Tujuan dan Proses Konseling realita


Tujuan dan Proses Konseling

a.  Tujuan Konseling

Tujuan utama pendekatan konseling ini untuk membantu menghubungkan (connect) atau menghubungkan ulang (reconnected) klien dengan orang lain guna mendorong pencapaian quality world (Corey, 2005; Wubbolding, 2007). Individu yang bermasalah pada umumnya berusaha memenuhi kebutuhannya dengan cara-cara yang Cara-cara tersebut kemudian seringkali membawa dia  pada kualitas hubungan dia dengan orang lain yang tidak menyenangkan. Sebagai contoh, seorang siswa yang suka membolos karena merasa sekolah tidak penting sebab orangtua tidak  pernah menghargai usaha belajarnya. Akhirnya, siswa tersebut merasa bahwa belajar bukan merupakan cara yang efektif untuk memenuhi kebutuhannya (setidaknya kebutuhan untuk mendapat perhatian atau kasih sayang dari orangtuanya) dan kemudian mengembangkan perilaku membolos karena dianggapnya sebagai cara yang lebih efektif untuk memenuhi kebutuhan dasarnya (membolos bisa mendapat banyak teman). Konseling realita, dalam kaitannya dengan contoh tadi, berkepentingan untuk mendorong individu mencapai identitas berhasil.

b. Peran dan Fungsi Konselor

(1) Peran  Peran  dan  Fungsi  Konselor  dalam  Seting  Konseling Individu

(a) Mengembangkan kondisi fasilitatif dalam konseling dan hubungan baik dengan klien. Kondisi fasilitatif dalam konseling merupakan bagian integral dari prosedur konseling dan memiliki makna yang sama pentingnya dengan prosedur konseling (lihat Wubboolding,

2007, 1995). Oleh karena itu, konselor dituntut untuk mampu menciptakan kondisi konseling yang kondusif guna melandasi implementasi prosedur  konseling.  Tanpa  terciptanya  hubungan fasiltatif dalam konseling, implementasi prosedur konseling tidak memiliki landasan yang tepat dan konseling menjadi tidak efektif.

(b) Mengajarkan  klien  untuk  mengevaluasi  perilakunya,  misalnya dengan bertanya, “Apakah perilaku Anda (atau  nama) saat ini membantu Anda untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan Anda?” Evaluasi perilaku merupakan bagian yang sangat penting untuk mendorong konseli membuat pilihan-pilihan baru yang lebih efektif guna memenuhi kebutuhan dasarnya.

(c) Menyampaikan  dan  meyakinkan  kepada  klien  bahwa  seburuk apapun suatu kondisi masih ada harapan. Makna dari teori pilihan (choice theory) adalah adanya suatu harapan dalam setiap tindakan dan kejadian.

Melihat setiap peristiwa dari perspektif teori pilihan menampakkan kenyataan bahwa segala sesuatu tidak terjadi secara mekanistis melainkan suatu produk dari pilihan.

2) Peran dan Fungsi Konselor dalam seting Konseling Kelompok

Tugas dasar konselor adalah melibatkan diri dengan konseli dan kemudian membuatnya menghadapi kenyataan. Glasser (1965) merasa bahwa, ketika konselor menghadapi para konseli, dia memaksa mereka itu untuk memutuskan apakah mereka akan atau tidak akan menempuh "jalan yang bertanggung jawab". Konselor sebagai pemimpin kelompok tidak membuat pertimbangan- pertimbangan nilai dan putusan-putusan bagi para anggota kelompok, sebab tindakan demikian akan menyingkirkan tanggung jawab yang mereka miliki. Tugas konselor adalah bertindak sebagai pembimbing yang membantu konseli agar bisa menilai tingkah lakunya sendiri secara realistis. 

Konselor sebagai pemimpin kelompok diharapkan memberikan pujian apabila para anggota kelompok bertindak dengan cara yang bertanggung jawab dan menunjukkan ketidaksetujuan apabila mereka tidak bertindak demikian. Para konseli membutuhkan tipe penilaian semacam itu. Menurut Glasser (1965, him. 28), konselor harus bersedia untuk berfungsi sebagai seorang guru dalam hubungannya dengan konseli. Konselor harus mengajari konseli bahwa tujuan terapi tidak diarahkan kepada kebahagiaan. Konselor realitas berasumsi bahwa konseli bisa menciptakan kebahagiaannya sendiri dan bahwa kunci untuk menemukan kebahagiaan adalah penerimaan tanggung jawab. Oleh karena itu, konselor tidak menerima pengelakan atau pengabaian kenyataan, dan tidak pula menerima tindakan konseli menyalahkan apapun atau siapa pun di luar dirinya atas ketidakbahagiaannya pada saat sekarang. Tindakan yang demikian akan melibatkan konseli dalam "kenikmatan psikiatrik" yang segera akan hilang dan mengakibatkan penyesalan. 

c. Pengalaman Konseli

Para konseli dalam konseling realitas bukanlah orang-orang yang telah belaiar menjalani kehidupan secara bertanggung jawab, melainkan orang-orang yang termasuk tidak bertanggung jawab. Meskipun tingkah lakunya tidak layak, tidak realistis, dan tidak bertanggung jawab, tingkah laku para klien itu masih merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan- kebutuhan dasar mereka akan cinta dan rasa berguna. Tingkah laku mereka itu pun merupakan upaya untuk memperoleh identitas meskipun boleh jadi "identitas kegagalan". Perhatian terapeutik diberikan kepada orang yang belum belajar atau kehilangan kemampuan untuk menjalani kehidupan yang bertanggung jawab.

Para konseli diharapkan berfokus kepada tingkah laku mereka sekarang alih-alih kepada perasaan-perasaan dan sikap-sikap mereka. Konselor menantang para konseli untuk memandang secara kritis apa yang mereka perbuat dengan kehidupan mereka dan kemudian membuat pertimbangan-pertimbangan nilai yang menyangkut keefektifan tingkah laku mereka dalam mencapai tujuan- tujuan. Karena para konseli bisa mengendalikan tingkah lakunya lebih mudah daripada mengendalikan perasaan-perasaan dan pikirannya, maka tingkah laku mereka itu menjadi fokus  terapi.  Jika  seorang konseli  mengeluh bahwa dirinya merasa cemas, konselor bisa bertanya kepada klien, "Apa yang Anda lakukan untuk membuat diri sendiri cemas?" Fokusnya bukanlah perasaan cemas, melainkan membantu konseli agar memperoleh kesadaran atas apa yang dilakukannya sekarang yang menjadikan dirinya cemas. Pemeriksaan dan evaluasi atas apa yang dilakukan oleh konseli secara berkesinambungan dilakukan selama terapi. 

Setelah para konseli membuat penilaian tertentu tentang tingkah lakunya sendiri serta memutuskan bahwa mereka ingin berubah, mereka diharapkan membuat rencana-rencana yang spesifik guna mengubah tingkah laku yang gagal menjadi tingkah laku yang berhasil. Para konseli harus membuat suatu komitmen untuk melaksanakan rencana-rencana ini; tindakan menjadi keharusan. Mereka tidak bisa menghindari komitmen dengan mempersalahkan, menerangkan, atau memberikan dalih. Mereka harus terlibat aktif dalam pelaksanaan kontrak-kontrak terapi mereka sendiri secara bertanggung jawab apabila ingin mencapai kemajuan. 

d. Tahapan Konseling

Prosedur pendekatan konseling realitas dilaksanakan dalam sistem WDEP (lihat Corey, 2005, 2009; Seligman, 2006; Wubbolding, 2007,

1995). Setiap huruf dari WDEP mengacu pada kumpulan strategi: W = wants and needs (keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan), D = direction and doing (arah dan tindakan), E = self evaluation (evaluasi diri), dan  P  =  planning  (perencanaan). Bahasan  berikut  diarahkan  untuk menguraikan  sistem  WDEP  yang  dikembangkan Wubbolding  (2007, 1995).

Wubbolding (Nystul, 2006, Seligman, 2006) sebagai seorang jurubicara terkemuka konseling realitas mengemukakan prosedur konseling realitas dengan sistem WDEP. Sistem tersebut terdiri atas empat  tahap  yaitu  wants  (keinginan), doing  (melakukan), evaluation (penilaian), dan planning (merencanakan). W berarti keinginan, kebutuhan, dan persepsi konseli. Pada tahap W, konselor mengidentifikasi apa yang diinginkan konseli dalam kehidupan dengan mengajukan pertanyaan seperti ”Apa yang kamu inginkan?” (dari belajar, keluarga, teman-teman, dan lain-lain). D berarti apa yang dilakukan konseli dan  arah yang dipilih dalam hidupnya. Pada tahap tersebut, konselor  membantu  konseli  mengidentifikasi apa  yang  dilakukannya dalam mencapai tujuan yang diharapkan dengan mengajukan pertanyaan antara lain ”Apa yang kamu lakukan?” dan mengidentifikasi arah hidupnya dengan   mengajukan   pertanyaan ”Jika kamu terus menerus melakukan apa yang kamu lakukan sekarang, akan ke mana kira-kira arah hidupmu?” E berarti melakukan evaluasi terhadap apa yang dilakukan akhir-akhir ini. Pada tahap ini, konselor membantu konseli melakukan penilaian diri untuk menentukan keefektivan apa yang dilakukan bagi  pencapaian kebutuhannya. Untuk  itu,  konselor dapat menggunkan pertanyaan antara lain ”Apakah yang kamu lakukan akhir- akhir ini dapat membantumu memenuhi keinginanmu? P berarti membuat rencana perubahan perilaku. Pada tahap ini, konselor membantu konseli merencanakan pengubahan tingkah laku yang lebih bertanggung jawab bagi pencapaian kebutuhannya. 

Perencanaan dibuat berdasarkan hasil evaluasi perilaku pada tahap sebelumnya. Dalam tahap tersebut, konselor dapat mengajukan pertanyaan misalnya, ”Apa yang akan kamu lakukan agar dapat memenuhi keinginanmu?” Agar rencana tersebut efektif maka perencanan tindakan yang dibuat berupa rencana yang sederhana, dapat dicapai, terukur, segera, dan terkendalikan oleh konseli.

e. Teknik Konseling

Teknik yang sering digunakan dalam pendekatan konseling realita menurut beberapa ahli (Burns, 2005; Ramli, 1994; Seligman, 2006; Sharf, 2004) adalah:

(1)  Metafora. Ungkapan konseli tidak selalu dapat diekspresikan dengan bahasa  langsung.  Terkadang  ungkapan-ungkapan semacam  itu akan lebih terwakili ketika konseli memanfaatkan metafora, perumpamaan, peribahasan dan analog. Teknik metafor digunakan ketika konseli memanfaatkan kiasan dalam mengekspresikan dirinya. Konselor, dalam implementasi teknik metafor, diharapkan mampu berkomunikasi dengan konseli pada tataran metafor. Ketika konseli mengungkapkan, “Jika dia mau meninggalkan saya, maka saya benar-benar sudah jatuh ketiban tangga…” misalnya, maka konselor dapat merespon dengan, “Apa yang Anda rasakan dengan jatuh yang Anda maksudkan?” Pembicaraan dalam teknik metafor ini sebenarnya diarahkan untuk menyamakan persepsi antara apa yang dirasakan konseli dengan apa yang dipahami konselor.

Konfrontasi. Ketika konseli tidak menjalankan rencana yang telah dibuatnya, konselor harus tidak diperkenankan untuk ‘memaafkan’ perilaku konseli tersebut. Pada satu sisi konselor dituntut untuk menolak alasan- alasan konseli karena tidak menjalankan program konseling, sementara di sisi lain konselor dituntut untuk mendorong konseli berpikir dan membuat rencana-rencana baru yang dapat dilaksanakannya. Hansen, Stevic dan Warner (1982) menyebut kondisi ini sebagai no excuses. Menanggapi kejadian semacam ini

(2)  konselor menggunakan teknik konfrontasi. Konselor menunjukkan kesenjangan: kesenjangan antara tindakan konseli dengan kebutuhannya, penerimaan konselor dengan tuntutan untuk melakukan perubahan dengan membuat rencana baru. Akhir dari konfrontasi selalu mengarah pada hal positif, bukan untuk menyalahkan konseli.

(3)  Teknik paradoksikal. Ada dua jenis teknik paradoksikal, yaitu:

(a) Reframe.  Teknik  reframe  dilakukan untuk  mendorong konseli untuk mengubah cara berpikirnya tentang suatu topik. Mengubah sudut pandang dari sisi negatif dari suatu peristiwa menjadi sudut pandang dari sisi positif. Melalui pengubahan cara berpikir ini bisa jadi sesuatu yang awalnya tidak disukai menjadi disukai, demikian pula sebaliknya.

(b) Paradoxical prescription. Teknik ini dilakukan dengan mendorong konseli untuk membayangkan hal yang paling buruk yang mungkin bisa terjadi serta mencari solusi untuk menghadapinya.

(4)  Pengembangan   keterampilan.   Pengajaran   merupakan   bagian penting dari konseling realita. Konselor dapat mengajarkan berbagai keterampilan yang bermanfaat bagi kehidupan konseli, seperti keterampilan asertif, berpikir rasional, teknik pemecahan masalah, mengembangkan kecanduan positif (positive addiction).

(5) Renegosiasi. Dalam rangka memenuhi kebutuhannya konseli terkadang berpikir untuk melakukan sesuatu yang selaras dengan identitas gagalnya. Menghadapi kondisi ini, konselor dapat menegosiasikan tindakan-tindakan berbeda yang selaras dengan prinsip-prinsip 3 R (responsibility, reality, and right).

(6)  Menggunakan kata kerja. Selaras dengan prinsip dari teori pilihan, maka konselor mendorong untuk selalu menggunakan kata kerja atas  setiap  apa  yang  dilakukan atau  dirasakan.  Ketika  konseli mengatakan, “Saya tertekan” misalnya, maka konselor mengajak konseli untuk mengatakan, “Saya memilih untuk menjadi tertekan.” 



Isrofin, Binti. 2019. Modul 1 Asesmen Kebutuhan Peserta Didik dan Sekolah. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sunawan, Ph.D. 2019. Modul 2 Materi Bidang Layanan Bimbingan dan Konseling. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Sugiyo ; Amin Nurul Z. 2019. Modul 3 Perencanaan dan Evaluasi Layanan Bimbingan dan Konseling Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni Prafitra E. Modul 5 Strategi Layanan Responsif. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Nugraheni  Prafitra  E.  Modul  5  Strategi  Layanan  Responsif.  Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar