Faktor Penyebab dan Dampak Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan


Faktor Penyebab dan Dampak Ketimpangan Sosial dan Kemiskinan

Ketimpangan sosial merupakan konsekuensi dari stratifikasi sosial. Ketimpangan Sosial atau Ketidaksetaraan Sosial merupakan satu konsep tentang posisi seseorang atau sekelompok orang yang tidak sama dibandingkan seseorang atau  sekolompok  orang  lainnya.  Ketimpangan sosial  ini  lebih  terlembagakan (institutionalized inequality) daripada bersifat individual. Bentuknya bisa ketidaksetaraan yang terstruktur antara kategori individu yang diciptakan secara sistematis, direproduksi,  dilegitimasi oleh  seperangkat  ide  dan  relatif bersifat stabil (Hurst, 2010: 4). 

Di dalam perspektif sosiologi, ketimpangan sosial tidak dilihat dari individu per individu, tetapi bagaimana satu lapisan sosial dengan jumlah sedikit dan tidak proporsional menentukan nasib orang yang lebih banyak.

Ketimpangan  sosial  kerap  dipandang  sebagai  kegagalan  dari  pembangunan yang mengejar pertumbuhan di sektor ekonomi dan mengabaikan perkembangan di sektor sosial. Ketimpangan sosial ditandai dengan ketidaksetaraan peluang atau  penghargaan untuk posisi sosial yang berbeda  atau  status sosial yang berbeda. Ketimpangan sosial disebabkan karena adanya distribusi kesempatan yang tidak sama. Hal ini yang melandasi ketimpangan sosial menjadi sebuah masalah sosial.

Untuk mencermati ketimpangan ekonomi atau pendapatan, sekaligus melihat pemerataan distribusniya, Corrado Gini (1912), seorang statistik Italia mengembangkan rumus Koefisien Gini. Dengan rumus tersebut, pada prinsip bila angka koefisien Gini mendekati  angka  0, maka  tidak  ada  ketimpangan  atau terjadi  pemerataan  pendapatan.  Sebaliknya,  bila  angka  koefisien  mendekati angka 1, maka ada ketimpangan pendapatan.

1)      Faktor Penyebab Ketimpangan Sosial

Faktor penyebab ketimpangan sosial dapat dinilai dari dua faktor, yakni faktor struktural dan faktor kultural.

a)  Faktor Struktural 

Faktor struktural merupakan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam menangani masyarakat, baik yang bersifat legal, formal, maupun dalam pelaksanaan kebijakannya.

b)  Faktor Kultural

Faktor kultural sebagai energi penggerak kehidupan masyarakat. Hal itu berkaitan dengan karakter masyarakat dalam melaksanakan kehidupannya. Dalam hal ini, kultur masyarakat berkaitan dengan nilai- nilai  yang dianut oleh suatu masyarakat. Jadi, faktor kultur sangatlah penting untuk dibenahi agar dapat menciptakan nilai-nilai produktif dalam mengatasi ketimpangan sosial sehingga terjadi keadilan sosial.
Poverty Global Practice World Bank (2018) lewat laporan bertajuk  Indonesia’s Rising   Divide  menyebutkan   empat  hal  yang  mendorong   ketimpangan  di Indonesia adalah:
(1) Ketimpangan  kesempatan  yang  memperkecil  peluang  sukses  anak- anak dari keluarga miskin. Akibatnya mereka tak mampu mengakses hal- hal  yang  memungkinkannya punya  kecakapan  (skill)  yang  dibutuhkan pasar dan kehilangan kesempatan mendapat pekerjaan bergaji bagus.
(2) Ketimpangan upah dalam dunia kerja. Pasar kerja kini dipenuhi oleh tenaga kerja, baik terampil atau tidak. Mereka yang punya kecakapan tinggi akan digaji besar sekali. Sebaliknya, yang kurang cakap dan belum punya kesempatan untuk mengembangkan diri akan terjebak dalam pekerjaan informal, bergaji kecil, dan kurang produktif.
(3) Konsentrasi kekayaan yang tinggi. Semakin terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang berarti pendapatan dari aset keuangan dan fisik juga mendorong ketimpangan semakin tinggi.
(4) Ketahanan ekonomi yang rendah. Apabila terjadi guncangan ekonomi atau  politik  hingga  menyebabkan  krisis  moneter  atau  PHK,  maupun terjadi  bencana  alam,  orang  kaya  tidak  akan  kesulitan  mengatasi masalah. Sebaliknya, rumah tangga yang tergolong miskin dan  rentan miskin, akan rentan ambruk pula jika terjadi guncangan ekonomi, kesehatan, sosial, politik, dan bencana alam.

2)      Dampak Ketimpangan Sosial 

Hurst (2010) menggambarkan bagaimana dampak ketimpangan sosial tidak saja terjadi di masyarakat, tetapi juga berakibat hingga di tingkat individu. Di masyarakat, kekurangan akses atau eksklusi sosial terhadap  kelompok yang kurang beruntung akan memaksa melakukan tindakan kriminal.
Ketimpangan berpengaruh di dalam keluarga. Akibatnya adalah kekerasan terhadap pasangan dan anak. Budaya patriaki yang mendudukan laki-laki pada posisi yang lebih tinggi sering mengakibatkan kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Ketimpangan berpengaruh terhadap kesehatan. Angka gizi buruk (stunting) menunjukkan kekurangan asupan gizi pada anak balita, sekaligus menunjukkan perhatian yang kurang terhadap kesehatan anak.
Tingginya ketimpangan sosial dapat menimbulkan dampak sosial yang memperparah konflik. Ketika masyarakat menyadari adanya jurang pendapatan dan kekayaan, maka potensi ketegangan sosial dan ketidakrukunan sangat mungkin  terjadi  dengan  tingkat  ketimpangan  lebih  tinggi  dari  rata-rata  di Indonesia memiliki rasio konflik 1,6 kali lebih besar dibandingkan daerah dengan tingkat ketimpangan lebih rendah.

Poverty Global Practice (2018) menyatakan bahwa kebijakan publik dapat membantu Indonesia memutus siklus ketimpangan antargenerasi. Bank Dunia merekomendasikan empat tindakan utama, yaitu:
a) Memperbaiki pelayanan publik di daerah
Kunci utama agar generasi berikutnya mendapatkan awal yang lebih baik adalah peningkatan pelayanan publik di daerah, sehingga dapat memperbaiki peluang kesehatan, pendidikan dan keluarga berencana bagi semua orang.
b)  Menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik dan peluang melatih keterampilan bagi tenaga kerja
Program pelatihan keterampilan dapat meningkatkan daya saing pekerja yang tidak sempat mengenyam pendidikan berkualitas. Selain itu, Pemerintah dapat membantu menciptakan pekerjaan-pekerjaan yang lebih baik melalui investasi lebih besar di infrastruktur, iklim investasi yang lebih 
kondusif dan perundang-undangan yang tidak terlalu kaku.
c) Memastikan perlindungan dari guncangan
Kebijakan pemerintah dapat mengurangi frekuensi dan keparahan guncangan, selain juga memberikan mekanisme penanggulangan untuk memastikan bahwa semua rumah tangga memiliki akses ke perlindungan memadai jika guncangan melanda
d) Menggunakan pajak dan anggaran belanja pemerintah
Kebijakan fiskal yang berfokus pada peningkatan belanja pemerintah di bidang  infrastruktur,  kesehatan  dan  pendidikan,  bantuan  sosial  dan jaminan sosial. Merancang sistem perpajakan yang lebih adil dengan memperbaiki sejumlah peraturan perpajakan yang saat ini mendukung terpusatnya kekayaan di tangan segelintir orang.

3)      Dimensi Kemiskinan

Menurut definisi Bank Dunia,  kemiskinan adalah kelaparan. Kemiskinan adalah ketiadaan  tempat  tinggal.  Kemiskinan  adalah  sakit  dan  tidak  mampu  untuk periksa ke dokter. Kemiskinan adalah tidak mempunyai akses ke sekolah dan tidak mengetahui bagaimana caranya membaca. Kemiskinan adalah tidak mempunyai pekerjaan dan khawatir akan kehidupan di masa yang akan datang. Kemiskinan adalah kehilangan anak karena penyakit yang disebabkan oleh air yang tidak bersih. Kemiskinan adalah ketidakberdayaan, ketiadaaan keterwakilan dan kebebasan.
Kemiskinan  Absolut  (absolut  poverty)     mengacu  pada  tingkat  minimum subsisten  bahwa  tidak  ada  keluarga  yang  harus  diharapkan  untuk  hidup  di bawah. Salah satu yang digunakan alat ukur untuk kemiskinan absolut adalah garis kemiskinan pemerintah, jumlah penghasilan berupa uang yang biasanya dihitung setiap tahun kencerminkan kebutuhan konsumsi keluarga berdasarkan ukuran dan komposisi Garis kemiskinan berfungsi sebaga definisi resmi orang miskin.   Dalam hal ini Badan Pusat Statistik (BPS) memberi patokan sebagai orang yang dikatakan miskin melalui kriteria berikut ini dengan persyaraatan Jika minimal 9 (sembilan) variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga bisa dikatakan miskin, yaitu: 
(1)    Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang
(2)    Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan
(3)    Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok tanpa diplester.
(4)    Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama rumah tangga lain. 
(5)    Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
(6)    Sumber air minum dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/ air hujan.
(7)    Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/ minyak tanah
(8)    Hanya   mengkonsumsi   daging/   susu/   ayam   dalam   satu   kali seminggu.
(9)    Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun
(10)  Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari
(11)  Tidak   sanggup   membayar   biaya   pengobatan   di   puskesmas/ poliklinik
(12)  Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas  lahan 500m2, buruh  tani,  nelayan,  buruh  bangunan,  buruh perkebunan   dan   atau   pekerjaan   lainnya   dengan   pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan
(13)  Pendidikan kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat  SD/ tamat SD.
(14)  Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,- seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Sebaliknya,  Kemiskinan  relatif  adalah    kemiskinan  yang  tidak  berhubung dengan garis kemiskinan, kemiskinan jenis ini berasal dari pandangan masing - masing orang, yaitu sebab orang itu merasa miskin.

Kuntjoro (2003) menyebutkan faktor-faktor terjadinya kemiskinan  adalah sebagai berikut :
(1) Secara  makro,  kemiskinan  muncul  karena  adanya  ketidaksamaan  nilai kepemiikan   sumber   daya   yang   menimbulkan   distribusi   pendapatan timpang, penduduk miskin hanya memiliki sumber daya dalam jumlah yang terbatas dan kualitasnya rendah.
(2) Kemiskinan  muncul  akibat  perbedaan  kualitas  sumber  daya  manusia karena kualitas sumber daya manusia yang rendah berarti produktivitas juga rendah, upahnya pun juga rendah.
(3) Kemiskinan muncul  sebab  perbedaan  dan  ketertiadaan  akses  manusia mempunyai keterbatasan (bahkan tidak ada) pilihan untuk mengembankan hidupnya kecuali menjalankan apa yang terpaksa  saat ini yang   dapat dilakukan (bukan apa yang seharusnya dilakukan). Dengan demikian manusia mempunyai keterbatasan dalam melakukan pilihan. Akibatnya potensi manusia untuk mengembangkan hidupnya menjadi terhambat.
4)      Kemiskinan Struktural dan Kemiskinan Kultural
Menurut Soemardjan (1984) kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat karena struktur sosial masyarakat ini tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan  yang  sebenarnya tersedia bagi mereka.
Kemiskinan   struktural   sebenarnya   sangat   terkait   dengan   interaksi  antara birokrasi (pemerintah) dengan inisiatif dari masyarakat, termasuk golongan yang miskin.
Konsep kemiskinan kultural pertama kali diungkapkan oleh Oscar Lewis. Menurut Lewis dalam (Palikhah, 2016) bahwa kemiskinan dapat muncul sebagai akibat nilai-nilai dan kebudayaan yang dianut oleh kaum miskin itu sendiri. Menurut Lewis, kemiskinan tidak hanya dilihat sebagai persoalan ekonomi saja namun juga dilihat sebagai cara hidup atau kebudayaan   Budaya kemiskinan merupakan suatu cara yang dipakai oleh orang miskin untuk beradaptasi dan bereaksi terhadap posisi mereka yang marginal dalam masyarakat yang memiliki kelas-kelas dan bersifat individualistik dan kapitalistik. Budaya  kemiskinan  ini kemudian mendorong terwujudnya sikap-sikap menerima nasib, meminta-minta atau mengharapkan bantuan atau sedekah yang sebenarnya merupakan suatu bentuk adaptasi yang rasional dan cukup pandai dalam usaha mengatasi kemiskinan yang mereka hadapi. 
5)      Perangkap Kemiskinan
Kemiskinan terkandung dalam perangkap kemiskinan. Perangkap kemiskinan itu sendiri adalah suatu kondisi atau situasi dimana seseorang tidak mencoba dan tidak bisa atau tidak merasa terdorong untuk keluar dari kemiskinan. Menurut Robert Chambers dalam (Suyanto, 2013) unsur-unsur dalam perangkap kemiskinan adalah kekurangan materi, kerentanan, kelemahan jasmani, ketidakberdayaan dan derajat isolasi. Kelima unsur perangkap kemiskinan tersebut oleh Chambers disebut sebagai sebuah lingkaran setan  yang mana antara unsur yang satu dengan yang lain saling berkaitan.
Secara  umum,  strategi  yang  dapat  dijalankan  untuk  menanggulangi kemiskinan  adalah:
(1) Membuka peluang dan kesempatan berusaha bagi orang miskin untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan ekonomi.
(2) Kebijakan   dan   program   untuk   memberdayakan   kelompok   miskin.
Kemiskinan memiliki sifat multidimensional, maka penanggulangannya tidak cukup hanya dengan mengandalkan pendekatan ekonomi, akan tetapi juga mengandalkan kebijakan dan program di bidang sosial, politik, hukum dan kelembagaan.
(3) Kebijakan  dan  Program  yang  melindungi  kelompok  miskin.  Kelompok masyarakat miskin sangat rentan terhadap goncangan internal (misalnya kepala keluarga meninggal, jatuh sakit, kena PHK) maupun goncangan eksternal (kehilangan pekerjaan, bencana alam, konflik sosial), karena tidak     memiliki     ketahanan     atau     jaminan     dalam     menghadapi goncangan‐goncangan tersebut.
(4) Kebijakan  dan  Program  untuk  memutus  pewarisan  kemiskinan  antar
generasi; hak anak dan peranan perempuan. Kemiskinan seringkali diwariskan dari generasi ke generasi berikutnya. Karena itu, rantai pewarisan kemiskinan harus diputus. Meningkatkan pendidikan dan peranan perempuan dalam keluarga adalah salah satu kunci memutus rantai kemiskinan.  
(5) Kebijakan dan program penguatan otonomi desa. Otonomi desa dapat menjadi ruang yang memungkinkan masyarakat desa dapat menanggulangi sendiri kemiskinannya.


sumber : modul belajar mandiri pppk ips sosiologi, Pembelajaran 5. Perubahan Sosial dan Pemberdayaan Komunitas, kemdikbud

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar