Indonesia Masa Demokrasi Liberal


Indonesia Masa Demokrasi Liberal

a.    Sistem Pemerintahan Parlementer.

Penyusunan UUDS 1950 bermula semenjak diadakan perundingan- perundingan antara Pemeritahan RIS atas nama NIT dan NTS, dengan Pemerintahan RI yang ingin kembali ke Negara Kesatuan. Sebagai hasil dari perundingan yang diadakan pada tanggal 19 Mei 1950 ditandatanganilah Piagam Persetujuan antara Pemerintahan RIS dan pemerintahan RI (ditandatangi oleh masing-masing perdana menteri). Sebagai kelanjutanya dibentuklah panitia yang merancang UUDS negara Kesatuan (diketuai oleh Prof. Dr. Soepomo (pihak RIS) dan Mr Abdul Hakim (pihak RI).Negara kesatuan RI, sebagaimana Republik Indonesia Serikat (RIS), adalah menganut sistem pemerintahan Kabinet Parlementer. Ketentuanya dapat dilihat pada pasal 45 ayat (1) yang mengariskan “Presiden ialah Kepala Negara”, begitu juga pasal 83 UUDS 1950, menerangkan:
1)    Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
2)    Menteri-meteri bertangung jawab atas seluruh kebijaksanaan Pemerintahan 

Sistem pertanggungan jawab Menteri menurut UUDS 1950 adalah Kepala Negara bukan penyelenggara kekuasaan pemerintahan, oleh karena itu dapat diganggu gugat. Serta Pemerintahan diselenggarakan oleh Dewan Menteri (Kabinet dengan Pedana Menteri sebagai Ketua). Menteri-menteri baik secara bersama-sama atau sendiri-sendiri harus mempertanggung jawabkan kebijaksanaan pemerintahanya kepada Badan Perwakilan Rakyat dengan konsekuensi:
1)    Kalau    kebijaksanaan    tidak    diterima,    Dewan    Menteri/    menteri    yang bersangkutan harus jatuh;
2)    Kalau dalam perselisihan Pemerintah merasa bahwa Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi mencerminkan kemauan rakyat, dapat meminta bantuan Kepala Negara untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, dan dalam waktu sesingkat-singkatnya mengandakan pemilihan Dewan Perwakilan Rakyat. Kalau ternyata masih ada perselisihan antara Pemerintahan denagan Dewan Perwakilan Rakyat, maka Pemerintahan harus mengundurkan diri.
3)    Kekuasaan perundang-undangan dilakukan oleh Pemerintahan bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

b.    Kehidupan Politik Era Demokrasi Liberal

Pada masa demokrasi liberal dalam Indonesia, sistem politik yang dimiliki oleh Indonesia telah berhasil mendorong munculnya berbagai macam partai politik. Hal tersebut disebabkan karena dalam sistem kepartaian, sistem politik Indonesia menganut sistem multipartai. Konsekuensi logis dari pelaksanaan sistem politik demokrasi liberal parlementer yang memiliki gaya barat dengan sistem multipartai yang dianut, maka partai-partai politik yang mulai muncul ini lah yang akan menjalankan pemerintahan Indonesia melalui perimbangan kekuasaan dalam parlemen dalam tahun 1950 sampai dengan tahun 1959.
 Pada masa demokrasi liberal dalam Indonesia, susunan kabinet yang menjalankan roda pemerintahan Indonesia, adalah sebagai berikut.

•    Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951) Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:

a)    Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
b)    Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
c)    Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
d)    Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
e)    Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Keberhasilan yang pernah dicapai oleh Kabinet Natsir antara lain
1)    Di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
2)    Indonesia masuk PBB,
3)    Berlangsung perundingan antara Indonesia- Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
Berakhirnya kekuasaan kabinet disebabkan oleh adanya mosi tidak percaya dari PNI menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS. PNI menganggap peraturan pemerintah No. 39 th 1950 mengenai DPRD terlalu menguntungkan Masyumi. Mosi tersebut disampaikan kepada parlemen tanggal 22 Januari 1951 dan memperoleh kemenangan, sehingga pada tanggal 21 Maret 1951 Natsir harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden.

•    Kabinet Sukiman (27 April 1951-3 April 1952)

Program pokok Kabinet Sukiman adalah
1)    Menjamin keamanan dan ketentraman,
2)    Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani,
3)    Mempercepat persiapan pemilihan umum.
4)    Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya, dan
5)    Di bidang hukum, menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat

buruh, perjanjian kerja sama,penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.
Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Soekiman yaitu tidak terlalu berarti sebab programnya melanjutkan program Natsir hanya saja terjadi perubahan skala prioritas dalam pelaksanaan programnya, seperti awalnya program menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman selanjutnya diprioritaskan untuk menjamin keamanan dan ketentraman.

Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini adalah Adanya Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran. Mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA). Dimana dalam MSA terdapat pembatasan kebebasan politik luar negeri RI karena RI diwajibkan memperhatiakan kepentingan Amerika. Tindakan Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

•    Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Program pokok dari Kabinet Wilopo di dalam negeri adalah Menyelenggarakan pemilihan umum (konstituante, DPR, dan DPRD, Meningkatkan kemakmuran rakyat, dan Meningkatkan pendidikan rakyat, dan pemulihan keamanan. Sedangkan untuk program luar ngeri Kabinet Wilopo berfokus pada Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda, Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, hingga menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.
Kabinet ini tidak mempunyai prestasi yang bagus, justru sebaliknya banyak sekali kendala yang muncul antara lain sebagai berikut.

a)    Adanya kondisi krisis ekonomi yang disebabkan karena jatuhnya harga barang-barang eksport Indonesia sementara kebutuhan impor terus meningkat.

b)    Terjadi defisit kas negara karena penerimaan negara yang berkurang banyak terlebih setelah terjadi penurunana hasil panen sehingga membutuhkan biaya besar untuk mengimport beras.

c)    Munculnya gerakan sparatisme dan sikap provinsialisme yang mengancam keutuhan bangsa. Semua itu disebabkan karena rasa ketidakpuasan akibat alokasi dana dari pusat ke daerah yang tidak seimbang.

d)    Terjadi peristiwa 17 Oktober 1952. Merupakan upaya pemerintah untuk menempatkan TNI sebagai alat sipil sehingga muncul sikap tidak senang dikalangan partai politik sebab dipandang akan membahayakan kedudukannya.

Kabinet ini jatuh dengan adanya Peristiwa Tanjung Morawa.. Intinya peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

•    Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I adalah Meningkatkan keamanan dan kemakmuran serta segera menyelenggarakan Pemilu, Pembebasan Irian Barat secepatnya, Pelaksanaan politik bebas-aktif dan peninjauan kembali persetujuan KMB., Penyelesaian Pertikaian politik. Kabinet Ali I memiliki beberapa program kerja yang hampir seluruhnya berhasil dilaksanakan seperti mempersiapkan Pemilihan Umum untuk memilih anggota parlemen yang akan diselenggarakan pada 29 September 1955, Menyelenggarakan Konferensi Asia- Afrika tahun 1955., Konferensi Asia-Afrika I ini disenggarakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955.

•    Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi. Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah, Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru, Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi, Perjuangan pengembalian Irian Barat, Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

Hasil atau prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Burhanuddin Harahap yaitu menyelenggarakan pemilu pertama yang demokratis pada 29 September 1955 (memilih anggota DPR) dan 15 Desember 1955 (memilih konstituante). Terdapat 70 partai politik yang mendaftar tetapi hanya 27 partai yang lolos seleksi. Menghasilkan 4 partai politik besar yang memperoleh suara terbanyak, yaitu PNI, NU, Masyumi, dan PKI.

•    Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandat untuk membentuk kabinet baru pada tanggal 20 Maret 1956. Kabinet ini merupakan hasil koalisi 3 partai yaitu PNI, Masyumi, dan NU. Program pokok kabinet ini disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, seperti (a) Perjuangan pengembalian Irian Barat (b) Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD (c) Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai (d) Menyehatkan perimbangan keuangan negara
(e)    Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat. Selain hal tersebut Kabinet Ali II Melakukan lobi untuk membatalkan KMB, Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif, hingga Melaksanakan keputusan KAA.

•    Kabinet Djuanda ( 9 April 1957- 5 Juli 1959)

Kabinet ini merupakan zaken kabinet yaitu kabinet yang terdiri dari para pakar yang ahli dalam bidangnya. Dibentuk karena Kegagalan konstituante dalam menyusun Undang-undang Dasar pengganti UUDS 1950. Serta terjadinya perebutan kekuasaan antara partai politik. Dipimpin oleh Ir. Juanda.
Program Kabinet Djuanda disebut Panca Karya sehingga sering juga disebut sebagai Kabinet Karya, programnya yaitu Membentuk Dewan Nasional, Normalisasi keadaan Republik Indonesia, Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB, Perjuangan pengembalian Irian Jaya, Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan Prestasi yang berhasil dicapai oleh Kabinet Djuanda yaitu (1) Mengatur kembali batas perairan nasional Indonesia melalui Deklarasi Djuanda, yang mengatur mengenai laut pedalaman dan laut teritorial. Melalui deklarasi ini menunjukkan telah terciptanya Kesatuan Wilayah Indonesia dimana lautan dan daratan merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat. (2) Terbentuknya Dewan Nasional sebagai badan yang bertujuan menampung dan menyalurkan pertumbuhan kekuatan yang ada dalam masyarakat dengan presiden sebagai ketuanya. Sebagai titik tolak untuk menegakkan sistem demokrasi terpimpin. (3) Mengadakan Musyawarah Nasional (Munas) untuk meredakan pergolakan di berbagai daerah. Musyawarah ini membahas masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah RI. (4) Diadakan Musyawarah Nasional Pembangunan untuk mengatasi masalah krisis dalam negeri tetapi tidak berhasil dengan baik.

Kendala/ Masalah yang dihadapi oleh kabinet ini sebagai berikut.
a)    Kegagalan Menghadapi pergolakan di daerah sebab pergolakan di daerah semakin meningkat. Hal ini menyebabkan hubungan pusat dan daerah menjadi terhambat. Munculnya pemberontakan seperti PRRI/Permesta.
b)    Keadaan ekonomi dan keuangan yang semakin buruk sehingga program pemerintah sulit dilaksanakan. Krisis demokrasi liberal mencapai puncaknya.
c)    Terjadi peristiwa Cikini, yaitu peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden Sukarno di depan Perguruan Cikini saat sedang menghadir pesta sekolah tempat putra-purinya bersekolah pada tanggal 30 November 1957. Peristiwa ini menyebabkan keadaan negara semakin memburuk karena mengancam kesatuan negara.

c.    Kehidupan Ekonomi Era Demokrasi Liberal

Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagi berikut:
1)    Gunting syafruddin. Akibat dari perang kemerdekaan selama 5 tahun perekonomian di Indonesia terbelangkai dan kacau sehingga Menteri Keuangan Indonesia Syafruddin Prawiranegara mengeluarkan kebijakan sanering atau pengguntingan uang dengan tujuan menyehatkan keuangan negara. Dari kebijakan tersebut, uang kertas dengan nilai Rp 5.000 ke atas dinyatakan bernilai setengahnya.
2)    Sistem ekonomi gerakan benteng. Sistem ekonomi gerakan benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir dan direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (Menteri Perdagangan). Program ini bertujuan untuk menumbuhkan kelas pengusaha di kalangan bangsa Indonesia dengan memberi bimbingan, bantuan kredit, serta kesempatan bagi para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
3)    Nasionalisasi De Javasche Bank. Pada akhir tahun 1951, pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemrian kredit harus dikonsultasikan pada pemrintahan Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuan dari nasionalisasi De Javasche adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan;
4)    Sistem Ekonomi Ali Baba. Pada pemerintahan Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Agustus 1954-Agustus 1955), Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Tjokroadisurjo memprakarsai sistem ekonomi yang dikenal dengan nama sistem Ali Baba. Sistem ini merupakan bentuk kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan pengusaha nonpribumi (khususnya Cina) yang diidentikkan dengan Baba.
5)    Devaluasi mata uang rupiah. Dalam usaha memperbaiki kondisi ekonomi, pada tanggal 24 Agustus 1959, pemerintah mendevaluasi mata uang Rp 1.000 dan Rp 5.00 menjadi Rp 100 dan Rp 50.
6)    Mengeluarkan deklarasi ekonomi. Deklarasi ekonomi (dekon) dikeluarkan pada tanggal 26 Mei 1963. Pemerintah menganggap bahwa untuk menanggulangi kesulitan ekonomi, satu-satunya jalan adalah dengan sistem ekonomi terpimpin.

d.    Berakhirnya Demokrasi Liberal di Indonesia.

Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indinesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap.

Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan- golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.

Situasi dan kondisi seperti itu, beberapa partai politik mengajukan usul kepada Presiden Soekarno agar mengambil kebijakan untuk mengatasi kemelut politik.

Oleh karena itu pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit yang berisi sebagai berikut; a) Pembubaran Konstituante; b) Berlakunya kembali UUD 1945; c) Tidak berlakunya UUDS 1950; dan d) Pembentukan MPRS dan DPAS.

Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Baca Juga

Bagikan Artikel



Komentar