Ancaman Disintegrasi Bangsa dan Usaha Penyelesaiannya


Ancaman Disintegrasi Bangsa dan Usaha Penyelesaiannya
Ancaman Disintegrasi Bangsa dan Usaha Penyelesaiannya


a.    Pemberontakan PKI Madiun

Latar belakang pembrontakan PKI Madiun, berawal dari jatuhnya Kabinet Amir Syariffudin. Sebagai Perdana Menteri yang mewakili Indonesia dalam perjanjian Renville. Sejak penandatangan perjanjian Renville, Amir Syarifudin tidak lagi mendapat dukungan dalam kabinet. Selanjutnya dibentuk Kabinet baru dengan Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri. Pembentukan kabinet baru tidak disetujui oleh Amir Syarifudin dengan kelompok sayap kiri lainnya, yang kemudian bergabung dalam FDR.

Di bawah pimpinan Muso PKI berusaha meraih kekuasaan. Upaya-upaya yang dilakukan untuk meraih kekuasaan adalah dengan menarik partai dan berbagai organisasi untuk bergabung dengan FDR. Mendorong melakukan demostrasi, pemogokan kaum buruh dan petani. Muso juga memposisikan diri sebagai oposisi pemerintah, dengan melakukan kritik atau pernyataaan yang tidak menguntungkan, bahkan membahayakan strategi diplomasi Indonesia melawan Belanda yang pada waktu itu ditengahi oleh Amerika Serikata (AS) (Rosa, 2008). Pernyataan-pernyataan Muso lebih menunjukkan keberpihakannya pada Uni Soviet, sementara Amerika Serikat dan Uni Soviet adalah dua Negara berseiteru dalam Perang Dingin, Puncak dari upaya yang dilakukan oleh PKI adalah melakukan pembontakan Senjata pada tanggal 18 September 1948 di Kota Madiun. Bersamaan dengan itu pula diproklamirkan berdirinya “Republik Soviet Indonesa” dan dibentuknya pemerintahan baru ( Abdullah, 2012).

Upaya yang dilakukan pemerintah dalam meredam aksi yang dilakukan PKI adalah dengan melakukan diplomasi dengan pimpinan PKI Muso. Namun demikian upaya diplomasi menemukan jalan bantu. Mengingat situasi pada saat itu sudah semakin memanas. Aksi yang dilakukan oleh PKI pada awal pembrontakan adalah melakukan pembunuhan terhadap pejabat pemerintah, tokoh-tokoh partai politik anti komunis dan juga membunuh kaum santri. PKI juga melakukan tindakan penangkapan sewenang wenang terhadap tokoh-tokoh yang berseberangan dengan PKI tidak segan-segan mereka membunuh dan menembak lawan-lawan politiknya. Pembrontakan PKI Madiun akhirnya dapat ditumpas oleh pasukan Divisi Siliwangi. Pembrontakan PKI Madiun dapat dipadamkan dan pemimpim pemberontakan Muso tewas tertembak, sementara Amir Syarifudin ditangkap dan jatuhi hukuman mati. Sedangkan tokoh-tokoh PKI muda seperti Aidit dan Lukman berhasil melarikan diri dan pada saat itu PKI belum dinyatakan sebagai organisasi terlarang.

b.    Pemberontakan DI/TII

Pemberontakan DII/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang dipimpin oleh Kartosuwirjo, pada awalnya hanya berlangusung di Jawa Barat, kemudian menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Kartosuwirjo sendiri pada awalnya seorang pejuang melawan Belanda. Ia diangkat menjadi sekretaris Masyumi Jawa Barat. Berawal dari hasil perjanjian Renville, sesuai dengan perjanjian Renville, maka TNI harus meninggalkan daerah-daerah yang dikuasasi Belanda. Sementara itu laskar Hisbullah dan Sabilillah di bawah pengaruh Kartosuwirjo tidak bersedia pindah atau meninggalkan Jawa Barat, bahkan mereka membentuk Tentara Islam Indonesia (TII). Bersama dengan TII, kemudian Kartosuwirjo menyatakan pembentukan Darul Islam pada Agustus 1949 ( Abdullah, 2012)

Pada saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, DII/TII dengan leluasa melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah tersebut. Kemudian ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat, Kartosuwirjo tidak mau mengakui TNI, kecuali TNI bergabung dengan DII/TII. Itu artinya Kartosuwirjo tidak mengakui pemerintah RI di Jawa Barat. Pada Tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia, dengan gerakannya yang disebut dengan DI (Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam Indonesia). Gerakan DI/NII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka melaksanakan perundingan Renville.

Untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya di tangkap oleh pasukan Siliwangi dalam operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati, dan setelah Sekarmadji meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

Pemberontakan DII/TII merupakan pemberontakan yang hampir menyeluruh terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Berikut merupakan cakupan wilayah pemberontakan DI/TII.
Tabel Pemberontakan DI/TII di berbagai wilayah

No

Pemberontakan

Waktu

Pemimpin

1

Jawa Barat

7 Agustus 1949

Kartosuwiryo

2

Jawa Tengah

23 Agustus 1949

Amir Fatah

3

Aceh

20 Spetember 1953

Daud Beureueh

4

Kalimantan Selatan

Oktober 1959

Haderi bin Umar

5

Sulawesi Selatan

1951

Kahar Muzakar

c.    Pemberontakan APRA

Angkatan Perang Ratu Adil atau disebut APRA merupakan pemberontakan yang paling awal terjadi setelah Indonesia diakui kedaulatannya oleh Belanda sebagai Negara RIS. Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di pimpinan oleh Kapten Raymond Westerling dan didalangi oleh golongan kolonialis Belanda. Landasan yang mendorong gerakan APRA adalah kepercayaan rakyat Indonesia akan datangnya Ratu Adil. Westerling memahami bahwa sebagian rakyat Indonesia yang telah lama menderita karena penjajahan, baik oleh Belanda atau Jepang, mendambakan datangnya suatu masa kemakmuran seperti yang terdapat dalam ramalan Jayabaya. Menurut ramalan itu akan datang seorang pemimpin yang disebut Ratu Adil, yang akan memerintah rakyat dengan adil dan bijaksana, sehingga keadaan akan aman dan damai dan rakyat akan makmur dan sejahtera. Selanjutnya Westerling menghimpun rakyat dan mantan tentara KNIL yang pro terhadap Belanda untuk ikut bergabung menjadi bagian dari tentara APRA.

Tujuan Westerling membentuk APRA ini adalah mengganggu prosesi pengakuan kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) pada 27 Desember 1949. Upaya itu dihalangi oleh Letnan Jenderal Buurman van Vreeden, Panglima Tertinggi Tentara Belanda. Tujuan lainnya adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan adanya tentara tersendiri pada negara-negara bagian RIS (Djoened, 2010).

Operasi penumpasan dan pengejaran terhadap gerombolan APRA yang sedang melakukan gerakan mundur segera dilakukan oleh TNI. Sisa pasukan Wasterling di bawah pimpinan Van der Meulen yang bukan anggota KNIL Batujajar dan polisi yang menuju Jakarta, pada 24 Januari 1950 dihancurkan Pasukan Siliwangi dalam pertempuran daerah Cipeuyeum dan sekitar Hutan Bakong dan dapat disita beberapa truk dan pick up, tiga pucuk bren, 4 pucuk

Di kota Bandung juga diadakan pembersihan dan penahanan terhadap mereka yang terlibat, termasuk beberapa orang tokoh Negara Pasundan. Bagaimana dengan Wasterling? Setelah melarikan diri dari Bandung, Westerling masih melanjutkan petualangannya di Jakarta. la merencanakan suatu gerakan untuk menangkap semua Menteri RIS yang sedang menghadiri sidang kabinet, dan membunuh Menteri Pertahanan Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Mr. A. Budiardjo, dan Pejabat Kepala Staf Angkatan Perang Kolonel T.B. Simatupang.

Gerakan tersebut dapat digagalkan dan kemudian diketahui bahwa otaknya adalah Sultan Hamid II, yang juga menjadi anggota Kabinet RIS sebagai Menteri tanpa portofolio. Sultan Hamid II dapat segera ditangkap, sedangkan Westerling sempat melarikan diri ke luar negeri. Dengan kaburnya Wasterling, maka gerakannya pun jadi bubar.

d.    Pemberontakan Andi Azis

Pemberontakan Andi Azis yang terjadi di Makassar pada tahun 1950, dipimpin oleh Andi Aziz sendiri, seorang perwira mantan KNIL. Pada dasarnya pemberontakan tersebut dilatar belakangi oleh keinginan Andi Aziz dengan gerombolannya ingin mempertahankan Negara Indonesia Timur, Disamping di latar belakang pula oleh penolakan masuknya TNI ke dalam bagian Angakatan Perang Republik Indonesia Serikat. Tindakan yang dilakukan oleh Andi Aziz adalah menduduki tempat-tempat penting, dan menawan Panglima Teritorium Indonesia Timur yaitu Letnan Kolonel A.J. Mokoginata.

e.    Pemberontakan RMS

Pemberontakan RMS yang didalangi oleh mantan jaksa agung NIT, Soumokil bertujuan untuk melepaskan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebelum diproklamasikannya Republik Maluku Selatan (RMS), Gubernur Sembilan Serangkai yang beranggotakan pasukan KNIL dan partai Timur Besar terlebih dahulu melakukan propaganda terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memisahkan wilayah Maluku dari Negara Kesatuan RI. Di sisi lain, dalam menjelang proklamasi RMS, Soumokil telah berhasil mengumpulkan kekuatan dari masyarakat yang berada di daerah Maluku Tengah. Sementara itu, sekelompok orang yang menyatakan dukungannya terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia diancam dan dimasukkan ke penjara karena dukungannya terhadap NKRI dipandang buruk oleh Soumokil 

Dalam upaya penumpasan, pemerintah berusaha untuk mengatasi masalah ini dengan cara diplomasi perdamaian. Karena upaya perdamaian yang diajukan oleh pemerintah tidak berhasil, akhirnya pemerintah melakukan operasi militer untuk membersihkan gerakan RMS dengan mengerahkan pasukan Gerakan Operasi Militer (GOM) III yang dipimpin oleh seorang kolonel bernama A.E Kawilarang, yang menjabat sebagai Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur.

f.    Pemberontakan PRRI/Permesta

Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), dan PERMESTA sebenarnya sudah muncul pada saat menjelang pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) pada tahun 1949 dan pada saat bersamaan Divisi Banteng diciutkan sehingga menjadi kecil Pada saat itu juga, terjadi ketidakpuasan dari beberapa daerah yang berada di wilayah Sumatra dan Sulawesi terhadap alokasi biaya pembangunan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Kondisi ini diperparah dengan tingkat kesejahteraan prajurit dan masyarakat yang sangat rendah. Ketidakpuasan tersebut akhirnya memicu terbentuknya dewan militer daerah yaitu Dewan Banteng yang berada di daerah Sumatera Barat pada tanggal 20 Desember 1956.
 
Selanjutnya, PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Dewan Perjuangan PRRI mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain:
a.    mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno,
b.    mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis),
c.    mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang,
d.    mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi,
e.    Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.

Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat (Abdullah, 2012). Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah.

Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.

g.    Pemberontakan G30S/PKI

Peristiwa G30S merupakan puncak kemelut politik, dari pertikaian kekuatan- kekuatan politik yang bersumber pada pertentangan (konflik) ideologi yang telah berlangsung sebelumnya. Ideologi menjadi sumber konflik, mengingat dalam sejarah kepartaian di Indonesia, partai tumbuh dan berkembang berdasarkan pada ideologi tertentu. Di penghujung pelaksanaan Demokrasi Terpimpin, tiga kekuatan politik hadir dipentas perpolitikan Indonesia. Tiga kekuatan tersebut adalah Soekarno sebagai sosok yang memegang kekuasaan, Militer-TNI AD sebagai penjaga kedaulatan negara yang sekaligus memiliki peran sosial-politik, dan PKI sebagai kekuatan politik yang memiliki basis masa cukup kuat dan sebagai satu- satunya kekuatan politik yang mampu mengimbangi kekuatan militer. Munculnya tiga kekuatan politik tersebut, merupakan sebuah proses panjang dari pertikaian kekuatan politik yang bernuansa ideologis dalam setiap periode pemerintahan, dari Demokrasi Liberal menuju Demokrasi Terpimpin, kemudian bermuara pada tragedi berdarah peristiwa G30S.

Terjadi peristiwa pada malam 30 September 1965 terkait penculikan para jendral. Dari peristiwa tersebut membuat ketujuh jendral tersebut meninggal dunia. Setelah peristiwa puncak tersebut, muncul berbagai pandangan dan saling melempar tanggung jawab mengenai siapa dalang dibalik peristiwa kejam tersebut. Terjadi pergolakan hebat setelah hari – hari tersebut. PKI yang dianggap sebagai pihak yang bertanggung jawab mendapat tekanan yang luar biasa. Namun demikian Presiden Soekarno tetap menghimbau rakyat untuk tetap bersatu dan tidak termakan fitnah.

Masyarakat secara luas menuntut beberapa hal yang sering dikenal dengan Tritura. Bubarkan PKI, Perombakan kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan. Soekarno mengeluarkan surat perintah guna pengamanan Pemerintahan, yang sampai saat ini dikenal sebaga Surat Perintah Sebelas Maret (SUPERSEMAR).
 


Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar