Kehidupan Bangsa Indonesia pada Masa Orde Baru


Kehidupan Bangsa Indonesia pada Masa Orde Baru

a.  Latar Belakang Munculnya Orde Baru

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Suharto diIndonesia. Lahirnya Orde Baru diawali dengan dikeluarkannya Surat Perintah Sebelas Maret 1966. Masa orde baru berlangsung dari tahun 1966 sampai tahun 1998. Dalam jangka waktu tersebut, pembangunan nasional berkembang pesat.

Pasca penumpasan G 30 S/PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Hal inimembuat situasi politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin   menurun.   Pada   saat  bersamaan,  Indonesia   menghadapi   situasi ekonomi yang terus memburuk mengakibatkan harga-harga barang kebutuhan pokok melambung tinggi. Kondisi   ini mendorong para pemudadan mahasiswa melakukan aksi-aksi demonstrasi menuntut penyelesaian yangseadil-adilnya terhadap pelaku G 30 S/PKI dan perbaikan ekonomi.

Pada tanggal 12 Januari 1966 pelajar, mahasiswa, dan masyarakan mengajukan

Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura) Isi Tritura tersebut, yaitu:

1) Bubarkan PKI.

2) Bersihkan Kabinet Dwikora dari unsur-unsur Gerakan 30 September.

3) Turunkan harga.

Tuntutan rakyat agar membubarkan PKI ternyata tidak dipenuhi. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri. Perubahan ini belum dapat memuaskan hati rakyat karena di dalamnya masih terdapat tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G 30 S/PKI. Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24Februari 1966, para mahasiswa, pelajar dan pemuda memenuhi jalan- jalanmenuju Istana Merdeka. Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Insiden berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan krisis politik semakin memuncak.

Guna   memulihkan    keamanan   negara,   pada    tanggal   11    Maret   1966 Presiden Soekarno mengeluarkan surat perintah kepada Letjen Soeharto untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu dalam rangka memulihkan keamanan dan kewibawaan pemerintah. Surat itu dikenal sebagai Surat Perintah 11 Maret, atau SP 11 Maret, atau Supersemar. Isi Supersemar adalah pemberian mandat kepada Letjen. Soeharto selaku Panglima Angkatan Darat dan Pangkopkamtib untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah.Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde Baru.Dalam rangka memulihkankeamanan, ketenangan, dan stabilitas pemerintahan, keesokan harinya setelahmenerima Supersemar Letjen Soeharto membubarkan dan melarang PKI beserta ormas-ormas yang bernaung atausenada dengannya di seluruh Indonesia,terhitung sejak tanggal 12 Maret 1966.

Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk kembali ke sekolah. Selanjutnya padatanggal 18 Maret 1966, Letjen. Soehartomenahan 15 orang menteri yang dinilai terlibat dalam G 30 S/PKI. Setelahitu, Letjen Soeharto memperbaharui kabinet dan membersihkan lembaglegislatif, termasuk  MPRS  dan DPR-Gotong  Royong  dari  orang-orang yang dianggap terlibat G30S/PKI.

Pada  tanggal  12  Maret  1967  Sidang  Istimewa  MPRS  menetapkan  Letjen Soeharto   sebagai   pejabat   presiden.   Kemudian   pada   tanggal   27   Maret 1968, MPRS mengukuhkannya sebagai presiden penuh. Dengan dikukuhkannya Letjen Soeharto sebagai  presiden, Indonesia memasuki masa  kepemimpinan yang baru, yaitu masa Orde Baru. Setelah memperoleh kekuasaan sepenuhnya,pemerintah Orde Baru melaksanakan penataan stabilitas politik. 

b.   Situasi Politik pada Masa Orde Baru

Sidang MPRS tahun 1968 menetapkan Suharto sebagai presiden untuk masa jabatan 5 tahun. Maka dimulailah masa Orde Baru. Masa ini diawali dengan dibentuknya kabinet baru yang bernama Kabinet Pembangunan dengan tugas Pancakrida, yang meliputi :

1) Penciptaan stabilitas politik dan ekonomi

2) Penyusunan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Lima Tahun Tahap pertama

3)  Pelaksanaan Pemilihan Umum

4) Pengikisan habis sisa-sisa Gerakan 30 September

5) Pembersihan  aparatur  negara  di  pusat  pemerintahan  dan  daerah  dari pengaruh PKI.

Suharto sebagai pengemban Supersemar guna menjamin keamanan, ketenangan, serta kestabilan jalannya pemerintahan maka melakukan :

1) Pembubaran  PKI  pada  tanggal  12  Maret 1966 yang  diperkuat  dengan dikukuhkannya Ketetapan MPRS No. IX Tahun 1966..

2) Dikeluarkan   pula   keputusan   yang   menyatakan   bahwa   PKI   sebagai organisasi terlarang di Indonesia.

3)  Pada tanggal 8 Maret 1966 dilakukan pengamanan 15 orang menteri yang dianggap terlibat Gerakan 30 September 1965. Hal ini disebabkan muncul keraguan bahwa mereka tidak hendak membantu presiden untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Dalam menyetabilkan kehidupan politik, pemerintah Orde Baru melalukan penyederhanaan partai politik. Sistem multi partai ala Soekarno memang membuka keterlibatan masyarakat dalam menjalankan haknya untuk berserikat dan berkumpul. 

Namun tetap saja memberikan keterbukaan dan memperuncing perbedaan dalam masyarakat atau lebih tepatnya membangun batasan-batasan pandangan politik yang memiliki  potensi besar terhadap  kesatuan. Soekarno tidak menyadari bahwa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka (Robert Cribb, 2001) Ia tidak memahami bahwa masyarakat Indonesia lahir dengan ciri khas budaya masing-masing dan demikian cinta kedaerahan menjadi mutlak. 

Demokrasi Terpimpin oleh Soekarno dilihat sebagai cara terbaik demi terjaganya kesatuan bangsa merupakan pandangan yang keliru. Demokrasi Terpimpin hadir hanyalah untuk menjaga kekuasaan tetap berjalan. Maka sampai di sini, demokrasi dalam arti asalinya bukanlah merupakan gagasan yang penting.

Runtuhnya demokrasi terpimpin berkat pemberontakan beberapa perwira angkatan darat yang bernaung di bawah partai Komunis Indonesia (PKI) (Robert Cribb, 2001), menjadi awal pendirian Orde Baru. Tidak dapat dipungkiri bahwa lahirnya Orde Baru merupakan hasil dari legitimasi terhadap PKI sebagai dalang pembunuhan rekan-rekan Soeharto. Dan sebutan Orde Baru hanyalah dimaksudkan untuk membedakan dirinya dengan Orde Lama. Namun pada kenyataannya tetaplah sama.

Sama seperti Soekarno, menurut Soeharto, demokrasi bukanlah merupakan hal relevan bagi Bangsa Indonesia. Hal ini didasarkan pada  ketakutan  Soeharto akan modernitas. Maksudnya adalah ketika masyarakat menjadi melek terhadap politik, stabilitas negara tergerogoti. Dengan demikian kekuasaan menjadi milik rakyat. Presiden bukan lagi pemegang kekuasaan melainkan pelaksana kepercayaan masyarakat.

Berdasarkan asumsi ini, penyederhanaan partai politik yang dilakukan Soeharto pada pemilu 1977(R. William Liddle, 2001) merupakan pelaksanaan dari maksud mempertahankan kekuasaan. Artinya bahwa ketika kebebasan berpartisipasi dalam politik sebagai hak salah satu utama warga negara mampu dipersempit oleh penguasa, kekuasaan menjadi aman.

Proses penyederhanaan partai ini dilakukan dengan mengorbankan kebebasan masyarakat. Mengapa demikian? Jawabannya adalah Soeharto dengan dibantu oleh militer membangun seperangkat lembaga otoriter yang disusun guna mengekang partisipasi politik dan dengan demikian memungkinkan Soeharto dan pihak militer menguasai masyarakat. Di sini, demokrasi merupakan sebuah penipuan publik. Hal ini terbukti ketika pancasila sebagai ideologi bangsa oleh Soeharto dijadikan sebagai azas tunggal yang harus dipegang oleh semua orang Indonesia.  Namun penafsiran terhadap ideologi ini  hanyalah  merupakan  hak pemerintah. 

Setelah  pemilu  1971  maka  dilakukan  penyederhanakan  jumlah  partai  tetapi bukan berarti menghapuskan partai tertentu sehingga dilakukan penggabungan (fusi) sejumlah partai. Sehingga pelaksanaannya kepartaian tidak lagi didasarkan pada ideologi tetapi atas persamaan program. Penggabungan tersebut menghasilkan tiga kekuatan sosial-politik, yaitu :

1) Partai Persatuan Pembangunan (PPP) merupakan fusi dari NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam Perti yang dilakukan pada tanggal 5 Januari 1973 (kelompok partai politik Islam)

2) Partai Demokrasi Indonesia (PDI), merupakan fusi dari PNI, Partai Katolik, Partai Murba, IPKI, dan Parkindo (kelompok partai politik yang  bersifat nasionalis).

3) Golongan Karya (Golkar) Sistem pemilu yang hanya dibatasi keikutsertaan pada  tiga partai jika dilihat secara teknis, proses jalannya pemiihan umum dilakukan secara jujur. Namun secara substantif, pihak yang diuntungkan dengan sistem tiga partai adalah tetap pemerintah. Betapa tidak dengan masa kampanye kurang dari sebulan dan peraturan membatasi kegiatan kampanye digunakan untuk menghambat partai non pemerintah. Golkar sebagai partai pemerintah paling diuntungkan dengan sistem ini. Propaganda ideologis dilakukan dengan menggelari Golkar sebagai partai politik yang mewakili kepentingan seluruh bangsa sedangkan partai-partai lainnya dikatakan mewakili hanya sebagian dari kepentingan bangsa yang besar yang bisa membawa kepada perpecahan bangsa.

Selain itu, pemerintahan Soeharto melarang PDI dan PPP mempunyai cabang di bawah tingkat kabupaten sedangkan Golkar mendapat perhatian istimewa. Ia diizinkan untuk hadir di mana pun entah di kantor pmerintah atau pun di semua desa. Pengetatan kontrol pemerintah tidak haya sampai pada level kepartaian. Partisipasi dalam menduduki posisi legislatif pun dikontrol. Orang-orang yang mau dicalonkan partai untuk mengisi kursi legislatif terlebih dahulu diperiksa oleh pemerintah. Selain itu, adanya kewajiban pegawai negeri harus memilih Golkar dalam pemilu. Kebebasan sungguh dalam kontrol penguasa.

Pengetatan kontrol ini memungkinkan untuk dijalankan sebab adanya peran aktif angkatan  bersenjata  (ABRI).  ABRI  selain  menjaga  dominasi  negara  atas masyarakat  juga  membenarkan  intervensi  militer  dalam  bidang  politik  sipil menurut doktrin dwifungsi ABRI. Dalam bidang pemerintahan sipil, peran ABRI pun sangat menonjol yaitu dengan diangkatnya perwira entah yang aktif ataupun yang   sudah   pensiun   untuk   menduduki   jabatan   utama   dalam   struktur pemerintahan sipil. Hal ini dilakukan dengan maksud untuk perlindungan dan pengawasan. Soeharto membangun kembali keterpurukan demokrasi terpimpin dengan meletakkan di atasnya “demokrasi pancasila” yang otoriter dengan kekuatan bersenjata dalam intinya.

Selama   masa   Orde   Baru   telah   berhasil   melaksanakan   pemilihan   umum sebanyak enam kali yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali, yaitu: tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997. Penyelenggaraan Pemilu yang teratur selama Orde Baru menimbulkan kesan bahwa demokrasi di Indonesia sudah tercipta. Apalagi pemilu itu berlangsung secara tertib dan dijiwai oleh asas LUBER(Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).

Kenyataannya pemilu diarahkan pada kemenangan peserta tertentu yaitu Golongan Karya (Golkar) yang selalu mencolok  sejak  pemilu  1971-1997. Kemenangan  Golkar yang  selalu mendominasi tersebut sangat menguntungkan pemerintah dimana terjadi perimbangan suara di MPR dan DPR. Perimbangan  tersebut memungkinkan Suharto menjadi Presiden Republik Indonesia selama enam periode pemilihan. Selain itu, setiap Pertangungjawaban, Rancangan Undang-undang, dan usulan lainnya dari pemerintah selalu mendapat persetujuan dari MPR dan DPR tanpa catatan.

Guna menciptakan stabilitas politik maka pemerintah menempatkan peran ganda bagi ABRI yaitu sebagai peran hankam dan sosial. Sehingga peran ABRI dikenal dengan Dwifungsi ABRI. Peran ini dilandasi dengan adanya pemikiran bahwa TNI adalah tentara pejuang dan pejuang tentara. Kedudukan TNI dan Polri dalam pemerintahan adalah sama di lembaga MPR/DPR dan DPRD mereka mendapat jatah kursi dengan pengangkatan. Pertimbangan pengangkatannya didasarkan pada fungsi stabilisator dan dinamisator.

Pada  tanggal  12  April  1976,  Presiden  Suharto  mengemukakan  gagasan mengenai pedoman untuk menghayati dan mengamalkan Pancasila yaitu gagasan  Ekaprasetia  Pancakarsa.  Gagasan  tersebut  selanjutnya  ditetapkan sebagai Ketetapan MPR dalam sidang umum tahun 1978 mengenai “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila” atau biasa dikenal sebagai P4. Guna mendukung program Orde Baru yaitu Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen maka sejak tahun 1978 diselenggarakan penataran P4 secara menyeluruh pada semua lapisan masyarakat. Tujuan dari penataran P4 adalah membentuk pemahaman yang sama mengenai demokrasi Pancasila sehingga dengan pemahaman yang sama diharapkan persatuan dan kesatuan nasional akan terbentuk dan terpelihara. Melalui penegasan tersebut maka opini rakyat akan mengarah pada dukungan yang kuat terhadap pemerintah Orde Baru.

Pelaksanaan Penataran P4 tersebut menunjukkan bahwa Pancasila telah dimanfaatkan oleh pemerintahan Orde  Baru.  Hal  ini  tampak  dengan  adanya himbauan pemerintah pada tahun 1985 kepada semua organisasi untuk menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Penataran P4 merupakan suatu bentuk indoktrinasi ideologi sehingga Pancasila menjadi bagian dari sistem kepribadian, sistem budaya, dan sistem sosial masyarakat Indonesia.

c.      Situasi Ekonomi pada Masa Orde Baru

Ketika Presiden Soeharto memerintah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi 650 % setahun, langkah pertama adalah mengendalikan inflasi dari 650 % menjadi 15 % dalam waktu hanya dua tahun dan untuk menekan inflasi Soeharto membuat kebijakan dengan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan,   mengembalikan   ekonomi   dalam   pasar,   memperhatikan   sektor ekonomi dan merangkul Negara-negara barat untuk menarik modal. Kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam bidang ekonomi antara lain:

1)      Menerapkan cara militer untuk mengatasi ekonomi.

Menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi dengan mencanangkan  sasaran   yang  tegas,  pelaksanaan  pembangunan  dilakukan secara bertahap yaitu jangka panjang 25 – 30 tahun dan jangka pendek 5 tahun atau disebut pelita/pembangunan lima tahun. Pedoman pembangunan adalah Trilogi pembangunan yang meliputi :

Pemerataan  pembangunan   dan  hasil-hasilnya   yang  menujuh  pada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 

•    Pertumbuhan ekonomi yang yang cukup tinggi.

•    Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.

Delapan jalur pemerataan meliputi hal-hal sebagai berikut :

Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat, khususnya sandang, pangan dan perumahan.

Pemerataan   kesempatan   memperoleh   pendidikan   dan   pelayanan kesehatan.

•    Pemerataan pembagian pendapatan.

•    Pemerataan kesempatan kerja.

•    Pemerataan kesempatan berusaha.

Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan.

•    Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruhwilayah tanah air.

•    Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

2)      Memperoleh pinzaman luar negeri.

Mencari pinjaman dari Negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IGGI IMF dan Bank Dunia.

3)      Liberalisasi perdagangan dan investasi.

Caranya adalah dengan membuka Liberalisasi perdagangan dan investasi selebar-lebarnya. Inilah yang membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing. Untuk menggerakan pembangunan tahun 1970 juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, pemasukan di migas meningkat dari US$6 miliar pada tahun 1973 menjadi US$10,6 miliar tahun 1980.

4)      Mewujudkan swasembada beras.

Keberhasilan Presiden Soeharto membenahi bidang ekonomi menyebabkan Indonesia mampu berswasembada pangan pada tahun 1980. Sektor pertanian harus dibangun dan ditingkatkan produktivitasnya. Bertumpu pada sektor pertanian yang makin tangguh itulah, kemudian dibangun sektor-sektor lainnya. Pemerintah membangun berbagai prasarana pertanian, seperti irigasi dan perhubungan, cara-cara bertani dan teknologi pertanian yang baru diajarkan dan disebarluaskan kepada para petani melalui kegiatan-kegiatan penyuluhan, penyediaan   pupuk   dengan   membangun   pabrik-pabrik   pupuk.   

Kebutuhan pembiayaan para petani disediakan melalui kredit perbankan. Pemasaran hasil- hasil produksi mereka diberikan kepastian melalui kebijakan harga dasar dan kebijakan stok beras oleh pemerintah (Badan Urusan Logistik atau Bulog). Strategi yang mendahulukan pembangunan pertanian tadi telah berhasil mengantarkan Bangsa Indonesia berswasembada beras, menyebarkan pembangunan secara luas kepada rakyat, dan mengurangi kemiskinan di Indonesia.

5)      Laju Pertumbuhan Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) telah mendorong laju pertumbuhan ekonomi secara nasional yang diukur dengan Produksi  Domestik  Bruto  (PDB).  Tingkat  pertumbuhan  PDB  selama  perioden 1969–1989 yang diukur atas dasar harga yang berlaku maupun menurut harga konstan menunjukkan adanya peningkatan. Sejak tahun 1969 sampai dengan tahun 1983 yang merupakan tahun terakhir Pelita III, tingkat rata-rata pertum- buhannya sebesar 7,2% per tahun. Selanjutnya, tingkat rata-rata pertumbuhan ekonomi selama Pelita IV yang diukur dengan PDB tahun 1983 sebesar 5,2% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata laju pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita IV sebesar 5,0%.

Sementara itu, tingkat pertumbuhan PDB tahun 1989 yang merupakan tahun pertama pelaksanaan Pelita V (1989/1990–1993/1994) adalah 7,4%, dan tahun 1990 sebesar 7,4% (tahun kedua). Dalam tahun-tahun berikutnya menunjukkan laju  pertumbuhannya adalah tahun 1991 sebesar 6,8%, tahun  1992  sebesar 6,3%, dan tahun 1993 yang merupakan tahun terakhir pelaksanaan Pelita V sebesar 6,0%. Jadi, pertumbuhan ekonomi Pelita V rata-rata adalah 6,9% per tahun. Berarti lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi per tahun yang direncanakan dalam Repelita V sebesar 5,0%.

Repelita  VI  (1994/1995–1998/1999)  yang  merupakan  tahapan  pembangunan lima  tahun  pertama  dalam  periode  25  tahun  kedua  Pembangunan  Jangka Panjang (PJP II), pertumbuhan ekonomi yang direncanakan dalam Repelita VI adalah rata-rata 6,2% per tahun. 



source : modul belajar mandiri pppk Pembelajaran 4. Kehidupan Bangsa Indonesia Masa Revolusi, Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi , kemdikbud
Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar