Puisi : Hakikat Puisi, Ciri, Struktur, dan Isi serta Unsur Pembangun Puisi


Puisi : Hakikat Puisi, Ciri, Struktur, dan Isi serta Unsur Pembangun Puisi

a. Hakikat Puisi

Sebagai salah satu genre sastra, puisi memiliki arti penting bagi kehidupan. Sejalan dengan fungsi sastra yang disampaikan oleh Aristoteles, yaitu dulce et utile yang berarti menghibur dan bermanfaat, puisi dapat menghibur sekaligus bermanfaat bagi manusia. 

Puisi dapat menghibur sehingga dengan membaca  atau  menyaksikan  pembacaan  dan  musikalisasinya, kita  akan merasa senang. Puisi juga bermanfaat karena puisi dapat menyuguhkan informasi yang kita butuhkan, memberikan pesan atau amanat yang mengayakan pengalaman jiwa kita, dan membangkitkan emosi.

Perkembangan puisi di Indonesia menunjukkan keberagaman dan kekayaan budaya. Kita memiliki pantun, syair, dan gurindam yang indah dan bernilai budaya. Setelah itu, kita juga memiliki puisi-puisi yang berkembang lebih bervariasi karya penyair-penyair yang hebat, yang berkisah tentang perjuangan, lingkungan hidup, kondisi sosial budaya, kritik sosial, dan sebagainya.

Pendapat Suminto A. Sayuti mewakili definisi puisi yang berkembang saat ini. Menurut Sayuti (2002:3), puisi adalah sebentuk pengucapan bahasa yang mempertimbangkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang  ditimba  dari kehidupan  individual  dan  sosialnya,  yang  diungkapkan dengan  teknik   pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya.

Puisi menggunakan medium bahasa. Bahasa dalam konteks ini tidak selalu dalam bentuk kata, frase, kalimat, atau paragraf. Bahasa juga bisa berupa simbol tipografi yang  bermakna. Puisi  memiliki unsur bunyi, termasuk di dalamnya rima atau persamaan bunyi dalam puisi.

Puisi mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair. Gagasan penyair juga bisa berasal dari pengalaman emosionalnya. 

Semua pengalaman itu akan dikemas secara imajinatif menjadi sebuah puisi. Setiap penyair menulis puisi dengan teknik yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan proses kreatifnya yang berbeda-beda pula. Hal ini menyebabkan setiap penyair memiliki style atau gaya yang berbeda-beda dalam penulisan puisinya. Sapardi Djoko Damono sering menulis puisi yang pendek tetapi dalam dengan diksi yang multitafsir. WS Rendra sering menulis puisi yang panjang dalam bentuk balada dengan diksi yang lebih lugas. Darmanto Jatman sering menulis puisi dengan diksi dari berbagai macam bahasa.

b.  Ciri, Struktur, dan Isi Puisi Rakyat

Puisi rakyat adalah kesusastraan rakyat yang memiliki bentuk tertentu, biasanya terdiri dari beberapa deret kalimat, ada yang berdasarkan mantra, ada yang berdasarkan panjang pendek suku kata, lemah tekanan suara, atau hanya berdasarkan irama (Danandjaja, 1991:46).

Puisi rakyat bersifat anonim atau tidak diketahui pengarangnya dan berkembang di kalangan rakyat secara lisan. Karena itulah, puisi ini disebut puisi rakyat. Contoh puisi rakyat adalah sajak anak-anak yang dikenal rakyat untuk menghibur pok ame-ame/balang kupu-kupu/tepok rame-rame/malam minum cucuuuuuuu (Danandjaja, 1991:47-48). Dalam perkembangannya sajak tersebut berkembang menjadi pok ame-ame/belalang kupu-kupu/siang makan nasi/kalau malam minum susu/.

Puisi rakyat yang dipelajari di antaranya adalah pantun, gurindam, dan syair. Dalam kategori puisi berdasarkan perkembangan sejarah sastra, puisi tersebut tergolong dalam puisi lama. Puisi lama terikat oleh berbagai aturan, seperti rima atau persamaan bunyi, jumlah suku kata dalam setiap baris, dan jumlah baris dalam setiap bait. 

1)  Pantun

Pantun merupakan salah satu warisan nenek moyang. Pantun ini berkembang hingga sekarang. Pantun ini tumbuh dan berkembang dalam budaya masyarakat. Pantun sering digunakan untuk sambutan, ceramah, dan khotbah sehingga menarik (Gawa, 2009:xiv). Perhatikan pantun berikut!

Banyak candi di Pulau Bali 

Candi Dasa paling terkenal 

Kalau beta yang nona cari

Jangan pura-pura tak kenal (Gawa, 2009:2)

Dengan mencermati pantun di atas, ciri-ciri pantun adalah sebagai berikut. 

a)      Setiap baris terdiri atas 8-12 suku kata. Pada pantun di atas, setiap baris terdiri dari 9 suku kata. 

b)      Setiap bait terdiri atas 4 baris

c) Dua baris pertama (1 dan 2) merupakan sampiran, sedangkan dua baris berikutnya (3 dan 4) merupakan isi pantun. Sampiran dan isi pantun tidak selalu saling berkaitan.

d) Sampiran dan isi pantun ini membentuk persajakan atau rima akhir a- b-a-b.

Sajak dalam pantun bisa berupa sajak sempurna yang perulangan suku katanya sama, misalnya mati-peti, lempar-ipar, emas-cemas, dan sebagainya. Sajak dalam pantun juga bisa berupa sajak paruh atau sajak tak sempurna yang perulangan katanya hanya separuh yang sama, misalnya kejar-belajar, sakit- sulit, sepatu-maju, dan sebagainya. Pada pantun di atas, persajakan tampak pada kata  ‘Bali’ dan ‘cari’ pada bait 1 dan 3, serta kata ‘terkenal’ dan ‘kenal’ pada bait 2 dan 4.

Berdasarkan isinya, ada berbagai jenis pantun. Berikut ini pembagian jenis pantun menurut Redaksi Balai Pustaka (2011:xiii).

(1) Pantun anak-anak, terdiri atas pantun bersukacita dan pantun berdukacita 

(2)  Pantun orang muda, terdiri atas pantun dagang atau nasib, pantun muda, dan  pantun  jenaka.  Pantun  muda  terdiri  atas  pantun  berkenalan,  pantun berkasih- kasihan, pantun perceraian, dan pantun beriba hati. 

(3)   Pantun orang tua, terdiri atas pantun nasihat, pantun adat, dan pantun agama. Pantun di atas tergolong pantun anak muda yang berisi perkenalan laki- laki dan perempuan. Hal ini tampak pada bagian isi bait 3 dan 4 /Kalau beta yang nona cari/Jangan pura-pura tak kenal/.

2)  Karmina

Karmina merupakan pantun pendek yang hanya terdiri dari 2 baris. Karmina sering juga disebut pantun kilat. Baris pertama merupakan sampiran. Baris kedua merupakan isi. Jumlah suku kata setiap baris 8-12. Karmina juga memiliki sajak yang terletak di tengah dan di akhir. Berdasarkan bunyinya, sajak tersebut berupa sajak sempurna dan sajak paruh. Perhatikan contoh karmina berikut!

Burung merpati terbang tinggi ke awan

Manusia mati membawa bekal amalan

Jangan lupa setia pada sahabat

Banyak dosa yuk segera taubat

Dalam karmina di atas, kata ‘merpati’ bersajak sempurna dengan ‘mati’, kata ‘awan’ bersajak paruh dengan ‘amalan’, kata ‘lupa’ bersajak paruh dengan ‘dosa’, dan kata ‘sahabat’ bersajak paruh dengan ‘taubat’. Isi karmina dapat dilihat dari baris 2. Karmina di atas / Manusia mati membawa bekal amalan/ berisi nasihat bahwa manusia nanti akan mati dan akan membawa bekal amalan kebaikan, sedangkan / Banyak dosa yuk segera taubat/ berisi nasihat agar kita segera bertaubat untuk menghapus dosa.

3)  Gurindam

Menurut Waluyo (2003:46), gurindam merupakan puisi yang terdiri dari dua baris yang kesemuanya merupakan isi dan menunjukkan hubungan sebab akibat. Kebanyakan gurindam bersajak sempurna a-a, namun ada pula yang bersajak paruh a-b. Gurindam ini biasanya berisi nasihat yang bermanfaat untuk kehidupan. Penyair gurindam yang sangat terkenal ialah Raja Ali Haji yang telah menulis Gurindam XII yang memiliki 12 pasal. Berikut ini contoh yang dipetik dari Gurindam XII pasal pertama.

Gurindam XII Pasal Pertama 

Karya Raja Ali Haji

Barang siapa tiada memegang agama, 

Sekali-kali tiada boleh dibilangkan nama

Barang siapa mengenal yang empat,

Maka ia itulah orang ma’rifat

Barang siapa mengenal Allah

Suruh dan tegaknya tiada ia menyalah

Barang siapa mengenal diri,

Maka telah mengenal akan Tuhan yang bahri

Barang siapa mengenal dunia, Tahulah ia barang yang terpedaya

Barang siapa mengenal akhirat, Tahulah ia dunia mudharat


Gurindam di atas setiap bait terdiri terdiri dari 2 baris dengan sajak a-a (agama- nama, empat-ma’rifat, Allah-menyalah, diri-bahri, dunia-terpedaya, akhirat- mudharat). Gurindam tersebut berisi nasihat agar manusia mengenal Allah, diri, dunia, dan akhirat, serta berpegang teguh pada agama dan Tuhannya agar selamat hidup di dunia dan akhirat.

4)  Syair

Syair merupakan puisi lama yang berasal dari Arab dan berkembang di kalangan masyarakat Melayu. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dan Hamzah Fansuri merupakan penggubah syair yang terkenal di Indonesia. Beberapa karyanya di antaranya adalah Syair Perihal Singapura Dimakan Api karya Abdullah bin Abdul kadir Munsyi dan Syair Perahu, Syair Dagang dan Syair si Burung Pingai karya Hamzah Fansuri. Syair terdiri atas beberapa bait yang merupakan satu rangkaian cerita yang utuh. 

Perhatikan Syair Perahu karya Hamzah Fansuri berikut ini!

SYAIR PERAHU (Karya Hamzah Fansuri)

Inilah gerangan suatu madah Mengarangkan syair terlalu indah Membetulkan jalan tempat berpindah, Disanalah I’tikaf di perbetul sesudah

Wahai muda, kenali dirimu, Ialah perahu tamsil tubuhmu, Tiadalah berapa lama hidupmu, Ke akhirat jua kekal diammu

Setiap bait syair tersebut terdiri dari 4 baris. Setiap baris terdiri atas 8-12 suku kata. Syair  tersebut bersajak sama a-a-a-a, yaitu persajakan kata  ‘madah- indah- berpindah-sesudah’ pada bait pertama dan ‘dirimu-tubuhmu-hidupmu- diammu’ pada bait kedua. Syair tersebut tidak memiliki sampiran karena semua baris merupakan isi yang membentuk satu rangkaian pesan yang utuh. Di bait pertama, penulis ingin menulis sebuah syair dengan kata-kata indah tentang perjalanan hidup manusia mencapai kemenangan akhirat. Di bait kedua, penulis mengajak kita untuk mengenali diri dengan cara mengibaratkan diri kita sebagai perahu. Penulis juga berpesan bahwa kehidupan di dunia ini fana dan kehidupan akhiratlah yang kekal.

c. Unsur Pembangun Puisi

Unsur pembangun puisi terdiri dari unsur fisik dan unsur batin. Unsur fisik adalah unsur yang secara fisik tampak dapat dilihat, seperti rima, gaya bahasa, imaji, diksi, struktur, dan perwajahan. Rima, gaya bahasa, imaji, dan diksi tampak melalui kata atau frase yang digunakan dalam puisi. Perwajahan puisi tampak melalui bentuk penyajian puisi. Unsur batin adalah unsur yang ada dalam batin puisi, yaitu berupa tema, feeling (perasaan), nada, dan amanat. Unsur fisik dan unsur batin tersebut saling berkaitan. Pembaca bisa menemukan unsur batin puisi setelah memahami makna dalam setiap diksi, gaya bahasa, atau perwajahannya. 

1) Unsur Fisik Puisi

a)  Rima (Persajakan)

Menurut Sayuti (2008:104), rima atau persajakan merupakan perulangan bunyi yang sama dalam puisi. Pengertian ini dapat diperluas sehingga persajakan dapat diartikan sebagai kesamaan dan atau kemiripan bunyi tertentu dalam dua kata atau lebih, baik yang berada di akhir kata, maupun yang berupa perulangan bunyi- bunyi yang sama yang disusun pada jarak atau rentangan tertentu secara teratur.

Berdasarkan pengertian tersebut, persajakan dalam puisi pun dapat diklasifikasikan. Dilihat dari segi bunyi itu sendiri dikenal adanya sajak sempurna, sajak paruh, sajak mutlak, aliterasi dan asonansi; dari posisi kata yang mengandung dikenal adanya sajak awal, sajak tengah (sajak dalam), dan sajak akhir; dan dari segi hubungan antarbaris dalam tiap bait dikenal adanya sajak merata (terus), sajak berselang, sajak berangkai, dan sajak berpeluk (Sayuti,2008: 105).

Sajak sempurna muncul apabila seluruh suku akhirnya berirama sama, contoh: peti – hati. Sajak paruh muncul apabila sebagian atau separuh suku akhirnya berirama sama, contoh: gunung – pelindung. Sajak mutlak muncul apabila beberapa kata persis sebunyi, contoh jua-jua. Untuk memahami jenis persajakan berdasar bunyi ini, perhatikan contoh puisi berikut!

BULAN RUWAH (karya Subagyo Sastrowardoyo)

...

Di yaumulakhir

roh kita dari kubur

akan keluar berupa kelelawar

dan berebut menyebut nama Allah dengan cicit suara kehausan darah

Dalam puisi di atas ditemukan sajak sempurna, yaitu kata ‘berebut’ dan menyebut’.

Dalam puisi tersebut juga ditemukan sajak paruh, yaitu pada kata ‘keluar’ dan

‘kelelawar’ dan kata ‘Allah’ dan ‘darah’.

Sajak mutlak tampak dalam perulangan kata ‘jua’ dalam puisi berikut. 


MENDATANG-DATANG JUA (karya A.M. Daeng Myala)

Mendatang-datang jua Kenangan lama lampau Menghilang muncul jua Yang dulu sinau silau

Membayang rupa jua Adi kanda lama lalu Membuat hati jua Layu lipu rindu-sendu

Sajak awal atau anafora adalah ulangan pola bunyi di awal baris. Sajak tengah adalah persamaan bunyi yang terdapat di tengah baris di antara dua baris atau lebih (berupa kata atau suku kata). Sajak dalam adalah persamaan bunyi kata yang  terdapat  dalam  satu  baris.  Sajak  akhir  adalah  persamaan bunyi  yang terdapat di akhir baris. Untuk lebih memahami jenis persajakan berdasarkan posisi kata, perhatikan contoh puisi berikut!

PERJALANAN KUBUR (karya Sutardji Calzoum Bachri)

sungai pergi ke laut membawa kubur-kubur laut pergi ke laut membawa kubur-kubur awan pergi ke hujan membawa kubur-kubur

hujan pergi ke akar ke pohon ke bunga-bunga membawa kuburmu alina

Dalam puisi “Perjalanan Kubur” karya Sutardji Calzoum Bachri di atas ditemukan sajak tengah dengan perulangan kata “pergi ke”. Posisi kata yang diulang berada di  tengah baris  sehingga disebut sajak  tengah. Selain itu,  dalam puisi  juga ditemukan sajak akhir dengan perulangan kata “membawa kubur-kubur”. Perulangan kata yang diulang berada di akhir baris sehingga disebut sajak akhir. Sajak merata (terus) adalah persajakan dengan pola a-a-a-a. Sajak berselang adalah  persajakan dengan pola  a-b-a-b. Sajak  berangkai adalah  persajakan dengan pola a-a-b-b. Sajak berpeluk adalah persajakan dengan pola a-b-b-a. Untuk memahami jenis persajakan berdasar hubungan antarbaris ini, perhatikan puisi berikut! 

IBUKOTA SENDJA (karya Toto Sudarto Bachtiar)

Klakson dan lontjeng bunji bergiliran

Dalam penghidupan sehari-hari, kehidupan sehari-hari

Antara kuli-kuli jang kembali

Dan perempuan mendaki tepi sungai kesajangan

Serta anak-anak berenangan tertawa tak berdosa

Di bawah bajangan samar istana kedjang Lajung-lajung sendja melambung hilang Dalam hitam malam mendjulur tergesa

Puisi di atas ditulis tahun 1951 sehingga masih menggunakan ejaan lama. Bait pertama dan kedua puisi tersebut memiliki sajak berpeluk dengan pola a-b-b- a. Pada bait pertama pola a-b-b-a tampak pada persajakan kata ‘bergiliran’, ‘hari’, ‘kembali’,   dan   ‘kesajangan’.   Dilihat   dari   bunyinya,   kata   ‘bergiliran’   dan ‘kesajangan’ merupakan sajak paruh, begitu pula dengan kata ‘hari’ dan ‘kembali.

Pada bait kedua, pola a-b-b-a tampak pada persajakan ‘berdosa’, ‘kedjang’,

‘hilang’, dan ‘tergesa’. Dilihat dari bunyinya, kata ‘berdosa’ dan ‘tergesa’ merupakan sajak sempurna, sedangkan kata ‘kedjang’ dan ‘hilang’ merupakan sajak paruh.

2.  Diksi

Diksi merupakan pemilihan kata yang dilakukan oleh penyair untuk mengekspresikan gagasan dan  perasaan-perasaan. Fungsi diksi dalam puisi merupakan sarana yang menghubungkan pembaca dengan gagasan penyair dan dunia intuisi penyair, menciptakan kesan hidup dalam puisi. Diksi dalam puisi menjadi ciri khas penyair. Bahasa puisi bersifat konotatif dan estetis. Untuk memahami puisi, pembaca harus memahami makna diksi ini. Perhatikan puisi berikut ini!

HATIKU SELEMBAR DAUN (karya Sapardi Djoko Damono)

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini;

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi. 

3.  Gaya Bahasa

Salah satu keindahan puisi terletak pada gaya bahasanya. Gaya bahasa yang sering  muncul  dalam  puisi  antara  lain  simile,  metafora, metonimi, sinekdok, personifikasi, repetisi, pertanyaan retoris, dan ironi (Sayuti, 2002).

a. Simile, yaitu membandingkan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding, yaitu seperti, bagai, laksana, semisal, seumpama, sepantun, sebagai, serupa, bak, dan sebagainya. Bentuk pembandingannya eksplisit.

b. Metafora, yaitu menyatakan sesuatu sebagai hal yang sebanding dengan hal lain yang sesungguhnya tidak sama. Bentuk pembandingannya implisit.

c. Metonimi, yaitu pemanfaatan ciri atau sifat suatu hal yang erat hubungannya. 

d.   Sinekdok, yaitu bahasa viguratif yang menyebutkan suatu bagian penting dari

suatu benda atau hal itu sendiri. pars prototo (penyebutan sebagian dari suatu hal untuk menyebutkan keseluruhan) dan totum pro parte (penyebutan keseluruhan dari suatu benda atau hal untuk sebagiannya).

e. Personifikasi, yaitu mempersamakan sesuatu benda dengan manusia.

f.  Repetisi berfungsi sebagai penekan dan melukiskan keadaan atau peristiwa yang terjadi secara terus menerus.

g. Pertanyaan retoris, merupakan sarana retorik berbentuk pertanyaan yang tanpa perlu dijawab karena jawabannya sudah tersirat dalam jalinan konteks yang tersedia atau jawabannya diserahkan sepenuhnya kepada pembaca atau pendengar.

h. Ironi, merupakan bentuk pengucapan kata-kata yang bertentangan dengan maksud sebenarnya, dan biasanya dimaksudkan untuk menyindiri atau mengejek.

Perhatikan puisi-puisi berikut untuk memahami gaya bahasa tersebut!

IBU (Karya D. Zawawi Imron)

ibu adalah gua pertapaanku

dan ibulah yang meletakkan aku di sini

saat bunga kembang menyemerbak bau sayang ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi

aku mengangguk meskipun kurang mengerti

bila kasihmu ibarat samudra sempit lautan teduh

tempatku mandi, mencuci lumut pada diri 

tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh lokan-lokan, 

mutiara dan kembang laut semua bagiku kalau ikut ujian lalu ditanya tentang pahlawan namamu ibu, yang kan kusebut paling dahulu

lantaran aku tahu

engkau ibu dan aku anakmu

bila aku berlayar lalu datang angin sakal

Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal

ibulah itu, bidadari yang berselendang bianglala sesekali datang padaku menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku

(1966)

Dalam puisi tersebut banyak ditemukan metafora. Ibu digambarkan dengan metafora ‘gua pertapaanku’ yang berarti tempat bersemayam saat belum terlahir dan ‘bidadari yang berselendang bianglala’ yang merupakan penggambaran ibu yang sangat sempurna seperti bidadari berselendang pelangi. Metafora juga tampak pada baris sebelumnya /bila aku berlayar lalu datang angin sakal/. Dalam baris ini ‘berlayar’ berarti mengarungi kehidupan di dunia, sedangkan

‘angin sakal’ berarti ujian atau musibah kehidupan. Dalam puisi tersebut juga terdapat gaya bahasa simile pada baris ‘bila kasihmu ibarat samudra’ dengan kata pembanding ‘ibarat’. Ibu diumpamakan seperti samudra yang luas.

DARI BENTANGAN LANGIT (karya Emha Ainun Nadjib) Dari bentangan langit yang semu

Ia, kemarau itu, datang kepadamu

Tumbuh perlahan. Berhembus amat

Panjang Menyapu lautan.

Mengekal tanah berbongkahan menyapu hutan! Mengekal tanah berbongkahan!

datang kepadamu, Ia, kemarau itu dari Tuhan, yang senantia diam dari tangan-Nya.

Dari Tangan yang dingin dan tak menyapa yang senyap. Yang tak menoleh barang sekejap.

Puisi di atas memiliki banyak sekali personifikasi yang dikembangkan dari kata ‘kemarau’ dan  disandingkan dengan dengan kata  kerja  ‘datang’, ‘tumbuh’,‘menyapu’ dan ‘mengekal’. Dalam hal ini kemarau digambarkan seperti benda hidup. 

4.  Imaji /Citraan

Citraan merupakan rangkaian kata yang mampu menggugah pengalaman keindraan (membentuk gambaran angan-angan). Gambar yang muncul dalam angan-angan disebut citra (imaji). Sesuatu itu tergambar dengan sarana indra. Karena itu, jenis citraan sellau dikaitkan dengan indra ini. Berikut ini enam jenis citraan dalam puisi.

a) Citraan visual (visual imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera penglihatan, contoh kata ‘daun’, ‘pohon’, ‘langit’, ‘pelangi’, dan sebagainya.

b)  Citraan auditif (auditory imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera  pendengaran, misalnya  kata  ‘ritmis’,  ‘gemericik’,  ‘denting’,  dan sebagainya.

c)  Citraan  kinestetik/gerak  (kinaesthetic/movement  imagery),  yaitu  citraan yang  berhubungan  dengan  indera  gerak,  misalnya  kata  ‘melompat’, ‘berlari’, ‘beranjak’, dan sebagainya.

d)  Citraan peraba (thermal imagery), yaitu citraan yang berhubungan dengan indera peraba, misalnya kata ‘prasasti’, ‘stupa’, dan sebagainya.

e)  Citraan   penciuman, yaitu   citraan   yang   berhubungan   dengan   indera penciuman, misalnya kata ‘aroma’, ‘bangkai’, ‘melati’, dan sebagainya.

f)      Citraan  pencecapan,  yaitu  citraan  yang  berhubungan  dengan  indera pencecapan, misalnya kata ‘getir’, ‘pahit’, ‘manis’, dan sebagainya.

5.  Perwajahan/ Tipografi

Perwajahan merupakan bagian dari wujud visual puisi. Hal ini terkait dengan pengaturan bait dan baris dalam puisi. Ada puisi yang terdiri dari beberapa bait dengan jumlah baris yang sama. Ada puisi yang hanya terdiri dari satu bait yang sangat panjang. Ada juga puisi yang hanya terdiri dari satu bait yang sangat pendek. Selain itu, perwajahan juga dapat dikaitkan dengan tipografi atau bentuk puisi. Ada banyak puisi yang memiliki tipografi yang biasa dengan pengaturan bait dan baris yang teratur, tetapi ada juga puisi dengan bentuk yang menyerupai sebuah benda. Bandingkan perwajahan dalam puisi berikut!

HATIKU SELEMBAR DAUN (karya Sapardi Djoko Damono)

hatiku selembar daun melayang jatuh di rumput;

nanti dulu, biarkan aku sejenak terbaring di sini; 

ada yang masih ingin kupandang, yang selama ini senantiasa luput;

sesaat adalah abadi sebelum kausapu tamanmu setiap pagi.

MAUT (karya Ibrahim Sattah)

dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam dia dia diamdiam diamdiam maut

Puisi “Maut” karya Ibrahim Sattah tersebut berbentuk segitiga terbalik. Diksi yang   digunakan   hanya   terdiri   dari   tiga   kata,   yaitu   ‘maut’,   ‘dia’,   dan

‘diamdiam’. Dari diksi yang digunakan, isi puisi ini mudah ditangkap pembaca, yaitu maut itu datangnya diam-diam. Penulisan ‘diamdiam’ tanpa tanda penghubung seakan memberi penegasan bahwa kehidupan dunia dan setelahnya itu sangat dekat. Tipografi segitiga terbalik yang berujung pada kata ‘maut’ juga menegaskan pesan bahwa kehidupan manusia akan sampai pada titik kematian.

2. Unsur Batin Puisi

Unsur batin puisi puisi merupakan pikiran perasaan yang diungkapkan penyairnya (Waluyo, 1995:47). Unsur batin ini merupakan makna yang ingin disampaikan penyair dalam puisinya. Makna puisi ini tersurat di balik unsur fisiknya. I.A. Richards (melalui Waluyo, 1995:180-181) menyebutkan makna atau stuktur batin puisi itu ada empat yaitu tema (sense), perasaan penyair (feeling), nada atau sikap penyair terhadap pembaca (tone), amanat (intention). Keempat hal tersebut akan dibahas sebagai berikut.

a. Tema (Sense)

Tema merupakan gagasan pokok atau subject matter yang dikemukakan penyair (Waluyo, 1995:106). Pokok pikiran itu begitu kuat mendesak dalam jiwa penyair sehingga menjadi landasan utama penyampaian puisinya. Jika desakan yang kuat itu berupa hubungan penyair dengan Tuhan, maka puisinya bertema ketuhanan.   Jika   desakan   yang   kuat   itu   berhubungan  dengan   sisi-sisi kemanusiaan, maka puisi bertema kemanusiaan. Jika desakan yang kuat itu berupa dorongan memprotes ketidakadilan, maka puisinya bertema protes atau kritik sosial. Jika desakan yang kuat itu berupa perasaan cinta pada seseorang atau sesuatu, maka puisinya bertema cinta (Waluyo, 1995:106-107).

b. Perasaan (Feeling)

Perasaan (feeling) merupakan sikap penyair terhadap pokok persoalan yang ditampilkannya. Perasaan penyair dalam puisinya dapat diketahui melalui ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam puisinya. Ketika menulis puisi, penyair mengekspresikan suasana hati penyair sehingga dapat dihayati pembaca (Waluyo, 1995:121).

c.  Nada (Tone)

Nada dalam puisi dapat diketahui dengan memahami apa yang tersurat. Nada berhubungan dengan suasana karena nada menimbulkan suasana tertentu pada pembacanya. Suasana adalah keadaan jiwa pembaca (sikap pembaca) setelah membaca puisi atau akibat psikologis yang ditimbulkan puisi terhadap pembaca (Waluyo, 1995:71). Sebagai contoh, puisi yang bernada duka menimbulkan suasana iba hati pada pembaca, nada khusuk bisa menimbulkan suasana khusyuk.

d. Amanat (Intention)

Amanat yaitu pesan yang ingin disampaikan penyair kepada pembaca. Meskipun penyair tidak secara khusus dan sengaja mencantumkan amanat dalam puisinya, amanat tersirat di balik kata dan tema yang diungkapkan penyair (Waluyo, 1995:130). Untuk memahami unsur batin ini, perhatikan puisi berikut!

TUHAN, KITA BEGITU DEKAT (karya Abdul Hadi W.M.)

Tuhan

Kita begitu dekat

Sebagai api dengan panas

Aku panas dalam apimu

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti kain dengan kapas

Aku kapas dalam kainmu 

Tuhan

Kita begitu dekat

Seperti angin dan arahnya

Kita begitu dekat

Dalam gelap

Kini aku nyala

Pada lampu padammu

Sense atau tema puisi “Tuhan, Kita Begitu Dekat” karya Abdul Hadi W.M. di atas adalah tema ketuhanan, secara lebih khusus adalah penegasan seorang hamba atas kedekatannya dengan Tuhannya. Baris /Tuhan/Kita begitu dekat/ mengalami perulangan (repetisi) tiga kali   pada bait 1,2, dan 3. Kedekatan tersebut diumpakaman melalui gaya bahasa simile dengan baris /sebagai api dengan panas/, /seperti kain dengan kapas/, dan /seperti angin dan arahnya/, yang ditandai dengan kata pembanding ‘sebagai’ dan ‘seperti’. Hubungan kedua objek tersebut sangat dekat dan tidak bisa dipisahkan, seperti hubungan seorang hamba dengan Tuhan.

Feeling atau perasaan penyair dalam puisi  di  atas  adalah perasaan cinta seorang hamba pada Tuhannya. Rasa cinta tampak pada panggilan Tuhan yang diulang-ulang. Orang yang mencintai sesuatu akan sering menyebutnya dalam hidup. Selain itu, rasa cinta tampak pada penegasan baris /kita bergitu dekat/ yang menunjukkan kebanggaan dan rasa bersyukur atas kedekatannya dengan Tuhan.

Tone atau nada puisi di atas menunjukkan suasana bahagia dan ketenangan. Kebahagiaan dan ketenangan hati tersebut terutama tampak pada baris /dalam gelap/kini aku nyala/dalam lampu padammu/. Dalam kegelapan hidup di dunia, kedekatan dengan Tuhan tetap membuat seorang hamba menyala atau bahagia.

Intention atau amanat puisi di atas adalah pesan untuk menjaga kedekatan dengan Tuhan dengan beribadah dan aktivitas-aktivitas yang dapat mendekatkan seorang hamba dengan Tuhannya. Melalui puisi ini, penyair juga berpesan bahwa kedekatan dengan Tuhan akan membuat ketenangan dan kebahagiaan dalam kehidupan di dunia dan akhirat. 

d.  Menulis Puisi dengan Memperhatikan Unsur Pembangun

Menulis puisi dapat dimulai dengan menemukan gagasan yang akan ditulis. Gagasan itu dapat diperoleh melalui berbagai sarana, seperti objek gambar pemandangan, video, lagu, kisah inspiratif, dan sebagainya. Dari objek-objek itu kita dapat menginventaris kata. Sebagai contoh, dari gambar pemandangan pantai dengan pasir dan bebatuan, kita inventaris kata ‘pantai’, ‘batu’, ‘pasir’,

‘langit’, ‘ombak’, ‘angin’, dan sebagainya. Ambil satu kata dan rangkai dengan kata yang indah, misalnya ‘sebongkah batu’, ‘pasir putih, ‘langit yang syahdu’, ‘sepoi angin laut’, ‘deburan ombak’, dan sebagainya. Selanjutnya, rangkailah

menjadi baris-baris puisi seperti berikut.

Di bawah langit yang syahdu

Pada deburan ombak dan sepoi angin laut 

Aku merangkai kata cinta di pasir putihnya 

Lalu, kusembunyikan di bawah sebongkah batu Berharap suatu saat bisa mengejanya

Di depanmu

Cara ini bisa kita gunakan sebagai latihan. Untuk mengasah kemampuan ini kita bisa  memperbanyak objek  untuk  mendapatkan gagasan.  Semakin  banyak objek, semakin bervariasi juga kata-kata yang kita kumpulkan. Unsur pembangun puisi dapat kita pertimbangkan untuk mendapatkan efek estetis. Sebagai contoh, kita dapat memasukkan unsur persajakan dan gaya bahasa dengan variasi berikut.

Di bawah langit yang syahdu

Hatiku menari menulis kata cinta yang biru Lalu, kusembunyikan di bawah sebongkah batu Berharap suatu saat bisa mengejanya di depanmu Sembari menunggu senandungmu

Berucap ku juga cinta padamu

e. Mendemonstrasikan Puisi

Salah satu cara mengapresiasi puisi adalah dengan mendemonstrasikannya menjadi sebuah pembacaan yang menarik. Untuk melakukan pembacaan puisi dengan baik, kita perlu memahami isi puisi tersebut. Aktivitas menemukan unsur batin puisi, baik berupa tama, perasaaan, nada, maupun amanat, di atas dapat menjadi bekal untuk membaca puisi. Dengan memahami isi dan suasana puisi, kita  dapat  melakukan  penghayatan atau  penjiwaan.  Selanjutnya, kita  bisa berlatih mengucapkan baris-baris puisi dengan lafal dan intonasi yang jelas, tempo yang tepat, ekspresi wajah yang sesuai dengan isi puisi, dan melatih gerak atau gestur tubuh.

Sebagai variasi, pembacaan puisi dapat juga diiringi musik yang sesuai dengan suasana puisi. Musik yang tepat akan membantu membangun suasana. Selain itu,  puisi  dapat  didemonstrasikan dalam  bentuk  musikalisasi  puisi.  Dalam musikalisasi puisi, puisi dilagukan, diberi irama, atau diiringi musik yang sesuai dengan isinya. Setelah menentukan puisi yang akan dimusikalisasikan, pahami isinya. Selanjutnya, rancanglah lagunya dengan menentukan notasi nada yang akan digunakan. Notasi itu akan mempermudah melagukan puisi tersebut. Tentukan  alat  musik  apa  yang  akan  digunakan untuk  musikalisasi. Untuk mendapatkan musikalisasi yang baik, kita harus harus rajin berlatih, terutama jika musikalisasi dilakukan bersama tim.



Sumber:  Kusmarwanti. 2019. Pendalaman Materi Bahasa Indonesia Modul 3 Kesastraan. Kemdikbud


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar