Prinsip-Prinsip Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan


Prinsip-Prinsip  Pembelajaran  Pendidikan  Pancasila dan Kewarganegaraan


a. Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan sebagai Social Studies untuk membangun karakter

Dalam pendidikan ilmu pengetahuan sosial, peran pendidikan kewarganegaraan sangat besar untuk membangun karakter warga negara. Pada kepustakaan asing, Pendidikan IPS di Indonesia mirip dengan istilah Social Studies, Social Education, Social Science Education, Citizenship Education, atau bahkan ada yang menggunakan istilah Studies of Society and Environment (Sapriya, 2008:206).

Somantri (2001:81) menggambarkan program pendidikan IPS dalam The Three Social Studies Traditions, yaitu: (1) social studies as citizenship transmission (civic education); (2) social studies as social science; (3) social studies as reflective inquiry.

Social Studies as Citizenship Transmission. Tradisi pembelajaran yang paling tua dan biasa dipraktikkan oleh para guru. Tujuan transmisi kewarganegaraan  adalah  agar  peserta didik  mempelajari  dan  meyakini konsep kewarganegaraan yang diajarkan dengan cara guru menyajikan asumsi-asumsi, kepercayaan-kepercayaan, dan harapan-harapan tentang masyarakatnya.

Social Studies Taught as Social Science. Tradisi ini awalnya dikembangkan oleh Social Science Education Consortium, yang bertujuan agar peserta didik dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan perlengkapan disiplin ilmu sosial sehingga mereka akan menjadi warga negara yang efektif. Isi dari social studies sebagai social science terkait dengan masalah-masalah, isu-isu, dan topik-topik disiplin ilmu sosial masing-masing. 

Social Studies Taught as Reflective Inquiry merupakan tradisi pembelajaran berdasarkan kedudukan filsafat yang berakar pada masa lalu. Tujuan reflective inquiry adalah kewarganegaraan didefinisikan sebagai pengambilan keputusan dalam konteks sosial-politik. Metode tersebut terkait dengan proses membuat keputusan dan mendorong peserta didik untuk menganalisis tentang apa saja yang terlibat dalam suatu keputusan (Nababan, 2020:24-25).

Secara metodologis, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai suatu ilmu merupakan pengembangan salah satu dari lima tradisi Social Studies yakni transmisi kewarganegaraan (citizenship transmission) seperti dikemukakan oleh Barr, Barth dan Shermis (1978). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi suatu struktur keilmuan yang dikenal sebagai citizenship education, yang memiliki paradigma sistemik di dalamnya terdapat tiga domain yakni : domain akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural (Winataputra, 2001).

Domain akademis yaitu berbagai pemikiran tentang Pendidikan Kewarganegaraan yang berkembang di lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler yaitu konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan dalam dunia pendidikan formal dan non-formal. Domain sosio kultural yaitu konsep dan praksis Pendidikan Kewarganegaraan di lingkungan masyarakat.

Ketiga domain tersebut satu sama lain saling terkait dan diikat oleh konsepsi kebajikan dan budaya kewarganegaraan (civic virtue dan civic culture) yang mencakup penalaran kewarganegaraan  (civic knowledge), sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition), keterampilan kewarganegaraan (civic skill), keyakinan diri kewarganegaraan (civic confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment), dan kemampuan kewarganegaraan (civic competence).

b.   Pancasila  sebagai  prinsip  utama  dalam  pembelajaran  Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Pembelajaran erat kaitannya dengan proses belajar. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pendidikan menyatakan bahwa belajar merupakan usaha sadar dan terencana  untuk mewujudkan  suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Dalam arti sempit pembelajaran merupakan suatu proses atau cara yang dilakukan agar seseorang dapat melakukan kegiatan belajar. Sedangkan pembelajaran dalam arti luas mengandung makna  kegiatan yang sistematis, bersifat interaktif dan komunikatif antara pendidik dan peserta didik untuk mencapai kompetensi tertentu.

Secara umum tujuan pendidikan kewarganegaraan adalah terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) yang tentu saja berbeda menurut konteks negara yang bersangkutan (Winarno, 2011). Untuk itu pada proses pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengusung konsep transfer nilai-nilai Pancasila ke dalam struktur keilmuannya yang hendak diberikan kepada peserta didik. Oleh karenanya terdapat tiga ihwal penting yang perlu senantiasa diingat (Kalidjernih & Winarno, 2019). Pertama, Pancasila tidak diperlakukan sekadar sebagai pengejawantahan ideologi negara belaka. Pancasila harus dilihat sebagai filosofi bangsa yang hidup. Sila-silanya adalah cerminan pandangan hidup dan cita-cita yang dinamis dan terbuka sesuai dengan perkembangan zaman. Kedua, Pancasila selayaknya ditempatkan sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan dalam konteks yang lebih luas dan umum. Pancasila berintikan pendidikan moral atau pendidikan karakter.

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup bangsa dikonsepsikan, dimaknai, dan difungsikan sebagai entitas diri (core/central values) yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Substansi dan jiwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan semangat  Bhinneka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan warga negara Indonesia yang berkarakter Pancasila. 

Dengan demikian proses pembelajaran Pancasila sebagai bagian dari pendidikan kewarganegaraan yang demokratis tidak lagi menekankan pada kegiatan menghafal peraturan-peraturan, undang-undang, dan prosedur- prosedur tata negara, serta proses-proses politik  yang hanya “berbasis tekstual”. Proses pembelajaran perlu memfokuskan pelbagai interaksi sosial dalam hubungan antara warga negara dan warga  negara, warga negara dengan negara yang mengembangkan pluralisme dan kewarganegaraan yang dialogis dan partisipatoris.


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar