Sejarah Kelahiran dan Pemikiran Para Pendiri Sosiologi


Secara harafiah, sosiologi berasal dari dua kata Bahasa Latin, yaitu socios (masyarakat) dan logos (ilmu), atau secara sederhana berarti ilmu tentang masyarakat. Berger (dalam Kamanto, 2004) mengatakan bahwa pemikiran sosiologi muncul ketika masyarakat menghadapi ancaman terhadap hal-hal yang selama ini dianggap ”sudah seharusnya demikian”, benar, dan  nyata. Orang mulai melakukan renungan sosiologis manakala hal-hal yang diyakini tersebut mengalami krisis. 

1.)     Sejarah Kelahiran Sosiologi

Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersumber dari filsafat, yang dianggap sebaga i induk dari  ilmu  pengetahuan.  Filsafat berkembang  dan  mempunyai  berbagai cabang  ilmu  pengetahuan.  Sesuai  dengan  perkembangan  zaman,  masing- masing cabang ilmu pengetahuan kemudian memisahkan diri dan berkembang untuk mencapai tujuannya masing-masing. Pada awalnya, astronomi dan fisika yang memisahkan diri dari filsafat kemudian disusul oleh ilmu pengetahuan lain.

Sosiologi sendiri secara “resmi” memisahkan diri dari filsafat pada abad 19 yang ditandai dengan terbitnya tulisan Auguste Comte. Tulisan yang berjudul Positive Philosophy  merupakan  awal  lahirnya  sosiologi  sebagai  ilmu  pengetahuan. Tulisan yang terbit pada tahun 1842 ini mengukuhkan Comte sebagai bapak sosiologi. Lahirnya  tulisan  Comte pada dasarnya adalah  bentuk keprihatinan terhadap  kondisi  masyarakat  Eropa  pada  saat  itu  (Soekanto,  1982:  10-12). Pokok perhatian sosiologi di Eropa adalah pada kesejahteraan masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat.

Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan sosial. Adapun kekuatan sosial yang berperan dalam perkembangan ilmu sosiologi, antara lain:

1) Revolusi politik

Peristiwa politik yang terjadi di Eropa diawali dengan Revolusi Perancis pada tahun 1789 yang memberikan semangat bagi para pemikir untuk mempelajari perubahan  yang  terjadi  pada  masyarakat.  Revolusi  selain  merubah  tatanan politik juga membawa dampak yang begitu luar biasa bagi masyarakat. Serangkaian konflik dan peperangan menimbulkan kerugian yang luar biasa bagi masyarakat, terutama di Perancis. Pada saat itulah, para pemikir mencoba merubah tatanan masyarakat yang tercerai berai menjadi lebih kondusif. Para pemikir bahkan secara ekstrim ingin mengembalikan kondisi seperti pada abad pertengahan (Calhoun, 2002: 25). Namun, beberapa pemikir lainnya mencoba mencari celah untuk mencari “tatanan masyarakat masa depan” yang lebih ideal. Perhatian utama para pemikir adalah pada isu “ketertiban sosial” yang kemudian  dikenal  dengan  sebutan  sosiologi  klasik,  dengan  pemikir  utama  Comte  dan Durkheim.

2) Revolusi industri dan kemunculan kapitalisme

Selain  revolusi  politik  yang  melanda  Eropa,  revolusi  industri  juga  ikut  ambil bagian memberikan warna pada lahirnya sosiologi. Revolusi industri ditandai dengan berubahnya corak produksi negara-negara Eropa yang semula bertumpu pada sektor pertanian berubah pada sektor industri. Revolusi industri muncul sebagai akibat dari lahirnya penemuan baru di bidang  teknologi. Sala h  satu penemuan yang spektakuler adalah kemunculan mesin uap yang ditemukan oleh James Watt. Kapitalisme lahir ditandai dengan penguasaan aset produksi oleh sebagian kecil masyarakat, sedangkan sebagian besar masyarakat hanya dijadikan alat produksi sebagai buruh dengan tingkat keuntungan  yang  kecil (Ritzer dan Goodman, 2007: 7-10). Kondisi ini memunculkan gerakan buruh yang menuntut kesejahteraan bahkan secara radikal seringkali berubah menjadi “pemberontakan buruh”. Pergolakan ini menjadi bahan kajian bagi para pemikir, antara lain Marx, Weber, Durkheim dan Simmel.

3) Kemunculan sosialisme

Sosialisme dianggap sebagai musuh bebuyutan kapitalisme sehingga dapat dikatakan bahwa upaya penghancuran kapitalisme adalah melalui sosialisme. Marx adalah salah satu pendukung gagasan sosialisme, walaupun Marx tidak secara tegas akan mengambangkan sosialisme, namun dalam banyak tulisannya Marx mengkritik habis-habisan kapitalisme. Walaupun menyadari masalah yang timbul seiring dengan kapitalisme, mereka lebih mengkhawatirkan isu sosialisme yang dibawa oleh Marx. Marx mencita-citakan tatanan masyarakat baru melalui revolusi sosial (gerakan buruh).

4) Feminisme

Feminisme merupakan gerakan perempuan yang menuntut adanya persamaan hak dan keluar dari subordinasi yang dihasilkan oleh sistem sosial masyarakat Eropa. Gerakan buruh, persamaan hak perempuan, penghapusan perbudakan , dan kedudukan perempuan dalam hukum menjadi perhatian utama para aktivis feminisme saat itu. 

5) Urbanisasi

Revolusi industri membawa permasalahan sosial baru berupa urbanisasi. Laju perpindahan penduduk dari desa ke kota menjadi sangat mengkhawatirkan demikian pula perubahan desa menjadi kota seiring perubahan sistem produksi. Migrasi   desa   kota   membawa   dampak   pada   penyesuaian   pola   perilaku masyarakat urban. Serangkaian permasalahan juga timbul ketika desa terkena dampak industrialisasi. Topik ini kemudian semakin berkembang ketika Amerika mulai terkena dampak revolusi industri.

6) Perubahan keagamaan

Kapitalisme tidak dapat lepas dari perubahan-perubahan dalam bidang keagamaan. Weber mencoba menelaahnya melalui tulisan yang berjudul “The Protestan Ethic and The Spirit Capitalism”. Gerakan protestan yang berkembang pesat menjadi salah satu kajian yang menarik bagi sosiolog.

7) Perkembangan ilmu pengetahuan

Lahirnya sosiologi diiringi dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan. Tidak mengherankan apabila pemikir mencoba menggunakan pendekatan- pendekatan ilmu pengetahuan alam. Namun demikian, perdebatan terjadi ketika para ahli berargumentasi bahwa fenomena sosial tidak sama dengan fenomena alam.

2). Pemikiran Para Pendiri Sosiologi

Dalam bahasan ini akan dikupas sedikit tentang sumbangan pemikiran dari para founding fathers sosiologi, yaitu Auguste Comte, Emile Duekheim, Marx Weber, Karl Marx, dan Herbert Spencer.

1) Auguste Comte

Jika kita lihat dalam sejarah awal munculnya Sosiologi, Comte (1798-1857) pada awalnya bermaksud memberi nama fisika sosial, bagi ilmu yang akan diciptakannya. Namun hal tersebut tidak terwujud dikarenakan istilah fisika sosial telah digunakan oleh Saint Simon terlebih dahulu (Coser, 1977). Sumbangan pemikiran Comte tertuang dalam sebuah karya yang berjudul Course de Philosophie  Positive,  yang  berisi  tentang  “hukum  kemajuan  manusia”  atau “hukum tiga tahap perkembangan intelektual”. Comte menyebutkan bahwa sejarah pemikiran manusia melewati tiga tahap yang mendaki, yaitu: teologi, metafisika, dan positif.

Tahap pertama (Teologis), manusia mencoba menjelaskan gejala di sekitarnya dengan merujuk kepada hal-hal adikodrati. Pada tahap ini, bentuk kepercayaan masyarakat primitif berupa kepercayaan kepada roh-roh maupun dewa-dewa yang mengontrol semua gejala alam. Di akhir tahap ini, masyarakat mulai percaya akan Tuhan yang berkuasa penuh atas jagad raya.

Tahap kedua (Metafisik), manusia memahami gejala di sekitarnya dengan mengacu kekuatan-kekuatan metafisik,  yaitu hal-hal  yang  berada  di  luar jangkauan akal budi manusia) atau hal-hal abstrak.

Tahap ketiga  (Positif), merupakan  tahap paling  tinngi,  penjelasan  alam maupun  sosial  dilakukan  dengan  mengacu  pada  deskripsi  ilmiah  atau hukum-hukum ilmiah. Di tahap ini manusia mulai mencari dan menemukan hubungan  yang  seragam  dalam  gejala  atau  fenomena  yang  ada  di sekitarnya. Pengetahuan dijadikan sebagai data empiris. Namun, pengetahuan itu sifatnya sementara dan dinamis sehingga terbuka terhadap pembaharuan.


Gambar. Auguste Comte

Sumber: www.listennotes.com

Oleh karena memperkenalkan metode positif, maka Comte dianggap sebagai perintis positivisme. Seperti kita ketahui bahwa ciri dari metode positif ialah bahwa obyek yang dikaji harus berupa fakta, lalu kajian harus bermanfaat serta mengarah ke kepastian dan kecermatan. Menurut Comte, metode yang dapat digunakan untuk melakukan kajian positivistik ialah pengamatan, perbandingan, eksperimen atau metode historis. Hingga saat ini, jika kita lihat Tahap Positivistik merupakan  satu  tahap  yang  kuat  dan  dipercaya  oleh  kalangan  intelektual sebagai metode yang bersifat ilmiah.

Kita juga melihat sumbangan lainnya adalah pembagian sosiologi ke dalam dua bagian besar, yaitu: Statika Sosial (social statics) yang mewakili stabilitas dan Dinamika Sosial (social dynamics) mewakili perubahan.

2) Emille Durkheim

Emile  Durkheim  (1858-1917)  dipandang  sebagai  salah  satu  peletak  dan pencetus sosiologi modern. Ia mendirikan fakultas sosiologi pertama di sebuah universitas Eropa pada 1895 dan menerbitkan salah satu jurnal pertama yang diabdikan kepada ilmu sosial, L’Annee Sociologique (1896).

Dalam bukunya tentang The Division of Labor in Society (1893) misalnya, ia mengemukakan bahwa bidang industri modern yang menggunakan mesin, modal dan  tenaga  kerja,  telah  mengakibatkan  munculnya  pembagian  kerja  dalam bentuk spesialisasi dan pemisahan pekerjaan yang makin terperinci. Tidak hanya di bidang pertanian, pembagian kerja tersebut juga terjadi di sektor perdagangan, politik,  hukum,  kesenian  dan  keluarga.  Tujuan  kajian  itu  adalah  mengetahui faktor penyebab daan memahami fungsi pembagian kerja tersebut.

Gambar. Emile Durkheim
Sumber: www.listennotes.com 

Dalam pandangan Durkheim, setiap kehidupan masyarakat manusia itu memerlukan  solidaritas. Menurutnya, soidaritas dibedakan  ke dalam dua hal, yaitu mekanis dan organis. Solidaritas mekanis berjalan atas dasar kepercayaan dan kesetiakawanan yang diikat oleh conscience collective (kesadaran kolektif). Kesadaran kolektif dilandasi oleh hati nurani. Menurut Durkheim, seiring dengan semakin berkembangnya pembagian kerja terjadi proses diferensiasi dan spesialisasi. Pada gilirannya, solidaritas mekanis  berubah menjadi  solidaritas organis.  Solidaritas  organis  ditandai  dengan  adanya  saling  ketergantungan karena anggota masyarakat tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Suatu sistem terpadu yang terdiri dari bagian-bagian seperti suatu organisme. Solidaritas ini didasarkan pada hukum dan akal. Durkheim menekankan arti penting pembagian kerja dalam masyarakat, karena pembagian kerja itu berfungsi meningkatkan solidaritas.   Dengan   adanya   pembagian   kerja   itu,   maka   solidaritas   akan meningkat, karena setiap bagian tergantung satu sama lain.

Dalam buku Rules of Sociological Method, (1895)  Durkheim menyatakan bahwa sosiologi harus mempelajari fakta-fakta sosial. Fakta sosial berisi cara bertindak, berpikir  dan  merasakan  yang  mengendalikan  individu  tersebut.  Bentuk  fakta sosial  antara  lain  hukum,  kepercayaan,  adat  istiadat,  cara  berpakaian,  atau kaidah ekonomi. Segala bentuk kelanggaran atas hal-hal tersebut akan diberi sanksi.

3) Max Weber

Max Weber (1864-1920) adalah seorang sosiolog Jerman banyak memberikan perhatian kepada manusia yang bertindak. Dikatakannya, bahwa kesatuan dari kehidupan manusia itu adalah tindakan sosial. Tindakan pada pikiran dan kemauan manusia itu sendiri. Yang   seharusnya   digunakan untuk memahami dan  menjelaskan  kehidupan  masyarakat  adalah  diri  manusia  dan  tipe-tipe perilaku sosial. Berdasar pada pendekatan tersebut, sosiologi akan menjadi ilmu yang mempelajari tentang pemahaman interpretatif (verstehen) mengenai tindakan sosial manusia. 
Weber juga berbicara tentang Tindakan Rasional. Menurut dia, tindakan rasional itu dikategorikan menjadi empat, yaitu tindakan Rasional Instrumental, Tindakan Rasional Nilai, Tindakan Afektif dan Tindakan Tradisional.

a) Tindakan  rasional  instrumental  adalah  tindakan  yang  berdasarkan pada pertimbangan dan pilihan  yang sadar dalam kaitannya  dengan tujuan suatu tindakan dan alat yang dipakai untuk meraih tujuan. contoh transaksi di pasar, bekerja di kantor, dll.
b) Tindakan rasional berorientasi nilai yaitu tindakan untuk meraih tujuan dalam hubungan dengan nilai absolut bagi individu, yang dipertimbangkan secara sadar. Contoh: memberi bantuan kemanusiaan, mencari nafkah untuk keluarga, dll.
c) Tindakan afektif, yaitu tindakan yang didominasi oleh perasaan tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar. Contoh: tindakan yang didasari perasaan marah, takut, gembira, sedih, atau cinta.
d) Tindakan  tradisional,  yaitu  tindakan  dikarenakan  kebiasaan  tanpa refleksi dan perencanaan yang sadar. Contoh tindakan yang berkaitan nilai-nilai budaya tertentu atau adat-istiadat yang dilakukan secara turun- temurun.

4) Karl Marx

Karl Marx (1818-1881) lebih dikenal sebagai seorang tokoh sejarah ekonomi, filsafat    dan    aktivis    yang    mengembangkan    teori    sosialisme.    Dalam perkembanganya, gagasan-gagasan Marx berkembang menjadi ideologi dikenal dengan istilah Marxisme.. Sumbangan Marx terhadap  ilmu  sosiologi terletak pada teori kelas. Dalam melihat dunia, Marx berpandangan bahwa sejarah umat manusia merupakan sejarah perjuangan kelas. Menurutnya, perkembangan pembagian kerja dalam  kapitalisme  menumbuhkan  dua  kelas  yang  berbeda. Kelas pertama, yaitu borjuis, adalah mereka yang menguasai alat produksi dan mengeksploitasi mereka yang tidak memiliki alat produksi. Mereka  yang tidak memiliki alat produksi, hanya memiliki  tenaga  fisik,  dan  dieksploitasi, adalah kelas proletar.

Menurut Marx, suatu saat nanti kelas proletar akan menyadari kepentingan bersama mereka, lalu memberontak. Terjadi konflik antar kelas, atau disebutnya dengan perjuangan kelas. Dalam konflik tersebut, borjuis akan mengalami kekalahan. Setelah meraih kemenangan dalam perjuangannya, proletar diramalkan  akan  mendirikan  suatu  masyarakat tanpa  kelas. Oleh  sementara kalangan, pendekatan sosiologis Marx disebut sebagai pendekatan konflik. Meski ramalan Marx tidak pernah terwujud, namun pemikirannya tentang stratifikasi sosial dan konflik berpengaruh besar terhadap sejumlah pemikiran ahli sosiologi. Marx dalam analisisnya lebih menekankan pada perubahan sosial besar yang melanda Eropa Barat sebagai dampak dari pembagian kerja, khususnya yang terkait dengan perkembangan kapitalisme

Seperti kita ketahui konsep Marx tentang perjuangan kelas hingga saat ini masih relevan dan hal tersebut dapat dilihat dengan adanya konflik kepentingan antara buruh (proletar) dan pemilik modal (borjuis) yang hampir dapat dikatakan selalu bertentangan. Ketegangan tersebut bisa kita lihat, bagaimana kelompok elit ingin mempertahankan kepentingan dan mengembangkan modal (dengan cara berproduksi menggunakan modal sekecil mungkin modalnya), di lain pihak, kelompok masyarakat bawah memperjuangkan kepentingan untuk meingkatkan kesejahteraan.

5) Herbert Spencer

Herbert Spencer (1820-1903) adalah sosiolog asal Inggris. Perhatian utama Spencer adalah melacak atau menemukan proses evolusi sosial melalui masyarakat  secara  historis  dan sosiologis. Spencer memandang  masyarakat sebagai suatu kesatuan dan perkembangan yang utuh dengan hubungan- hubungan fungsional dan menopang dalam organisme biologis. Dalam hal ini, Spencer merupakan seorang pelopor dari paham fungsionalis strukturalis kontemporer.

Proses   evolusi   masyarakat   berawal   dari   perorangan   bergabung   menjadi keluarga, keluarga bergabung menjadi kelompok, kelompok bergabung menjadi desa, desa menjadi kota, kota menjadi negara, negara menjadi perserikatan bangsa- bangsa.

Dalam bukunya yang berjudul First Principles (1862) ia mengatakan bahwa kita harus  bertitik  tolak  dari  The  low  of  the  persistence  of  force  yaitu  prinsip ketahanan kekuatan. Artinya siapa yang kuat dialah yang menang dalam masyarakat. Teori Spencer mengenai evolusi masyarakat merupakan bagian dari teorinya yang lebih umum mengenai evolusi seluruh jagat raya.

Spencer membedakan empat tahap evolusi masyarakat:

a)  Tahap penggandaan atau pertambahan Baik tiap-tiap makhluk individual maupun tiap-tiap orde sosial dalam keseluruhannya selalu bertumbuh dan bertambah.
b)  Tahap  kompleksifikasi.  Salah  satu  akibat proses  pertambahan  adalah makin rumitnya struktur organisme yang bersangkutan. Struktur keorganisasian makin lama makin kompleks.
c) Tahap  pembagian  atau  diferensiasi.  Evolusi  masyarakat  juga menonjolkan pembagian tugas atau fungsi, yang semakin berbeda-beda. Pembagian kerja menghasilkan pelapisan sosial (stratifikasi). Masyarakat menjadi terbagi kedalam kelas-kelas sosial.
d)  Tahap pengintegrasian.  Dengan mengingat  bahwa  proses diferensiasi mengakibatkan  bahaya  perpecahan,  maka  kecenderungan  negatif  ini perlu dibendung dan diimbangi oleh proses yang mempersatukan.

Pada tahun 1850 Herbert Spencer mengenalkan Survival of The Fittest dalam buku  Social Static, dia yakin bahwa kekuatan hidup manusia  adalah  sarana untuk menghadapi ujian hidup serta menyesuaikan diri dengan perubahan- perubahan  sosial  maupun  fisik.  Seleksi  alam  ‘yang  kuatlah  yang  menang’ menjadi prasyarat manusia menuju puncak kesempurnaan dan  kebahagiaan. Spencer menerima pandangan ini karena ia merupakan seorang darwinis sosial. Jadi jika tidak dihambat oleh intervensi eksternal, orang yang kuat akan bertahan hidup dan berkembang biak, sementara yang lemah pada akhirnya akan punah. Konsep ini juga diistilahkan dengan Darwinisme Sosial.


source : modul belajar mandiri pppk, ips sosiologi Pembelajaran 1. Sosiologi sebagai Ilmu Pengetahuan, kemdikbud


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar