Teater Modern Indonesia Masa Perkembangan (1942-1970)
Sejarah teater modern Indonesia secara historis
menurut Jakob Sumardjo (1992:101) Pada Masa Perkembangan (1942-1970): terdiri dari:
a) Teater Zaman Jepang (1942-1945);
b) Teater Tahun 1950-an;
c) Teater Tahun 1960-an;
Masa Perkembangan (1942-1970)
Masa perkembangan teater modern di Indonesia dimulai pada masa pra-kemerdekaan atau zaman pendudukan Jepang (1940-1942) sampai dengan pertengahan tahun 1960-an.
a) Teater Zaman Jepang (1942-1945)
Pada
tanggal 8 Maret 1942, bala tentara Jepang berhasil menaklukkan
pemeritah Hindia Belanda di Subang, Jawa Barat. Sejak itu semua wilayah
Hindia Belanda jatuh ketangan pemeritah militer Jepang. Indonesia dalam
komando wilayah pemerintahan Jepang Asia Tenggara yang berpusat di
Saigon, Vietnam. Kekuasaan Jepang dimulai sejak awal tahun 1942, tetapi
pengaruhnya terhadap kehidupan kebudayaan dan kesenian, terutama seni
pertunjukan, baru terasa pada akhir tahun. Semua unsur kesenian dan
kebudayaan pada kurun waktu penjajahan Jepang dikonsentrasikan untuk
mendukung pemerintahan totaliter Jepang. Segala daya kreasi seni secara
sistematis diarahkan untuk menyukseskan pemerintahan totaliter Jepang.
Dua orang tokoh, yaitu Anjar ASMPra dan Kamajaya masih sempat berpikir
bahwa perlu didirikan Pusat Kesenian Indonesia yang bertujuan
menciptakan pembaharuan kesenian yang selaras dengan perkembangan zaman
sebagai upaya untuk melahirkan kreasi–kreasi baru dalam wujud kesenian
nasional Indonesia. Maka pada tanggal 6 Oktober 1942, di rumah Bung
Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia dengan pengurus sebagai
berikut, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai
anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjabana, dan Kamajaya.
Badan
Pusat Kesenian Indonesia bermaksud menciptakan kesenian Indonesia baru,
di antaranya dengan jalan memperbaiki dan menyesuaikan kesenian daerah
menuju kesenian Indonesia baru. Langkah-langkah yang telah diambil oleh
Badan Pusat Kesenian Indonesia untuk mewujudkan cita-cita kemajuan
kesenian Indonesia, ternyata mengalami hambatan yang datangnya dari
barisan propaganda Jepang, yaitu Sendenbu yang membentuk badan perfilman
dengan nama Djawa Eiga Kosy’, yang dipimpin oleh orang Jepang S. Oya.
Intensitas kerja Djawa Eiga Kosya yang ingin menghambat langkah Badan
Pusat Kesenian Indonesia nampak ketika mereka membuka sekolah tonil dan
drama Putra Asia, Ratu Asia, Pendekar Asia, yang kesemuanya merupakan
corong propaganda Jepang.
Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain Astaman, Tan Tjeng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young, Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng, yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali, Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A Murdiati, dan Merah Delima. Rombongan Sandiwara Bintang Surabaya menyuguhkan pementasan-pementasan dramanya dengan cara lama seperti pada masa Dardanella, Komedi Bangsawan, dan Bolero, yaitu di antara satu dan lain babak diselingi oleh tarian-tarian, nyanyian, dan lawak. Secara istimewa selingannya kemudian ditambah dengan mode show, dengan peragawati gadis-gadis Indo Belanda yang cantik-cantik . Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para pengusaha Indonesia. Baru kemudian Muchsin sebagai pengusaha besar tertarik dan membiayai rombongan sandiwara Warna Sari.
keistimewaan rombongan sandiwara
Warna Sari adalah penampilan musiknya yang mewah yang dipimpin oleh
Garsia, seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja Drum.
Garsia menempatkan deretan drumnya yang berbagai ukuran itu memenuhi
lebih dari separuh panggung. Ia menabuh drum-drum tersebut sambil
meloncat ke kanan – ke kiri sehingga menarik minat penonton.
Cerita-cerita yang dipentaskan antara lain, Panggilan Tanah Air, Bulan
Punama, Kusumahadi, Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
Rombongan sandiwara terkenal lainnya adalah rombongan sandiwara Sunda
Mis Tjitjih, yaitu rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata.
Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini terpaksa berlindung di
bawah barisan propaganda Jepang dan berganti nama menjadi rombongan
sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan cerita-cerita baru untuk
kepentingan propaganda Jepang.
b) Teater Indonesia 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka bagi seniman untuk merenungkan perjuangan dalam perang kemerdekaan. Para seniman merenungkan peristiwa perang kemerdekaan, kekecewaan, penderitaan, keberanian, nilai kemanusiaan, pengkhianatan, kemunafikan, kepahlawanan dan tindakan pengecut, keikhlasan sendiri dan pengorbanan, dan lain-lain. Peristiwa perang secara khas dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955), Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir (Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasjah Djamin, 1956) Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasjah Djamin, 1959).
Realisme
konvensional dan naturalisme tampaknya menjadi pilihan generasi yang
terbiasa dengan teater Barat. Dua seniman teater Barat, Hendrik Ibsen
dan Anton Chekhov berpengaruh besar dalam idiom realisme konvensional.
Pada tahun 1955 didirikannya Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI)
oleh USMPr ISMPil dan Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan
realisme dengan mementaskan lakonlakon terjemahan dari Barat. Selain
pengaruh Ibsen dan Chekov karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov menjadi
bahan pertunjukan. Metode Stanislavkian dikembangkan ATNI untuk
pementasan dan pemeranan. ATNI merupakan akademi teater modern yang
pertama di Asia Tenggara. Alumni ATNI yang terkenal: Teguh Karya, Wahyu
Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib Husein, dan Kasim
Achmad.
Sebelum ATNI lahir pada Konggres Kebudayaan I di kota
Magelang (1948), diusulkan adanya Cine Drama Institute yang kemudian
didirikan di Yogyakarta atas prakarsa Menteri Penerangan. Maka didirikan
Institut Kebudayaan Indonesia (IKI) Yogyakarta yang mempelopori
berdirinya Sekolah Seni Drama dan Film (SSDRAF) yang dipimpin Sri
Murtono atau R.Sri Moertono (1 Nopember 1951). SSDRAF resmi berubah
menjadi ASDRAFI (Akademi Seni Drama dan Film Indonesia) Yogyakarta (5
Mei 1955) direkturnya Sri Murtono. Eksperimen drama terbuka Sri Murtono
melahirkan Sumpah Gadjah Mada bersama SSDRAF atau ASDRAFI pentas
keliling dari Yogya ke Jakarta, dan Malang (Nur Iswantara, 2004). Di
Yogyakarta dinamika teater tampak nyata. Umar Kayam sebagai intelektual
muda yang sedang belajar di Fakultas Sastera, Pedagogi dan Filsafat
(FSPF) Universitas Gadjah Maa (UGM) begitu serius dalam berteater. Pada
tanggal 14-15 Desember 1964, Umar Kayam menyutradarai Ratna saduran
Armin Pane dari Nora karya Henrik Ibsen. Pentas dalam rangka ulang tahun
UGM itu didukung pemain Purbatin Hadi, Marijani, Herijani, Sutarno, dan
Rukmini. Pada tanggal 12-13 Desember 1955, dalam rangka dies natalis
UGM, Umar Kayam menyutradarai lakon Hanya Satu Kali saduran Sitor
Sirumorang dari cerita John Galsworthy dan Robert Midleman. Para
pemainnya WS. Rendra, Purbatin Hadi, Irawati, E. Sutarto, Zainudin, dan
Umar Suwito (Nur Iswantara, 2009:96). Teater Muslim sangat tekenal
melalui lakon Iblis karya Mohammad Diponegoro. Dekade 1950-an berdiri
Himpunan Seni Budaya Surakarta (HBS) didirikan di Surakarta.
c) Teater Indonesia 1960-an
Teater
Indonesia tahun 1960-an termasuk masa tumbuh suburnya kelompok dan
kritik teater serta pada pertengahan dekade sebagai penanda perubahan
menuju teater mutakhir. Jim Lim bersama STB mulai mengadakan eksperimen
dengan menggabungkan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari
topeng Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat.
Pada
akhir 1950-an Jim Lim mulai dikenal sebagai aktor dan sutradara realisme
konvensional. Karya penyutradaraannya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T.
Sontani) dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan akting
realistis dalam lakon The Glass Menagerie (Tennesse William, 1962), The
Bespoke Overcoat (Wolf mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim
menyutradari Bung Besar (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser, teater
rakyat Sunda. Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan unsur wayang kulit dan
musik dalam karya penyutradaraannya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun
(Saini KM., 1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya menjadi
Jaka Tumbal (1963/1964).
Menyutradarai dengan gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula (Albert Camus), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim belajar teater dan menetap di Paris. Suyatna Anirun, salah satu aktor, pendiri STB melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim berkreasi memakai unsur- unsur teater Barat dengan teater etnis.
Peristiwa penting
dalam usaha membebaskan teater dari batasan realisme konvensional
terjadi pada tahun 1967, ketika Rendra kembali ke Indonesia. Rendra
mendirikan Bengkel Teater Yogya yang kemudian menciptakan pertunjukan
pendek improvisatoris yang tidak berdasarkan naskah jadi (wellmade play)
seperti dalam drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula
dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan bebunyian mulut
tertentu atas suatu tema yang diistilahkan dengan teater mini kata
(menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya misalnya, Bib Bop
dan Rambate Rate Rata (1967,1968). Pada taggal 3 Mei 1968 di Fakultas
Sastra Unhas berdiri Teater Latamaosandi Enga pendiriya Jacob Marala,
Ichasan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilntin, dan Fahmi Syariff.
Pentasnya antara lain Hatinya Putih Kembali (Anhar Zainuddin), Jangan
Lupakan Peristiwa Itu (Emil Sanossa).
Source: Modul pppk seni teater
Bagikan Artikel
Komentar
Posting Komentar