Penerapan Pancasila Selama Periode Orde Reformasi 1998 – sampai dengan sekarang


Penerapan Pancasila Selama Periode Orde Reformasi 1998  – sampai dengan sekarang
Abdurrahman Wahid

Sejak masa Orde Baru, Pancasila dijadikan seperangkat ideologi untuk menopang kekuasaan otoriter pemerintah. Anggota masyarakat, tokoh, maupun organisasi yang berusaha menyuarakan suara kritis terhadap kebijakan pemerintah akan dianggap sebagai anti-Pancasila, tidak Pancasilais, dan lain-lain. Akibatnya, sejak reformasi yang berhasil melengserkan Soeharto, image rakyat Indonesia sangatlah buruk terhadap Pancasila. 

Pancasila untuk sementara waktu seolah dilupakan karena hampir selalu identik dengan rezim Orde Baru. Pancasila dianggap sebagai sesuatu indoktrinasi pemerintah di segala bidang kehidupan dengan tujuan untuk menyeragamkan perbedaan yang ada dalam masyarakat. Hal itu berujung dengan dikeluarkannya Ketetapan MPR Nomor XVIII/MPR/1998 yang mencabut Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P-4. Dengan dicabutnya penataran P-4,  maka  lembaga  yang  mengurusnya,  yakni  BP-7  juga  turut dibubarkan. 

Dengan seolah-olah “dikesampingkannya” Pancasila pada era reformasi ini, kemudian berdampak fatal terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara (Syarbaini dalam Augustin, 2019:44). Akibatnya dalam kehidupan sosial budaya, masyarakat kehilangan kendali atas dirinya, terjadi konflik-konflik horizontal dan vertikal secara masif yang melemahkan persatuan dan kesatuan bangsa. Dampak terjadinya konflik baik horizontal maupun vertikal secara makro dapat mengakibatkan pembangunan nasional tidak dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Segala benturan sosial tersebut akibatnya akan selalu sama terhadap masyarakat yakni stres sosial, kepedihan, disintegrasi sosial disertai musnahnya aset- aset material dan non-material. Praktik intoleransi baik berdasar konflik etnis, agama maupun sumber daya sungguh menjadi keprihatinan bersama karena telah memecah belah persatuan bangsa yang telah dibangun bertahun-tahun lamanya.

Penerapan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa pada masa reformasi terus menghadapi berbagai tantangan. Penerapan Pancasila tidak lagi dihadapkan pada ancaman pemberontakan-pemberontakan yang ingin mengganti Pancasila dengan ideologi lain, akan tetapi lebih dihadapkan pada kondisi kehidupan masyarakat yang diwarnai kehidupan yang serba bebas. Kebebasan pada saat ini meliputi berbagai macam bentuk mulai dari kebebasan berbicara, berorganisasi, berekspresi. Banyak hal negatif yang timbul sebagai akibat penerapan konsep kebebasan yang tanpa batas, seperti munculnya pergaulan bebas, pola komunikasi yang tidak beretika dapat memicu terjadinya perpecahan dan sebagainya.

Tantangan yang tidak kalah beratnya adalah perkembangan dunia yang sangat cepat dan mendasar dari globalisasi. Sehingga memungkinkan terjadinya penyusupan ideologi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Bahkan sering terjadi di era globalisasi ini terjadi intervensi kekuatan global dalam perumusan kebijakan nasional. Hal tersebut dapat mengakibatkan kesulitan  bagi bangsa Indonesia untuk mencapai persatuan dan kesatuan bangsa.

Proses globalisasi membawa dampak serius terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Proses globalisasi yang begitu cepat merupakan tantangan dan berpengaruh secara signifikan terhadap semua manusia di berbagai negara termasuk bangsa Indonesia (Kaelan, 2015:27). Mengutip dari Anthony Giddens (dalam Kaelan, 2015:27) menamai proses globalisasi sebagai ‘the runaway world’. Menurutnya terjadi perubahan- perubahan di berbagai bidang terutama perubahan sosial di suatu negara yang akan berpengaruh secara cepat terhadap negara lain. Pengaruh globalisasi bukan hanya pada bidang ekonomi dengan kapitalisme, industrialisme, tapi juga akan membawa ke arah perubahan ideologi sebuah negara (Fukuyama,1989:48 dalam Augustin, 2019:23). 

Toynbee (dalam Kaelan, 2015:30) sudah mengingatkan akan hal tersebut bahwa “jika challenge kebudayaan terlalu besar dan response kecil, maka akibatnya kebudayaan itu akan terdesak dan punah. Sebaliknya jika challenge kebudayaan itu kecil, sedangkan response suatu bangsa itu besar, maka akan terjadi akulturasi yang tidak dinamis, artinya kebudayaan bangsa itu tidak akan berkembang dengan baik”.   Untuk itu jika bangsa Indonesia dalam proses perubahan ingin berkembang maju dengan baik maka harus ada keseimbangan antara challenge dan response sehingga Pancasila yang merupakan philosofische grondslag tidak akan dapat digantikan oleh ideologi manapun di dunia ini.

Seyogyanya gerakan reformasi tetap berdasarkan kerangka perspektif Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa. Sebab tanpa adanya sumber dan dasar nilai yang jelas dan tegas maka reformasi hanya akan mengarah pada suatu disintegrasi bangsa yang mengakibatkan kehancuran Negara Kesatuan Republik Indonesia (Augustin, 2019: 45). 








sumber : modul belajar mandiri pppk ppkn , Pembelajaran 3. Konsep Kajian Keilmuan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 , kemdikbud

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar