Pemerintah Militer Jepang di Indonesia
a. Latar Belakang Pemerintahan Militer Jepang di Indonesia
Kedatangannya di Indonesia merupakan bagian dalam usahanya untuk membangun suatu imperium di Asia (Marwati, 1984). Munculnya imperialisme Jepang ini didorong oleh beberapa faktor. Salah satu faktor yang penting ialah keberhasilan Restorasi Meiji di Jepang yang berdampak pada proses modernisasi di berbagai bidang kehidupan. Sebagai akibat dari kemajuan industri yang pesat di Jepang, ditempuhlah strategi ekspansi untuk mencari bahan mentah dan daerah pemasaran baru, yang dalam prakteknya juga sebagai sumber bahan pangan.
Imperialisme Jepang didorong pula oleh filsafat Hakko Ichiu, yaitu ajaran tentang kesatuan keluarga umat manusia. Jepang sebagai negara yang telah maju, mempunyai kewajiban untuk "mempersatukan bangsa-bangsa di dunia dan memajukannya" (Moedjanto, 1992). Cita-cita Jepang untuk membangun Kawasan Persemakmuran Bersama Asia Timur Raya di bawah naungannya, dicoba direalisasikan dengan mencetuskan Perang Asia Timur Raya yang picunya dimulai dengan penyerangan mendadaknya atas pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour pada hari Minggu tanggal 7 Desember 1941. Philipina pada bulan Januari 1942 diduduki dan segera disusul dengan pendudukan Singapura pada bulan Februari 1942, dan selanjutnya giliran Indonesia pada bulan Maret 1942.
Jepang tidak hanya ingin mengenyahkan kekuasaan politik bangsa Barat di kawasan Asia Pasifik, melainkan sebagaimana yang dicita-citakannya juga ingin menjadi "Tuan Besar" di Asia Pasifik. Invasi militer atau perang yang dikobarkan oleh Jepang tersebut bagi bangsa Asia Tenggara – khususnya Indonesia - dirasakan sebagai suatu malapetaka baru atau paling tidak dirasakan sebagai suatu penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia; yang peran tersebut selama ini telah dijalankan oleh pemerintah kolonial Belanda. Kebijaksanaan Jepang terhadap rakyat Indonesia mempunyai dua prioritas: pertama, menghapuskan pengaruh-pengaruh Barat di kalangan rakyat Indonesia, dan kedua, memobilisasikan rakyat Indonesia demi kemenangan Jepang dalam perang Asia Timur Raya.
Awal kedatangan Jepang di Indonesia secara umum diterima dan tanggapi dengan baik oleh masyarakat. Hal ini disebabkan disamping propaganda yang dilakukan secara intensif sebelum mereka tiba, yang dikoordinir melalui bagian propaganda (Sendenbu), juga dipengaruhi oleh sikap pemerintah kolonial Belanda yang selalu mempertahankan prinsip ketenangan dan keteraturan (rust en orde) dengan tindakan-tindakannya yang mengecewakan kaum pergerakan. Disamping itu bagi masyarakat pedesaan di Jawa terdapat kebanggaan terhadap bangsa Jepang yang dapat mengalahkan Sekutu, yang dengan demikian itu membawa pengharapan pulihnya saat-saat normal yang dinanti-nantikannya.
Sikap masyarakat pedesaan Jawa juga dipengaruhi oleh ramalan Jayabaya, yang secara tidak langsung telah mengarahkan pandangan masyarakat untuk menyambut kedatangan "wong kuntet kuning saka lor" yang hanya akan berkuasa di Indonesia "seumur jagung". Kata-kata ini dipahami sebagai suatu keadaan baru akibat perginya Belanda dan datangnya Jepang, dan Jepang akan memerintah dalam waktu yang tidak lama, sesudah itu bangsa Indonesia akan "merdeka". Pemahaman yang berkembang seperti ini telah memberikan harapan akan hari kemudian yang lebih baik. Sartono Kartodirjo (1985) menyebutnya sebagai motivasi spekulatif teoritis masyarakat Jawa terhadap datangnya masa kebahagiaan.
Kekuasaan fasisme Jepang di Indonesia disusun dengan tiga kekuasaan yakni:
1) Tentara Ke-16 di pulau Jawa dan Madura dengan pusatnya di Jakarta.
2) Tentara Ke-25 dipulau Sumatera dengan pusatnya di Bukittinggi.
3) Armada Selatan Ke-2 di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku, dan Irian Barat dengan pusatnya di Makasar.
b. Strategi Pergerakan Nasional pada Masa Pemerintahan Militer Jepang
Pemerintahan Militer Jepang pada mulanya menunjukkan kelunakan karena berbagai kepentingan. Tetapi hal ini tidak lama, karena Jendral Imamura sebagai penguasa tertinggi (Gunsireikan kemudian Seiko Sikikan) Pemerintahan Militer Jepang di Jawa mulai mengubah politik lunaknya dengan mengeluarkan maklumatnya tertanggal 20 Maret 1942 yang berisi tentang larangan terhadap segala macam pembicaraan, pergerakan dan anjuran atau propaganda dan juga pengibaran sang Saka Merah Putih serta menyanyikan Lagu Indonesia Raya yang sudah diijinkan sebelumnya (Mudjanto, 1992).
Dalam kerangka perjuangan dimasa Pemerintahan Militer Jepang yang bersituasi semacam itu, tokoh-tokoh nasionalis mulai mengambil sikap dalam kerangka strategi perjuangannya. Hatta dan Syahrir yang telah bersahabat lama, memutuskan untuk memakai strategi-strategi yang bersifat saling melengkapi dalam situasi baru kekuasaan Jepang (Rose, 1987). Hatta akan bekerjasama dengan Jepang dan berusaha mengurangi kekerasan pemerintahan mereka serta memanipulasi perkembangan-perkembangan untuk kepentingan bangsa Indonesia. Syahrir akan tetap menjauhkan diri dan membentuk suatu jaringan "bawah tanah" yang terutama didukung oleh para mantan anggota PNI Baru. Soekarno yang telah dibebaskan oleh Jepang dari Sumatra segera bergabung dengan Hatta, yang kemudian segera mendesak kepada Jepang untuk membentuk suatu organisasi politik massa di bawah pimpinan mereka (Ricklefs, 1992).
Awal tahun 1943 usaha kearah mobilisasi dari pemerintah pendudukan mulai memberi prioritas tinggi terhadap gerakan-gerakan pemuda. Korps Pemuda yang bersifat semi militer (Seinendan) dibentuk pada bulan April 1943. Korps ini mempunyai cabang- cabang sampai ke desa-desa. Kemudian disusul dengan pembentukan Korps Kewaspadaan (Keibodan) sebagai organisasi polisi. Demikian juga dibentuk Pasukan Pembantu (Heiho) sebagai bagian dari Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang di Indonesia.
Kemudian dibentuk Jawa Hokokai (kebangkitan Rakyat Jawa) pada 1 maret 1944. Pimpinan tertinggi adalah Gunseikan. Jawa Hokokai merupakan hasil peleburan dari Fujinkai (perkumpulan Kaum Wanita), Masyumi (Majelis Sura Muslim Indonesia), Kakyo Sokai (Perhimpunan Cina); Taiku Kai (Perkumpulan Oleh Raga); Keimin Bunka Syidosyo (Himpunan Kebudayaan), dan sebagainya.
Propaganda Pemerintahan Militer Jepang dilancarkan terus; Misalnya Gerakan Tiga A: Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, Jepang Cahaya Asia, dibawah pimpinan Mr. Syamsudin. Semboyan: Jepang dan Indonesia sama-sama; Asia untuk bangsa Asia; kemakmuran bersama Asia Timur Raya dan sebagainya bertujuan menarik simpati rakyat Indonesia untuk membantu Jepang menyelesaikan perang Asia Timur Raya. Disamping itu pula dibentuk Pemuda Asia Raya dibawah pimpinan Sukarjo Wiryopranoto. Pemuda Asia Raya ini kemudian diganti namanya menjadi Seinendan, pada tanggal 29 April 1942. Organisasi ini bekerjasama dengan Putera dibawah pimpinan Empat Serangkai Indonesia.
Dalam bidang kebudayaan, siasat Jepang untuk memainkan dan menanamkan kebudayaan Jepang di Indonesia, dilakukan bersama -sama dengan menggiatkan kebudayaan Indonesia untuk menarik simpati rakyat Indonesia. Guna mempergiat semangat belajar bahasa Jepang, diberikan tunjangan-tunjangan istimewa kepada mereka yang telah menunjukan kecakapannya berbahasa Jepang dalam tingkatan dai-tji (dasar), dai-ni (menengah), dai-san (atas), dai-jon (tinggi), dan dai-go (lanjut).
Perkembangan Perang Dunia II di Eropa di mana sekutu Jepang seperti Jerman dan Italia mulai mengalami kekalahan diberbagai front pertempuran juga dialami Jepang sendiri dalam berbagai front di Asia.. Jepang sangat membutuhkan bantuan dari daerah-daerah yang didudukinya. Untuk itu perlu dibentuk berisan semi-militer dan militer di Indonesia dikenal dengan Pembela Tanah Air (Peta) (Boei Giyugun). Disamping Peta, juga penduduk diikutsertakan membantu perang. Tanggal 8 Januari 1944 diperkenalkan tonarigumi (rukun Tetangga). Disamping Peta, Jepang juga membentuk Heiho (Pembentu tentera). bila Peta bertugas membela daerahnya masing-masing, maka Heiho bertugas membantu Jepang apabila diperlukan.
Pada bulan Maret 1943 Gerakan Tiga A dihapuskan dan digantikan dengan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Meski demikian, tidak sedikit perlawanan rakyat terhadat pendudukan Jepang. Misalnya Di Tasikmalaya, Indramayu, Singapura, Banten, dan sebagainya. Pemberontakan terhebat terjadi pada 14 Pebruari 1945 yang dilakukan oleh anggota-anggota Peta dibawah pimpinan Supriyadi. Namun semua pemberontakan itu dapat ditindas dengan kejam oleh Jepang.
Sementara itu kemenangan Sekutu di Eropa maupun di pasifik seperti di Sailan, Gauam, Marina, megakibatkan perubahan politik Jepang. Kabinet Tojo jatuh pada 18 Juli 1944 dan digantikan dengan kabinet Kaiso pada 22 Juli 1944. Supaya mendapatkan bantuan sepenuhnya dari rakyat Indonesia, Kabinet Kaiso menjanjikan Dokutitzu (kemerdekaan) kepada Indonesia di kemudian hari.
c. Aspek Perubahan-Perubahan Akibat Pemerintahan Militer Jepang
Pendudukan Jepang telah mengakibatkan perubahan-perubahan yang mendasar pada masyarakat pedesaan Indonesia, khususnya di Jawa.
• Perubahan dalam Aspek Politik Pemerintahan di Indonesia
Adanya kekuasaan pemerintahan militer Jepang dengan adanya hierarki struktur pemerintahan daerah di Jawa sebagai berikut:
Lembaga |
Pimpinan |
Syu (Karesidenan) |
Syucho |
Si (Kotamadya) |
Sicho |
Ken (Kabupaten) |
Kencho |
Gun (Kawedanan) |
Guncho |
Son (Kecamatan) |
Soncho |
Ku (Desa/Kelurahan) |
Kuncho |
Dalam tatanan kehidupan politik tradisional di tingkat pedesaan, pemerintah Jepang dengan orientasi ekonominya telah melanggar batas-batas otonomi pemerintahan desa. Kepala desa bagi masyarakat merupakan simbol pengayom yang dipilih oleh masyarakat berdasarkan ketentuan dan kriteria tertentu secara demokratis. Tetapi pada masa pendudukan Jepang, proses pemilihan dan pengangkatan kepala desa dilakukan melalui serang-kaian prosedur seleksi dan tes yang dibuat oleh pemerintah Jepang. Hal itu dimaksudkan untuk memilih kepala desa yang mengerti administrasi pemerintahan dan sekaligus untuk menyingkirkan orang-orang yang tidak menyukai pemerintahan Jepang. Dengan demikian pada masa itu kepala desa dilibatkan langsung dalam struktur pemerintahan administrasi Jepang dengan aturan-aturan yang dipaksakan.
• Perubahan Sosial Ekonomi
Bentuk eksploitasi ekonomi yang berimplikasi terhadap perubahan sosial ekonomi secara mendasar pada masa pendudukan Jepang di Jawa ialah diberlakukannya politik penyerahan padi secara paksa. Logika politik ekonomi ini didasarkan pada kebutuhan bahan pangan yang makin meningkat bagi tentara Jepang di front-front pertempuran. Proses eksploitasi ekonomi tersebut terlihat akibatnya secara mendasar pada kehidupan masyarakat pedesaan. Padahal dipahami bahwa perilaku ekonomi yang khas dari keluarga petani Jawa menurut James C. Scott (1989:4- 20) ialah petani yang subsisten, yaitu ia sekaligus merupakan satu unit produksi dan konsumsi. Sehingga masalah yang dihadapi oleh petani ialah bagaimana dapat menghasilkan beras untuk makan sekeluarga, untuk membeli barang kebutuhan dan untuk memenuhi tagihan-tagihan yang tidak dapat ditawar- tawar lagi dari pihak luar. Implikasi dari penyerahan wajib tersebut ialah meningkatnya angka kematian dan menurunnya derajat kesehatan masyarakat.
• Perubahan Mentalitas Masyarakat
Praktek-praktek romusha merupakan bentuk yang sangat nyata dari praktek eksploitasi tenaga kerja dan manusia pada masa pendudukan Jepang di Indonesia. Hal itu sekaligus merupakan suatu bentuk pemiskinan mentalitas masyarakat Indonesia. Dengan demikian telah terjadi perubahan mentalitas masyarakat di Indonesia yang sangat mendasar pada masa pendudukan Jepang sebagai akibat penetrasi dan sistem pendudukan yang bersifat militer tersebut.
Barangkali tidak ada yang dapat diambil keuntungan dari kasus-kasus romusha bagi masyarakat pedesaan Jawa waktu itu. Secara kongkrit tampak adalah proses penetrasi dan eksploitasi sumberdaya manusia sebagai tenaga kerja. Dengan kondisi seperti itu dapat dipahami seberapa tinggi kualitas sumberdaya manusia pedesaan Jawa waktu itu.
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar