Prosa Fiksi : Hakikat, Unsur-Unsur, dan Jenis Jenis


a. Hakikat Prosa Fiksi

Istilah fiksi digunakan untuk menandai karya sastra dalam bentuk prosa, seperti cerpen, dongen, dan novel. Prosa fiksi sering juga disebut cerita rekaan atau cerita khayalan, artinya cerita yang tidak sungguh-sungguh terjadi atau bersifat imajinatif.   Prosa   fiksi   menampilkan   permasalahan   manusia.   Meskipun begitu, sebuah prosa fiksi haruslah tetap merupakan bangunan struktur yang koheren dan tetap mempunyai tujuan estetik (Wellek dan Warren, 2014).

Sebagai karya imajinatif, prosa fiksi memiliki bahasa yang khas. Dalam hal ini, Wellek dan Warren (2014) membedakan bahasa sastra dengan bahasa ilmiah dan bahasa sehari-hari. Bahasa sastra lebih mengedepankan perasaan dan bersifat konotatif. Dalam bahasa ilmiah dan sehari-hari, kata ‘bunga mawar’ bermakna bunga yang berwarna merah, berdaun hijau, dan berduri sebagaimana bunga yang kita tanam di halaman rumah. Dalam bahasa sastra, kata ‘bunga mawar’ bisa bermakna perasaan cinta sebagaimana penggunaannya dalam kalimat “Kusematkan bunga mawar di hatimu”. Penggunaan kata dalam bahasa sastra bertujuan untuk membangun makna tertentu sekaligus menimbulkan efek estetis.

b.  Unsur-Unsur Prosa Fiksi 

Menurut Stanton (cari), unsur pembangun prosa fiksi terdiri dari fakta cerita, sarana cerita, dan tema. Fakta cerita merupakan fakta yang ada dalam cerita, terdiri dari alur, tokoh, dan latar. Sarana cerita merupakan alat untuk bercerita, terdiri dari antara lain sudut pandang, judul, dan bahasa. Dalam modul ini, unsur prosa fiksi yang akan dibahas adalah fakta cerita.

1)  Alur

Alur cerita merupakan rangkaian peristiwa yang disusun berdasar hubungan kausalitas atau  hubungan sebab  akibat  (Sayuti, 2002). Artinya, peristiwa- peristiwa dalam prosa fiksi itu saling berhubungan. Peristiwa pertama menyebabkan peristiwa kedua, peristiwa kedua menyebabkan peristiwa ketiga, dan seterusnya. Alur cerita dapat kita bagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian awal, tengah, dan akhir (Sayuti, 2002). Bagian awal adalah bagian pengenalan, baik pengenalan tokoh, latar, maupun konflik. Bagian tengah adalah bagian konflik terjalin dan memuncak, atau biasa disebut sebagai klimaks. Bagian akhir merupakan bagian penyelesaian cerita.

Struktur Alur

Orientasi berisi pengenalan tokoh, latar, ataupun konflik. Setelah pengenalan selesai, muncullah ketidakstabilan (instabilitas). Ketidakstabilan dalam alur bisa terjadi karena datangnya tokoh baru yang membawa masalah, munculnya masalah di dalam diri tokoh sendiri, terjadinya sebuah peristiwa yang membawa masalah, atau yang lainnya. Dari ketidakstabilan inilah kemudian muncullah konflik.

Konflik dalam suatu cerita dapat bersumber dari permasalahan kehidupan. Konflik dalam alur cerita menjadi sesuatu yang penting. Seiring dengan jalannya cerita, konflik ini akan mengalami komplikasi. Ibarat penyakit, konflik yang mengalami komplikasi itu menyebar ke tokoh-tokoh lain dan konflik lebih serius sampai memuncak dan mencapai klimaks. Di titik klimaks inilah cerita mencapai ketegangan yang ditunggu-tunggu pembaca.

Konflik dalam cerita dapat dimunculkan secara bervariasi (Sayuti, 2002). Konflik tersebut dapat berupa konflik dalam diri seseorang (tokoh) atau ‘konflik kejiwaan’,  seseorang dan masyarakat atau ‘konflik sosial’, dan  Konflik dalam dalam fiksi dapat juga terjadi karena peristiwa alam atau ‘konfik alamiah’. Berbagai jenis konflik dalam fiksi bukan berarti fiksi hanya bisa mengangkat satu jenis konflik saja. Namun, dalam fiksi berbagai konflik itu dapat muncul bersama-sama.

Di bagian akhir, cerita bergerak menuju penyelesaian (denoument). Akhir setiap cerita itu berbeda-beda. Berdasarkan dari akhir ceritanya kita mengenal istilah alur tertutup dan alur terbuka (Sayuti, 2002). Alur tertutup adalah alur yang akhir ceritanya jelas. Dikatakan tertutup karena tertutup bagi pembaca untuk menafsirkan jalan cerita akhirnya karena akhir cerita ini telah ditentukan oleh pembaca. Sementara itu, alur terbuka adalah alur yang tidak jelas. Dikatakan terbuka karena pembaca diberi kesempatan untuk menafsirkan jalan cerita akhirnya.

Struktur alur yang dijelaskan digambarkan sebagai berikut.

Gambar   Struktur Cerpen dalam Buku Siswa (Kemdikbud, 2018)

Gambar   Struktur Cerpen dalam Buku Siswa (Kemdikbud, 2018)

Jenis alur ada bermacam-macam. Selain pembagian alur tertutup dan alur terbuka itu, kita juga mengenal pembagian yang lain. Dilihat sifatnya, akhir cerita juga dapat dibagi menjadi dua, yaitu akhir cerita yang menyenangkan (happy ending) dan akhir cerita yang menyedihkan (sad ending).

Struktur alur yang dijelaskan di atas sejalan dengan struktur cerpen dalam buku (Kemdikbud, 2018). Struktur cerpen dalam buku tersebut digambarkan sebagai berikut.

Gambar  . Struktur Cerpen dalam Buku Siswa (Kemdikbud, 2018)

Sementara itu, berdasarkan segi penyusunan peristiwa atau urutan peristiwa, dikenal adanya alur maju atau kronologis dan alur mundur atau sorot-balik (Sayuti, 2002). Urutan peristiwa dalam alur maju bergerak dari depan ke belakang, sedangkan urutan peristiwa dalam alur mundur bergerak dari belakang ke depan. Alur mundur ini dering juga disebut flash-back. Namun, banyak dijumpai suatu cerita menggunakan variasi alur maju dan mundur ini, yaitu alur campuran.

2)  Tokoh

Cerita digerakkan oleh tokoh. Tokoh ini  bisa berupa manusia,   binatang, mainan, hantu, dan sebagainya. Sebagaimana manusia, tokoh digambarkan secara utuh meliputi tiga dimensi, yaitu dimensi fisiologis, psikologis, dan sosiologis (Sayuti, 2002 cari). Dimensi fisiologis berkaitan dengan aspek fisik tokoh, misalnya usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri muka, cara berjalan, cara berbicara, warna kulit, dan sebagainya. Dimensi psikologis berkaitan dengan aspek psikis atau kejiwaan tokoh, misalnya kondisi mental, kondisi moral, keinginan dan perasaan pribadi, sikap dan kelakuan (temperamen), 
kepandaian, dan sebagainya. Dimensi sosiologis berkaitan dengan Sementara itu, dimensi sosiologis berkaitan dengan kondisi sosial tokoh, misalnya status sosial, pekerjaan, jabatan, pendidikan, agama, pandangan hidup, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, hobi, bangsa, suku, kondisi ekonomi, keturunan, dan sebagainya.

Berdasarkan keterlibatannya dalam cerita, tokoh dapat dibagi menjadi dua, yaitu tokoh utama dan tokoh tambahan (Sayuti, 2002). Tokoh utama paling terlibat dengan makna atau tema, paling banyak berhubungan dengan  tokoh lain, paling banyak memerlukan waktu penceritaan.

3)  Latar

Latar cerita merupakan unsur fiksi yang mengacu pada tempat, waktu, dan kondisi sosial cerita itu terjadi. Hal ini sejalan dengan pembagian latar, yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial (Nurgiyantoro, 1995). Latar tempat adalah latar yang mengacu pada tempat berlangsungnya cerita, misalnya di kelas, di pedesaan, di kantor, dan sebagainya. Latar waktu adalah latar yang mengacu pada waktu terjadinya cerita, misalnya pada pagi hari, pada malam hari, pada perang kemerdekaan, pada musim kemarau, dan sebagainya. Latar sosial adalah latar yang mengacu pada kondisi sosial tempat terjadinya cerita, misalnya masyarakat pemulung di bawah jembatan yang miskin dan tidak terpelajar atau keluarga kaya yang berlimpah harta. Ketiga unsur latar tersebut terbangun secara bersama, tidak terputus, dan saling berhubungan.

c. Jenis-Jenis Fiksi

Jenis-jenis fiksi yang dibahas dalam subbab ini mengacu pada jenis fiksi yang dipelajari pada jenjang menengah SMP/MTs dan SMA/MA/SMK.

1) Fabel

Fabel merupakan prosa fiksi yang menggunakan tokoh binatang. Fabel ini dapat digunakan untuk menanamkan moral dan karakter. Banyak anak suka membaca fabel ini. Fabel biasanya ditujukan untuk anak-anak sehingga masuk dalam kategori sastra anak. Meskipun begitu, ada juga fabel yang ditujukan untuk pembaca dewasa. Fabel jenis ini bisa digunakan untuk menyampaikan pelajaran hidup. 

Cerita fabel ini termasuk cerita rakyat kategori dongeng. Aarne dan Thompson (melalui Danandjaja, 1991:86) menyatakan bahwa jenis dongeng dapat dibagi dalam empat kelompok besar, yaitu dongeng binatang (fabel), dongeng biasa, lelucon dan anekdot, dan dongeng-dongeng berumus. Tokoh dalam fabel bisa berupa binatang piaraan atau binatang liar, seperti binatang menyusui, burung, binatang melata, ikan dan serangga. Binatang-binatang itu dalam cerita dapat berbicara dan memiliki akal seperti manusia. Tokoh binatang dalam fabel bisa berupa binatang liar (wild animals), binatang liar dan peliharaan (wild animals and domestic animals), manusia dan binatang liar (man and wild animals), binatang- binatang peliharaan (domestic animals), burung-burung, ikan-ikan, dan binatang- binatang lainnya dan benda-benda (other animals and objects).

2)  Legenda Setempat

Legenda setempat tidak sama dengan fabel. Legenda adalah cerita prosa rakyat yang dianggap sebagai kejadian yang sungguh-sungguh terjadi. Legenda ini bersifat keduniawian (bukan di dunia gaib), bertempat di dunia seperti yang kita kenal sekarang (Danandjaja, 1991).

Menurut Jan Harold Brunvand (melalui Danandjaja, 1991), legenda dapat digolongkan menjadi empat kelompok, yaitu legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perseorangan, dan legenda lokal. Legenda keagamaan berisi cerita yang terkait dengan agama tertentu, misalnya cerita Legenda Wali Sanga. Legenda alam gaib berisi cerita yang berkaitan dengan suatu kepercayaan terhadap alam gaib, misalnya Legenda Nyai Roro Kidul, legenda tentang hantu dan sundel bolong. Legenda perseorangan berisi cerita tokoh tertentu, misalnya cerita Legenda Si Pitung, Legenda Panji. Legenda lokal berisi cerita yang berkaitan dengan tentang suatu tempat atau nama tempat, misalnya Legenda Gunung Tangkuban Perahu. 

3)  Cerita Rakyat (Hikayat)

Hikayat adalah karya sastra lama Melayu berbentuk prosa yang berisi cerita, undang-undang, dan silsilah bersifat rekaan, keagamaan, historis, biografis, atau gabungan sifat-sifat itu, dibaca untuk pelipur lara, pembangkit semangat juang, atau sekadar untuk meramaikan pesta, misalnya Hikayat Hang Tuah, Hikayat Perang Palembang, Hikayat Seribu Satu Malam (https://kbbi.kemdikbud.go.id). Sudjiman (2006:34) menyatakan hikayat adalah jenis cerita rekaan dalam sastra Melayu Lama yang menggambarkan keagungan dan kepahlawanan. Sebagai sastra Melayu Lama, hikayat bersifat anonim. Hikayat menceritakan kehebatan dan kemuliaan seorang pahlawan sehingga dapat digunakan sebagai sarana pendidikan.

Sementara itu, menurut Hamzah (1996:128), hikayat adalah prosa fiksi lama yang menceritakan kehidupan istana atau raja serta dihiasi oleh kejadian yang sakti dan ajaib. Hikayat sering mengangkat latar kehidupan kerajaan dengan tokoh-tokoh yang memiliki kesaktian. Keajaiban juga sering muncul dalam alur hikayat dalam bentuk kejadian-kejadian yang mustahil.

4)  Anekdot

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI V), anekdot merupakan cerita singkat yang menarik karena lucu dan mengesankan, biasanya mengenai orang  penting  atau  terkenal  dan  berdasarkan kejadian  yang  sebenarnya. Anekdot dalam kehidupan sehari-hari muncul dalam berbagai media dan bentuk. Ada anekdot yang muncul dalam pementasan teater. Ada anekdot dalam teks tulis. Ada juga anekdot yang muncul dalam pidato. Meskipun media anekdot bervariasi tetapi substansi anekdot tetap sama, yaitu lucu dan berisi kritikan untuk menyindir.

Untuk menyampaikan kritikan yang menyindir, Kresna (2001) menyatakan bahwa materi anekdot dapat bervariasi. Anekdot bebas berbicara tentang keadilan, kebenaran, kelayakan, kepatutan, Hak Asasi manusia, masalah politik (demokrasi, kebebasan berpendapat, supremasi sipil dan kepastian hukum). Anekdot juga mengupas berbagai kepincangan kehidupan dan menyusupkan kritik sosial. Kritik dalam anekdot disertai humor, sebenarnya amat pedih, namun tidak melukai siapa- siapa. Nilai hiburan amat tinggi dengan jaminan resiko aman.

Menurut Kresna (2001), sebagai sesuatu yang fiktif, anekdot selalu hanya berpura-pura nyata, tetapi kemudian berbelok tajam di ujungnya. Anekdot penuh spontanitas. Anekdot tidak dituntut logis. Justru ketika semua anekdot itu logis, ia akan kehilangan keanekdotannya,    nilai spontanitasnya hilang, kejutan dan kelucuannya jadi hambar.

Sebagai contoh, bacalah dan cermatilah anekdot-anekdot yang dikutip dari buku Anekdot Cina berikut ini.

KAPAL MILIK NEGARA

Ketika Hu Li Tzu akan pulang ke kampung halamannya dari ibukota, perdana menteri memerintahkan inpekstur polisi untuk mengantar keberangkatan Hu Li. “Jika Anda ingin menggunakan perahu, pilihlah perahu milik negara yang mana saja Anda suka,” sang inspektur memberi tahu Hu Li Tzu.
Sebelum inspektur itu tiba, Hu Li Tzu sudah berada di tepi sungai untuk memilih perahu. Di situ terdapat ratusan perahu yang ditambatkan di sepanjang tepian sungai. Ia tidak bisa membedakan perahu milik negara dengan perahu-perahu lainnya.
“Mudah saja,” jawab sang inspektur polisi. “Pilih salah satu yang kerainya rusak,
dayungnya pecah, dan layarnya robek. Perahu seperti itulah milik negara.”
Hu Li Tzu menghela napas. “Tidak mengherankan jika rakyat tampak compang camping. Mungkin saja Sang Kaisar menganggap mereka sebagai “milik negara” juga.” Ia berkata pada dirinya sendiri. (Suryandani, 2003:7-8).

5) Cerpen, Novelet, dan Novel

Jenis tulisan prosa fiksi dilihat dari panjang pendeknya cerita dan kata dapat dikategorikan dalam cerpen, novelet, dan novel. Pembedaan ketiga bentuk fiksi ini didasarkan pada panjang pendeknyanya cerita. Cerpen adalah cerita yang pendek, sedangkan novelet adalah cerpen yang panjang tetapi lebih pendek dari novel. Jika diurutkan berdasarkan panjangnya maka diperoleh urutan: cerpen-novelet-novel. Sayuti (2000) menyatakan   bahwa istilah cerpen biasanya digunakan untuk pada prosa fiksi yang panjangnya antara 1.000 sampai 5.000 kata, sedangkan novel umumnya berisi lebih dari 45.000 kata. Sementara itu, novelet berkisar antara 5.000 sampai 45.000 kata. 

Sesuai namanya, cerpen merupakan cerita yang pendek yang habis dibaca dalam sekali duduk. Panjang cerpen berkisar 1000-1500 kata. Dibaca dalam sekali duduk tentu bukan dalam makna atau arti yang sesungguhnya. Namun, hal itu berarti cerpen memerlukan waktu baca yang tidak lama karena tidak terlalu panjang. Dalam cerpen, alur cerita diarahkan pada insiden atau peristiwa tunggal, dengan pemadatan (compression). Jakob Sumardjo (2001) menyebutkan bahwa cerpen hanya memiliki satu krisis dan satu efek untuk pembacanya. Pengarang cerpen menyajikan cerpen dengan tajamsehingga ia harus dituntut untuk ekonomi bahasa. Ketajaman ini adalah tujuan penulisan cerpen.

Hal ini berbeda dengan karya fiksi yang lain. Novel tidak bisa dibaca dalam sekali duduk karena merupakan cerita yang sangat panjang. Panjang novel lebih dari 45.000 kata. Alur cerita dalam novel diarahkan pada insiden atau peristiwa jamak. Jakob Sumardjo (2001) berpendapat bahwa novel adalah cerita fiktif yang panjang, dalam arti fisik (yang kelihatan) dan isi. Novel terdiri dari satu cerita yang pokok, dijalani dengan beberapa cerita sampingan yang lain, beberapa kejadian, dan kadang beberapa masalah juga,  yang harus terjalin sebagai suatu kesatuan yang bulat. Di antara cerpen dan novel, ada novelet dengan panjang berkisar antara 15.000 – 45.000 kata. Secara lebih jelas, perhatikan bagan berikut!

Gambar   Perbandingan Antara Cerpen, Novelet, dan Novel

Gambar   Perbandingan Antara Cerpen, Novelet, dan Novel

Panjang pendeknya cerita dalam cerpen, novelet, dan novel membawa konsekuensi dalam penceritaannya. Dalam cerpen, karena ceritanya pendek maka peristiwa, konflik, dan tokoh dalam ceritanya pun tidak banyak berkembang. Sebaliknya, karena lebih panjang maka peristiwa, konflik, dan tokoh dalam cerita menjadi lebih panjang, banyak, dan kompleks. 

Cerpen dapat dikumpulkan dalam  sebuah  buku  kumpulan  cerpen  atau  antologi  cerpen. Antologi cerpen dapat ditulis oleh seorang pengarang, tetapi dapat juga ditulis oleh banyak pengarang. Judul antologi cerpen biasanya diambil dari salah satu judul cerpen yang ada di dalamnya.

6)  Cerita Fantasi

Menurut Nurgiyantoro (2013), cerita fantasi menampilkan tokoh, alur, atau tema yang derajat kebenarannya diragukan, baik dalam seluruh cerita maupun dalam sebagian cerita. Teks cerita fantasi menghadirkan dunia khayal atau imajinatif yang diciptakan oleh pengarang. Khayalan atau fantasi pengarang membuat cerita tampak tidak masuk akal. Lebih lanjut, Nurgiyantoro (2005) berpendapat bahwa kekurangmasukakalan cerita fantasi dapat disebabkan oleh tokoh-tokoh cerita yang ditampilkan. Cerita fantasi tidak hanya menampilkan tokoh dari kalangan manusia, tetapi juga tokoh dari dunia lain seperti makhluk halus, dewa-dewi, manusia mini, raksasa, naga bersayap, atau tokoh-tokoh lain yang tidak dijumpai  di  dunia  realitas.  Tokoh-tokoh  tersebut  kemudian  dapat berinteraksi dengan manusia biasa.

Cerita fantasi memanfaatkan unsur imajinasi dan fantasi yang diolah dengan menarik. Semakin tinggi daya imajinasi dan kreativitas pengarang, semakin menarik teks cerita fantasi yang ditulis. Cerita fantasi dapat menghibur pembaca sekaligus bermanfaat untuk membantu merangsang imajinasi. Nilai- nilai moral juga dapat dimunculkan dalam cerita fantasi ini. Pembaca dapat memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang bermanfaat dalam kehidupannya. Cerita fantasi dapat dikemas dalam bentuk novel, cerita pendek, atau kumpulan cerita pendek.

7)  Cerita Sejarah

Prosa fiksi merupakan salah satu genre fiksi yang sifatnya imajinatif. Akan tetapi, karya fiksi dapat mendasarkan diri pada fakta. Setidaknya ada tiga fiksi yang mendasarkan diiri pada fakta, yaitu historical fiction (fiksi sejarah) jika yang menjadi dasar fakta sejarah, biographical fiction (fiksi biografi) jika yang menjadi dasar fakta biografi seseorang, dan science fiction (fiksi sains) jika yang menjadi dasar fakta ilmu pengetahuan (Nurgiyantoro, 1995). 

Fiksi sejarah berbeda dengan teks sejarah. Fiksi sejarah bersifat imajinatif, sedangkan teks sejarah bersifat faktual. Fiksi sejarah dapat memanfaatkan teks sejarah sebagai sumber inspirasi ceritanya. Sebagai contoh karya-karya Pramudya Ananta Toer yang banyak mengangkat sejarah.

d.  Menulis Prosa Fiksi

Secara umum, untuk menulis kita perlu memahami tahapan menulis. Tompkins (2004) menyatakan ada lima tahapan dalam menulis, yaitu tahap pre- writing (pramenulis), drafting (menulis draf), revising (revisi), editing (penyuntingan), dan publishing (publikasi). Tahapan menulis tersebut dapat diterapkan dalam menulis kreatif sebagai berikut.

Pertama, tahap pre-writing (pramenulis). Pada tahap ini penulis menentukan tujuan penulisan, sasaran pembaca, ide atau gagasan tulisan, dan kerangka tulisan. Untuk menulis fiksi, tentukan dulu jenis fiksi yang akan ditulis. Apakah kita akan menulis fabel, menulis hikayat dalam bentuk cerpen, menulis anekdot, menulis cerpen, menulis novel/novelet, menulis cerita imajinasi, atau menulis cerita sejarah. Hal  ini  penting mengingat setiap  jenis  prosa fiksi  tersebut memiliki karakteristik yang berbeda-beda. Ide tulisan fiksi bisa diperoleh dari peristiwa yang kita jumpai sehari-hari. Ide tulisan ada di sekitar kita. Ide dapat didapatkan di  berbagai tempat, di  berbagai kesempatan, dan  di  berbagai aktivitas. Ide bisa juga kita dapatkan dari pengalaman pribadi kita. Hal-hal yang kita pikirkan, kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan dapat menjadi sumber ide cerita. Hal-hal tersebut dapat kita peroleh melalui kejadian atau peristiwa yang kita alami atau dialami orang lain, curhat seorang teman pada kita, diskusi dengan orang lain tentang topik tertentu, adegan film yang kita tonton, buku yang kita baca, dan sebagainya. Hal itu sejalan dengan pernyataan Arswendo Atmowiloto (2011) “... ide berawal dari kisah yang saya temui, saya lihat, saya dengar, saya jalani, dalam kehidupan keseharian.”

Kedua, tahap menulis draf (drafting). Tahap menulis drat adalah tahap menulis ide-ide ke dalam bentuk tulisan yang kasar. Tahapan penulisan draf ini memungkinkan kita meninjau lagi tulisan mereka sebelum dikembangkan lebih lanjut lagi. Dengan demikian, ide-ide yang dituliskan pada draf itu sifatnya masih sementara dan masih mungkin diubah. 

Ketiga, tahap merevisi (revising). Tahap merevisi adalah tahap memperbaiki ulang atau menambahkan ide-ide baru terhadap karya. Pada tahap ini kita harus membaca ulang seluruh draf. Kita juga dapat melakukan sharing dengan teman atau penulis yang telah berpengalaman untuk membantu memperbaiki dan memperkaya hasil karya.

Keempat, tahap menyunting (editing). Pada tahap ini kita harus memperbaiki karangan pada aspek kebahasaan dan kesalahan mekanik yang lain. Aspek mekanik antara lain penulisan huruf, ejaan, struktur kalimat, tanda baca, istilah, dan kosa kata. Hal ini perlu kita lakukan agar tulisan kita menjadi tulisan yang sempurna.

Kelima,   tahap   publikasi   (publishing).   Tulisan   akan   berarti   dan   lebih bermanfaat  jika  dibaca  orang  lain  dengan  memublikasikannya.  Publikasi bisa dilakukan dengan mengirim tulisan ke majalah sekolah, majalah dinding, atau media yang lain.


Sumber:  Kusmarwanti. 2019. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia Modul 3 Kesastraan. Kemdikbud

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar