Kerajaan-Kerajaan Bercorak Hindu Budha Di Indonesia


Kerajaan-Kerajaan Bercorak Hindu Budha Di Indonesia

Sebelum pengaruh Hindu Budha masuk, masyarakat Indonesia tidak mengenal sistem kerajaan. Sistem pemerintahan yang ada pada waktu itu adalah pemerintahan desa yang dipimpin oleh kepala suku. Masuknya pengaruh Hindu Budhamenyebabkan sistem kesukuan diganti dengan kerajaan. Sejak abad IV masehi di Indonesia berdiri kerajaan bercorak Hindu dan Budha.Kerajaan bercorak Hindu di Indonesia antara lain: Kutai, Tarumanegara, Mataram Kuno ( Hindu Budha), Kediri, Singasari, Majapahit. Sedangkan kerajaan-kerajaan bercorak Budha di Indonesia antara lain: Kalingga, Sriwijaya. 

a.      Kerajaan Kutai

Penemuan 7 buah prasasti berbentuk yūpa di Kutai, berupa tugu peringatan bagi sebuah upacara kurban. Prasasti berhuruf pallawa yang menurut bentuk dan jenisnya berasal dari abad IV M, sedangkan bahasanya adalah sansekerta yang tersusun dalam bentuk syair. Semuanya dikeluarkan atas titah seorang raja bernama Mūlawarmman. Berdasarkan isi dari prasasti tersebut diketahui silsilah raja-raja Kutai. Dimulai dengan raja Kunduńga yang mempunyai anak bernama Aśwawarman,  dan  Mūlawarman.  Prasasti  ini  menyebutkan  bahwa  pendiri keluarga kerajaan (vańśakrttā) adalah Aśwawarman, dan bukan Kundunga yang dianggap sebagai raja pertama. Kunduńga bukan nama sansekerta, mungkin ia seorang kepala suku penduduk asli yang belum terpengaruh kebudayaan India, sedangkan Aśwawarman adalah nama yang berbau India. Disebut pula nama Ańsuman yaitu dewa matahari di dalam agama Hindu yang dapat menunjukkan bahwa Mūlawarman adalah penganut agama Hindu (Sumadio, 1993).

Prasasti ini juga memberikan informasi; 

(1) mengenai kehidupan masyarakat ketika itu, dimana ada golongan masyarakat yang menguasai bahasa Sansekerta yaitu   kaum   Brahmana   (pendeta)   yang   mempunyai  peran   penting   dalam memimpin upacara keagamaan. 

(2) Setiap yūpa yang didirikan oleh Mūlawarmman sebagai peringatan bahwa ia telah memberikan korban besar- besaran   dan   hadiah-hadiah   untuk   kemakmuran   negara   dan   rakyatnya. Sedangkan golongan lainnya adalah kaum ksatria yang terdiri atas kaum kerabat Mūlawarmman. 

(3) Diluar kedua golongan ini adalah rakyat Kutai pada umumnya yang terdiri atas penduduk setempat, dan masih memegang teguh agama a sli leluhur mereka.

b.      Kerajaan Tarumanegara

Kerajaan Tārumanāgara berkembang bersamaan dengan kerajaan Kutai pada abad V M, dan berlokasi di Jawa Barat dengan rajanya bernama Pūrņawarman. Keberadaan kerajaan Tārumanāgara dapat diketahui melalui 7 buah prasasti batu yang ditemukan di daerah Bogor, Jakarta, dan Banten. Prasastinya dikenal Ciaruteun, Jambu, Kebon Kopi, Tugu, Pasir Awi, Muara Cianten, dan Lebak. Prasasti ditulis dalam huruf Pallawa dan berbahasa Sanskerta yang digubah dalam bentuk syair. 

Pada prasasti Ciaruteun terdapat lukisan 2 tapak kaki raja yang diterangkan seperti tapak kaki Wisnu. Prasasti Kebon Kopi terdapat gambar tapak kaki gajah sang raja yang disamakan sebagai tapak kaki gajah Airawata. Prasasti Tugu penggalian 2 sungai di Punjab yaitu Candrabhaga dan Gomati. Maksud pembuatan  saluran  pada  sungai  ini  diperkirakan  ada  hubungannya  dengan usaha mengatasi banjir (Poerbatjaraka, 1952). 

Hal menarik yang dapat dipetik hikmah dari prasasti tugu adalah upaya pengendalian banjir yang memang menjadi perhatian khusus dari raja Purnawarman. Perhatian pengendalian banjir memberikan indikasi bahwa daerah ini sejak lama berpotensi banjir. Sikap masyarakat  harus  berdamai  dengan  situasi  geografi  dan  sosial  ini  sehingga dapat mencari upaya positif menanggulangi  untuk meminimalisir  akibat  yang ditimbulkannya.

Dalam prasasti Jambu dijumpai nama negara Tarumayam dan sungai Utsadana. Negara Tarumayam disamakan dengan Tarumanagara, sedangkan  Utsadana identik dengan sungai Cisadane. Pada prasasti ini, Pūrņawarman disamakan dengan Indra sebagai dewa perang serta memiliki sifat sebagai dewa matahari. Di Cisadane juga ditemukan arca-arca rajasi dan disebutkan dalam prasasti Tugu yang mencerminkan sifat Wisnu-Surya.

Dari bukti tersebut dapat dikatakan bahwa Jawa Barat telah menjadi pusat seni dan agama, dan sesuai pula dengan berita Cina yang mengatakan bahwa pada abad VII M terdapat negara bernama To-lo-mo yang berarti Taruma. Dari peninggalan ini pila dapat diketahui bahwa agama yang dianut oleh para penguasa setempat adalah agama Hindu aliran Wisnu. Bahkan raja dianggap sebagai titisan dewa Wisnu yang memelihara kehidupan rakyat agar makmur dan tenteram.

c. Kerajaan Śrīwijaya

Kerajaan Sriwijaya berdiri sekitar abad ke VII Masehi. Pusat kerajaan mula -mula di Muara Takus kemudian dipindahkan ke Jambi dan akhirnya ke Palembang. Sumber sejarah kerajaan Sriwijaya berasal dari prasasti anatara lain: Prasasti Kedukan Bukit, Talang Tuo, Telaga Batu, Karang Berahi, Kota Kapur, Ligor dan Nalanda. Sedangkan berita Cina ditulis oleh I Tsing, dan berita dari Persia di tulis oleh Raihan al Biruni. Raja terkenal dari Sriwijaya bernama Balaputradewa. 

Peranan kerajaan Sriwijaya anatara lain :

1)   Sriwijaya sebagai kerajaan maritim

2)   Sriwijaya sebagai pusat agama Budha

3)   Sriwijaya sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara

Faktor pendukung majunya perdagangan di Sriwijaya :

1) Adanya pelabuhan-pelabuhan yang strategis di sepanjang selat Malaka.

2) Memiliki kapal-kapal dagang yang cukup.

3) Memiliki armada laut yang kuat

4) Memiliki hasil perdagangan seperti kapur barus, pala, dammar, cengkih, kayu cendana.

5) Adanya penguasaan laut yang cukup luas.

Pada abad ke XII sriwijaya mengalami kemunduran. Sebab-sebabnya adalah :

1) Serangan Dharmawangsa tahun 990 memperebutkan selat Malaka

2) Ekspedisi Pamalayu oleh Kertanegara dari Singosari 1275 M.

3) Serangan Kerajaan Colamandala 1025, 1030 M.

4) Serangan dari Majapahit 1377 M.

d.      Kerajaan Mataram Hindu

Kerajaan Mataram Lama terletak di Jawa Tengahdengan ibukotanya Medang Kamulan. Sumber sejarah dari kerajaan Mataram dapat dilihat dari prasasti Canggal,   Prasasti   Kedu/Mantiyasih,   Prasasti   Kalasan,   Parasasti   Kelurak. Menurut prasasti Canggal, mula-mula Pulau Jawa diperintah oelh  raja Sana, setelah ia meninggal digantikan Sanjaya.

Raja raja yang memerintah pada masa Kerajaan Mataram Hindu terdiri dari dua dinasti yaitu dinasti sanjaya dan dinasti sailendra.  Pada  masa  pemerintahan Sanjaya inilah kerajaan Mataram mencapai puncaknya. Wangsa Sajaya memerintah  Jawa  tengah  sebelah  Utara.  Adapun  raja-raja  yang  memerintah yang ditulis pada prasasti Mantyasih antara lain :

1)   Rakai Mataram Sang Ratu Sanjaya (732-760)

2)   Rakai Panangkaran (760-780) 

3)   Rakai Panunggalan (780-800)

4)   Rakai Warak (800-820)

5)   Rakai Garung (820-840)

6)   Rakai Pikatan (840-863)

7)   Rakai Kayu wangi (863-882)

8)   Rakai Watu Humalang

9)   Rakai Watukura Dyah Balitung

10) Daksa

11) Tulodong

12) Wawa

Bangunan candi pada masa wangsa Sanjaya antara lain : Candi Sewu, Dieng, Kalasan, Prambanan. Sedangakan Wangsa Syailendra menganut agama Budha dan  memerintah  Jawa  Tengah  bagian Selatan. Raja-raja  wangsa  Syailendra antara lain:

1)   Raja banu

2)   Raja Wisnu (Sri Dharmatungga)

3)   Raja Indra (Sri Sanggramadananjaya)

4)   Raja Samaratungga

5)   Raja Balaputradewa

Bangunan candi pada masa wangsa Syailendra antara lain : Candi Borobudur, Mendut, Pawon. Untuk menghindarai perpecahan antara wangsa Sanjaya dan wangsa Syailendra diadakanlah perkawinan politik antara Rakai Pikatan (wangsa Sanjaya) dengan Pramudawardani (kakak Balaputradewa dari wangsa Syailendra). Raja terakhir pada masa wangsa Sanjaya adalah raja  Wawa yang kemudian   digantukan   olehj   Mpu   Sendok   (wangsa   Isyana)   dan   pusat pemerintahan dipindah dari Jawa Tengah ke Jawa Timur. Faktor-faktor penyebab pemindahan pusat pemerintahan ini adalah :

1)   Adanya bencana alam

2)   Letak kerajaan Mataram di Jawa Timur lebih strategis untuk perdagangan

3)   Untuk menghindari serangan dari kerajaan Sriwijaya. 

e.      Kerajaan Kediri dan Jenggala

Tahun 1019 Airlangga dinobatkan menjadi raja Medang menggantikan Dharmawangsa. Airlangga memindahlan pusat pemerintahan dari Wutanmas ke Kahuripan. Selanjutnya sebagai pewaris tahta kerajaan selanjutnya adalah Sri Sanggrawijaya, namun ia tak mau menjadi raja. Untuk menghindarkan perebutan kekuasaan, kerajaan dipecah menjadi dua, yaitu kerajaan Jenggala (Kahuripan) dan kerajaan Kediri (Panjalu). Kedua kerajaan tersebut akhirnya kerajaan Kediri yang menonjol dengan ibukotanya Daha. Raja-raja yang memerintah kerajaan Kediri antara lain:

1)      Raja Mapanji Garasakan

2)      Raja Mapanji Alanjung (1052-1059)

3)      Raja Sri Maharaja Samrotsama

4)      Raja Baweswara (1116-1135)

5)      Raja Sri Jayabaya (1135-1159)

6)      Raja Sarweswara (1159-1169)

7)      Raja Kameswara (1182-1185)

8)      Raja Kertajaya (1185-1222)

Kerajaan  Kediri  mencapai  puncak  kejayaannya  pada  masa  pemerintahan Jayabaya.

f.       Kerajaan Singhasari

Pada masa akhir kerajaan Kadiri, daerah Tumapel merupakan  suatu daerah yang dikepalai oleh seorang akuwu bernama Tunggul Ametung. Daerah Tumapel ini termasuk dalam daerah kekuasaan raja Krtajaya (Dandang Gendis) dari Daha (Kadiri). Kedudukan Tunggul Ametung menjadi akuwu Tumapel berakhir setelah dibunuh oleh Ken Arok, dan jandanya yang bernama Kendedes dikawininya. Ken Arok  kemudian  menjadi  penguasa  baru  di  Tumapel.  Ken  Arok  pula  yang kemudian menaklukkan  Dandang  Gendis  dari  Kadiri,  dan  kemudian  menjadi Maharaja di Singhasari.

Munculnya tokoh Ken Arok ini kemudian menandai lahirnya wangsa baru yaitu Rajasawangsa atau Girindrawangsa. Wangsa inilah yang berkuasa di Singhasari dan Majapahit. Ken Arok memerintah Singhasar sejak 1222-1227 M dan tetap berkedudukan di Tumapel atau secara resmi disebut Kutaraja. Pemerintahan Rajasa berlangsung aman dan tentram.

Dari perkawinannya dengan Ken Dedes, Ken Arok memperoleh 4 orang anak, yaitu Mahesa Wonga Teleng, Panji Anabrang, Agnibhaya, dan Dewi Rimbu. Dari istrinya yang lain yaitu Ken Umang, Ken Arok mempunyai 4 orang anak yaitu Tohjoyo, Sudahtu, Wregola, dan Dewi  Rambi. Pada  tahu  1227  M Ken  Arok dibunuh oleh seorang pengalasan dari Batil atas suruhan Anusapati, anak tirinya sebagai balas dendam terhadap pembunuhan ayahnya Tunggul Ametung. Dari kitab Pararaton diketahui bahwa Anusapati bukanlah anak dari Ken Dedes d an Ken Arok, tatapi anak Ken Dedes dari Tunggul Ametung. Ken Arok kemudian dicandikan di Kagenengan sebagai Siwa. (Nagarakretagama, XXXVI:1-2) dan di Usana sebagai Buddha (Sumadio, 1994).

Sepeninggal Ken Arok, Anusapati menjadi raja, memerintah tahun 1227-1248 M. Selama masa pemerintahannya itu  tidak banyak  yang  diketahui.  Tetapi  juga Tohjaya hendak pula membalas dendam atas pembunuhan ayahnya, Ken Arok oleh  Anusapati.  Akhirnya  pada  tahun  1248  Anusapati  dapat  dibunuh  oleh Tohjaya. Anusapati kemudian didharmakan1 di candi Kidal.

Dengan meninggalnya Anusapati, Tohjaya kemudian menggantikannya menjadi raja. Tohjaya hanya memerintah selama beberapa  bulan dalam  tahun 1248. Pada masa pemerintahannya terjadi pemberontakan yang dilakukan oleh orang - orang Rajasa dan Sinelir. Dalam penyerbuan itu Tohjaya luka parah dan diungsikan ke Katang Lumbang. Akhirnya ia meninggal dan dicandikan di Katang Lumbang. Pada tahun 1248 Ranggawuni dinobatkan menjadi raja dengan gelar Sri Jayawisnuwardana. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh Mahisa  Campaka,  anak  Mahisa  Wonga  Teleng  (memerintah  bersama  bagai Wisnu dan Indra). Pada tahun 1255 M Wisnuwarddhana mengeluarkan sebuah prasasti untuk mengukuhkan desa Mula dan Malurung menjadi Sima. Di dalam prasasti tersebut ia disebut dengan nama Narayya Smining Rat. Sebelumnya, dalam tahun 1254 Wisnuwarddhana menobatkan anaknya Kertanagara sebagia 

raja, tetapi ia sendiri tidak turun tahta tetapi memerintah terus untuk anaknya. Menurut Kakawin Nagarakertagama (LXXIII:3) Wisnuwarddana meninggal pada tahun 1268, serta dicandikan di Weleri sebagai Siwa dan di Jajaghu sebagai Buddha.

Sebelum tahun 1268, Kertanagara belum memerintah sendiri sebagai raja Singhasari Pada waktu itu ia masih memerintah di bawah bimbingan ayahnya, Raja Wisnuwarddhana sebagai rajamuda (Rajakumara) di Daha. Setelah memerintah, raja Kertanagara adalah seorang raja Singhasari yang sangat terkenal. Dalam bidang politik ia terkenal sebagai seorang raja yang mempunyai gagasan perluasan Cakrawala Mandala ke luar pulau Jawa.

Menurut Pararaton bahwa dalam usaha meruntuhkan Kerajaan Singhasari, Jayakatwang mendapat bantuan dari Arya Wiraraja, Adipati Sumenep yang telah dijauhkan dari kraton oleh raja Kertanegara. Serangan Jayakatwang dilancarkan pada tahun 1292. Kitab Pararaton menceritakan bahwa tentara Kadiri dibagi dua, menyerang dari dua arah, pasukan yang menyerang dari arah utara ternyata hanya untuk menarik pasukan Singhasari dari arah kraton. Siasat itu berhasil setelah pasukan Singhasari dibawah pimpinan Raden Wijaya (anak Lembu Tal, cucu Mahisa Campaka) dan Arddharaja (anak Jayakatwang) menyerbu ke utara, maka pasukan Jayakatwang yang menyerang dari arah selatan menyerbu ke kraton, dan dapat membunuh raja Kertanegara. Dengan gugurnya raja pada tahun 1292, seluruh kerajaan Singhasari dikuasai oleh Jayakatwang. Raja Kertanegara kemudian didharmakan di candi Singosari sebagai Bhairawa, candi Jawi sebagai Siwa-Buddha, dan di Sagala sebagai Jina (Soekmono, 1985).

g.      Kerajaan Majapahit


Setelah penguasa Singhasari terakhir (raja Kertanegara) gugur karena serangan Jayakatwang, Singhasari berada di bawah kekuasaan raja Kadiri Jayakatwang. Raden Wijaya yang juga menantu Raja Kertanegara kemudian berusaha untuk merebut kembali kekuasaan nenek moyangnya dari tangan raja Jayakatwang dengan bantuan Adipati Wiraraja dari Madura, serta memanfaatkan kedatangan tentara  Khubilai  Khan  yang  sebenarnya  dikirim  untuk menyerang  Singhasari dalam   menyambut   tantangan   raja   Kertanegara   yang   telah   menganiaya utusannya Meng-Chi. Demikianlah maka dengan kedatangan tentara Khubilai Khan tercapailah apa yang dicita-citakan oleh Wijaya, yaitu  runtuhnya Daha. Setelah Wijaya berhasil mengusir tentara Mongol, maka dirinya dinobatkan menjadi raja Majapahit pada tahun 1215 S (1293 M) dengan gelar Sri Kertarajasa Jayawardhana.  Raja  ini  kemudian  meninggal  pada  tahun  1309  M  serta dicandikan di Antahpura sebagai Jina dan di Simping sebagai Siwa.

Sepeninggal   Kertarajasa,   putranya   Jayanagara   dinobatkan   menjadi   raja Majapahit. Pada masa pemerintahannya ia dirongrong oleh serentetan pemberontakan.  Dalam  pemberontakan  Kuti  tahun  1319  M  muncul  seorang tokoh yang kemudian akan memegang peranan penting dalam sejarah Majapahit yaitu Gajah Mada. Dalam Pararaton diceritakan bahwa pada pada tahun 1328 M Raja Jayanagara meninggal dibunuh seorang tabib bernama Tanca. Selanjutnya menurut Nagarakretagama (XLVIII:3) Raja Jayanagara dicandikan dalam pura di Sila Petak dan Bubat sebagai Wisnu, serta di Sukhalila sebagai Amoghasiddhi.

Raja Jayanagara tidak mempunyai keturunan, maka sepeninggalnya pada tahun 1328 M, ia digantikan oleh adik perempuannya yaitu Bhre Kahuripan. Ia dinobatkan menjadi raja Majapahit dengan gelar Tribuwanattunggadewi Jayawisnuwardhani. Dari kakawin Nagarakretagama (XLIX:3) diketahui bahwa dalam masa pemerintahannya telah terjadi pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331 M. Pemberontakan ini dapat dipadamkan oleh Gajah Mada, setelah peristiwa Sadeng ini, kitab Pararaton menyebutkan  sebuah  peristiwa yang  kemudian  menjadi  amat  terkenal  dalam  sejarah  yaitu  Sumpah  Palapa Gajah Mada. Pada tahun 1350 M Tribhuwana mengundurkan diri dari pemerintahan dan digantikan oleh anaknya Hayam Wuruk. Pada tahun 1372 M Tribhuwana meninggal dan didharmakan di Panggih (Sumadio, 1994).

Pada  tahun 1350  M, putra mahkota  Hayam  Wuruk  dinobatkan  menjadi  raja Majapahit dengan gelar Sri Rajasanagara. Dalam menjalankan pemerintahannya ia didampingi oleh Gajah Mada yang menduduki jabatan patih Hamangkubhumi. Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk inilah kerajaan Majapahit mengalami puncak kebesarannya. Untuk menjalankan politik Persatuan Nusantaranya, satu demi satu daerah-daerah yang belum bernaung di bawah panji kekuasaan Majapahit ditundukkan dan dipersatukan oleh Hayam Wuruk. Daerah kekuasaan yang telah mendapat pengaruh Majapahit meliputi daerah yang terbent ang di areal Indonesia yang sekarang, mulai dari kawasan Aceh sampai Papua.

Dalam masa pemerintahannya, Hayam Wuruk sering mengadakan perjalanan keliling daerah-daerah kekuasaannya yang dilakukan secara berkala. Pada masa ini bidang kesusastraan sangat maju. Kitab Nagarakretagama yang merupakan kitab sejarah tentang Singhasari dan Majapahit berhasil dihimpun dalam tahun 1365 oleh Prapanca. Sedangkan pujangga Tantular berhasil menggubah cerita Arjunawiwaha dan Sutasoma.

Selanjutnya dalam kitab Pararaton (XXX:24) disebutkan bahwa pada tahun 1311 S (1389 M) Raja Hayam Wuruk meninggal, namun tempat pendharmaannya tidak diketahui. Sepeninggal Hayam Wuruk, tahta kerajaan Majapahit dipegang oleh Wikramawarddhana. Ia adalah menantu dan keponakan Raja Hayam Wuruk yang dikawinkan dengan putrinya bernama Kusumawarddhani. Wikramawarddhana mulai memerintah tahun 1389 M. Pada tahun 1400 M ia mengundurkan diri dari pemerintahan dan menjadi seorang pendeta. Wikramawarddhana kemudian mengangkat anaknya yang bernama Suhita un tuk menggantikannya menjadi raja Majapahit.

Diangkatnya  Suhita  di  atas  tahta  kerajaan  Majapahit  menimbulkan  pangkal konflik  di  Majapahit,  (timbulnya  pertentangan  keluarga  antara Wikramawarddhana dan Bhre Wirabhumi). Pada tahun 1404 M persengketaan itu makin memuncak, dan muncul huru hara yang dikenal dengan nama Perang Paregreg. Dari Pararaton disebutkan bahwa dalam Perang Paregreg akhirnya Bhre Wirabhumi berhasil dibunuh Bhre Narapati.

Masa pemerintahan Suhita berakhir dengan meninggalnya Suhita pada tahun 1447 M. Ia didharmakan di Singhajaya. Oleh karena Suhita tidak memiliki anak, maka tahta kerajaan diduduki oleh adiknya yang bernama Bhre Tumapel Dyah Kertawijaya dengan gelar Prabu Brawijaya I. Ia tidak lama memerintah. Pada tahun 1451 M ia meninggal dan didharmakan di Krtawijaya pura.

Dengan meninggalnya Kertawijaya,  Bhre  Pamotan  menggantikannya  menjadi raja dengan gelar Sri Rajasawarddhana. Ia dikenal pula dengan sebutan Sang Sinagara atau Prabu Brawijaya II. Ia memerintah hampir 3 tahun lamanya. Pada tahun 1453 M ia meninggal dan didharmakan di Sepang. Menurut Pararaton sepeninggal Rajasawarddhana selama 3 tahun (1453-1456 M) Majapahit mengalami masa kekosongan tanpa raja (interregnum). Baru pada tahun 1456 M tampillah Dyah Suryawikrama Girisawarddhana menduduki tahta dengan gelar Brawijaya III. Ia memerintah selama 10 tahun (1456-1466 M). Pada tahun 1466 M ia meninggal dan didharmakan di Puri (Soekmono, 1985).

Sebagai penggantinya kemudian Bhre Pandan Salas diangkat menjadi raja dengan gelar prabu Brawijaya IV. Setelah Bhre Pandan Salas meninggal, kedudukannya  sebagai  raja  Majapahit  digantikan  oleh  anaknya Girindrawarddhana Dyah Ranawijaya. Sebelum menjadi raja Majapahit, Ranawijaya  berkedudukan  sebagai  Bhattara  i  Kling.  Pada  masa pemerintahannya ia tidak berkedudukan di Majapahit, melainkan tetap di Kling karena Majapahit di duduki Bhre Kertabhumi yang bergelar Brawijaya V. Pada tahun 1478 M Ranawijaya melancarkan serangan terhadap Bhre Kertabhumi. Dalam perang tersebut Ranawijaya berhasil merebut kembali kekuasaan Majapahit  dari  tangan  Bhre  Kertabhumi,  dan  Kertabhumi  gugur  di  Kadaton (Djafar, 2009).



source: modul belajar mandiri pppk IPS Sejarah,Pembelajaran 2. Kehidupan Masyarakat Indonesia pada Masa Hindu-Budha dan Islam, Kemdikbud

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar