Situasi Politik -Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin


 

Situasi Politik -Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin

Situasi Politik pada Masa Demokrasi Terpimpin

Masa Demokrasi Terpimpin adalah masa ketika Indonesia menerapkan  suatu sistem  pemerintahan  dengan  seluruh  keputusan  pemerintah  berpusatpada kepala negara. Pada saat itu, jabatan kepala negara dijabat oleh Presiden Soekarno. Masa Demokrasi Termimpin berlangsung sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 sampai tahun 1965.

Demokrasi terpimpin berawal dari peristiwa gagalnya Dewan Konstituante yang bertugas menyusun UUD yang baru. Hal ini disebabkan adanya pertentangan diantara partai politik di Konstituante.Dewan Konstituante berbeda pendapat dalam merumuskan dasar negara. Pertentangan tersebut antara kelompok pendukung  dasar  negara  Pancasila  dan  pendukung  dasar  negara  berdasar syariat Islam. Kelompok Islam mengusulkan agar mengamademen dengan memasukkan   kata–kata : dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk–pemeluknya” kedalam Pembukaan UUD 1945.

Usul amandemen tersebut ditolak oleh   sebagian besar anggota Konstituante dalam sidang tanggal 29 Mei 1959 dengan perbandingan suara 201 (setuju) berbanding 265(menolak). Sesuai dengan ketentuan tata tertib maka diadakan pemungutan suara dua kali lagi. Pemungutan suara terakhir dilakukan tanggal 2 Juni 1959 namun tidak mencapai quorum. Akhirnya Konstituante mengadakan reses atau masa istirahat yang ternyata untuk waktu tanpa batas.

Dengan memuncaknya krisis nasional dan untuk menjaga ekses–ekses politik yang mengganggu ketertiban negara, maka KSAD Letjen. A. H Nasution atas nama pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu), pada tanggal 3 Juni 1959 mengeluarkan peraturan No. Prt./Peperpu/040/1959 tentang larangan mengadakan kegiatan politik.

Dengan jaminan  dan dukungan dari Angkatan Bersenjata, Presiden  Sukarno pada tanggal 5 Juli 1959, mengumumkan Dekrit Presiden. Keputusan Presiden R I No. 150 tahun 1959 yang dikenal sebagai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 memuat tiga hal yaitu:

1) Menetapkan pembubaran Konstituante 

2) Menetapkan UUD 45 berlaku lagi bagi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai tanggal penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi UUDS

3) Pembentukan MPRS, yang terdiri atas anggota–anggota DPR ditambah dengan utusan–utusan daerah dan golongan, serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat–singkatnya.

Dekrit Presiden 5 Juli 1959 mendapat dukungan komponen masyarakat, TNI, Mahkamah agung serta sebagaian besar anggota DPR. Hal ini disebabkan masyarakat mendambakan stabilitas politik dan keamanan dalam rangka pembangunan bangsa. Namun Dekrit Presiden tidak dapat dilepaskan dengan berlakunya konsep Demokrasi Terpimpin.

Demokrasi Terpimpin pertama–tama adalah sebagai suatu  alat untuk mengatasi perpecahan yang muncul di dataran politik Indonesia dalam kurun waktu pertengahan tahun 1950-an. Untuk menggantikan pertentangan di parlemen antara partai politik, suatu sistem yang lebih otoriter perlu diciptakan dimana peran utama dimainkan oleh Presiden Sukarno (Harold Crouch1999;44).

Dalam rangka mengurangi peran kontrol partai politik yang menolak Demokrasi Terpimpin, Presiden Sukarno mengeluarkan Peraturan  Presiden  No.  7  tahun 1959 yang berisi ketentuan   kewajiban partai–partai politik mencantumkan AD/ART(anggaran dasar/anggaran rumah tangga), dengan asas dan tujuan tidak bertentangan dengan Pancasila  dan UUD  1945,  serta  membubarkan  partai– partai   politik   yang   terlibat   dalam   pemberontakan–pemberontakan.   Aturan tersebut mengakibatkan Partai Masyumi dan Partai Sosialis dibubarkan karena dianggap mendukung pemberontakan PRRI/Permesta.

Pada awal pelaksanaan Demokrasi terpimpin, Indonesia cukup berperan aktif dalam  menciptakan  perdamaian  dan hubungan Internasional.  Hal  ini  tampak pada  kebijakan-kebijakan  presiden  dalam  politik  luar  negerinya,  antara  lain sebagai berikut :

•  Ikut ambil bagian dalam upaya  perdamaian di Kongo dengan mengirimkan Misi Garuda II yang bergabung dengan pasukan perdamaian PBB yang bernama United Nations Operation of Congo (UNOC). 

•  Pada  tanggal 30 September 1960, presiden Soekarno berpidato dalam sidang umum PBB yang -ienguraikan tentang Pancasila, perjuangan merebut Irian Barat, Kolonialisme, meredakan ketegangan dunia Timur dan Barat serta usaha memperbaiki orgianisasi PBB. Pidato presiden Soekarno ini berjudul To Build The World a New ( membangun dunia baru )

•  Ikut memprakarsai berdirinya Gerakan Nonblok

•  Berhasil menyelenggarakan pesta olah raga bangsa-bangsa Asia (Asian Games IV) di Jakarta 24 4 September 1962.

Akan tetapi hubungan Indonesia dengan negara-negara Barat semakin merenggang  setelah  Barat  bersifat  pasif  dalam  masalah  pengembalian  Irian Barat kepada Indonesia. Sebaliknya hubungan dengan negara-negara sosialis komunis erat, karena Uni Soviet bersedia memberi kredit dalam pembelian peralatan militer. Politik luar negeri bebas-aktif diganti dengan politik luar Negeri poros Jakarta  - Pnom  Pghen-Peking. Presiden Soekarno  mempertentangkan Nefo - Oldefo Indonesia dengan negara-negara Komunis termasuk dalam Blok Nefo (New Emerging Forces) terdiri dari negara-negara Eropa Barat, Inggris dar Amerika Serikat. Sebagai bagian terhadap aksi menentang oldefo-Indonesia melakukan konfrontasi dengan Malaysia. Hal ini disebabkan pemerintah tidak setuju dengan pembentukan negara federasi Malaysia yang dianggap membahayakan eksistensi Indonesia dan negara-negara Blok Nefo.

Konsepsi Demokrasi Terpimpin antara lain pembentukan lembaga negara baru yang ektra–konstitusional yaitu Dewan Nasional yang diketuai Sukarno sendiri dan bertugas memberi nasehat pada kabinet. Untuk pelaksanaannya dibentuk kabinet baru yang melibatkan semua partai politik termasuk PKI. Pada bulan Juli 1959, Sukarno mengumumkan kabinetnya yang bernama Kabinet Kerja yang terdiri dari sembilan menteri disebut Menteri–Menteri Kabinet Inti dan 24 menteri yang disebut Menteri Muda. Dalam Kabinet Kerja tersebut, Djuanda diangkat sebagai menteri utama atau pertama dan semua menteri diharuskan melepaskan ikatan kepartaian dalam membentuk pemerintahan non–partai.

MPRS yang terbentuk tanggal 22 Juli 1959, dalam Sidang Umum I MPRS tahun 1960  menetapkan  pidato  kenegaraan  Sukarno  tanggal  17  Agustus  1959 tersebut  menjadi  “Manifesto  Politik  Indonesia”  dan  menetapkannya  sebagai GBHN.   Selanjutnya   dalam      Sidang   Umumnya   tahun   1963 menetapkan “mengangkat Ir. Sukarno sebagai presiden seumur hidup”.

Dalam membentuk ideologi bagi Demokrasi Terpimpin, Sukarno memperkenalkannya dalam pidato kenegaraan tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang dianggap sebagai Manifesto Politik yang disingkat Manipol. Isi Manipol disimpulkan menjadi lima prinsip yaitu UUD 1945, Sosialisme Indonesia,Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia yang disingkat USDEK. Manipol-USDEK dikaitkan dengan dasar negara Pancasila sehingga menjadi rangkaian pola ideologi Demokrasi Terpimpin.

Sukarno menghendaki persatuan ideologi antara Nasionalisme, Islam dan Marxis dengan doktrin Nasakom (nasionalis, agama dan komunis). Doktrin ini mengandung arti bahwa PNI (nasionalis), Partai NU (Agama) dan PKI (komunis) akan berperan secara bersama dalam pemerintahan disegala tingkatan sehingga menghasilkan sistem kekuatan koalisi politik. Namun pihak militer tidak setuju terhadap peran PKI di pemerintahan (Ricklefs,1991:406).

Pada  tangal  20  Januari  1961  dibentuk  Front  Nasional  yang  sesuai  dengan konsep  dan  ide  Sukarno.  Dalam  jangka  panjang,  lembaga  tersebut  akan dijadikan sebagai partai tunggal negara, dengan menggunakan basis masa sebagai penggeraknya yang tergabung dari seluruh partai politik yang berbeda ideologi dan seluruh golongan fungsional. Untuk menghambat rencana Sukarno tersebut, TNI-AD berhasil menghimpun beberapa organisasi golongan fungsional kedalam suatu organisasi yang bernama Sekber Golkar (Sekretariat Bersama Golkar) pada tanggal 20 Oktober 1964. Tujuan Sekber Golkar juga untuk menandingi kekuatan PKI yang semakin besar dan berpengaruh di masyarakat sehingga membahayakan eksistensi TNI.

Peristiwa–peristiwa yang dapat diidentifikasikan sebagai penyimpangan politik luar negeri pada masa Demokrasi Terpimpin adalah:

a)  Adanya poros Jakarta–Peking
b)  Indonesia keluar dari keanggotaan PBB atas desakan PKI 
c).Timbulnya  gagasan  NEFO  (New  Emerging  Forces)  sebagai  tandingan kekuatan negara-negara Barat (Old Established Forces).
d) Konfrontasi dengan Malaysia (Dwikora).

Dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949 telah disepakati tentang pengakuan atas kedaulatan RI oleh Belanda kecuali  wilayah Irian Barat. Irian Barat akan dibicarakan satu tahun setelah KMB sebagai upaya kompromi antara kedua belah pihak.

Namun lebih dari sepuluh tahun dari kesepakatan KMB Belanda menolak menyerahkan  Irian  Barat.  Sebaliknya,  Belanda  memperkuat  kedudukannya secara militer dan politik di wilayah tersebut. Para pemimpin RI dan TNI menyimpulkan bahwa Belanda mengingkari hasil KMB sehingga pada tanggal 8
Mei 1956 Pemerintah RI memutuskan secara sepihak untuk membatalkan perjanjian KMB. Pemerintah membawa masalah ini ke forum PBB namun ketika dalam Sidang Umum PBB ke-12 tahun 1957 yang salah satu agendanya membahas Irian Barat, kembali Indonesia gagal.

Kegagalan jalur diplomasi tersebut menyebabkan Indonesia mengambil jalan radikal atau jalur konfrontasi. Sebelumnya, Pemerintah Indonesia mengambil-alih perusahaan dan aset-aset milik Belanda di Indonesia. Tanggal 17 Agustus 1960
Indonesia  memutuskan  hubungan  diplomatik  dengan  pemerintah  Kerajaan Belanda.

Dalam Sidang Umum PBB tahun 1961, masalah Irian Barat dibahas kembali. Sekretaris Jenderal PBB U Thant (Myanmar) mengajukan  usul kepada diplomat Amerika Serikat Ellsworth Bunker agar mengajukan proposal penyelesaian Irian yaitu Belanda menyerahkan kedaulatan   Irian Barat kepada Indonesia melalui PBB dalam jangka waktu dua tahun. Usulan tersebut pada prinsipnya diterima pemerintah Indonesia sementara Belanda menolaknya. Belanda berencana melepaskan Irian Barat dengan membentuk Dewan Perwalian dibawah PBB dan kemudian membentuk Negara Papua Merdeka.

Sikap Belanda tersebut langsung disambut semangat konfrontasi dari seluruh elemen masyarakat Indonesia. Dalam pidato rapat raksasa di Yogyakarta tanggal 19  Desember  1961,  Presiden  Sukarno  mengeluarkan  suatu  komando  untuk pembebasan Irian Barat yang dikenal dengan Trikora (Tri Komando rakyat), yang berisi sebagai berikut:

1. Gagalkan pembentukan negara boneka Papua buatan kolonial Belanda

2. Kibarkan Sang Merah Putih di Irian Barat Tanah Air Indonesia

3.Bersiaplah  untuk  mobilisasi  umum  mempertahankan  kemerdekaan  dan kesatuan Tanah Air dan Bangsa

Disusun Komando Mandala Siaga (Kolaga)   untuk merebut Irian  Barat yang dipimpin oleh Panglima Kostrad,Mayjen Suharto yang merupakan gabungan antarangkatan dan bertanggung jawab   langsung kepada Presiden selaku Panglima Tertinggi RI. Operasi yang dilakukan KOLAGA dimulai dengan operasi pendahuluan yang bersifat pengintaian dan sandiyudha. Dalam operasi pendahuluan tersebut terjadi pertempuran di Laut Arafura antara satuan TNI–AL dengan pasukan Belanda yang menyebabkan gugurnya Komodor Yos Sudarso. Situasi yang menuju pada perang besar memaksa pemerintah Belanda melakukan kebijakan diplomasi kembali dengan Indonesia. Pemerintah Belanda juga mendapat tekanan dari negara–negara Blok Barat agar  berunding dengan Indonesia, untuk mencegah terseretnya Uni Soviet dan Amerika Serikat dalam suatu konfrontasi langsung di Pasifik.

Pada  tanggal  15  Agustus  1962  ditandatangani  perjanjian  antara  Indonesia – Belanda di New York sehingga disebut Perjanjian New York. Perjanjian ini didasarkan pada prinsip-prinsip yang diusulkan Ellswort Bunker dari Amerika Serikat, yang oleh Sekretaris Jenderal PBB diminta untuk menjadi penengah dalam konflik Indonesia-Belanda mengenai masalah Irian Barat (Notosusanto,
1977: 115).
Untuk penyerahan administrasi di Irian Barat dari pemerintah Belanda kepada PBB dibentuklah UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority)  yang akan menyerahkan Irian Barat kepada Indonesia sebelum 1 Mei 1963.  Indonesia menerima kewajiban untuk melaksanakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) sebelum akhir tahun 1969.  Pada tanggal 31 Mei 1963 pemerintah RI menerima Irian Barat yang dilanjutkan dengan penyelenggaraan Pepera. Akhirnya konflik Indonesia-Belanda mengenai Irian Barat berakhir dengan pemulihan hubungan diplomatik pada tahun 1963. 

Situasi Ekonomi pada Masa Demokrasi Terpimpin


Sejak akhir tahun 1959, keadaan ekonomi Indonesia semakin merosot. Dengan kegagalan kebijakan pemerintah di bidang keuangan dan perekonomian, kemerosotan melanda semua sektor ekonomi yang vital. Sebagai dampaknya, harga barang-barng konsumsi naik dan biaya hidup meningkat. Masalah operasi pemulihan keamanan dengan adanya berbagai pemebrontakan di Indonesia seperti PRRI/Permesta dan DI/TII serta perjuangan dalam rangka pembebasan Irian Barat menjadi salah satu sebab utama kemerosotan ekonomi. Sementara itu,PKI  berpendapat  bahwa  kemerosotan ekonomi  ini  disebabkan    Indonesia menjalankan sistem kapitalisme dan feodalisme.

Pasca operasi pembebasan Irian Barat, pemerintah berusaha merehabiltasi perekonomian Indonesia. Rencana tersebut disusun dalam suatu konsepsi yang disebut  Konsepsi Djuanda. Namun dalam pelaksanaannya , banyak mengalami kendala-kendala.

Pada  masa  Demokrasi  Terpimpin,  pemerintah  berupaya  mengatasi permasalahan ekonomi dengan mempraktikkan sistem ekonomi terpimpin.

Pada tanggal 28 Maret 1963, Presiden Soekarno menyampaikan Deklarasi Ekonomi (Dekon) di Jakarta. Dekon merupakan strategi dasar dalam ekonomi terpimpin.Tujuan  utama  Dekon  adalah  untuk  menciptakan  ekonomi  nasional yang bersifat demokratis dan bebas dari imperialisme untuk mencapai kemajuan ekonomi. Mengingat tidak mudah untuk mendapatkan bantuan luarnegeri, maka pemerintah Indonesia menyatakan bahwa ekonomi Indonesia berpegang pada sistem ekonomi Berdikari (Berdiri di atas kaki sendiri).Pada bulan September 1963 Presiden Soekarno menunda pelaksanaan Dekon dengan alasan sedang berkonsentrasi pada konfrontasi dengan Malaysia.Upaya-upaya perbaikan ekonomi yang dilakukan pemerintah pada masaDemokrasi Terpimpin tidak menunjukkan hasil yang menggembirakan. 

Kondisi ekonomi memburuk karena anggaran  belanja  negara  setiaptahunnya  terus  meningkat  tanpa  diimbangi dengan  pendapatan  negara  yangmemadai.  Salah  satu  penyebab membengkaknya anggaran belanja tersebut adalah pembangunan proyek-proyek mercusuar,  yang  lebih  bersifat  politis.Akibatnya,  ekonomi  semakin  terpuruk. Harga  barang-barang  naik  mencapai  200-300%  pada  tahun  1965  sehingga pemerintah mengeluarkan kebijakan bahwa pecahan mata uang Rp 1000 (uang lama) diganti dengan Rp 1 (uangbaru). Penggantian uang lama dengan uang baru diikuti dengan pengumuman kenaikan harga bahan bakar. Hal ini menyebabkan mahasiswa dan masyarakat turun ke jalan menyuarakan Tri Tuntutan  Rakyat  (Tritura).Puncak  dari  segala  krisis  ini  adalah  terjadinya peristiwa pemberontakan G-30-S pada tanggal 1 Oktober 1965.



source : modul belajar mandiri pppk Pembelajaran 4. Kehidupan Bangsa Indonesia Masa Revolusi, Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi , kemdikbud

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar