Stratifikasi Sosial : Konsep, Karakteristik, Determinan, Bentuk, Proses, Sifat, dan Konsekuensi Stratifikasi Sosial
a. Konsep Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial lebih merujuk pada pembagian sekelompok orang ke dalam tingkatan (strata) yang berjenjang secara vertikal. Jadi, ketika dibahas tentang stratifikasi sosial, biasanya akan lebih banyak mengkaji tentang posisi yang tidak sederajat antar orang per orang atau kelompok dalam masyarakat. Secara umum, stratifikasi sosial juga sering dikaitkan dengan persoalan kesenjangan sosial atau polarisasi sosial (Suyanto dan Narwoko, 2004:169)
Sejak zaman kuno, menurut Aristoteles (Suyanto dan Narwoko, 2004:153), di dalam tiap negara setidaknya terdapat tiga unsur yaitu, mereka yang kaya sekali, mereka yang miskin, dan mereka yang ada di tengah-tengahnya. Hal itu menunjukkan bahwa pada zaman dahulu orang telah mengenal dan mengakui adanya sistem stratifikasi dalam masyarakat sebagai akibat adanya sesuatu yang mereka anggap berharga, sehingga ada yang mempunyai kedudukan di atas ada pula yang di bawah.
Stratifikasi sosial lebih berkenaan dengan adanya dua atau labih kelompok- kelompok bertingkat dalam suatu masyarakat tertentu, yang anggota-anggotanya mempunyai kekuasaan, hak-hak istimewa dan prestise yang tidak sama pula. Inti dari stratifikasi sosial adalah perbedaan akses golongan satu dengan golongan masyarakat lain dalam memanfaatkan sumber daya. Jadi, dalam stratifikasi sosial, tingkat kekuasaan, hak istimewa dan pretise individu tergantung pada keanggotaannya dalam kelompok sosial, bukan pada karakteristik personalnya.
b. Karakteristik Stratifikasi Sosial
Secara rinci, ada tiga aspek yang merupakan karakteristik stratifikasi sosial, yaitu:
1) Perbedaan dalam kemampuan atau kesanggupan.
Anggota masyarakat yang menduduki strata tinggi, tentu memiliki kesanggupan dan kemampuan yang lebih besar dibandingkan anggota masyarakat yang di bawahnya. Contoh: pegawai negeri golongan IV kebanyakan mampu membeli mobil, sedangkan pegawai negeri golongan I dan II tentu hanya akan sanggup membeli sepeda atau sepeda motor saja.
2) Perbedaan dalam gaya hidup (lifestyle).
Seorang direktur sebuah perusahaan, selain dituntut selalu berpakaian rapi, mereka biasanya juga melengkapi atribut penampilannya dengan asesoris- asesoris lain untuk menunjang kemantapan penampilan, seperti memakai dasi, bersepatu mahal, berolah raga tenis atau golf, memakai pakaian merek terkenal dan perlengkapan-perlengkapan lain yang sesuai dengan statusnya. Seorang direktur perusahaan besar yang berpakaian kumal besar kemungkinan akan menjadi pergunjingan. Sebaliknya, seorang bawahan yang berperilaku seolah- olah direktur tentu juga akan menjadi bahan cemoohan.
3) Perbedaan dalam hal hak dan akses dalam memanfaatkan sumber daya
Seseorang yang menduduki jabatan tinggi biasanya akan semakin banyak hak dan fasilitas yang diperolehnya. Sementara itu, seseorang yang tidak menduduki jabatan strategis apapun tentu hak dan fasilitas yang mampu dinikmati akan semakin kecil, misalnya fasilitas seorang direktur tentu saja berbeda dengan fasilitas yang diperoleh seorang karyawan..
c. Determinan Stratifikasi Sosial
Faktor-faktor yang menentukan (determinan) dalam proses pembentukan stratifikasi sosial yang terjadi pada masyarakat, umumnya didasarkan pada ukuran (Soekanto, 2002: 237; Horton dan Hunt, 1999: 7-11):
1) Kekayaan. Kekayaan atau materi biasanya dijadikan sebagai tolak ukur masyarakat dalam stratifikasi sosial. Semakin banyak jumlah kekayaan seseorang maka semakin atas pula kedudukannya dalam strata sosial. Begitu pula sebaliknya, semakin kecil jumlah kekayaan seseorang maka semakin rendah pula kedudukannya. Kekayaan atau materi tersebut biasanya dilihat pada bentuk/ukuran tempat tinggal, cara berpakaian ataupun barang tersier lainnya yang dimilikinya.
2) Kekuasaan dan Wewenang. Wewenang dapat dijadikan tolak ukur dalam strata sosial. Kekuasaan atau wewenang dapat mendatangkan kekayaan. Oleh sebab itu, semakin tinggi kekuasaan (jabatan) seseorang dalam suatu masyarakat maka semakin dihormati pula kedudukannya. Semakin rendah jabatannya dalam suatu lingkungan sosial masyarakat maka akan semakin diacuhkan pula kedudukannya di dalam kehidupan bermasyarakat.
3) Kehormatan. Dalam strata sosial masyarakat, orang yang paling berjasa dalam lingkungan kemasyarakatannya biasanya akan dihormati bahkan disegani. Ukuran kehormatan ini masih terlihat kental di lingkungan masyarakat tradisional.
4) Pendidikan atau Ilmu Pengetahuan. Ukuran ilmu pengetahuan, biasa dipakai oleh orang-orang yang menghargai pendidikan. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka akan semakin dihargai pula keberadaannya di dalam masyarakat. Ukuran ilmu pengetahuan ini biasa dilihat berdasarkan gelar kesarjanaan ataupun profesi yang dilakoninya.
d. Bentuk-Bentuk Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial terjadi dari kebiasaan hubungan antar manusia, yang kemudian ditingkatkan menjadi sebuah simbol sosial. Menurut Raymon Firth, pembentukan stratifikasi awalnya didasarkan pada perbedaan usia dan jenis kelamin (Susanto, 1979: 93). Dalam perkembangan selanjutnya, masyarakat selalu mengenal bentuk dasar stratifikasi, yaitu stratifikasi ekonomi, stratifikasi pendidikan/pekerjaan, dan stratifikasi politik
1) Stratifikasi Ekonomi
Pelapisan ekonomi dapat dilihat dari segi pendapatan, kekayaan dan pekerjaan. Kemampuan ekonomi yang berbeda-beda dapat menyebabkan terjadinya stratifikasi ekonomi. Orang-orang yang berpendapatan sangat kecil dan tidak memiliki harta benda akan menduduki lapisan bawah. Lapisan atas, misalnya konglomerat, pengusaha besar, pejabat dan pekerja profesional yang berpenghasilan tinggi. Lapisan bawah, misalnya gelandangan, pemulung, buruh tani dan orang-orang miskin lainnya.
Suatu hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa stratifikasi sosial dalam bidang ekonomi ini bersifat terbuka, jadi perpindahan antar kelas dapat terjadi secara bebas sesuai dengan kemampuan seseorang. Berikut pendapat para ahli mengenai stratifikasi ekonomi:
a) Aristoteles, membagi masyarakat secara ekonomi menjadi kelas atau golongan (Suyanto dan Narwoko, 2004: 153):
(1) Golongan sangat kaya; merupakan kelompok terkecil dalam masyarakat. Mereka terdiri dari pengusaha, tuan tanah dan bangsawan.
(2) Golongan kaya, merupakan golongan yang cukup banyak terdapat di dalam masyarakat. Mereka terdiri dari para pedagang, dan lain-lain.
(3) Golongan miskin, merupakan golongan terbanyak dalam masyarakat. Mereka kebanyakan rakyat biasa.
b) Karl Marx juga membagi masyarakat menjadi dua golongan (Johnson,1986: 120-159), yakni:
(1) Golongan kapitalis atau borjuis, adalah mereka yang menguasai tanah dan alat produksi.
(2) Golongan proletar, adalah mereka yang tidak memiliki tanah dan alat produksi.
c) Pada masyarakat Amerika Serikat, pelapisan masyarakat dibagi menjadi enam kelas yakni (Horton dan Hunt, 1999: 6; Susanto, 1979: 106):
(1) Kelas sosial atas lapisan atas (Upper-upper class) meliputi keluarga- keluarga yang telah lama kaya
(2) Kelas sosial atas lapisan bawah (Lower-upper class) terdiri dari kelompok yang belum lama menjadi kaya
(3) Kelas sosial menengah lapisan atas (Upper-middle class) meliputi pengusaha, kaum profesional
(4) Kelas sosial menengah lapisan bawah (Lower-middle class) meliputi pegawai pemerintah, kaum semi profesional, supervisor, pengrajin terkemuka
(5) Kelas sosial bawah lapisan atas (Upper lower class) meliputi pekerja tetap atau golongan pekerja
(6) Kelas sosial lapisan sosial bawah-lapisan bawah (Lower-lower class) meliputi para pekerja tidak tetap, pengangguran, buruh musiman, orang bergantung pada tunjangan.
2) Stratifikasi Pendidikan/Pekerjaan
Stratifikasi di bidang pendidikan dan pekerjaan bersifat terbuka, artinya seseorang dapat naik pada lapisan pendidikan yang lebih tinggi jika mampu berprestasi. Dalam bidang pendidikan dapat dijumpai stratifikasi sosial yang tersusun berdasarkan tingkat pendidikan sebagai berikut:
(1) Pendidikan sangat tinggi (profesor, doktor)
(2) Pendidikan tinggi (sarjana)
(3) Pendidikan menengah (SMA)
(4) Pendidikan rendah (SD dan SMP)
(5) Tidak berpendidikan (buta huruf)
Pelapisan yang berbentuk pelapisan sosial dapat ditemukan pula dalam bidang pekerjaan. Pelapisan sosial berdasarkan bidang pekerjaan berpatokan pada keahlian, kecakapan dan keterampilan. Menurut klasifikasi Morell (Susanto, 1979: 108-110) pelapisan sosial berdasarkan ukuran pekerjaan adalah sebagai berikut:
(1) Elit, adalah orang kaya dan orang-orang yang menempati kedudukan yang oleh masyarakat sangat dihargai
(2) Profesional, orang yang berijazah serta bergelar di dunia pendidikan yang berhasil
(3) Semi-profesional, seperti pegawai kantor, pedagang, teknisi berpendidikan menengah dan mereka yang tidak berhasil mencapai gelar
(4) Tenaga terampil, misalnya orang-orang yang mempunyai keterampilan mekanik, pekerja pabrik yang terampil dan pemangkas rambut
(5) Tenaga semi terampil, misalnya pekerja pabrik tanpa keterampilan, dan pelayan restoran
(6) Tenaga tidak terlatih atau tidak terdidik, misalnya pembantu rumah tangga, tukang kebun dan penyapu jalan.
Sedangkan pada masa lalu, stratifikasi sosial di desa-desa yang umumnya merupakan masyarakat petani terutama didasarkan pada hak milik atas tanah, sawah, kebun dan rumah. Pada masyarakat Jawa Tengah terdapat stratifikasi didasarkan pada kepemilikan tanah. Stratifikasi itu adalah sebagai berikut (Susanto, 1979: 102):
(1) Golongan priyayi, yaitu golongan pegawai pemerintah desa atau para pemimpin formal di desa
(2) Golongan kuli kenceng, yaitu golongan pemilik sawah yang juga berperan sebagai pedagang perantara
(3) Golongan kuli gundul, yaitu golongan penggarap sawah dengan sistem maro (bagi hasil)
(4) Golongan kuli karang kopek, yaitu golongan buruh tani yang mempunyai tempat tinggal dan pekarangan saja, mereka tidak mempunyai tanah pertanian sendiri.
3) Stratifikasi Politik
Stratifikasi dalam bidang politik dilihat dari faktor kekuasaan. Mereka yang memiliki kekuasaan atau wewenang terbesar akan menempati lapisan teratas. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki kekuasaan sama sekali menduduki lapisan politik terbawah. Kekuasaan dalam suatu masyarakat biasanya dijalankan oleh segolongan kecil masyarakat. Golongan tersebut dinamakan the ruling class atau golongan yang berkuasa. Mereka ini menduduki lapisan tertinggi dalam stratifikasi politik sebagai elit politik. Mereka inilah yang memegang dan menjalankan kekuasaan dalam suatu negara.
Stratifikasi politik atau pelapisan sosial berdasarkan kekuasaan bersifat bertingkat-tingkat (hierarki) yang menyerupai suatu piramida. Menurut Mac Iver, ada tiga tipe umum dalam sistem dan lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan, yaitu tipe kasta, tipe oligarki dan tipe demokrati (Keesing, 1999: 80- 85).
(1) Tipe Kasta, adalah sistem pelapisan kekuasaan dengan garis pemisah yang tegas dan kaku. Tipe ini biasanya terdapat pada masyarakat yang menganut sistem kasta, dimana hampir tidak terjadi mobilitas vertikal. Garis pemisah antara masing-masing lapisan hampir tak mungkin ditembus
(2) Tipe Oligarki adalah sistem lapisan kekuasaan yang masih mempunyai garis pemisah tegas, tapi dasar pembedaan kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan masyarakat, terutama kesempatan bagi para warga masyarakat unuk memperoleh kekuasaan tertentu. Bedanya dengan tipe kasta adalah walaupun kedudukan warga masih didasarkan pada kelahiran, individu masih diberi kesempatan untuk naik lapisan.
(3) Tipe Demokratis. Pada tipe demokratis, garis-garis pemisah antarlapisan sifatnya fleksibel dan tidak kaku. Kelahiran tidak menentukan kedudukan dalam lapisan-lapisan, yang terpenting adalah kemampuan dan kadang- kadang juga faktor keberuntungan, misalnya anggota organisasi dalam suatu masyarakat demokratis yang dapat mencapai kedudukan tertentu melalui organisasi politiknya.
e. Proses Terjadinya Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial lahir sebagai akibat dari adanya pembagian jenis pekerjaan. Stratifikasi sosial terdiri atas orang-orang yang memiliki status sosial yang sama dan saling menilai satu sama lainnya sebagai anggota masyarakat yang sederajat. Beberapa kondisi umum yang mendorong terciptanya stratifikasi sosial adalah (Syarbani dan Rusdiyanta, 2009: 52) :
1) Perbedaan ras dan budaya, yaitu ketidaksamaan ciri biologis seperti warna kulit, latar belakang etnis dan budaya dapat mengarah kepada stratifikasi sosial dalam masyarakat, sehingga cenderung terjadi suatu kelompok menguasai suatu kelompok lain;
2) Pembagian tugas; pembagian tugas dalam masyarakat cenderung menunjukkan sistem spesialisasi. Posisi-posisi dalam spesialisasi ini berkaitan dengan perbedaan fungsi stratifikasi dan kekuasaan;
3) Kelangkaan, yaitu secara berangsur-angsur stratifikasi sosial terwujud karena alokasi hak dan kekuasaan yang jarang atau langka.
Menurut Robin Williams Jr. (1960:88-89), terjadinya stratifikasi sosial atau sistem stratifikasi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu sistem stratifikasi yang terjadi dengan sendirinya artinya tanpa disengaja, dan sistem stratifikasi yang terjadi karena dengan sengaja disusun untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Lapisan-lapisan dalam masyarakat yang terjadi dengan sendirinya atau tidak disengaja misalnya lapisan yang didasarkan pada umur, jenis kelamin, mungkin dalam batas-batas tertentu berdasarkan harta. Sedangkan sistem lapisan dalam masyarakat yang sengaja disusun untuk mencapai tujuan tertentu biasanya berkaitan dengan pembagian kekuasaan dan wewenang yang resmi dalam organisasi formal seperti pemerintahan, perusahaan, partai politik, angkatan bersenjata dan sebagainya.
f. Sifat Stratifikasi Sosial
Ada tiga sifat dari sistem stratifikasi masyarakat (Suyanto dan Narwoko, 2004; Soekanto, 2002: 234), yaitu bersifat tertutup (closed social stratification), bersifat terbuka (opened social stratification), dan bersifat campuran (mixed social stratification).
1) Sistem stratifikasi tertutup
membatasi kemungkinan berpindahnya seseorang dari lapisan satu ke lapisan yang lain, baik ke lapisan atas ataupun ke lapisan yang lebih rendah. Dalam sistem stratifikasi masyarakat tertutup semacam ini satu-satunya cara untuk menjadi anggota suatu lapisan tertentu dalam masyarakat adalah karena kelahiran.
Sistem tertutup dapat dilihat dengan jelas dalam masyarakat India yang berkasta, dalam batas-batas tertentu pada masyarakat Bali, juga dapat dijumpai di Amerika Serikat di mana terdapat pemisahan antara golongan kulit putih dan golongan kulit berwarna khususnya Negro yang dikenal istilah segregation atau sistem Apartheid di Afrika Selatan.
Di dalam masyarakat yang semakin modern dan kritis, sistem stratifikasi tertutup yang diikuti dengan pembagian hak dan kewajiban yang dirasa tidak adil biasanya akan banyak dipersoalkan. Di Afrika Selatan, diskriminasi hak dan kewajiban antara warga kulit hitam dan kulit putih melalui politik Apartheid (pemisahan) dari tahun 1948-1991 telah melahirkan berbagai reaksi ketidakpuasan. Pada satu titik dimana perlakuan diskriminasi dinilai sudah tidak lagi bisa ditolerir dan pada saat yang sama ada momen tertentu yang menyulut, maka dengan mudah akan timbul kerusuhan.
2) Sistem stratifikasi terbuka;
setiap anggota masyarakat mempunyai kesempatan untuk berusaha dengan kemampuannya sendiri. Apabila mampu dan beruntung seseorang dapat untuk naik ke lapisan yang lebih atas, atau bagi mereka yang tidak beruntung dapat turun ke lapisan yang lebih rendah.
Sebuah perusahaan yang dikelola secara profesional dan tidak atas dasar ikatan-ikatan primordial adalah salah satu contoh dari sistem stratifikasi yang sifatnya terbuka. Seorang karyawan, dari manapun asal dan bagaimanapun latar belakang keluarganya, serta apapun jenis kelaminnya sepanjang dia memang berdedikasi, memiliki kemampuan yang memadai, dan mampu bersaing dengan sesama karyawan lain secara profesional, maka perjalanan kariernya kemungkinan besar akan lancar. Dalam birokrasi, hal tersebut distilahkan sebagai meritokrasi.
Dalam konteks yang lebih makro, contoh sistem stratifikasi yang terbuka adalah sistem kelas. Pada sistem kelas institusi dalam masyarakat mulai cenderung menentang perlakuan yang berbeda, dan sebagian besar anggota kelompok tidak pasrah terhadap kedudukan yang diterimanya. Mereka akan berusaha, berjuang mengubah status atau kedudukannya.
3) Sistem stratifikasi campuran merupakan kombinasi antara stratifikasi tertutup dan terbuka. Misalnya, seorang Bali berkasta Brahmana mempunyai kedudukan terhormat di Bali, namun apabila ia pindah ke Jakarta menjadi buruh, ia memperoleh kedudukan rendah. Maka, ia harus menyesuaikan diri dengan aturan kelompok masyarakat di Jakarta.
g. Konsekuensi Stratifikasi Sosial
Perbedaan tingkat pendidikan, kekayaan, status atau perbedaan kelas sosial tidak hanya membawa konsekuensi (dampak) dalam gaya hidup dan tindakan, tetapi juga menimbulkan perbedaan dalam hal peluang hidup dan kesehatan, peluang bekerja dan berusaha, respon terhadap perubahan, pola sosialisasi dalam keluarga, serta perilaku politik (Suyanto dan Narwoko, 2004:182).
1) Gaya Hidup
Perbedaan kelas sosial dalam banyak hal mempengaruhi perilaku dan wujud gaya hidup yang ditampilkan. Gaya hidup dan penampilan kelas sosial menengah dan atas pada umumnya lebih atraktif dan eksklusif.
Berbeda dengan kelas sosial bawah yang lebih bersifat konservatif, baik dari segi mode, selera makan, perawatan kesehatan, dan pilihan pendidikan. Atribut-atribut yang bersifat massal, atau pasaran, umumnya selalu dihindari oleh orang-orang yang secara ekonomi lebih mapan. Bagi mereka, atribut adalah simbol status yang mencerminkan status yang berbeda dari kelas yang lebih rendah.
Contoh, dalam hal pemilihan jenis musik. Seseorang yang merasa anggota kelas menengah ke atas akan merasa turun gengsi dan malu bila disebut sebagai penggemar musik dangdut. Hal itu terjadi karena stigma masyarakat yang menempatkan musik dangdut sebagai budaya pinggiran yang banyak diputar di daerah pedesaan.
Salah satu ciri dari orang kelas sosial bawah adalah sering mengapresiasi dan meniru gaya hidup kelas sosial di atasnya. Misalnya, dalam memilih pakaian, sepatu, dan asesoris, banyak orang kelas sosial bawah mencoba menirunya dengan cara membeli barang-barang bermerek tiruan yang biasa dikenakan oleh kelas menengah ke atas.
2) Peluang Hidup dan Kesehatan
Studi yang dilakukan oleh Robert Chambers (Suyanto dan Narwoko, 2004:185), menemukan bahwa di lingkungan keluarga miskin, umumnya terjadi lemah jasmani dan rentan terserang penyakit. Menurut Antonovsky (Horton dan Hunt, 1999), setidaknya terdapat 2 faktor yang beinteraksi untuk menghasilkan hubungan antara kelas sosial dengan kesehatan. Pertama, para anggota kelas sosial yang lebih tinggi cenderung lebih mudah menikmati fasilitas sanitasi, tindakan pencegahan, serta perawatan medis yang lebih baik. Kedua, orang-orang yang mengidap penyakit kronis, status sosialnya cenderung menurun dan sulit mengalami mobilitas vertikal karena hambatan penyakit yang menghalangi pekerjaan.
3) Respon Terhadap Perubahan
Kelas sosial bawah merupakan kelompok yang paling lambat menerapkan kecenderungan baru, terutama dalam hal cara pengambilan keputusan. Terbatasnya pendidikan menyebabkan orang-orang dalam kelas sosial bawah ragu-ragu untuk menerima pemikiran dan cara-cara baru serta curiga terhadap penemuan hal-hal baru (Horton dan Hunt,1999).
Sebaliknya pada kelas sosial atas, yang mayoritas berpendidikan relatif memadai, cenderung lebih responsif terhadap ide-ide baru, sehingga mereka dapat dengan cepat memanfaatkan program baru atau inovasi yang diketahuinya.
4) Peluang Bekerja dan Berusaha
Peluang bekerja dan berusaha antara kelas sosial bawah dengan kelas sosial di atasnya secara umum jauh berbeda. Dengan koneksi, kekuasaan, pendidikan, dan modal yang dimiliki, kelas sosial atas relatif lebih mudah membuka usaha atau mencari pekerjaan sesuai dengan minatnya. Sedangkan pada kelas sosial bawah, perangkap kemiskinan telah membuat mereka rentan, sulit mendapatkan kepercayaan dan sulit mendapatkan akses dan jaringan sosial.
5) Kebahagiaan dan Sosialisasi dalam Keluarga
Kelas sosial nampaknya berkaitan erat dengan terpenuhinya sebuah kebahagiaan. Orang-orang dalam keluarga kelas menengah ke atas lebih mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka, sehingga mereka lebih berkemungkinan untuk merasa bahagia daripada orang-orang yang kurang berada (Horton dan Hunt, 1999: 20). Pada keluarga kelas bawah, masalah mental lebih sering dijumpai. Kemiskinan menyebabkan orang minim jaminan pekerjaan, lebih banyak tagihan hutang, lebih banyak terjebak dalam alkoholisme, lebih rentan terlibat tindakan kriminal, lebih rentan terjadi disharmoni keluarga hingga menyebabkan kekerasan dalam keluarga (Henslin, 2006: 221).
6) Perilaku Politik
Studi yang dilakukan para ahli menyimpulkan bahwa semakin tinggi kelas sosial, maka semakin proaktif individu dalam berperilaku politik, seperti mendaftarkan diri sebagai pemilih, berpartisipasi dalam memberikan suara, interes terhadap masalah politik, menjadi anggota organisasi, dan bahkan berusaha mempengaruhi pandangan politik orang lain (Suyanto dan Narwoko, 2004: 190).
Tumbuhnya sikap kritis di lingkungan kelas menengah ke atas ikut mempengaruhi tingkat partisipasi politik. Selain itu, intensitas keterlibatan kelompok berpendidikan, terutama kelas menengah ke atas, dalam berbagai perkembangan informasi melalui media massa, merupakan penyebab kelompok tersebut mudah mencerna permasalahan politik atau bahkan ikut bermain di dalamnya (Henslin, 2006: 219). Kelas menengah, dalam banyak hal sering dipandang dan diharapkan sebagai motor penggerak perubahan
source: modul belajar mandiri pppk ips sosiologi, Pembelajaran 3. Struktur Sosial, kemdikbud
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar