee: Effect emotion of disputing

Efek dalam emosi yang terjadi dari hasil pertentangan dalam keyakinan irasional

 

Eb: Effect behavioral of disputing

Efek dalam perilaku yang terjadi dari hasil pertentangan dalam keyakinan irasional

Change self-verbalization: Terjadinya perubahan dalam verbalisasi diri pada individu

 

Change emotion:

Terjadinya perubahan dalam emosi pada individu

 

 

Change behavior:

Terjadinya perubahan dalam tingkah laku pada individu


Activating event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa pendahulu yang berupa  fakta,  kejadian, tingkah  laku,  atau  sikap  orang  lain. Perceraian dalam keluarga, kelulusan bagi siswa, dan putus hubungan merupakan contoh activating event bagi seseorang.

Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan rasional merupakan cara berpikir atau keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional, sehingga tidak produktif.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variabel antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

Supaya lebih jelas terkait teori A-B-C kepribadian maka akan diperjelas dalam gambar 1 skema model A-B-C-D-E pada pendekatan konseling REB:

Pendekatan Konseling Berorientasi Perilaku
Skema model A-B-C-D-E pada pendekatan konseling REBT

Skema model A-B-C-D-E yang lebih konkrit dicontohkan seperti kasus

Contoh Kasus:
Budi seorang siswa SMA mendapatkan nilai rendah pada mata pelajaran matematika, padahal menurutnya ia sudah belajar tekun (A). Ia merasa sangat kecewa, sakit hati, mengisolasi diri dari teman-temannya (C). Penyebab perasaan kecewa, sakit hati dan mengisolasi diri bukanlah fakta yang sebenarnya, melainkan Budi menganggap bahwa nilai buruk itu sama halnya ia gagal dan menganggap upayanya selama ini sia-sia. Hal ini menurut keyakinan Budi menganggap bahwa orang tidak memberikan penghargaan sedikitpun dari apa yang sudah ia lakukan (B). Keyakinan itulah yang menyebabkan gangguan emosional dalam bentuk perasaan ditolak dan disakiti. Selanjutnya, Budi menyadari kekurangannya yang rasional dan irasional. Terkadang Budi menyadari kekurangannya sehingga mendapatkan nilai buruk, kadang pula hati kecilnya menggerutu terhadap gurunya yang ia rasa tidak berlaku bijak dan adil. Dalam proses ini Budi telah menimbang dan menilai, apakah ia memang masih kurang dalam belajar dan berlatih soal matematika ataukah gurunya yang memang kurang adil dan bijak. Inilah yang disebut sebagai proses disputing (D). Pada akhirnya ia membuat kesimpulan dan upaya yang rasional (empiris), misalnya “ya, memang sangat tidak nyaman ketika nilai tidak sesuai harapan, namun peristiwa itu bukan akhir segalanya. Nilai buruk bukan berarti gagal total namun masih ada waktu untuk memperbaikinya. Proses
ini dinamakan effect (E).

Contoh Kasus Pendekatan Rational Emotive Behavior

c)  Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Perspektif pendekatan KREB, tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irasional. Menurut Gladding (2009), KREB berasumsi bahwa orang secara inheren adalah rasional dan irasional masuk akal (sensible) dan gila. Dualitas ini sifatnya inheren secara biologis dan akan menjadi menetap kecuali dipelajari cara berpikir yang baru. Menurut Ellis (dalam Corey,
2013) anak-anak lebih rentan terhadap pengaruh luar dan pemikiran irasional dibandingkan dengan orang dewasa. Ia percaya bahwa manusia mudah dipengaruhi, sangat sugestif dan mudah terganggu. Tetapi, manusia mempunyai sarana yang berasal dari dalam dirinya sendiri untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakannya, tetapi ia harus menyadari dulu apa yang dia katakan pada dirinya sendiri (self talk), supaya ia dapat menguasai hidupnya sendiri. Ellis (1996a) mendeskripsikan proposisi utama konseling REB yaitu:

(1)   Manusia dilahirkan dengan potensi untuk rasional (self constructive) dan irasional (self-defeating). Mereka punya potensi untuk berpikir, kreatif, berminat terhadap orang lain,  belajar dari kesalahan, rnengaktualisasi potensinya untuk berkembang. Tetapi, juga cenderung mendestruksi diri, menyukai kesenangan sesaat, rnenghindari berpikir panjang, melakukan kesalahan yang  sama, percaya tahayul, tidak  toleran, perfeksionis dan memikirkan yang besar-besar dan menghindar rnengaktualisasikan potensi untuk berkembang.
(2)   Kecenderungan untuk berpikir irasional, kebiasaan yang merugikan diri sendiri, wishful thinking, dan tidak toleran seringkali dipertebal oleh budaya mereka dan kelompok keluarga mereka.
(3)   Individu mempersepsi, berpikir, merasa dan berperilaku secara simultan.
Jarang melakukan tindakan tanpa mempersepsi, berpikir dan merasa, karena proses ini memberikan alasan untuk bertindak. Dalam hal perilaku yang terganggu, berlaku proses yang sama, karena itu harus diubah dengan metode yang sifatnya perseptual-kognitif, emotif-evokatif dan behavioristik- reedukatif.
(4)   Memperoleh   wawasan   (insight)   tidak   membawa   kepada   perubahan kepribadian yang besar. Bukan activating events (A) yang "menyebabkan" konsekuensi emosi disfungsional (C), tetapi fakta bahwa orang menginterpretasi peristiwa tidak realistik sehingga mempunyai keyakinan yang self-defeating (B). Jadi, penyebab "sesungguhnya" terletak di dalam diri orang itu sendiri dan bukan apa yang terjadi pada diri mereka.

Perilaku tidak sehat manusia merupakan akibat dari sejumlah pandangan yang tidak rasional manusia dari proses perkembangannya. Pandangan tidak rasional tersebut terus-menerus dipropagandakan orang tersebut terhadap dirinya melalui kalimat/kata-kata yang merusak dirinya. Pandangan irasional merupakan sumber
perilaku dan emosi irasional seperti pada

Corak-corak Pikiran atau Keyakinan Irasional:

(1) Orang harus selalu dicintai dan diterima di lingkungannya agar berharga,
(2) Orang harus memiliki kemampuan sempurna dalam segala hal agar berharga,
(3) Orang yang jahat, keji, dan kejam harus dicela dan dihukum seberat- beratnya,
(4) Suatu bencana besar bila suatu peristiwa terjadi tidak seperti yang dikehendaki seseorang,
(5) Ketidakbahagiaan itu berasal dari luar diri individu karena itu individu tersebut tidak punya kemampuan untuk mengendalikan ketidakbahagiaan tersebut,
(6) Orang harus terus-menerus mengeluhkan dan memikirkan peristiwa yang berbahaya atau merugikan,
(7) Lebih   mudah  menghindari  kesulitan  dan  tanggung  jawab
daripada menghadapinya,
(8) Orang perlu bergantung pada orang lain yang lebih kuat daripada dirinya,
(9) Masa lalu seseorang menentukan perilaku saat ini dan tidak dapat diubah,
(10) Orang harus prihatin dan gelisah dengan masalah dan kondisi orang lain, dan
(11) Hanya ada satu jawaban yang sempurna untuk setiap masalah, dan bencana besar jika jawaban tersebut tidak ditemukan.

Pada dasarnya penyebab gangguan perilaku dan emosi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga keyakinan irasional, yaitu (1) “Saya harus berkarya dengan baik dan kinerja saya harus diterima orang lain.  Jika  tidak,  maka saya bukanlah orang baik”, (2) “Orang lain harus memperlakukan saya dengan adil dan baik sebagaimana yang saya kehendaki. Jika tidak, mereka tidak baik dan pantas untuk dikutuk dan dihukum”, dan (3) “Saya harus mendapatkan apa yang saya inginkan saat menginginkannya dan saya tidak harus mendapatkan apa yang tidak saya inginkan. Jika saya tidak mendapatkan apa saya inginkan maka hal tersebut mengerikan, saya tidak tahan, dan hidup tidak baik karena tidak memenuhi apa yang harus saya punyai”. (Corey, 2013). Selain itu, penyebab individu tidak mampu berpikir secara rasional, adalah: (1) tidak mampu membedakan dengan jelas tentang saat ini dan yang akan datang, atau antara kenyatan dan imajinasi; (2) tunduk dan menggantungkan diri pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (3) mengadopsi kecenderungan cara berpikir irasional dari orangtua atau masyarakat yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.

Dalam pendekatan cognitive behavior, kunci untuk memahami dan menangani gangguan psikologis adalah kognisi. Konseling cognitive behavior berasumsi bahwa reorganisasi (penyesuaian kembali) diri seseorang akan menghasilkan corresponding reorganization yang sesuai dengan perilaku seseorang tersebut. Dalam diri individu terdapat automatic thoughts yang berisi pikiran-pikiran yang biasanya terjadi secara spontan tanpa ada usaha atau pilihan. Individu yang mengalami gangungan psikologis, seringkali pikiran spontan tersebut (AT) sering didistorsi. Distorsi kognitif muncul karena pemrosesan informasi yang tidak akurat/tidak efektif. Distorsi kognitif berperan penting dalam
psychological stress and disorder.

Distorsi Kognitif

(1) Arbitrary interfences: penarikan kesimpulan tanpa ada bukti pendukung relevan.
(2) Abstraksi  Selektif  terdiri  dari  pembentukan kesimpulan  berdasarkan rincian peristiwa yang terisolasi.
(3) Overgeneralisasi: proses memegang keyakinan berdasarkan insiden tunggal dan menerapkannya secara tidak tepat pada kondisi yang tidak sama.
(4) Pembesaran  dan  pengecilan  adalah  merasakan  segala  kasus  atau situasi dalam sorotan yang lebih besar ataupun lebih kecil dari yang sesungguhnya.
(5) Personalisasi:   kecenderungan   individu   menghubungkan   peristiwa eksternal bagi diri mereka sendiri, bahkan jika tidak ada dasar untuk
mengkaitkannya.
(6) Pelabelan  dan   tanpa   pelabelan  meliputi  penggambaran   identitas seseorang dengan dasar kekurangan dan kesalahan di masa lalu sehingga memungkinkan mendefinisikan identitas seseorang yang sesungguhnya.
(7) Pemikiran      yang      terpolarisasi      melibatkan      pemikiran      dan penginterpretasian dalam istilah ya atau tidak sama sekali.


Daftar Pustaka

Isrofin, Binti. 2019. Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunawan, Ph.D. 2019. Modul 2 Materi Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugiyo ; Amin Nurul Z. 2019. Modul 3 Perencanaan dan Evaluasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni Prafitra E. Modul 5 Strategi Layanan Responsif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni  Prafitra  E.  Modul  5  Strategi  Layanan  Responsif.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar