Perjuangan Diplomasi Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia
• Perjanjian Linggar Jati
Untuk
menyelesaikan pertikaian Indonesia-Belanda maka pada 10 November 1946
diadakan perundingan di Linggar Jati. Pihak Indonesia dipimpin oleh dr.
Sudarsono, Jenderal Sudirman, dan Jenderal Oerip Soemohardjo. Inggris
mengirim Lord Killearn sebagai penengah setelah komisi gencatan senjata
terbentuk. Pihak Belanda diwakili oleh Prof. S. Schermerhorn dan Dr. Hj.
Van Mook. Isi persetujuan Linggar Jati. Setelah naskah perjanjian
ditandatangani, muncul pro dan kontra dimasyarakat mengenai hasil
perundingan tersebut. Tanggal 25 Maret 1947 pihak Indonesia menyetujui
perjanjian Linggar Jati (Bahar, 1991).
• Perundingan Renville
Berdasarkan
Keputusan Kerajaan Belanda No. 51 tanggal 15 Desember 1947, wakil-wakil
pemerintah Belanda yang hadir dalam perundingan Renville dengan penuh
kehati-hatian menghindari kata “delegasi” (Agung, 1991). Ini untuk
menjelaskan bahwa persoalan Indonesia adalah masalah dalam negeri. Oleh
karena itu, Keputusan Kerajaan Belanda menyebut “penunjukkan suatu
komisi untuk melakukan pembicaraan-pembicaraan sesuai Resolusi DK PBB
tanggal 25 Agustus 1947.
• Perjanjian Roem Royen
Pada bulan pertama tahun 1949 karena didesak oleh Dewan Keamanan PBB, Belanda mengadakan pendekatan-pendekatan politis dengan Indonesia. Perdana Menteri Belanda Dr. Willem Drees mengundang Prof. Dr. Supomo untuk berunding. Undangan itu diterima dan merupakan pertemuan pertama antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda sejak tanggal 19 Desember 1948. Pertemuan antara Perdana Menteri Dr. Willem Drees dengan Prof. Dr. Supomo tidak diumumkan kepada masyarakat sehingga bersifat informal. Pertemuan lainnya yang bersifat informal adalah antara utusan BFO yaitu Mr. Djumhana dan Dr. Ateng dengan Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 21 Januari 1949. Hasil pembicaraan secara mendetil dari pertemuan- pertemuan itu tidak pernah diumumkan secara resmi, kecuali diberitakan oleh harian Merdeka pada 19 Januari 1949 dan 24 Januari 1949.
Namun demikian dari pertemuan informal tersebut dicapai kesepakatan antara RI dengan BFO yang disampaikan oleh Mr. Moh. Roem bahwa RI bersedia berunding dengan BFO di bawah pengawasan Komisi PBB dalam suatu perundingan formal (Ricklefs, 1998). Pada tanggal 13 Februari 1949 Wakil Presiden Mohammad Hatta secara resmi menyatakan pendapatnya bahwa perundingan dapat saja dilakukan dengan syarat dikembalikannya pemerintah RI ke Yogyakarta dan pengunduran pasukan Belanda dari wilayah RI sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 24 Januari 1949. Pendirian Wakil Presiden Mohammad Hatta kemudian disetujui dan didukung oleh delegasi BFO (Pujianti, 2011).
Berdasarkan kenyataan dan penjajagan politis yang dilakukan oleh Belanda terhadap para pemimpin Indonesia diperoleh kesimpulan bahwa pada umumnya bersedia berunding. Oleh karena itu, Belanda pada tanggal 26 Pebruari 1949 mengumumkan akan mengadakan Konferensi Meja Bundar pada tanggal 12 Maret 1949. KMB akan diadakan dengan diikuti oleh Belanda, Indonesia dan negara-negara bentukan Belanda guna membicarakan masalah Indonesia seperti syarat- syarat penyerahan kedaulatan dan pembentukan Uni Indonesia Belanda (Reid, 1987).
Pemerintah Belanda mengutus Dr.
Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota Belanda pada tanggal 28 Pebruari 1949
untuk menemui Ir. Sukarno beserta beberapa pemimpin RI yang masih
ditawan di Pulau Bangka untuk menyampaikan rencana KMB. Pada tanggal 3
Maret 1949 Presiden Sukarno mengadakan pembicaraan dengan penghubung BFO
tentang perlunya pengembalian kedudukan pemerintah RI sebagai syarat
diadakannya perundinagn sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB. Pada
tanggal 4 Maret 1949 Presiden Sukarno membalas undangan Wakil Tinggi
Mahkota Belanda (Suhartono, 2001).
Undangan menghadiri KMB yang
dimaksud oleh Dr. Koets tentu saja bukan undangan pribadi kepada Ir.
Sukarno, melainkan undangan untuk pemerintah Indonesia. Oleh karena itu
Presiden Sukarno menyampaikan bahwa RI tidak mungkin berunding tanpa
pengembalian pemerintahan ke Yogyakarta.
Dengan demikian maka sebelum perundingan dimulai, secara tidak langsung Belanda harus sudah mengakui bahwa RI masih tegak berdiri. Sementara itu pihak BFO juga mengeluarkan surat pernyataan yang berisi pemberitahuan bahwa BFO tetap dalam pendirian semula. Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 23 Maret 1949 memberitahukan kepada Belanda bahwa Komisi PBB telah bekerja sesuai dengan resolusi Dewan Keamnaan PBB tanggal 28 Januari 1949 dan tidak merugikan tuntutan kedua belah pihak (Suryanegara, 2010).
Delegasi Republik dipimpin oleh Mr. Moh. Roem sebagai Ketua dan Mr. Ali Sastroamijoyo sebagai wakil ketua. Anggota-anggotanya adalah : Dr. J. Leimena, Ir. Juanda, Prof. Dr. Supomo, Mr. Latuharhary disertai lima orang penasehat. Delegasi Belanda dipimpin oleh Dr. J.H. Van Royen, dengan anggota-anggotanya Mr. N.S. Blom, Mr. A.S. Jacob, Dr. J.J. Van der Velde dan empat orang penasehat. Perundingan dimulai pada 14 April 1949 yang dilakukan oleh Mr. Moh. Roem (Indonesia) dengan Dr. Van Roijen (Belanda) dengan mediator Merle Cochran (anggota UNCI dari AS). Perundingan ini dilakukan di Hotel Des Indes (Hotel Duta Merlin Jakarta, sekarang) (Supriatna, 2002).
Perundingan berlarut-larut dan sempat terhenti sampai 1 Mei 1949 karena terjadinya perbedaan pendapat yang tajam. Pemerintah Belanda menghendaki agar RI menghentikan gerakan gerilya oleh pejuangnya, bersedia menghadiri KMB dan bersedia bekerjasama menciptakan keamanan dan ketertiban, barulah pemerintahan dan pemimpin RI yang ditahan Belanda dibebaskan (Bahar, 1991). Karena perundinagn berjalan sangat lamban, bahkan hampir mengalami jalan buntu, pada tanggal 24 April 1949 Drs. Mohammad Hatta datang ke Jakarta. Pihak RI menempuh cara lain yakni mengadakan perundingan informal dan langsung dengan pihak Belanda disaksikan Merle Cochran. Pada tanggal 25 April 1949 diadakan pertemuan informal pertama antara Drs. Moh. Hatta dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen. Hasil pertemuan ini tidak diumumkan, namun Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa pertemuan informal itu untuk membantu memberikan penjelasan kepada delegasi Belanda (Suryanegara, 2010).
Anggota UNCI dari AS Merle Cohran
mendesak Indonesia agar dapat menerima usulan Belanda dengan kompensasi
bantuan ekonomi setelah pengakuan kedaulatan, tetapi sebaliknya
mengancam untuk tidak memberi bantuan apapun kepada Indonesia apabila
pihak RI tidak bisa melanjutkan perundingan. Selanjutnya masing-masing
pihak mengeluarkan pernyataan. Persetujuan ini sebenarnya hanya berupa
pernyataan dari kedua belah pihak yang masing- masing menyetujui
pernyataan pihak lainnya. Isi pernyataan ini ditanda tangani pada 7 Mei
1949 oleh ketua perwakilan kedua negara yaitu Mr. Moh. Roem dan Dr. Van
Roiyen, oleh karena itu terkenal dengan sebutan Roem Royen Statemens
(Ricklefs, 1998).
Turut serta pada Konferensi Meja Bundar di
Den Haag dengan maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang
sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat, yang tidak
bersyarat. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta akan
berusaha mendesak supaya politik demikian diterima oleh pemerintah
Republik Indonesia selekas-lekasnya setelah dipulihkan di Yogyakarta.
Bunyi statement Roem-Royen (Pujianti, 2011):
> Sesuai dengan resolusi DK PBB, Indonesia menyatakan kesanggupannya untuk menghentikan perang gerilya.
> bekerjasama mengembalikan dan menjaga keamanan dan ketertiban.
>
Turut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag dengan
maksud untuk mempercepat penyerahan kedaulatan yang sungguh-sungguh
dengan tidak bersyarat.
• Statement Delegasi Belanda (Diucapkan oleh Dr. Van Royen).
Delegasi
Belanda diberi kuasa menyatakan bahwa, berhubungan dengan kesanggupan
yang baru saja diucapkan oleh Mr. Roem, ia menyetujui kembalinya
Pemerintah Republik Indonesia di Yogyakarta. Sebagai tindak lanjut dari
persetujuan Roem-Royen, pada tanggal 22 Juni 1949 diadakan perundingan
formal antara RI, BFO dan Belanda di bawah pengawasan komisi PBB,
dipimpin oleh Critchley (Australia). Hasil perundingan itu adalah:
>
Pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dilaksanakan pada tanggal 24
Juni 1949. Karesidenan Yogyakarta dikosongkan oleh tentara Belanda pada
tanggal 1 Juli 1949 dan pemerintah RI kembali ke Yogyakarta setelah TNI
menguasai keadaan sepenuhnya daerah itu.
> Mengenai penghentian permusuhan akan dibahas setelah kembalinya pemerintah RI ke Yogyakarta.
> Konferensi Meja Bundar diusulkan akan diadakan di Den Haag (Ricklefs, 1998).
Setelah
para pemimpin RI berkumpul kembali di Yogyakarta, maka pada tanggal 13
Juli 1949 jam 20.30, diadakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada
kesempatan itu, Mr. Sjafrudin Prawiranegara pengembalikan mandatnya
kepada Wakil Presiden/Perdana Menteri Moh. Hatta. Sedangkan Pemerintah
Darurat Republik Indonesia (PDRI) mendukung pemerintah RI dengan syarat
(Nasution, 1987). Pada tanggal 6 Juli 1949, pemerintah Republik kembali
ke Yogyakarta, yang sudah ditinggalkan oleh pasukan-pasukan Belanda pada
akhir bulan juni. Soedirman dan pimpinan-pimpinan tentara lainnya
enggan mengakui kekuasaan sipil yang mereka anggap telah meninggalkan
Republik. Pada tanggal 1 Agustus, diumumkanlah genjatan senjata yang
akan mulai berlaku di Jawa pada tanggal 11 Agustus dan Sumatera pada
tanggal 15 Agustus (Poesponegoro, 1993).
Dengan disepakatinya
prinsip-prinsip Roem-Royen tersebut, pemerintah darurat RI di Sumatra
memerintahkan kepada Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambilalih
pemerintahan di Yogyakarta apabila Belanda mulai mundur dari Yogyakarta.
Partai politik yang pertama kali menyatakan setuju dan menerima baik
tercapainya persetujuan Roem-Royen adalah Masyumi. Dr. Sukiman selaku
ketua umum Masyumi menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh delegasi RI
adalah dengan melihat posisi RI di dunia internasional dan di dalam
negeri sendiri, apalagi dengan adanya sikap BFO yang semakin menyatakan
hasratnya untuk bekerjasama dengan RI. Sedangkan Mr. Surjono Hadinoto,
ketua umum PNI menyatakan bahwa Persetujuan Roem-Royen merupakan satu
langkah ke arah tercapainya penyelesaian dari masalah-masalah Indonesia
(Reid, 1987).
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar