Konsep Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan /PPKn


Konsep Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan /PPKn
Konsep Dasar Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan /PPKn

a. Pengertian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Pendidikan Kewarganegaraan merupakan terjemahan dari dua istilah teknis dalam kepustakaan asing, yakni civic education dan citizenship education. Menurut Cogan (dalam Winarno, 2013:4) istilah Civics Education sebagai “the foundational course work in school designed to prepare young citizens for an active role in their communities in their adult lives”, atau suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang dirancang untuk mempersiapkan warga negara muda, agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif dalam masyarakatnya.  Sedangkan  Pendidikan Kewarganegaraan  yang  disebut dengan istilah citizenship education atau education for citizenship sebagai “…the more inclusive term and encompasses both these in-school experiences as well as out-of-school or non-formal/informal learning which takes place in the family, the religious organization, community organizations, the media etc” artinya, citizenship education atau education for citizenship merupakan pengertian Pendidikan Kewarganegaraan dalam arti luas yang mencakup pengalaman belajar di sekolah dan di luar sekolah, seperti yang terjadi di lingkungan keluarga, dalam organisasi keagamaan, organisasi kemasyarakatan, dan dalam media.

Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 

Kemudian dalam Pasal 3 dijelaskan lebih  lanjut bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. 

Selanjutnya dalam Pasal 37 disebutkan bahwa pendidikan kewarganegaraan merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib dalam kurikulum pendidikan dasar dan menengah di Indonesia, dan untuk  itu dikembangkan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang diharapkan dapat menjadi wahana edukatif dalam mengembangkan peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Semangat Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan termuat dalam ketentuan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 20 Tahun 2016 tentang Standar Kompetensi Lulusan, Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses, dan Permendikbud Nomor 24 Tahun 2016 yang dilengkapi oleh Permendikbud Nomor 37 Tahun 2018 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran pada Kurikulum 2013 pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah. Secara imperatif kedudukan dan fungsi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dalam konteks sistem pendidikan dan kurikulum secara nasional sudah didukung dengan regulasi yang sangat lengkap.

b. Visi dan Misi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Secara sosio politik dan kultural pendidikan kewarganegaraan memiliki visi pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa yakni menumbuhkembangkan kecerdasan kewarganegaraan (civic intelligence) yang merupakan prasyarat untuk pembangunan demokrasi dalam arti luas, yang mempersyaratkan terwujudnya budaya kewarganegaraan atau civic culture sebagai salah satu determinan tumbuh-kembangnya negara demokrasi (Winataputra, 2016:21).

Bertolak dari visi tersebut, maka pendidikan kewarganegaraan mengemban misi yang bersifat multidimensional yakni :

1) Misi psikopedagogis merupakan misi untuk mengembangkan potensi peserta didik secara progresif dan berkelanjutan;

2) Misi psikososial yang bertujuan untuk memfasilitasi kematangan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat negara bangsa; 

3) Misi sosiokultural yang merupakan misi untuk membangun budaya dan keadaban kewarganegaraan sebagai salah satu determinan kehidupan yang demokratis (Winataputra, 2016:22).

Secara idiil dan instrumental konsep, visi, dan misi serta muatan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan tersebut sudah secara utuh mengintegrasikan filsafat, nilai, dan moral Pancasila dengan keseluruhan tuntutan psikopedagogis dan sosio-kultural warga negara dalam konteks pembudayaan Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Winataputra, 2016:23). Oleh karena itu Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan pendidikan nilai, moral/karakter, dan kewarganegaraan khas Indonesia.

Kedudukan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai pendidikan nilai, moral/karakter Pancasila dan pengembangan kapasitas psikososial kewarganegaraan Indonesia sangat koheren (runtut dan terpadu) dengan komitmen pengembangan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dan perwujudan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

Dengan demikian Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan bermanfaat untuk membangun manusia sebagai insan yang menekankan pada manusia yang berharkat, bermartabat, bermoral, dan memiliki jati diri serta karakter tangguh baik dalam sikap mental, daya pikir maupun daya ciptanya.

Dalam proses pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan perlu memperhatikan pengembangan proses pembiasaan, kematangan moral, dan penguasaan pengetahuan kewarganegaraan untuk memperkuat pembangunan watak, seperti penghargaan (respect) dan tanggung jawab (responsibility) sebagai warga negara demokratis dan taat hukum (democratic and lawfull). Hal ini berarti pembentukan moralitas merupakan fokus yang perlu diwujudkan dalam pembelajaran.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki karakteristik sebagai berikut (Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58, 2014:221). 

1) Nama mata pelajaran yang semula Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) telah diubah menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn);

2) Mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan  berfungsi sebagai mata pelajaran yang memiliki misi pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang bersumber kan nilai dan moral Pancasila;

3) Mengorganisasikan  pengembangan  Kompetensi  Dasar  (KD)  PPKn dalam bingkai Kompetensi Inti (KI) yang secara psikologis-pedagogis menjadi pengintegrasi kompetensi peserta didik secara utuh dan koheren dengan penanaman, pengembangan, dan/atau penguatan secara utuh dan koheren dengan penanaman, pengembangan, dan/atau penguatan nilai dan moral Pancasila; nilai dan norma Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika; serta Wawasan dan Komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia;

4) Mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang sesuai dengan karakteristik Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan secara holistik/utuh dalam rangka peningkatan kualitas belajar dan pembelajaran yang berorientasi pada pengembangan karakter peserta didik sebagai warga negara yang cerdas dan baik secara utuh dalam proses pembelajaran otentik (authentic instructional and authentic learning) dalam bingkai integrasi Kompetensi Inti (sikap, pengetahuan, dan keterampilan);

5) Mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses pembelajaran dan hasil belajar PPKn menggunakan penilaian otentik (authentic assessment). Penilaian otentik harus mampu menggambarkan peningkatan hasil belajar peserta didik, baik dalam rangka mengobservasi, menalar, mencoba, membangun jejaring, dan lain-lain. Penilaian otentik cenderung fokus pada tugas-tugas kompleks atau kontekstual, memungkinkan peserta didik untuk menunjukkan kompetensi dalam pengaturan yang lebih otentik. 

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 58 Tahun 2014 menegaskan bahwa mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan memiliki kedudukan dan fungsi, antara lain:

1) Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan merupakan pendidikan nilai, moral/karakter, dan kewarganegaraan khas Indonesia yang tidak sama sebangun dengan civic education di USA, citizenship education di UK, talimatul muwwatanah di negara-negara Timur Tengah, education civicas di Amerika Latin.

2) Pendidikan   Pancasila   dan   Kewarganegaraan   sebagai   wahana pendidikan nilai, moral/karakter dan pengembangan kapasitas psikososial kewarganegaraan Indonesia sangat koheren (runtut dan terpadu) dengan komitmen pengembangan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat dan perwujudan warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab sebagaimana termaktub dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Sebagai wahana pendidikan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah bertujuan mengembangkan potensi peserta didik dalam seluruh dimensi kewarganegaraan (Winataputra, 2015: 23), yakni: 

1) pengetahuan kewarganegaraan; 

2) sikap kewarganegaraan termasuk keteguhan, komitmen, dan tanggung jawab kewarganegaraan; 

3) keterampilan kewarganegaraan; 

4) keteguhan kewarganegaraan; 

5) komitmen kewarganegaraan; dan 

6) kompetensi kewarganegaraan.

c. Tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Tujuan merupakan komponen terpenting dalam sebuah proses pembelajaran. Secara umum tujuan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah adalah mengembangkan potensi peserta didik dalam seluruh dimensi kewarganegaraan, yakni : 

1) Sikap kewarganegaraan termasuk keteguhan, komitmen dan tanggung jawab kewarganegaraan (civic confidence, civic commitment, and civic responsibility);

2)   Pengetahuan kewarganegaraan (civic knowledge);

3) Keterampilan kewarganegaraan mencakup kecakapan dan partisipasi kewarganegaraan (civic competence and civic responsibility).

Secara khusus tujuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang berisikan keseluruhan dimensi tersebut akan mewujudkan peserta didik yang mampu:

1) Menampilkan karakter yang mencerminkan penghayatan, pemahaman, dan pengamalan nilai dan moral Pancasila secara personal dan sosial.

2) Memiliki komitmen konstitusional yang ditopang oleh sikap positif dan pemahaman utuh tentang Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

3) Berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif serta memiliki semangat kebangsaan serta cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia.

4)   Berpartisipasi secara aktif, cerdas, dan bertanggung jawab sebagai anggota masyarakat, tunas bangsa, dan warga negara sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang hidup bersama dalam berbagai tatanan sosial budaya.

Berdasarkan rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menekankan pada pengembangan dan pembinaan  warga negara yang cerdas, terampil,  dan  berkarakter  serta bertindak sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam proses pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan peserta didik diharapkan dapat berfikir secara kritis, rasional, dan kreatif serta memiliki sikap demokratis dan bertanggung jawab sebagai warga negara yang sanggup melaksanakan hak dan kewajibannya dalam kehidupan  berbangsa  dan bernegara.  

Peserta didik  dikondisikan untuk selalu bersikap kritis dan berperilaku kreatif sebagai anggota keluarga, warga sekolah, anggota masyarakat, warga negara, dan umat manusia di lingkungannya secara cerdas dan baik. Untuk itu proses pembelajarannya pun hendaknya diorganisasikan dalam bentuk belajar sambil berbuat (learning by doing), belajar memecahkan masalah sosial (social problem solving learning), belajar melalui pelibatan sosial (socio-participatory learning), dan belajar melalui interaksi sosial-kultural sesuai dengan konteks kehidupan masyarakat.

Kelas  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan difungsikan sebagai laboratorium demokrasi yaitu setiap peserta didik dan guru diharapkan dapat memberikan contoh untuk selalu menciptakan suasana kelas ataupun hubungan warga kelas yang menumbuhkembangkan nilai, norma, dan etika berdasarkan nilai-nilai Pancasila, misalnya saling menghargai pemeluk agama yang berbeda, memberikan salam bila bertemu, membiasakan untuk tersenyum, bersalaman pada bapak/ibu guru, menghormati kesepakatan bersama, bertanggung jawab melaksanakan kesepakatan bersama, bermusyawarah dalam membuat keputusan, menjaga kebersihan, ketertiban, keamanan, dan keindahan kelas atau sekolahnya.

d. Kompetensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan 

Sebagaimana layaknya suatu bidang studi yang diajarkan di sekolah, materi Pendidikan Kewarganegaraan menurut Branson (1999:4) harus mencakup tiga komponen yaitu:

1) Civic   Knowledge   (pengetahuan   kewarganegaraan)   

yang   berkaitan dengan kandungan atau apa yang seharusnya diketahui oleh warga negara. Aspek ini menyangkut kemampuan akademik-keilmuan yang dikembangkan dari berbagai teori politik, hukum, dan moral. Dengan demikian mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner. Secara rinci, materi pengetahuan kewarganegaraan meliputi pengetahuan tentang hak dan tanggung jawab warga negara, hak asasi manusia, prinsip-prinsip, dan proses demokrasi, lembaga pemerintah dan non pemerintah, identitas nasional, pemerintahan berdasar hukum (rule of law), dan peradilan yang bebas dan tidak memihak, konstitusi, serta nilai-nilai dan norma-norma dalam masyarakat.

2) Civic skill (kecakapan kewarganegaraan) 

yakni kecakapan-kecakapan intelektual dan kecakapan berpartisipasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Jika warga negara mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan kewajiban-kewajibannya sebagai anggota masyarakat yang berdaulat, warga negara tidak hanya menguasai pengetahuan dasar, namun perlu juga memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan partisipatoris yang relevan. Contoh keterampilan intelektual yaitu keterampilan dalam merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD. Keterampilan berpartisipasi contohnya keterampilan menggunakan hak dan kewajibannya di bidang hukum, misalnya segera melapor kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Selain mensyaratkan pengetahuan dan kemampuan intelektual, pendidikan untuk warga negara dan masyarakat demokratis harus difokuskan pada kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan untuk berpartisipasi secara bertanggung jawab, efektif, dan ilmiah, dalam proses politik dan civil society. Kecakapan-kecakapan tersebut menurut Branson (1998:9) dikategorikan sebagai interacting, monitoring, and influencing. Interaksi (interacting) berkaitan dengan kecakapan warga negara dalam berkomunikasi dan bekerjasama dengan orang lain. Interaksi berarti bertanya, menjawab, dan berunding dengan santun termasuk mengelola konflik dengan cara yang damai dan jujur. Memonitor (monitoring) sistem politik dan pemerintahan, artinya warga negara mampu untuk terlibat dalam proses politik dan pemerintahan. Monitoring juga berfungsi untuk melakukan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Akhirnya, kecakapan partisipatoris dalam hal mempengaruhi proses-proses politik dan pemerintahan (influencing).

3) Civic Disposition (watak kewarganegaraan) 

yang mengisyaratkan pada karakter publik maupun karakter privat yang penting bagi pemeliharaan dan pengembangan demokrasi konstitusional. Komponen ini sesungguhnya merupakan dimensi yang paling substantif dan esensial dalam mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan tujuan mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan, maka karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat afektif. 

Watak kewarganegaraan berkembang secara perlahan sebagai akibat dari apa yang telah dipelajari dan dialami seorang warga negara di rumah, sekolah, komunitas, dan organisasi-organisasi civil society. Pengalaman- pengalaman tersebut akan melahirkan pemahaman bahwa demokrasi mensyaratkan adanya pemerintahan mandiri yang bertanggung jawab dari setiap individu. Karakter privat misalnya tanggung jawab moral, disiplin diri, dan penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu adalah wajib. Karakter publik misalnya kepedulian sebagai warga negara, kesopanan, mengindahkan aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar, bernegosiasi dan berkompromi merupakan karakter yang sangat diperlukan guna mendukung terwujudnya kehidupan yang demokratis (Budimansyah & Suryadi, 2008 ; 61).

e. Sejarah Perkembangan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di Indonesia

Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) di dunia diperkenalkan pada tahun 1790 di Amerika Serikat dalam upaya membentuk warga negara yang baik. Civics pertama kali diperkenalkan oleh Legiun Veteran Amerika yang tujuannya adalah untuk mengAmerikakan bangsa Amerika yang beragam latar belakang budaya, ras, dan asal negaranya (Wahab dan Sapriya, 2011).

Civics menurut Henry Randall Waite adalah “The science of citizenship, the relation man, the individual, to man in organized collection, the individual in his relation to the state”. Dalam terjemahan umum, bahwa pendidikan kewarganegaraan tersebut adalah ilmu yang membicarakan hubungan antara manusia dengan manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi (organisasi sosial, ekonomi, politik) dengan individu-individu dan negara.

Untuk memperoleh pemahaman tentang bagaimana proses perkembangan civics di Indonesia, berikut diuraikan proses perkembangannya, yaitu :

•  Sejarah pendidikan kewarganegaraan di Indonesia dimulai pada tahun 1957 saat pemerintahan Presiden Soekarno yang  dikenal dengan istilah civics. Metodenya lebih bersifat indoktrinasi. Isi civics banyak membahas tentang sejarah nasional, Undang-Undang Dasar 1945, pidato politik kenegaraan terutama diarahkan untuk “nation and character building” bangsa Indonesia. Penerapan civics sebagai pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961 dan kemudian berganti menjadi Pendidikan Kewargaan Negara pada tahun 1968.

•  Mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) resmi masuk dalam kurikulum sekolah pada tahun 1968. Saat terjadi pergantian tahun ajaran yang pada awalnya Januari-Desember dan diubah menjadi Juli-Juni pada tahun 1975. Metode pembelajaran PKN sudah tidak indoktrinasi lagi. Pada waktu itu ada mata pelajaran yang harus diajarkan dalam “kelompok pembinaan jiwa Pancasila” yaitu mata pelajaran Pendidikan Agama, PKN (Civics, ilmu bumi, sejarah dan geografi), Bahasa Indonesia, dan Olah Raga (Wuryan & Syaefullah, 2008: 8).

• Selanjutnya  nama  pendidikan  kewarganegaraan  diubah  oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) yang berisikan materi Pancasila yang menjadi mata pelajaran wajib untuk SD, SMP, SMA, SPG dan Sekolah Kejuruan.

•  Dengan berlakunya Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menggariskan adanya Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan sebagai bahan kajian wajib kurikulum semua jalur, jenis dan jenjang pendidikan (Pasal 39). Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah pada tahun 1994 mengakomodasikan misi baru pendidikan dengan memperkenalkan mata   pelajaran   Pendidikan   Pancasila   dan   Kewarganegaraan. 

Pembelajaran berdasarkan Kurikulum 1994 tersebut lebih mengarahkan peserta didik untuk menguasai materi pengetahuan. Metode belajar di kelas terutama digunakan adalah ceramah dan tanya jawab. Evaluasi yang dilakukan masih menggunakan metode klasikal (secara kelas). Pola pembelajaran tersebut tidak mampu mengembangkan kompetensi peserta didik. Akibatnya, banyak lulusan pendidikan yang tidak memiliki kesiapan dan kematangan ketika memasuki lapangan kerja. 

Sekalipun pernah dilakukan upaya perbaikan, misalnya dengan mengeluarkan Garis-garis Besar program Pengajaran (GBPP) Tahun 1999, namun tetap saja pembelajaran berdasarkan   kurikulum 1994 lebih berorientasi pada kemampuan akademik dan kurang mengembangkan kompetensi peserta didik (Budimansyah & Suryadi, 2008:10).

• Untuk   mengatasi   keterbatasan   Kurikulum   1994   dilakukan penyempurnaan ke arah kurikulum yang mengutamakan pencapaian kompetensi siswa yakni suatu desain kurikulum yang dikembangkan berdasarkan seperangkat kompetensi tertentu yang dikenal sebagai Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Kemudian disempurnakan dengan Kurikulum 2004 yang ciri paradigmanya berbasis kompetensi mencakup pengembangan silabus dan sistem penilaiannya.

• Dengan menggunakan Kurikulum 2004, Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) mengembangkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan Standar Isi (Permen No 22 Tahun 2006) dan Standar Kompetensi (Permen Nomor 23 Tahun 2006) , serta Standar Kompetensi Lulusan (Permen Nomor 23 Tahun 2006) yang menjadi acuan utama bagi setiap satuan pendidikan dalam menyusun KTSP. Dalam dokumen tersebut ditegaskan bahwa Pendidikan Kewarganegaraan merupakan mata pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas, terampil dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

• Untuk mengakomodasikan perkembangan baru dan perwujudan pendidikan sebagai proses pencerdasan kehidupan bangsa dalam arti utuh dan luas, maka substansi dan nama mata pelajaran yang sebelumnya Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dikemas dalam Kurikulum 2013 menjadi mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn).

Penyempurnaan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan :

1) Pancasila  sebagai  dasar  negara  dan  pandangan  hidup  bangsa diperankan dan dimaknai sebagai entitas inti yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan;

2) Substansi dan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan semangat Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan warga negara Indonesia yang berkarakter Pancasila.

Perubahan tersebut didasarkan pada sejumlah masukan penyempurnaan pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, antara lain   : 1) secara substansial, Pendidikan Kewarganegaraan terkesan lebih dominan bermuatan ketatanegaraan sehingga muatan nilai dan moral Pancasila kurang mendapat aksentuasi yang proporsional; 2) secara metodologis, ada kecenderungan pembelajaran yang mengutamakan pengembangan ranah sikap (afektif), ranah pengetahuan (kognitif), pengembangan ranah keterampilan (psikomotorik) belum dikembangkan secara optimal dan utuh (koheren) (Permendikbud No.58, 2014 : 221).

Dengan perubahan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn), maka ruang lingkupnya meliputi sebagai berikut (Permendikbud Nomor 58, 2014 : 223):

1) Pancasila, sebagai dasar negara, ideologi, dan pandangan hidup bangsa.

2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar tertulis yang menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 

3) Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai kesepakatan final bentuk Negara Republik Indonesia.

4) Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud filosofi kesatuan yang melandasi dan mewarnai keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.




sumber : modul belajar mandiri pppk ppkn , Pembelajaran 1. Konsep Dasar, Prinsip, dan Prosedur Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, kemdikbud


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar