Pendekatan Konseling Berorientasi Perilaku


1)  Latar Belakang Konseling Berorientasi Perilaku

Pendekatan Rational  Therapy  dikembangkan Albert  Ellis tahun  1955  karena ketidakpuasan Ellis terhadap efektivitas psikoanalisis. Awalnya Ellis mengembangkan pendekatannya dengan menggabungkan konseling humanistik, filosofis, dan behavior. Pada tahun 1961, Ellis mengubah nama pendekatannya menjadi Rational Emotive Therapy (RET) dan tahun 1993 mengubah nama RET menjadi Rational Emotive Behavior Therapy (REBT). Pendekatan ini   banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani kuno, terutama filosof Stoic, khususnya Epictetus yang menyatakan “Manusia terganggu bukan oleh peristiwa yang dihadapi, melainkan oleh pandangan yang dimiliki berkaitan dengan peristiwa tersebut”. Di samping itu, pendekatan tersebut dipengaruhi oleh Adler yang berpandangan bahwa reaksi emosi dan gaya hidup manusia berkaitan dengan keyakinan dasar karena itu bersifat kognitif.

Konseling Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) lebih difokuskan pada kerja berpikir (thinking) dan bertindak (acting) ketimbang pada ekspresi perasaan- perasaan. Terapi dipandang sebagai proses pendidikan (educational proccess). Fungsi terapis dalam banyak cara menyerupai guru, khususnya ketika berkolaborasi dengan konseli dalam pemberian tugas rumah (homework), serta dalam strategi mengajarkan berpikir lurus (straight thinking) sebagai lawan dari berpikir bengkok; dan konseli adalah pembelajar (learner) yang mempraktikan skill baru yang telah dipelajari dalam kehidupan sehari-hari.

Pengembang pendekatan kognitif lainnya yaitu Aaron T. Beck berpendapat bahwa orang yang memiliki kesulitan emosi akan cenderung melakukan ciri-ciri “logical errors” yang memiringkan realitas objektif ke arah bantahan diri. Terapi kognitif merasakan masalah psikologis sebagai akar dari proses lumrah seperti pemikiran salah, penarikan kesimpulan yang salah yang berbasis dari informasi yang kurang cukup atau tidak benar, serta kegagalan membedakan antara fantasi dan realitas. Beberapa kesalahan sistematis dalam penalaran dapat menyebabkan asumsi yang salah dan konsepsi yang salah pula, ini disebut distorsi kognitif (Beck dkk.,1979; Beck&Weishaar, 2000; dattilio&Freeman, 1992).

Konsep utama Beck hampir mirip dengan Ellis namun berbeda dalam filosofi dan proses yang mendasarinya serta cara kerja konselingnya. Mereka memiliki keyakinan yang sangat mirip mengenai ‘belief’. Beck memiliki perhatian utama mengenai proses pikiran tidak logis tertentu (misalnya, pikiran semua atau tidak sama sekali / ‘all or nothing’) mengakibatkan gangguan emosi. Sementara Ellis lebih fokus  pada pikiran tertentu  yang   seharusnya tidak  terus  menerus dipikirkan seseorang (pikiran irasional). Beck secara kuat menentang untuk memberi tahu seseorang bahwa keyakinan irasional tertentu adalah sumber dari masalah mereka, karena bukan keyakinan itu sendiri namun keyakinan itu bersifat terlalu absolute, luas dan ekstrem pada diri seseorang.

2)  Konsep Dasar Konseling Berorientasi Perilaku

a)   Hakikat Manusia

Manusia pada dasarnya adalah unik dan memiliki kecenderungan berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan kompeten. Sebaliknya, ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional, individu akan menjadi tidak efektif. Reaksi emosional seseorang terhadap suatu situasi/kejadian sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional adalah akibat dari cara berpikir  yang tidak logis dan irasional. Emosi menyertai individu yang berpikir dengan penuh prasangka, sangat personal, dan irasional. Berpikir irasional diawali dengan belajar secara tidak logis yang diperoleh dari orangtua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari verbalisasi yang digunakan. Verbalisasi yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan verbalisasi yang tepat menunjukkan cara berpikir   yang tepat. Perasaan   dan pikiran negatif serta penolakan diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

b) Struktur Kepribadian

Pandangan pendekatan rasional emotif, kepribadian dikaji dari konsep kunci teori Ellis mencakup tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Activating event (A), Belief (B), dan Emotional Consequence (C). Selain itu ditambah pula dengan Disputing (D) dan Effect (E). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC.

Teori Kepribadian Konseling REB (Teori A-B-C-D-E)

Komponen/aspek

Proses

A : Activity, or Action or agent

Hal-hal,       situasi,    kegiatan/peristiw yang mendahului atau menggerakan individu

External event:

Kejadian di luar atau disekitar individu

Bi: Belief irrational

Keyakinan-keyakinan    irasional    atau    tidak layak/maladaptif terhadap kejadian eksternal (A)

 

 

Br: Belief rational Keyakinan-keyakinan yang rasional/adaptif/layak dan secara empiril/fakta mendukung kejadian eksternal (A)

Self-verbalization:

Apa yang secara terus-menerus individu katakan/bisikkan kepada dirinya sendiri terkait dengan peristiwa eksternal (A) yang dialami.

Ci: Consequencies irrational Konsekuensi-konsekuensi irasional/maladaptif/tak layak yang dianggap berasal dari kejadian eksternal (A)

 

 

 

 

 

 

 

 

Cr: Consequencies rational Konsekuensi-konsekuensi rasional yang dianggap berasal dari keyakinan rasional (Br)

Consequencies effective emotion: Konsekuensi yang mempengaruhi emosi individu, apakah positif (healty negative emotion) atau negatif (unhealty negative emotion) sebagai hasil dari verbalisasi diri (self- verbalization)

Consequencies effective behavior: Konsekuensi    yang     mempengaruhi tingkah laku individu, apakah positif atau negatif sebagai hasil dari verbalisasi diri (self-verbalization)

D: Dispute irrational belief

Keyakinan-keyakinan irasional dalam diri individu saling bertentangan

Validate or invalidate self- verbalization: Suatu proses verbalisasi dalam diri individu apakah valid (tepat/pantas)

ataukah tidak

Ec: Effect cognitive of disputing

Efek kognitif yang terjadi dari pertentangan dalam keyakinan irasional

 

Ee: Effect emotion of disputing

Efek dalam emosi yang terjadi dari hasil pertentangan dalam keyakinan irasional

 

Eb: Effect behavioral of disputing

Efek dalam perilaku yang terjadi dari hasil pertentangan dalam keyakinan irasional

Change self-verbalization: Terjadinya perubahan dalam verbalisasi diri pada individu

 

Change emotion:

Terjadinya perubahan dalam emosi pada individu

 

 

Change behavior:

Terjadinya perubahan dalam tingkah laku pada individu


Activating event (A) yaitu segenap peristiwa luar yang dialami individu. Peristiwa pendahulu yang berupa  fakta,  kejadian, tingkah  laku,  atau  sikap  orang  lain. Perceraian dalam keluarga, kelulusan bagi siswa, dan putus hubungan merupakan contoh activating event bagi seseorang.

Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan rasional merupakan cara berpikir atau keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir yang salah, tidak masuk akal, emosional, sehingga tidak produktif.

Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variabel antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun yang iB.

Supaya lebih jelas terkait teori A-B-C kepribadian maka akan diperjelas dalam gambar 1 skema model A-B-C-D-E pada pendekatan konseling REB:

Pendekatan Konseling Berorientasi Perilaku
Skema model A-B-C-D-E pada pendekatan konseling REBT

Skema model A-B-C-D-E yang lebih konkrit dicontohkan seperti kasus

Contoh Kasus:
Budi seorang siswa SMA mendapatkan nilai rendah pada mata pelajaran matematika, padahal menurutnya ia sudah belajar tekun (A). Ia merasa sangat kecewa, sakit hati, mengisolasi diri dari teman-temannya (C). Penyebab perasaan kecewa, sakit hati dan mengisolasi diri bukanlah fakta yang sebenarnya, melainkan Budi menganggap bahwa nilai buruk itu sama halnya ia gagal dan menganggap upayanya selama ini sia-sia. Hal ini menurut keyakinan Budi menganggap bahwa orang tidak memberikan penghargaan sedikitpun dari apa yang sudah ia lakukan (B). Keyakinan itulah yang menyebabkan gangguan emosional dalam bentuk perasaan ditolak dan disakiti. Selanjutnya, Budi menyadari kekurangannya yang rasional dan irasional. Terkadang Budi menyadari kekurangannya sehingga mendapatkan nilai buruk, kadang pula hati kecilnya menggerutu terhadap gurunya yang ia rasa tidak berlaku bijak dan adil. Dalam proses ini Budi telah menimbang dan menilai, apakah ia memang masih kurang dalam belajar dan berlatih soal matematika ataukah gurunya yang memang kurang adil dan bijak. Inilah yang disebut sebagai proses disputing (D). Pada akhirnya ia membuat kesimpulan dan upaya yang rasional (empiris), misalnya “ya, memang sangat tidak nyaman ketika nilai tidak sesuai harapan, namun peristiwa itu bukan akhir segalanya. Nilai buruk bukan berarti gagal total namun masih ada waktu untuk memperbaikinya. Proses
ini dinamakan effect (E).

Contoh Kasus Pendekatan Rational Emotive Behavior

c)  Asumsi Tingkah Laku Bermasalah

Perspektif pendekatan KREB, tingkah laku bermasalah adalah tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irasional. Menurut Gladding (2009), KREB berasumsi bahwa orang secara inheren adalah rasional dan irasional masuk akal (sensible) dan gila. Dualitas ini sifatnya inheren secara biologis dan akan menjadi menetap kecuali dipelajari cara berpikir yang baru. Menurut Ellis (dalam Corey,
2013) anak-anak lebih rentan terhadap pengaruh luar dan pemikiran irasional dibandingkan dengan orang dewasa. Ia percaya bahwa manusia mudah dipengaruhi, sangat sugestif dan mudah terganggu. Tetapi, manusia mempunyai sarana yang berasal dari dalam dirinya sendiri untuk mengendalikan pikiran, perasaan, dan tindakannya, tetapi ia harus menyadari dulu apa yang dia katakan pada dirinya sendiri (self talk), supaya ia dapat menguasai hidupnya sendiri. Ellis (1996a) mendeskripsikan proposisi utama konseling REB yaitu:

(1)   Manusia dilahirkan dengan potensi untuk rasional (self constructive) dan irasional (self-defeating). Mereka punya potensi untuk berpikir, kreatif, berminat terhadap orang lain,  belajar dari kesalahan, rnengaktualisasi potensinya untuk berkembang. Tetapi, juga cenderung mendestruksi diri, menyukai kesenangan sesaat, rnenghindari berpikir panjang, melakukan kesalahan yang  sama, percaya tahayul, tidak  toleran, perfeksionis dan memikirkan yang besar-besar dan menghindar rnengaktualisasikan potensi untuk berkembang.
(2)   Kecenderungan untuk berpikir irasional, kebiasaan yang merugikan diri sendiri, wishful thinking, dan tidak toleran seringkali dipertebal oleh budaya mereka dan kelompok keluarga mereka.
(3)   Individu mempersepsi, berpikir, merasa dan berperilaku secara simultan.
Jarang melakukan tindakan tanpa mempersepsi, berpikir dan merasa, karena proses ini memberikan alasan untuk bertindak. Dalam hal perilaku yang terganggu, berlaku proses yang sama, karena itu harus diubah dengan metode yang sifatnya perseptual-kognitif, emotif-evokatif dan behavioristik- reedukatif.
(4)   Memperoleh   wawasan   (insight)   tidak   membawa   kepada   perubahan kepribadian yang besar. Bukan activating events (A) yang "menyebabkan" konsekuensi emosi disfungsional (C), tetapi fakta bahwa orang menginterpretasi peristiwa tidak realistik sehingga mempunyai keyakinan yang self-defeating (B). Jadi, penyebab "sesungguhnya" terletak di dalam diri orang itu sendiri dan bukan apa yang terjadi pada diri mereka.

Perilaku tidak sehat manusia merupakan akibat dari sejumlah pandangan yang tidak rasional manusia dari proses perkembangannya. Pandangan tidak rasional tersebut terus-menerus dipropagandakan orang tersebut terhadap dirinya melalui kalimat/kata-kata yang merusak dirinya. Pandangan irasional merupakan sumber
perilaku dan emosi irasional seperti pada

Corak-corak Pikiran atau Keyakinan Irasional:

(1) Orang harus selalu dicintai dan diterima di lingkungannya agar berharga,
(2) Orang harus memiliki kemampuan sempurna dalam segala hal agar berharga,
(3) Orang yang jahat, keji, dan kejam harus dicela dan dihukum seberat- beratnya,
(4) Suatu bencana besar bila suatu peristiwa terjadi tidak seperti yang dikehendaki seseorang,
(5) Ketidakbahagiaan itu berasal dari luar diri individu karena itu individu tersebut tidak punya kemampuan untuk mengendalikan ketidakbahagiaan tersebut,
(6) Orang harus terus-menerus mengeluhkan dan memikirkan peristiwa yang berbahaya atau merugikan,
(7) Lebih   mudah  menghindari  kesulitan  dan  tanggung  jawab
daripada menghadapinya,
(8) Orang perlu bergantung pada orang lain yang lebih kuat daripada dirinya,
(9) Masa lalu seseorang menentukan perilaku saat ini dan tidak dapat diubah,
(10) Orang harus prihatin dan gelisah dengan masalah dan kondisi orang lain, dan
(11) Hanya ada satu jawaban yang sempurna untuk setiap masalah, dan bencana besar jika jawaban tersebut tidak ditemukan.

Pada dasarnya penyebab gangguan perilaku dan emosi tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga keyakinan irasional, yaitu (1) “Saya harus berkarya dengan baik dan kinerja saya harus diterima orang lain.  Jika  tidak,  maka saya bukanlah orang baik”, (2) “Orang lain harus memperlakukan saya dengan adil dan baik sebagaimana yang saya kehendaki. Jika tidak, mereka tidak baik dan pantas untuk dikutuk dan dihukum”, dan (3) “Saya harus mendapatkan apa yang saya inginkan saat menginginkannya dan saya tidak harus mendapatkan apa yang tidak saya inginkan. Jika saya tidak mendapatkan apa saya inginkan maka hal tersebut mengerikan, saya tidak tahan, dan hidup tidak baik karena tidak memenuhi apa yang harus saya punyai”. (Corey, 2013). Selain itu, penyebab individu tidak mampu berpikir secara rasional, adalah: (1) tidak mampu membedakan dengan jelas tentang saat ini dan yang akan datang, atau antara kenyatan dan imajinasi; (2) tunduk dan menggantungkan diri pada perencanaan dan pemikiran orang lain; (3) mengadopsi kecenderungan cara berpikir irasional dari orangtua atau masyarakat yang diajarkan kepada individu melalui berbagai media.

Dalam pendekatan cognitive behavior, kunci untuk memahami dan menangani gangguan psikologis adalah kognisi. Konseling cognitive behavior berasumsi bahwa reorganisasi (penyesuaian kembali) diri seseorang akan menghasilkan corresponding reorganization yang sesuai dengan perilaku seseorang tersebut. Dalam diri individu terdapat automatic thoughts yang berisi pikiran-pikiran yang biasanya terjadi secara spontan tanpa ada usaha atau pilihan. Individu yang mengalami gangungan psikologis, seringkali pikiran spontan tersebut (AT) sering didistorsi. Distorsi kognitif muncul karena pemrosesan informasi yang tidak akurat/tidak efektif. Distorsi kognitif berperan penting dalam
psychological stress and disorder.

Distorsi Kognitif

(1) Arbitrary interfences: penarikan kesimpulan tanpa ada bukti pendukung relevan.
(2) Abstraksi  Selektif  terdiri  dari  pembentukan kesimpulan  berdasarkan rincian peristiwa yang terisolasi.
(3) Overgeneralisasi: proses memegang keyakinan berdasarkan insiden tunggal dan menerapkannya secara tidak tepat pada kondisi yang tidak sama.
(4) Pembesaran  dan  pengecilan  adalah  merasakan  segala  kasus  atau situasi dalam sorotan yang lebih besar ataupun lebih kecil dari yang sesungguhnya.
(5) Personalisasi:   kecenderungan   individu   menghubungkan   peristiwa eksternal bagi diri mereka sendiri, bahkan jika tidak ada dasar untuk
mengkaitkannya.
(6) Pelabelan  dan   tanpa   pelabelan  meliputi  penggambaran   identitas seseorang dengan dasar kekurangan dan kesalahan di masa lalu sehingga memungkinkan mendefinisikan identitas seseorang yang sesungguhnya.
(7) Pemikiran      yang      terpolarisasi      melibatkan      pemikiran      dan penginterpretasian dalam istilah ya atau tidak sama sekali.

3)  Tujuan dan Proses Konseling Berorientasi Perilaku

a) Tujuan Konseling


Tujuan utama konseling REB adalah mengurangi cara berpikir keliru (irasional) dan memiliki pandangan hidup yang realistik dan toleran. Selanjutnya, tujuan khususnya yaitu menerima diri tanpa syarat, menerima orang lain tanpa syarat dan menerima kehidupan tanpa syarat. Dalam konseling REB, konseli dibantu untuk menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, rasa bersalah, rasa berdosa, rasa cemas, merasa was-was, dan rasa marah.

Sementara itu, dalam konseling cognitive behavior memiliki tujuan umum untuk mendidik konseli bagaimana cara memisahkan evaluasi perilaku   mereka dari evaluasi diri-esensi dan totalitasnya dan bagaimana cara menerima diri dengan segala kekurangannya.

Tiga tingkatan insight yang perlu dicapai konseli dalam konseling dengan pendekatan rasional-emotif:

(1) Insight dicapai ketika konseli memahami bahwa tingkah laku penolakan diri berhubungan dengan penyebab yang berkaitan dengan keyakinannya tentang peristiwa yang diterima pada masa lalu.
(2) Insight terjadi ketika konselor membantu konseli memahami bahwa apa yang menganggu konseli saat ini adalah keyakinan irasional yang dipelajari dari dan diperoleh sebelumnya.
(3) Insight dicapai saat konselor membantu konseli mencapai pemahaman ketiga, yaitu tidak ada jalan lain untuk keluar dari hambatan emosional kecuali dengan mendeteksi dan melawan keyakinan yang irasional itu.
Konseli yang telah memiliki keyakinan rasional akan memiliki peningkatan dalam hal: (1) minat kepada diri sendiri, (2) minat sosial, (3) pengarahan diri, (4) toleransi terhadap  pihak lain, (5)  fleksibel, (6)  menerima ketidakpastian, (7)  komitmen terhadap sesuatu di luar dirinya, (8) penerimaan diri, (9) berani mengambil risiko, dan (10) menerima kenyataan.

b) Peran dan Fungsi Konselor

(1)  Peran dan Fungsi Konselor dalam Seting Konseling Individu Konseling REBT memiliki satu maksud yaitu membantu klien untuk membebaskan diri dari gagasan-gagasan yang tidak logis dan untuk belajar gagasan yang logis sebagai penggantinya. Sasarannya adalah menjadikan klien  menginternalisasi suatu filsafat hidup yang rasional sebagaimana dia menginternalisasi keyakinan- keyakinan dagmatis yang irasional dan takhayul yang berasal dari orang tuanya maupun kebudayaan.

Untuk mencapai tujuan tersebut langkah pertama ialah menunjukan kepada klien bahwa masalah yang dihadapinya berkaitan dengan keyakinan irasionalnya dan  menunjukn bagaimana klien mengembagkan nilai dan sikapnya dan menunjukkan secara kognitif bahwa klien telah memasukan banyak   “keharusan”,   “sebaiknya”,   dan   ‘semestinya”.   Klien   harus   belajar memisahkan keyakinan yang rasional dari keyakinan irasioalnya.

Langkah yang kedua adalah, membawa klien ke seberang tahap kesadaran dengan menunjukan bahwa dia sekarang mempertahankan ganguan emosional untuk tetap aktif dan terus berfikir secara tidak logis dan dengan mengulang kalimat yang mengalahkan diri dan yang menekankan pengaruh pada masa kanak- kanak. Untuk melangkah ke seberang pengakuan klien atas pikiran dan perasaan irasionalnya terapis mengambil langkah selanjutnya yaitu berusaha agar klien memperbaiki pikiran-pikiranya dan meningalkan gagasan irasionalya. REBT berangapan bahwa keyakinan yang tidak logis itu berakar dalam sehingga biasanya klien tidak bersedia mengubahnya sendiri. Terapis harus membantu klien untuk memahami hubungan antara gagasan yang mengalahkan diri dan filsafatnya yang tidak realistis yang menjerumus pada penyalahan diri.

Jadi langkah terakhir yang harus ada dalam proses REBT adalah menantang klien untuk mengembangkan hidup yang rasional sehingga bisa menghindari kumungkinan enjadi korban keyakinan yang irasional. Menangani masalah – masalah atau gejala – gejala yang spesifik saja tidak menjamin bahwa masalah lain tidak muncul, yang diharapkan ialah dapat mengajarkan klien bagaimana sikap keyakinan dan sikap irasional dengan sikap yang rasional.

Terapis yang bekerja dalam REB fungsinya berbeda dengan kebanyakan terapis yang lebih konvensional, karena REB adalah suatu proses terapeutik kognitif dan behaviornya yang aktif-direktif, REB sering meminimalkan hubungan yang intens antara terapis dan klien. REB itu sendiri adalah proses edukasi dan tugas terapis adalah mengajarkan klien untuk dapat mengubah dan memahami dan mengubah diri. Terapi dapat menggunakan metode yang sangat direktif dan persuasive yang menekankan pada aspek kognitif, Ellis memberikan gambaran tentang apa yang dilakukan oleh konselor REB:

(a)  Mengajak klien untuk berpikir tentang beberapa gagasan dasar yang irasional yang telah memotivasi banyak ganguan tingkah laku; 

(b)  Menantang klien untuk menguji gagasanya

(c)  Menunjukan kepada klien ketidaklogisan pemikirannya

(2)  Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling 

Kelompok Konseling kelompok rational emotive behavior memiliki tujuan utama untuk membantu peserta menginternalisasikan filosofi kehidupan yang rasional seperti halnya ketika mereka menginternalisasikan seperangkat keyakinan dogmatis dari lingkungan sosial budaya maupun hasil penemuan mereka sendiri. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, pemimpin kelompok memiliki beberapa fungsi dan tugas khusus seperti menunjukkan kepada anggota kelompok bagaimana mereka telah menciptakan gangguan emosi dan perilaku mereka sendiri. Pemimpin kelompok membantu anggota kelompok mengidentifikasi dan menantang keyakinan irasional yang pada awalnya mereka terima tanpa keraguan dengan menunjukkan bagaimana mereka terus mengindoktrinasi diri dengan keyakinan irasional. Selanjutnya pemimpin kelompok mengajari anggota kelompok cara memodifikasi pemikiran irasional mereka dengan mengembangkan keyakinan alternative yang rasional. Pemimpin kelompok membantu anggota kelompok untuk menghentikan lingkaran setan dari menyalahkan diri sendiri dan orang lain.

Dalam konseling rational emotive behavior mengasumsikan bahwa keyakinan irasional pada diri individu sudah tertanam kuat  sehingga tidak akan  mudah berubah. Oleh karenanya, untuk menghasilkan perubahan kognitif yang signifikan, pemimpin kelompok menggunakan berbagai teknik kognitif dan emosi aktif (Ellis,
1996, 2001b; Ellis & Dryden, 2007).

Praktisi konseling kelompok rational emotive behavior menyukai intervensi seperti bertanya, berkonfrontasi, menegosiasikan tugas pekerjaan rumah, dan membantu anggota bereksperimen dengan cara berpikir, merasa, dan melakukan hal-hal yang baru. Para pemimpin kelompok konseling rational emotive behavior aktif dalam mengajarkan model teoretis, mengusulkan metode copyng, dan mengajar para anggota tentang strategi untuk menguji hipotesis dan solusi.

Para  pemimpin  kelompok  REB  berperan  sebagai  pendidik  psikologis, dan mereka cenderung menghindari hubungan yang terlalu dekat dengan anggota mereka dan dengan demikian menghindari terjadinya kecenderungan ketergantungan mereka. Mereka memberikan penerimaan tanpa syarat daripada kehangatan dan persetujuan (Dryden, 2009b). Namun, praktisi kelompok REB menunjukkan rasa hormat kepada anggota kelompok mereka dan cenderung kolaboratif, mendorong, mendukung, dan membimbing konseli.

Praktisi REB menggunakan peran sebagai pengarah yang mendorong anggota untuk berkomitmen dan berlatih dalam situasi sehari-hari tentang apa yang mereka pelajari dalam sesi  kelompok. Mereka memandang apa  yang  terjadi selama kelompok sebagai hal yang penting, tetapi mereka menyadari bahwa kerja keras antar sesi kelompok dan setelah konseling dihentikan bahkan lebih penting lagi. Konteks kelompok memberi para anggota alat-alat yang dapat mereka gunakan untuk menjadi mandiri dan menerima diri mereka tanpa syarat ketika mereka menghadapi masalah- masalah baru dalam kehidupan sehari-hari.

c) Pengalaman Konseli

Konseli adalah individu yang memiliki sikap, persepsi, cara berpikir, keyakinan serta pandangan-pandangan irasional dan ilogis. Konseli belajar cara mengaplikasikan pemikiran logis untuk memecahkan masalahnya dan kemampuan mengubah pola pikir dan emosinya yang keliru. Hubungan konseling yang ditandai dengan ketulusan, pemahaman, dan penghargaan positif penting bagi pencapaian tujuan konseling tetapi tidak mencukupi bagi terjadinya perubahan tingkahlaku bagi konseling. Diperlukan teknik-teknik konseling untuk membantu konseli mengubah pikiran, perasaan, dan tindakan yang produktif bagi pengembangan dirinya secara optimal. 

d) Tahapan Konseling

Konseling Rational Emotive Behavior dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah  laku dalam  batas-  batas  tujuan  yang  disusun  secara  bersama  oleh konselor dan konseli. Proses Konseling Rational Emotive Behavior memiliki karakteristik tahapan atau prosedur yang dielaborasi dari prosedur yang dikemukakan oleh Hansen (1982) dan Seligman (2006) adalah: 

(1)Pembinaan hubungan konseling.

Pada tahap ini, konselor menciptakan suasana kondusif bagi konseling  yang ditandai adanya penerimaan, pemahaman, dan ketulusan sehingga timbul rasa percaya konseli kepada konselor

(2) Tahap pengelolaan pemikiran dan cara pandang.

Tahap ini konselor memiliki empat hal yang perlu dilakukan, meliputi:

(a) Mengidentifikasi, menerangkan dan menunjukkan masalah (dalam sudut pandang teori A-B-C) yang dialami oleh konseli seiring dengan adanya keyakinan irasional dalam dirinya.
(b) Mengajarkan dan memberikan informasi mengenai masalah yang dialaminya dilihat dari peranan keyakinan (Belief) baik rasional maupun irasional dan bagaimana peranan peristiwa pemicu (A/activating event) maupun dampak yang mengikutinya (C/consequence) dalam masalah konseli 
(c) Mendiskusikan  dan   menetapkan  tujuan  konseling  bersama konseli (apa yang ingin dicapai atau diupayakan teratasi dalam proses konseling).
(d) Menerapkan berbagai teknik untuk mendebat atau menentang (dispute) keyakinan-keyakinan irasional dalam diri konseli antara lain dengan menerapkan teknik konfrontasi, merekstrukturisasi pola berpikir (kognitif), menghentikan cara berpikir irasional (thought stopping), dan lain sebagainya.

(3) Tahap Pengelolaan emosi atau afektif

Pada tahap ini konselor melanjutkan tahap sebelumnya terkait dengan pengelolaan pemikiran. Dalam hal ini konselor memusatkan perhatiannya pada proses pengelolaan emosi atau afeksi konseli sebagai kondisi yang mendukung kemantapan proses perubahan pemikiran atau keyakinan irasional (irrational belief) ke arah keyakinan yang lebih adaptif atau rasional (rational belief). Ada tiga hal yang perlu dilakukan oleh konselor dalam mengaplikasikan tahap ini, yaitu:

a) Konselor meminta persetujuan konseli atas arah perubahan- perubahan kecil atau sederhana yang mungkin telah terjadi pada dirinya.
b) Konselor berupaya untuk memfasilitasi dan memelihara suasana proses konseling agar tetap kondusif bagi terjadi perubahan emosi yang mendukung perubahan pemikiran. Hal ini dapat dilakukan antara lain dengan menerapkan teknik humor, teknik metafora, dan lain sebagainya.
c)  Selain itu, konselor juga dapat menerapkan teknik-teknik relaksasi atau meditasi agar mengurangi ketegangan fisik maupun psikis sebagai dampak dari pemikiran irasional dalam masalah yang dihadapi konseli.

(4) Tahap pengelolaan tingkah laku

Sebelum masuk pada tahap pengelolaan tingkah laku, maka konselor  konselor  perlu  mengamati  lebih  lanjut  kondisi  konseli 
apabila ia telah menampakkan isyarat terkait dengan (1) persetujuan konseli atas perubahan yang dikehendaki dalam proses konseling, (2) adanya perubahan- perubahan pemikiran/kognitif maupun afektif meskipun kecil dan (3) adanya perubahan sikap emosional yang mengarah pada perubahan perilaku, dengan demikian konselor mengajak konseli masuk pada tahap pengelolaan tingkah laku. Pada tahap ini konselor melakukan beberapa hal, yaitu:

a) Menganjurkan konseli untuk bertindak dan memberikan balikan atas apa yang akan dilakukan sebagai konsekuensi pemecahan masalahnya
b) Menunjukkan contoh tingkah laku yang adaptif, cocok, dan pantas antara lain menerapkan teknik modeling, latihan asertif, dan sebagainya
c) Mengajak  dan  memandu  konseli  untuk  merumuskan kalimat- kalimat rasional sebagai wicara diri (self-talk atau self-instruction) agar konseli lebih memantapkan diri secara personal dengan “membisikkan pada dirinya sendiri

atau memerintahkan pada dirinya sendiri” untuk melakukan hal- hal yang lebih adaptif dan rasional.

e) Teknik Konseling


Teknik konseling dengan pendekatan Rational Emotive Behavior (REB) dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok, yaitu: teknik kognitif, teknik emotif, dan teknik behavior (tingkah laku).

(1)   Teknik Kognitif

Praktisi REBT biasanya menggabungkan metodologi kognitif yang kuat dalam proses konseling. Mereka menunjukkan kepada konseli secara  cepat  dan langsung tentang apa yang diketahui oleh diri mereka sendiri. Kemudian diajarkan bagaimana menangani pernyataan tentang diri sehingga mereka tidak lagi mempercayainya, mendorong untuk  memperoleh filsafat  didasarkan  pada  realitas. Konseling     REB     menaruh     kepercayaan     pada     pemikiran, mempertanyakan, memperdebatkan, menantang, menafsirkan, menjelaskan, dan  mengajarkan. Berikut  adalah  beberapa  teknik kognitif tersedia untuk konselor.

(a) Mempertanyakan keyakinan irasional

Metode kognitif yang paling umum dari konseling REB terdiri dari aktivitas konselor dalam mempertanyakan keyakinan irasional konseli dan mengajarkan bagaimana cara menantangnya tanpa bantuan orang lain. Berikut adalah beberapa contoh pertanyaan atau pernyataan konseli belajar untuk memberitahu diri mereka sendiri:  "Mengapa orang  harus  memperlakukan saya  dengan adil?"

(b) Pekerjaan rumah kognitif

Konseli pada konseling REB diharapkan untuk membuat daftar masalah mereka, mencari keyakinan mutlak, dan mempertanyakan keyakinan ini. Pekerjaan rumah adalah cara melacak "seharusnya" dan "keharusan" yang merupakan bagian dari pesan diri yang internalisasi. Sebagai contoh, konseli dengan bakat akting yang takut berakting didepan penonton karena takut gagal. Konseli diinstruksikan untuk menggantikan  "Saya akan terlihat bodoh,

" atau "Tidak ada yang akan menyukai saya" menjadi pesan yang lebih positif seperti "Saya bisa berakting”. Saya akan melakukan yang terbaik yang saya bisa. Konseli didorong untuk melaksanakan tugas tertentu selama konseling dan khususnya dalam keseharian. Dengan cara ini konseli secara bertahap belajar untuk mengatasi kecemasan dan menantang pemikiran irasional dasar. Konselor mendengarkan dan mengevaluasi rekaman sesi  konseling mereka sendiri. Membuat perubahan butuh kerja keras, dan melakukan pekerjaan di luar sesi adalah nilai nyata dalam merevisi pemikiran konseli, perasaan, dan perilaku. 

(c) Mengubah gaya berbahasa seseorang

Konseling REB berpendapat  bahwa bahasa  yang  tidak  tepat adalah salah satu penyebab dari kesalahan proses berpikir seseorang. Konseli belajar bahwa "harus," "seharusnya," dan "harus" dapat digantikan. "Ini akan benar-benar mengerikan jika...,” Mereka belajar untuk mengatakan" Ini akan nyaman jika ”

(d) Metode Pendidikan Psikologi

REB dan  sebagian besar program konseling perilaku kognitif lainnya  memperkenalkan konseli  dalam  berbagai  pendidikan. Konselor mendidik konseli tentang sifat mereka dan bagaimana pengobatan lanjutan. Konseli dimungkinkan bekerja sama dengan program pengobatan jika mereka memahami bagaimana proses konseling bekerja dan jika mereka memahami teknik tertentu yang digunakan (Ledley, Marx, & Heimberg, 2005).

(2) Teknik Emotif

Konseli diajarkan tentang nilai dari penerimaan tanpa syarat. Meskipun perilaku mereka mungkin sulit untuk diterima, mereka dapat memutuskan untuk melihat diri mereka sebagai orang yang berguna. Teknik konseling yang emotif dan evokatif:

(a) Imajinasi rasional emotif

Teknik ini merupakan bentuk latihan mental yang intens yang dirancang untuk membangun pola emosi baru (lihat Ellis, 2001a,
2001b). Konseli membayangkan diri berpikir, merasakan, dan berperilaku tepat seperti yang mereka inginkan dalam berpikir, merasakan, dan berperilaku dalam kehidupan nyata (Maultsby,
1984). Ellis  (2001a, 2008) menyatakan bahwa jika  kita  terus mempraktikan imajinasi rasional emotif beberapa kali dalam seminggu selama beberapa minggu, kita bisa mencapai titik dimana kita tidak lagi merasa marah atas peristiwa negatif. 

(b) Penggunaan kekuatan dan ketegaran

Ellis telah menyarankan penggunaan kekuatan dan energi sebagai cara untuk membantu konseli beranjak dari pemahaman intelektual ke emosional. Konseli juga ditunjukkan bagaimana cara menggunakan dialog yang kuat dengan diri mereka sendiri dimana mereka mengungkapkan keyakinan irasional dan kemudian mempertanyakannya. Konseli akan melakukan hal-hal baru dan sulit, dan dengan cara ini mereka menempatkan wawasan mereka untuk menggunakan dalam bentuk tindakan nyata. Dengan bertindak secara berbeda, mereka juga cenderung untuk menggabungkan keyakinan fungsional.

(c) Kartu kontrol emosional

Merupakan alat yang dapat membantu konseli menguatkan dan memperluas praktik konsleing rational emotive behavior (REB). Biasanya digunakan untuk memperkuat proses belajar, secara lebih  khusus perasaan marah (anger), kritik  diri,  kecemasan, depresi. Teknik ini berisi dua kategori perasaan yang pararel, yaitu perasaan yang seharusnya atau yang merusak diri dan perasan yang sesuai atau tidak merusak diri.

(d) Proyeksi waktu

Meminta konseli untuk menvisualisasikan kejadian yang tidak menyenangkan ketika kejadian itu terjadi, setelah itu membayangkan 

seminggu kemudian, sebulan kemudian, setahun kemudian, dst. Bagaimana konseli merasakan perbedaan tiap waktu yang dibayangkan. Konseli dapat melihat bahwa hidup berjalan terus dan membutuhkan penyesuaian.

(e) Teknik melebih-lebihkan

Meminta konseli membayangkan kejadian yang menyakitkan atau kejadian yang menakutkan, kemudian melebih-lebihkannya sampai pada taraf yang paling tinggi. Hal ini bertujuan agar konseli dapat mengontrol ketakutannya.

(3) Teknik Behavior

(a) Teknik Reinforcement

Teknik yang digunakan untuk mendorong konseli ke arah perilaku yang lebih rasional dan logis dengan jalan memberikan pujian verbal (reward) ataupun punishment. Bila perilaku konseli mengalami kemajuan dalam arti positif, maka ia dipuji “baik”, bila mundur dalam arti negatif, maka dikatakan “tidak baik”. Teknik ini dimaksudkan untuk membongkar sistem nilai yang positif.

(b) Teknik Social modeling

Teknik yang digunakan untuk membentuk perilaku-perilaku baru pada konseli. Teknik ini dilakuakan agar konseli dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara mengimitasi, mengobservani dan menyesuaikan dirinya dengan social model yang dibuat itu. Dalam teknik, konselor mencoba mengamati bagaimana proses konseli mempersepsi, menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma- norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan konselor. Model-model dalam social model, antara lain: 

1.  Live models

Digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu, khususnya situasi-situasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapan sosial, interaksi dengan orang tua, orang dewasa, guru, atau dengan teman-teman sekelompoknya. Dalam live models ini,

konseli dilatih untuk mengidentifikasikan dirinya dengan orang- orang tertentu yang menjadi model untuk kehidupan dan perilakunya.

2.  Filmed models

Suatu model perilaku yang difilmkan, sehingga konseli dapat mengimentasiken dan  mengidentifikasikan dirinya dengan model perilaku yang dimunculkan dalam film.

3.  Audio tape recorde models

Digunakan dengan maksud agar konseli dapat mempelajari tingkah laku baru dengan melihat dan mendengarkan orang lain menyatakan perilaku dalam situasi tertentu.

(c) Dispute tingkah laku (Behavioral Disputation)

Behavioral Disputation atau risk taking, yaitu memberi kesempatan kepada konseli untuk mengalami kejadian yang menyebabkanya berpikir irasional dan  melawan keyakinannya tersebut. Contoh, bila konseli memiliki keyakinan bahwa ia harus sempurna mengerjakan tugas, maka konseli diminta untuk mengerjakan tugas seadanya.

(d) Bermain peran (Role Playing)

Dengan bantuan konselor konseli melakukan role playing tingkah laku baru yang sesuai dengan keyakinan yang rasional.

(e) Peran rasional terbalik (Rational Role Revesal) 

Meminta konseli untuk memainkan peran yang memiliki keyakinan rasional sementara konselor memainkan peran konseli yang irasional. Konseli melawan keyakinan irasional konselor dengan keyakinan rasional yang diverbalisasikan.

(f) Pengalaman langsung (Exposure)

Konseli secara sengaja memasuki situasi yang menakutkan. Proses ini dilakuakan melalui perencanaan dan penerapan keterampilan mengatasi masalah (coping skills).

(g) Latihan menyerang rasa malu

Melakukan konfrontasi terhadap ketakutan untuk malu dengan secara sengaja bertingkah laku yang memalukan dan mengundang ketidaksetujuan lingkungan sekitar. Dalam hal ini konseli diajarkan mengelola dan mengatisipasi perasaan malunya. Ellis (1999b, 2000, 2001a, 2001b) mengembangkan latihan untuk membantu orang mengurangi rasa malu atas perilaku tertentu. Titik utama dari latihan ini, yang biasanya melibatkan komponen baik emosi dan perilaku adalah bahwa konseli bekerja merasa malu bahkan ketika orang lain jelas tidak menyetujui mereka. Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan diri dan tanggung jawab yang matang, serta membantu konseli melihat bahwa banyak dari yang mereka anggap sebagai yang memalukan harus dilakukan dengan cara mendefinisikan realitas untuk diri mereka sendiri.

(h) Teknik Imitasi

Teknik yang digunakan dimana konseli diminta untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud melawan perilakunya sendiri yang negatif. 




Daftar Pustaka

Isrofin, Binti. 2019. Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunawan, Ph.D. 2019. Modul 2 Materi Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugiyo ; Amin Nurul Z. 2019. Modul 3 Perencanaan dan Evaluasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni Prafitra E. Modul 5 Strategi Layanan Responsif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni  Prafitra  E.  Modul  5  Strategi  Layanan  Responsif.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar